Penelitian ini dilakukan dalam rangka memecahkan masalah kesalahpahaman terhadap tuturan netral bahasa Lampung yang dianggap sebagai tuturan marah oleh penutur nonLampung. Data merupakan rekaman tuturan netral dan marah yang secara segmental identik. Tuturan tersebut
terdiri dari tiga pola kalimat yang masing-masing diulangi sebanyak empat kali oleh empat penutur jati bahasa Lampung. Selanjutnya, data dianalisis untuk menemukan ciri akustik tiap tuturan yang kemudian dikomparasi untuk menemukan kontras antara ciri akustik tuturan netral dan marah berdasarkan teori Paeschke & Sendlmeier (2000), teori Yildirim (2004), dan teori Sugiyono (2007). Hasil temuan menyatakan bahwa tuturan netral dan marah bahasa Lampung dibedakan oleh tinggi nada, yaitu tinggi nada tuturan marah lebih tinggi dan tuturan netral bahasa Indonesia dan Lampung dibedakan oleh tinggi nada dan alir nada, yaitu tinggi nada
tuturan netral Lampung lebih tinggi, dan pola tuturan netral Lampung menyerupai bentuk pola tuturan marah sehingga menggiring persepsi penutur nonLampung untuk menganggap tuturan netral Lampung adalah tuturan marah. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa tuturan netral dan
marah dapat memiliki dua puncak nada yang sama tinggi, tinggi nada adalah unsur suprasegmental yang membedakan tuturan netral dan marah bahasa Lampung, dan tinggi nada
dan alir nada tuturan netral Lampung adalah parameter akustik yang memberi kesan marah bagi penutur nonLampung.
Intonasi memiliki peran besar dalam membentuk makna dari sebuah tuturan. Dengan sebuah intonasi, suatu tuturan dapat dimaknai sebagai tuturan marah, senang, sedih, netral, atau emosi lainnya tanpa memandang kehadiran unsur segmental tuturan. Jika salah memahami intonasi, maka akan ada kendala atau masalah yang terjadi. Salah satu kasus kesalahpahaman memahami intonasi adalah seringnya penutur nonLampung mengira tuturan netral bahasa Lampung oleh penutur Lampung adalah tuturan marah. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memecahkan masalah kesalahpahaman tersebut. Penelitian ini menerapkan pendekatan IPO yang terdiri dari tiga kegiatan utama: eksperimen produksi ujaran, analisis akustik ujaran, dan eksperimen uji persepsi ujaran. Data merupakan rekaman tuturan netral dan marah yang secara segmental identik. Tuturan tersebut terdiri dari tiga pola kalimat yang masing-masing diulangi sebanyak empat kali oleh empat penutur jati bahasa Lampung. Selanjutnya, data dianalisis untuk menemukan ciri akustik tiap tuturan yang kemudian dikomparasi untuk menemukan kontras antara ciri akustik tuturan netral dan marah berdasarkan teori Paeschke & Sendlmeier (2000), teori Yildirim (2004), dan teori Sugiyono (2007). Dari hasil analisis, diperoleh dua temuan. Pertama, tuturan netral dan marah bahasa Lampung dibedakan oleh tinggi nada, yaitu tinggi nada tuturan marah lebih tinggi. Kedua, ditemukan juga bahwa tuturan netral bahasa Indonesia dan Lampung dibedakan oleh tinggi nada dan alir nada, yaitu tinggi nada tuturan netral Lampung lebih tinggi, dan pola tuturan netral Lampung menyerupai bentuk pola tuturan marah sehingga menggiring persepsi penutur nonLampung untuk menganggap tuturan netral Lampung adalah tuturan marah. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa ada dua puncak nada pada tuturan netral dan marah yang sama tinggi dan tinggi nada adalah unsur suprasegmental yang membedakan tuturan netral dan marah bahasa Lampung. Selain itu, ditemukan bahwa tinggi nada dan alir nada tuturan netral Lampung adalah parameter akustik yang memberi kesan marah bagi penutur nonLampung.
Intonation plays an important role in creating meaning of utterance. With an intonation, a speech can be interpreted as angry, happy, sad, neutral, or other emotional utterance regardless of the segmental element presence. If intonation is interpreted incorrectly, there will be obstacles or problems. One case example of misunderstanding intonation is that nonLampungnese speakers often think that Lampungnese neutral speech uttered by native speakers is angry speech. This research was conducted in order to solve the problem. This study applied the IPO approach which consist of three main activities: speech production, speech acoustic analysis, and speech perception test experiments. The data were recordings of neutral and angry speech which are segmentally identical. The utterance consists of three sentence patterns, each of which was repeated four times by four native speakers. Furthermore, the data were analyzed to find the acoustic characteristics which was then compared to find the contrast between the acoustic characteristics of neutral and angry speech based on the theory of Paeschke & Sendlmeier (2000), Yildirim (2004), and Sugiyono (2007). From the analysis, two findings were obtained. First, neutral and angry speech in Lampung language were distinguished by pitch, that was the pitch of angry speech was higher. Second, it was also found that neutral speech in Indonesian and Lampungnese were distinguished by pitch and tone flow in which Lampungnese neutral speech was higher in pitch, and its patterns resembled angry speech patterns, thus leading the perception of nonLampung speakers to consider Lampungneses neutral speech as an angry speech. The experimental results showed that there were two pitch peaks in neutral and angry speech that were the same in height and the pitch parameter that distinguished Lampungnese neutral and angry speech. In addition, it was found that the pitch and flow of Lampungnese neutral speech were acoustic parameters that gave the impression of anger for non-Lampung speakers.