Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adila Rahmanti Djauhari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari regulasi emosi marah terhadap agresi pada remaja. Pengukuran agresi menggunakan Agression Questionnaire yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992), sementara pengukuran regulasi emosi marah menggunakan 20-Item Short Version of the Anger Management Scale yang dikembangkan oleh Stith dan Hamby (2002). Partisipan dari penelitian ini berjumlah 287 orang dengan kriteria remaja berusia 16-21 tahun.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa regulasi emosi marah dapat mempengaruhi agresi pada remaja (F = 165.689, R2 = 0.395, p<0.01). Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa aspek regulasi emosi marah yang memiliki pengaruh paling besar terhadap agresi pada remaja adalah negative attribution. Berdasarkan hasil penelitian, penting untuk mempertimbangkan pelatihan regulasi emosi marah untuk mengintervensi menurunkan perilaku agresi pada remaja.

This research aimed to investigate whether there is a significant effect of anger regulation on aggression in adolescents. Aggression was measured with Agression Questionnaire that was constructed by Buss dan Perry (1992), while anger regulation was measured with 20-Item Short Version of the Anger Management Scale that was constructed by Stith dan Hamby (2002). There are 287 participants in this research, with the criteria of adolescents aged 16-21 years old.
The results of this research showed that anger regulation could affect aggression in adolescents (F = 165.689, R2 = .395, p<0.01), Furthermore, the results also showed that the aspect of anger regulation that has the biggest effect on aggression in adolescents is negative attribution. According to the results, it is important to consider anger regulation training to plan intervention to reduce aggressive behaviors in adolescents.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63298
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rahmawati
"Emosi ditimbulkan oleh suatu peristiwa atau situasi tertentu, termasuk peristiwa atau situasi yang berasal dari diri seseorang, misalnya pikiran atau kenangan. Emosi akan timbul bila peristiwa tersebut menyentuh kepedulian (concern) seseorang, apabila menyentuh kesejahteraan, dan well being seseorang.
Bila stimulus itu sesuai dengan apa yang diharapkan, artinya menyambung kebutuhan dan harapan seseorang, maka yang akan muncul ialah emosi positif; bila sebaliknya maka timbul emosi negatif. Timbulnya emosi bukan berarti hal itu diekspresikan, melainkan dialami sebagai penilaian atas situasi serta kesiapan aksi (tendensi-aksi atau aktivasi) serta gejala-gejala perubahan faali. Ada berbagai macam emosi, salah satunya yaitu emosi marah. Marah merupakan emosi negatif yang jika tidak terkontrol dapat berubah menjadi destruktif, bisa menimbulkan masalah baik di lingkungan keija, dalam hubungan interpersonal, dan mempengaruhi seluruh kualitas hidup kita.
Madura merupakan salah satu budaya di Indonesia yang menarik untuk diteliti. Sudah sejak lama Madura menjadi pembicaraan masyarakat, sekalipun pulau yang satu ini tidak besar akan tetapi penduduknya mempunyai kepribadian yang khas dan menarik untuk dibicarakan. Sosok orang Madura akan segera dikenal oleh siapapun karena memang mempunyai ciri tersendiri, khususnya bila mereka berbicara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengalaman emosi marah pada laki-laki dan perempuan suku Madura; melihat apakah ada atau tidak perbedaan penilaian dalam pengalaman emosi marah antara laki-laki dan perempuan suku Madura; melihat apakah ada atau tidak perbedaan kesiapan aksi dalam pengalaman emosi marah antara laki-laki dan perempuan suku Madura.
Subyek Penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan suku Madura, berusia 18-40 tahun, dan berpendidikan minimal SMU atau sederajat. Sampling yang dilakukan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner emosi Frijda dan Markam (1992) yang merupakan terjemahan kuesioner Frijda-Kuipers-Ter Schure. Kuesioner Frijda - Markam terdiri dari tiga bagian, yaitu: kuesioner umum emosi; kuesioner penilaian; dan kuesioner kesiapan aksi. Kuesioner umum terdiri dari 11 item. Kuesioner penilaian terdiri dari 24 item. Kuesioner kesiapan aksi terdiri dari 36 item. Gambaran umum karakteristik subyek penelitian dalam satu kelompok jenis kelamin diperoleh dengan menghitung frekuensi dan persentasenya. Gambaran penilaian dan kesiapan aksi diperoleh dengan menghitung mean score tiap dimensi/item penilaian dan kesiapan aksi. Untuk membandingkan gambaran penilaian dan kesiapan aksi dalam pengalaman emosi marah antara laki-laki dengan perempuan Madura di gunakan rumus t-test.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Dimensi penilaian pada pengalaman emosi marah yang paling menonjol pada laki-laki suku Madura adalah dimensi valensi dan dapat diharapkan diri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap situasi yang menyebabkan emosi marah pada kelompok laki-laki berkaitan dengan situasi yang dinilai tidak menyenangkan dan merupakan sesuatu yang tidak diharapkan oleh diri sendiri. Sedangkan dimensi penilaian pada pengalaman emosi marah yang menonjol pada perempuan suku Madura adalah valensi, kemudahan mencapai tujuan, ketiba-tibaan, dapat diharapkan diri sendiri, dan dapat diharapkan orang lain. Nilai negatif pada dimensi-dimensi tersebut menunjukkan bahwa situasi yang menyebabkan emosi marah cenderung dinilai sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, merugikan bagi rencana atau tujuan diri sendiri, tidak diharapkan diri sendiri, dan tidak diharapkan orang lain. Sedangkan nilai positif pada dimensi ketiba-tibaan berarti bahwa situasi yang menyebabkan emosi marah cenderung dinilai sebagai sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba.
Sedangkan pada perempuan suku Madura kesiapan aksi yang mencolok adalah item kesiapan aksi: ingin dapat menghilangkan (dimensi menghilangkan), ingin dapat melakukan sesuatu (dimensi reaktansi), dan ingin meluruskan masalah (dimensi membetulkan). Hal ini berarti bahwa perempuan suku Madura memiliki kecenderungan yang mencolok untuk : ingin dapat menghilangkan peristiwa yang telah terjadi, ingin melakukan sesuatu untuk menangani peristiwa, dan ingin dapat meluruskan apa yang telah terjadi, ketika mengalami emosi marah. Sebagian besar subyek kelompok laki-laki suku Madura menganggap bahwa emosi yang menyebabkan emosi marahnya penting bagi: kepedulian, minat, usaha, dan tujuan; pasangan atau teman dekat; hubungan dengan pasangan atau teman dekat Sedangkan pada subyek kelompok perempuan suku Madura sebagian besar subyek menyatakan bahwa peristiwa yang menyebabkan emosi marahnya dianggap penting bagi kedudukan sosial dan penghargaan. Sebagian besar subyek baik kelompok laki-laki maupun perempuan suku Madura menyatakan bahwa ekspresi emosi yang ditampilkan adalah dengan intensitasnya sesuai."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari
"Keserasian dalam hubungan antar manusia, antar kelompok, antar bangsa, dan di dalam suatu masyarakat adalah suatu hal yang perlu dibina dan dikembangkan agar terwujud pribadi-pribadi yang sehat, cerdas, dan kreatif. Umumnya dalam suasana kehidupan serasi, individu-individu berada dalam kondisi mental sehat dan emosi positif. Salah satu hal yang dapat menganggu keserasian dalam hubungan antar manusia, antar kelompok, antar bangsa, dan di dalam suatu masyarakat adalah dialaminya emosi-emosi negatif seperti marah, kecewa, iri, dendam, benci, dan lain-lain, yang bila intensitasnya cukup tinggi dapat menjadi pemicu perilaku maladaptive (Proposal Penelitian Payung SSM).
Penelitian ini adalah merupakan bagian dari penelitian payung. Secara khusus penelitian ini ingin melihat pengalaman emosi marah dan kesiapan aksi pada pria dan wanita suku Aceh serta apakah ada perbedaan antara pengalaman emosi marah dan kesiapan aksi pria dan wanita suku Aceh. Dimensi penilaian yang tujuan/keterhambatan, kesejahteraan orang lain, keadilan, kebaruan/sudah dikenal atau belum, ketiba-tibaan, harapan akan akhir, kejelasan tentang akhir, kemungkinan diubah/finalitas, dapat/tidak dapat dihindarkan, tanggung jawab sendiri, tanggung jawab orang lain, keterkendalian, harga diri, penghargaan orang lain, kejelasan, antisipasi usaha, dapat diatasi/ditanggung, dapat diharapkan, dapat diharapkan oleh orang lain, kepentingan, kesesuaian dengan norma menurut diri sendiri, dan kesesuaian dengan norma menurut orang lain, diteliti meliputi 24 item yaitu valensi, kemudahan mencapai ketertarikan, Sedangkan dimensi kesiapan aksi terdiri dari 36 item yaitu mendekat, berhenti melihat (menolak), menghapus kejadian (menghilangkan), darah mendidih, tidak perhatikan (tidak berminat), menangani situasi (reakstan), menarik diri (menutup diri), memasukkan situasi (ada bersama dengan), bemyanyi/bergerak (kegembiraan), melukai/merusak (melawan), tidak dapat teruskan (interupsi), membiarkan orang lain berinisiatif (ketergantungan), menangis (ketidak berdayaan), melindungi diri (menjauhi), tenang/hening (istirahat/santai), situasi terus berpikir (preokupasi), perhatikan penuh (memperhatikan), tahu/dapat lakukan (menguasai), tidak bemiat/menyerah (apati), bersikap lembut (ada bersama dengan), ketidak berdayaan, menjauhkan (penolakan), menentang (melawan), membetulkan, menghilang dari pandangan, menyerahkan diri (mengikuti), memiliki (mendekati), menghindar/kabur (menjauhi), tertawa (kegembiraan), hentikan hubungan (mendidih di dalam), santai, muka jadi merah (menghilang dari pandangan), terhambat/kosong/lumpuh (inhibisi/keterhambatan), tidak dapat diam/bergerak-gerak (semangat), dukungan orang lain (ketergantungan), tegang (semangat).
Subjek penelitian yang digunakan adalah pria dan wanita suku Aceh berusia 17-40 tahun, dipilihnya suku Aceh karena banyaknya pelanggaran yang terjadi akibat DOM yang membawa kesengsaraan bagi rakyat Aceh, sehingga ingin diteliti apakah terdapat perbedaan pengalaman emosi marah antara pria dan wanita suku Aceh. Untuk memperoleh data yang diperlukan, dilakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner emosi Frijda dan Markam (1992). Kuesioner diberikan kepada 60 subjek (30 subjek pria dan 30 subjek wanita). Dari hasil pengolahan data, diperoleh dimensi yang paling menonjol pada pengalaman emosi marah pria suku Aceh adalah dimensi valensi, keadilan, harga diri, dan dapat diharapkan. Dimensi penilaian yang menonjol pada pengalaman emosi marah wanita suku Aceh adalah valensi, dapat diharapkan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi penilaian kejelasan tentang akhir, harga diri, dan dapat diharapkan oleh orang lain pada pengalaman emosi marah pria dan wanita suku Aceh. Sedangkan dimensi kesiapan aksi yang paling menonjol pada pria suku Aceh adalah dimensi menangani situasi (reaktans), tahu/cepat lakukan (menguasai), menentang (melawan), dan membetulkan. Dimensi kesiapan aksi yang paling menonjol pada wanita suku Aceh adalah menghapus kejadian (menghilangkan), darah mendidih di dalam, menangani situasi (reaktans), tahu/cepat lakukan (menguasai), melindungi diri (menjahui), menentang (melawan), membetulkan, dan dukungan orang lain (ketergantungan). Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi kesiapan aksi yaitu berhenti melihat (menolak), bemyanyi/bergerak (kegembiraan), menangis (ketidak berdayaan), melindungi diri (menjauhi), terhambat/kosong/lumpuh (inhibisi/keterhambatan) pada pria dan wanita suku Aceh.
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk memberikan gambaran mengenai dimensi penilaian dan kesiapan aksi pengalaman emosi marah pria dan wanita suku Aceh. Penelitian ini masih banyak memiliki kekurangan antara lain hanya menggunakan metode kuesioner sebagai metode pengumpulan data, untuk mendapatkan data yang lebih mendalam dapat menggunakan metode wawancara."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3155
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulinar Preselia
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari regulasi emosi marah dalam konteks pacaran terhadap kekerasan dalam pacaran pada remaja. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang melibatkan 407 partisipan dengan kriteria berusia 16-21 tahun dan sedang menjalani hubungan pacaran. Pengukuran kekerasan dalam pacaran menggunakan alat ukur The Conflict in Adolescent Dating Relationships Inventory (CADRI) (Wolfe, 2001) sementara pengukuran regulasi emosi marah dalam konteks pacaran menggunakan alat ukur The Anger Management Scale (AMS) Short Version (Stith & Hamby, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan dari regulasi emosi marah dalam konteks pacaran terhadap kekerasan dalam pacaran pada remaja (F=86.656, p<0.01, R2=0.176). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa aspek regulasi emosi marah dalam konteks pacaran yang paling berkontribusi terhadap kekerasan dalam pacaran pada remaja adalah aspek escalating strategies.

This research examined whether anger regulation in dating context significantly effected dating violence in adolescents. This research was a quantitative study involving 407 participants with the criteria of aged 16-21 years old and currently in a dating relationship. Dating violence was measured using The Conflict in Adolescent Dating Relationships Inventory (CADRI) (Wolfe, 2001) and anger regulation in dating context was measured using The Anger Management Scale (AMS) Short Version (Stith & Hamby, 2002).
The result showed that anger regulation in dating context significantly effected dating violence in adolescents (F=86.656, p<0.01, R2=0.176). The result also revealed that the most contributing aspect of anger regulation in dating context towards dating violence in adolescents was escalating strategies.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melisa
"Salah satu tugas perkembangan individu dewasa awal adalah membina relasi intim dengan lawan jenis. Sayangnya tidak sedikit individu dewasa awal yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan tugas perkembangannya tersebut. Salah satu faktor yang memengaruhi pembentukan relasi intim dengan pasangan adalah kelekatan di masa dewasa awal. Kelekatan di masa dewasa (usaha untuk mendapatkan kedekatan secara fisik, emosional, da psikologis dari orang lain) dan regulasi emosi marah (upaya pengendalian amarah yang mengakibatkan munculnya ketidak seimbangan psikologis) pun dikaitkan dengan harga diri (persepsi individu secara positif atau negatif terhadap keberhargaan dirinya).
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui hubungan dimensi kelekatan (cemas dan menghindar) dengan regulasi emosi marah melalui mediasi harga diri pada individu dewasa awal dalam hubungan pacaran. Penelitian ini melibatkan 335 partisipan melalui tiga pengukuran yaitu Experiences in Close Relationships- Scale, Rosenberg Self Esteem Scale, dan Anger Management Scale Short Form. Dari analisis data didapatkan bahwa terdapat hubungan antara dimensi kelekatan cemas dan menghindar dengan regulasi emosi marah secara langsung maupun tidak langsung melalui mediasi harga diri pada individu dewasa awal dalam hubungan pacaran.

One of task development of early adult individuals is to foster intimate relations with others (opposite sex). Unfortunately not a few early adult individuals have difficulty complete their developmental tasks. One factor that influences the formation of intimate relationships with partners in early adult individuals is adult attachment. Adult attachment (attempts to get physical, emotional, and psychological closeness from others) and regulation of angry emotions (anger control efforts that result in psychological imbalances) are also associated with self esteem (positive or negative individual perceptions of his worth).
The purpose of this study was to find out the relationship between the dimensions of attachment (anxiety and avoidance) and regulation of angry emotions through mediating self-esteem in early adult individuals in dating relationships. This study involved 335 early adult individual participants through three measurements ; Experiences in Close Relationships-Scale, Rosenberg Self Esteem Scale, and Anger Management Scale - Short Form. From the data analysis, it was found that there was a relationship between the dimensions of anxiety and avoidance with regulation of anger directly or indirectly through mediating self-esteem in early adult individuals in dating relationships.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T51826
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Redika Cindra Reranta
"Penelitian ini dilakukan dalam rangka memecahkan masalah kesalahpahaman terhadap tuturan netral bahasa Lampung yang dianggap sebagai tuturan marah oleh penutur nonLampung. Data merupakan rekaman tuturan netral dan marah yang secara segmental identik. Tuturan tersebut
terdiri dari tiga pola kalimat yang masing-masing diulangi sebanyak empat kali oleh empat penutur jati bahasa Lampung. Selanjutnya, data dianalisis untuk menemukan ciri akustik tiap tuturan yang kemudian dikomparasi untuk menemukan kontras antara ciri akustik tuturan netral dan marah berdasarkan teori Paeschke & Sendlmeier (2000), teori Yildirim (2004), dan teori Sugiyono (2007). Hasil temuan menyatakan bahwa tuturan netral dan marah bahasa Lampung dibedakan oleh tinggi nada, yaitu tinggi nada tuturan marah lebih tinggi dan tuturan netral bahasa Indonesia dan Lampung dibedakan oleh tinggi nada dan alir nada, yaitu tinggi nada
tuturan netral Lampung lebih tinggi, dan pola tuturan netral Lampung menyerupai bentuk pola tuturan marah sehingga menggiring persepsi penutur nonLampung untuk menganggap tuturan netral Lampung adalah tuturan marah. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa tuturan netral dan
marah dapat memiliki dua puncak nada yang sama tinggi, tinggi nada adalah unsur suprasegmental yang membedakan tuturan netral dan marah bahasa Lampung, dan tinggi nada
dan alir nada tuturan netral Lampung adalah parameter akustik yang memberi kesan marah bagi penutur nonLampung.
Intonasi memiliki peran besar dalam membentuk makna dari sebuah tuturan. Dengan sebuah intonasi, suatu tuturan dapat dimaknai sebagai tuturan marah, senang, sedih, netral, atau emosi lainnya tanpa memandang kehadiran unsur segmental tuturan. Jika salah memahami intonasi, maka akan ada kendala atau masalah yang terjadi. Salah satu kasus kesalahpahaman memahami intonasi adalah seringnya penutur nonLampung mengira tuturan netral bahasa Lampung oleh penutur Lampung adalah tuturan marah. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memecahkan masalah kesalahpahaman tersebut. Penelitian ini menerapkan pendekatan IPO yang terdiri dari tiga kegiatan utama: eksperimen produksi ujaran, analisis akustik ujaran, dan eksperimen uji persepsi ujaran. Data merupakan rekaman tuturan netral dan marah yang secara segmental identik. Tuturan tersebut terdiri dari tiga pola kalimat yang masing-masing diulangi sebanyak empat kali oleh empat penutur jati bahasa Lampung. Selanjutnya, data dianalisis untuk menemukan ciri akustik tiap tuturan yang kemudian dikomparasi untuk menemukan kontras antara ciri akustik tuturan netral dan marah berdasarkan teori Paeschke & Sendlmeier (2000), teori Yildirim (2004), dan teori Sugiyono (2007). Dari hasil analisis, diperoleh dua temuan. Pertama, tuturan netral dan marah bahasa Lampung dibedakan oleh tinggi nada, yaitu tinggi nada tuturan marah lebih tinggi. Kedua, ditemukan juga bahwa tuturan netral bahasa Indonesia dan Lampung dibedakan oleh tinggi nada dan alir nada, yaitu tinggi nada tuturan netral Lampung lebih tinggi, dan pola tuturan netral Lampung menyerupai bentuk pola tuturan marah sehingga menggiring persepsi penutur nonLampung untuk menganggap tuturan netral Lampung adalah tuturan marah. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa ada dua puncak nada pada tuturan netral dan marah yang sama tinggi dan tinggi nada adalah unsur suprasegmental yang membedakan tuturan netral dan marah bahasa Lampung. Selain itu, ditemukan bahwa tinggi nada dan alir nada tuturan netral Lampung adalah parameter akustik yang memberi kesan marah bagi penutur nonLampung.

Intonation plays an important role in creating meaning of utterance. With an intonation, a speech can be interpreted as angry, happy, sad, neutral, or other emotional utterance regardless of the segmental element presence. If intonation is interpreted incorrectly, there will be obstacles or problems. One case example of misunderstanding intonation is that nonLampungnese speakers often think that Lampungnese neutral speech uttered by native speakers is angry speech. This research was conducted in order to solve the problem. This study applied the IPO approach which consist of three main activities: speech production, speech acoustic analysis, and speech perception test experiments. The data were recordings of neutral and angry speech which are segmentally identical. The utterance consists of three sentence patterns, each of which was repeated four times by four native speakers. Furthermore, the data were analyzed to find the acoustic characteristics which was then compared to find the contrast between the acoustic characteristics of neutral and angry speech based on the theory of Paeschke & Sendlmeier (2000), Yildirim (2004), and Sugiyono (2007). From the analysis, two findings were obtained. First, neutral and angry speech in Lampung language were distinguished by pitch, that was the pitch of angry speech was higher. Second, it was also found that neutral speech in Indonesian and Lampungnese were distinguished by pitch and tone flow in which Lampungnese neutral speech was higher in pitch, and its patterns resembled angry speech patterns, thus leading the perception of nonLampung speakers to consider Lampungneses neutral speech as an angry speech. The experimental results showed that there were two pitch peaks in neutral and angry speech that were the same in height and the pitch parameter that distinguished Lampungnese neutral and angry speech. In addition, it was found that the pitch and flow of Lampungnese neutral speech were acoustic parameters that gave the impression of anger for non-Lampung speakers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Rahayu Utami Rahman
"Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan mengelola marah pada anak usia sekolah yang agresif dengan penerapan anger management dengan pendekatan cognitive behavioral. Partisipan dalam penelitian ini adalah anak laki-laki berusia 8 tahun yang memiliki kesulitan dalam mengelola marah yang termanifestasi dalam bentuk perilaku agresif. Program intervensi yang diterapkan mengacu pada program anger management dengan pendekatan cognitive-behavioral yang disusun oleh Novaco (Beck & Fernandez, 1998; Westbrook, Kennerly, & Kirk, 2007; Cavell & Malcolm, 2007) dan dilengkapi dengan materi psikoedukasi orangtua yang disusun berdasarkan materi CDI (child-directed interaction) dan PDI (parent-directed interaction) dalam PCIT (parent-child interaction therapy) oleh McNeil dan Hembree-Kigin (2010). Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah intervensi melalui wawancara orangtua dan subjek, self rating berupa anger thermometer dan thought thermometer, self monitoring berupa anger log dan diary, dan penggunaan skala perilaku CBCL (child behavioral checklist) yang diisi oleh ibu.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan anger management dengan pendekatan cognitive behavioral dapat meningkatkan keterampilan mengelola marah, yang dilihat dari beberapa aspek, yaitu aspek pemikiran berupa perubahan pikiran negatif menjadi positif, aspek perasaan berupa tidak mudah terpancing kemarahan atas keinginan yang tidak terpenuhi, dan aspek perilaku berupa menerapkan relaksasi progressive muscle dan komunikasi asertif dalam mengekspresikan kemarahan.

The aim of this research is to improve skill on management of anger in aggressive school-aged child through applying Anger Management based on Cognitive Behavioral approach. The participant of this research is a eight-year-old boy who has difficulty in managing his anger that manifested in aggressive behavior. The program of this research refers to anger management based on cognitive-behavioral approach developed by Novaco (Beck & Fernandez, 1998; Westbrook, Kennerly, & Kirk, 2007; Cavell & Malcolm, 2007) and equipped with a parent psychoeducation based on CDI (child-directed interaction) and PDI (parent-directed interaction) in PCIT (parent-child interaction therapy) by McNeil & Hembree-Kigin (2010). Measurements were taken before and after intervention program through interviews, self rating such as anger thermometer and thought thermometer, self monitoring such as anger log and diary, and behavior scale such as CBCL (child behavioral checklist).
The results of this study indicate that anger management based on cognitive behavioral approach is succeed in order to improve the anger management skill. These results are viewed from various aspects, such as aspects of thought is negative thought change into positive thought, aspects of feeling is not easily upset over unfulfilled desire, and aspects of behavior is applying progressive muscle relaxation and assertive communication in expressing anger.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T41736
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munardyansih
"Orangtua sering mengalami kesulitan menanggulangi anak usia sekolah yang mudah marah, sering menentang dan menunjukkan reaksi emosi yang tak terkendali atau agresif. Tak jarang orangtua terjebak situasi konflik yang emosional dan terpancing melakukan tindak kekerasan yang menjadi model perlaku agresif pada anak sehingga masalah perilaku anak tak mudah diatasi. Kesulitan mengendalikan emosi demikian terjadi pada D (9 tahun) subyek penelitian ini yang terlihat sejak D memiliki adik pada usia 4 tahun dan orangtua lebih menaruh perhatian pada adiknya yang lahir dengan kelainan jantung bawaan. Pada masa usia sekolah frekuensi marah terjadi setiap hari, sering konflik dengan anggota keluarga dirumah, mengalami kesulitan dalam berteman dan kerap memperoleh hasil belajar yang kurang baik, sekalipun tergolong cerdas dan memiliki intelligensi diatas taraf rata-rata.
Kemarahan dan perilaku menentang yang maladaptif menunjukkan D kurang memiliki kemampuan pengendalian emosi sesuai taraf perkembangan anak usia sekolah, yang umumnya mampu mengontrol dan mengarahkan tindakannya untuk menjalin kerjasama dengan oranglain. Perilaku demikian sexing terjadi pada anak Oppositional Defiant Disorder (ODD) yaitu gangguan perilaku yang ditandai oleh pola perilaku menentang, menantang dan memusuhi (hostile) yang terutama ditujukan pada orangtua (APA, 2000).
D memenuhi kriteria diagnosa ODD. Kemarahan anak ODD disebabkan oleh proses kognitif yang disfungsi dan mengalami defisit kognitif yang herdampak pada keterbatasan kemampuan mengendalikan emosi dan mengatasi masalah sosial (Mash & Wolfe, 1999). Disfungsi dan defisit kognitif merupakan fokus masalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT merupakan intervensi kognitif yang secara emperis telah terbukti efektif untuk mengelola kemarahan dan menanggulangi anak yang mengalami masalah interpersonal (Stallard 2005)
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana teknik CBT dapat diterapkan untuk mengendalikan marah pada anak ODD usia sekolah dengan menggunakan metode yang dikembangkan Stallard. Intervensi ditujukan untuk meningkatkan kesadaran diri, pemahaman lebih baik mengenai perasaan dan pemikiran negatif yang menimbulkan kemarahan, dan mengembangkan pengendalian din melalui ketrampilan kognisi dan perilaku yang sesuai.
Intervensi terbagi atas kegiatan untuk mengendalikan emosi dan kognisi. Fokus intervensi masing-masing melalui tahapan Identifikasi masalah (mengenali pencetus dan reaksi kemarahan D, pemikiran negatif yang disfungsi dan defisit kognitif), mengembangkan ketrampilan yang sesuai untuk mengendalikan marah (menurunkan ketegangan dengan latihan relaksasi, pengaturan pemahman dan mengganti pemikiran negatif dengan pemildran yang menenangkan atau menurunkan reaksi marah dengan 'self instructional ), mengenali dan menguji disfungsi kognisi yang mempengaruhi kehidupan anak.
Pada penelitian menunjukkan bahwa tehnik CBT yang digunakan memudahkan D untuk menyadari serta memahami kesulitannya dan mengetahui langkah untuk melakukan perubahan atau mengendalikan reaksi marahnya. Hasil penelitian menunjukkan perubahan pada D, dimana ia lebih mampu mengendalikan perasaannya ketika menyadari mulai timbul perasaan marah dengan berusaha menurunkan ketegangan dan menenangkan diri dengan pemikiran yang positif Selama periode penelitian frekuensi marah tidak terjadi setiap hari. Namun pada penelitian ini penerapan keterampilan bare yang dikuasai D belum menetap sehingga untuk mencegah terjadinya relaps diperlukan program untuk evaluasi berkala dan melibatkan peran aktif orangtua sebagai co-clinician.
Kelemahan lainnya dalam penelitian ini adalah pada desain penelitian yang belum meneakup pelatihan keterampilan pemecahan masalah dan keterampilan sosial. Kelemahan lainnya adalah jumlah perencanaan sesi dan jangka waktu pertemuan untuk dapat mempertahankan dan mengevaluasi keterampilan kognisi baru yang telah dipelajari. Saran dalam penelitian ini adalah terkait dengan perencanaan desain penelitian, perencanaan jumlah sesi dan peningkatan peran orangtua dalam program CBT."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Ardelia
"Dengan adanya kemajuan teknologi dan kemudahan berbelanja secara daring (online shop), kita sering menghadapi berbagai pilihan atau yang biasa disebut dengan intertemporal choice. Pilihan yang bernilai lebih kecil dan diperoleh lebih cepat disebut dengan smaller-sooner (SS) sedangkan pilihan yang bernilai lebih besar dan diperoleh lebih lama disebut dengan larger-later (LL). Salah satu faktor yang dapat memengaruhi intertemporal choice adalah emosi.
Penelitian eksperimen ini bertujuan untuk membuktikan apakah mahasiswa dengan tingkat arousal emosi negatif yang tinggi akan memilih SS dalam intertemporal choice secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa dengan tingkat arousal emosi negatif yang rendah. Sebanyak 82 mahasiswa Universitas Indonesia berpartisipasi dalam penelitian ini.
Desain penelitian ini adalah randomized between-subject two groups design dengan membandingkan kelompok emosi marah (n = 35) dan sedih (n = 47). Tingkat arousal emosi dimanipulasi melalui autobiographical recall. Hasil analisis chi-square for independence menunjukkan bahwa mahasiswa kelompok marah tidak memilih SS secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok sedih (χ2(1) = 2,377, p = 0,119, d = -0,170).

With the advances of technology and the convenience of online shopping, we often face a variety of choices or what is commonly referred to as intertemporal choices. Choices that are valued smaller and can be directly obtained are called smaller-sooner (SS), while those that are valued larger and can be obtained later are called larger-later (LL). One factor that can influence intertemporal choice is emotion.
This experimental study aimed to prove whether college students with high levels of negative emotion’s arousal would significantly choose SS in intertemporal choices higher than students with low levels of negative emotion’s arousal. A total of 82 University of Indonesia students participated in this study.
The design of this study was randomized between subject two groups design which compared angry (n = 35) and sad group (n = 47). Arousal emotions are manipulated through autobiographical recall. Chi-square for independence analysis showed that the college students in angry group did not choose the SS significantly higher than the sad group (χ2 (1) = 2.337, p = 0.119, d = -0.170).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berlian Triatma
"Fitur fitur ekstremisme seperti adanya pscyhological distress, cara berpikir sederhana, dan keyakinan yang berlebihan terhadap nilai-nilai moral, mendorong individu untuk bersikap intoleran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan intoleransi politik pada individu dengan ideologi ekstrem dan moderat.serta untuk mengetahui efek mediasi emosi negatif terhadap hubungan ekstremisme dan intoleransi politik. Studi cross-sectional ini diikuti 516 partisipan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan rerata skor intoleransi politik yang signifikan antara kelompok ekstrem dan kleompok moderat sedangkan emosi negatif terbukti secara signfikan memediasi hubungan ekstremisme dan intoleransi politik di Indonesia.

Extremism features such as psychologycal distress, simple ways of thinking, and strong moral conviction encourage people to become intolerance. This study aims to determine the differences of political intolerance score between extreme group and moderate group in Indonesia and to determine the mediation effect of negative emotion in the relationship of extremism and political intolerance in Indonesia. 516 participants were participated in this cross sectional study. The results shows that political intolerance score is not significantly difference between extreme and moderate grop while negative emotion significantly mediates the relationship of extremism and political intolerance.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>