Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitriana Nugraheni
Abstrak :
Obesitas menjadi tantangan serius di dunia. Konsumsi protein adalah salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap regulasi lemak tubuh, tetapi informasi mengenai sumber protein specific dan pengaruhnya terhadap regulasi lemak di negara berkembang masih terbatas. Sehingga, peneliti ingin mengetahui hubungan antara asupan protein dan sumbernya dengan obesitas pada orang dewasa di Indonesia. Studi cross-sectional ini melibatkan 167 orang dewasa berusia 19-50 tahun di perkotaan Jakarta Timur. Asupan protein didapatkan dari repeated 24H Recall yang diklasifikasikan sebagai asupan rendah dan tinggi protein. Persentase lemak tubuh diukur dengan metode Air Displacement Plethysmograph yang diklasifikasikan sebagai obesitas wanita (>33%) dan obesitas pria (>25%). Sekitar 69% subjek mengalami obesitas. Sumber utama asupan protein nabati dan hewani berasal dari sereal dan produknya (median =11,3 gr/hari atau 22,9% dari total protein), dan unggas (median =7,85 gr/hari atau 15,9% dari total protein). Setelah penyesuaian terhadap status perkawinan dan jenis kelamin mendapatkan hasil bahwa asupan tinggi protein tidak berhubungan dengan obesitas (OR 1,84, p-value = 0,15), dan jenis asupan protein hewani atau nabati tidak berhubungan dengan obesitas (OR protein hewan 0879, p-value = 0,69; OR protein nabati 0,95, p-value =0,98). Promosi jenis konsumsi protein harus diperhatikan agar berhasil menurunkan prevalensi obesitas di negara ini.
Obesity is becoming a serious challenge worldwide. Protein consumption is one of the important contributing factors to body fat regulation, but existing information has limitedly explored type of protein and its influence for fat regulation in developing world. Therefore, we investigated the association between protein intake and its sources with obesity. This cross-sectional study involved 167 adults aged in East Jakarta. Protein intake were collected from repeated 24-hour recalls that was classified as low and high intake. Body fat percentage was measured by Air Displacement Plethysmograph method and classified as female obese (>33%) and male obese (>25%). About 69% of subjects were obese. The main sources of plant and animal protein intake came from cereals and its products (median=11.3 gr/day or 22.9% of protein intake), and white meat (median=7.85 gr/day or 15.9% of protein intake), respectively. After adjustment for marital status and sex those who had higher protein intake did not associated with being obese (Adjusted OR 1.84, p-value=0.15), while, animal-plant protein intake was not associated with obesity (Adjusted OR 0.879 animal protein, p-value=0.69; OR 0.95 plant protein, p-value=0.98). The promotion of type of protein consumption must be concerning to successfully lower the prevalence of obesity in the country.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita
Abstrak :
Studi tentang obesitas dari berbagai sudut pandang telah banyak dibahas dalam literatur ilmu kesehatan. Akan tetapi, studi yang membahas obesitas dari sisi karakter kota masih sangat terbatas, terutama untuk negara berkembang. Untuk melengkapi gap literatur, studi ini memberikan pembuktian empiris hubungan kausal antara obesitas dan karakter kota berupa urban sprawl. Skor indeks risiko gempa dan elevasi digunakan sebagai instrument variable (IV) untuk mengatasi masalah endogenitas dalam mengestimasi parameter. Hasil estimasi dengan metode 2SLS menunjukkan bahwa peningkatan satu persen indeks sprawl akan menurunkan 3,6% poin indeks massa tubuh dan 0,4% poin likelihood peningkatan status obesitas. Konsisten dengan hasil estimasi tersebut, studi ini menemukan bahwa semakin sprawl suatu area, maka peluang individu melakukan aktivitas fisik seperti berjalan kaki dan bersepeda semakin meningkat, intensitas individu mengkonsumsi makanan sehat meningkat, dan intensitas konsumsi makanan yang tidak sehat semakin menurun. Berdasarkan hasil temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mengendalikan tingkat obesitas masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan perubahan pada struktur kota (lingkungan) dengan meningkatkan fasilitas yang dapat mendukung aktivitas fisik masyarakat, seperti jogging track, jalur khusus sepeda, atau taman untuk berolahraga terutama di aera yang padat residensial. ......The study of obesity from various perspectives has been widely discussed in the health science literature. However, studies that discuss obesity in terms of urban character are still very limited, especially for developing countries. To complete the literature gap, this study provides empirical evidence of a causal relationship between obesity and urban form in terms of urban sprawl. The earthquake risk and elevation scores are used as instrument variables (IV) to solve the endogeneity problem in estimating parameters. The estimation results using the 2SLS method find that a one percent increase in the sprawl index will decrease 3.6% body mass index points and 0.4% likelihood of increasing obesity status. Consistent with the results, this study found that the more sprawl an area, the chances of individuals doing physical activities such as walking and cycling increased, the intensity of individuals consuming healthy food increased, and the intensity of consumption of unhealthy foods decreased. Based on these findings, it can be concluded that to combat the obesity rate can be done by making changes to the structure of the city (environment) by increasing facilities that can support the physical activities of the community, such as jogging tracks, bicycle lanes, or parks to exercise, especially in areas that residential solid.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sifa Aulia Wicaksari
Abstrak :

Prevalensi kegemukan/obesitas meningkat setiap tahun secara global termasuk Indonesia. Salah satu fokus masalah oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah tingginya konsumsi energi dari gula yang berdampak pada pengingkatan berat badan, kerusakan gigi, dan penyakit tidak menular. Dewasa ini, sebanyak 10,9% orang dewasa di Indonesia mengonsumsi energi dari gula melebihi anjuran dari WHO. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui hubungan antara index massa tubuh (IMT) dan konsumsi minuman berpemanis pada usia dewasa muda di Universitas Indonesia, disesuaikan dengan faktor-faktor lain seperti status sosiodemografi, asupan energi total dan aktivitas fisik. Pengambilan data dilakukan secara consecutive di Universitas Indonesia, Jawa Barat, Indonesia selama bulan Maret – Juni 2019, terhadap 161 mahasiswa Universitas Indonesia yang tinggal di asrama. IMT diperoleh dari pengukuran berat dan tinggi badan, sedangkan konsumsi minuman berpemanis diperolah menggunakan catatan minuman 7 hari. Kuesioner terstruktur, 24–hours recall dan kuesioner aktivitas fisik internasional digunakan untuk menilai sosio-demografi, asupan energi dan aktivitas fisik. Analisis data menggunakan SPSS versi 20. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 24,2% memiliki status gizi lebih/ obesitas dan 11,8% responden mengonsumsi gula tambahan di minuman lebih dari 50 gram per hari. Sebagian besar responden memiliki mengonsumsi energi tidak cukup dan aktivitas fisik rendah. Setelah disesuaikan dengan faktor-faktor perancu lain, IMT secara signifikan berhubungan konsumsi minuman berpemanis berdasarkan asupan gula tambahan (β=1,810; interval kepercayaan 95% 0,014 – 3,606; p=0,048, adj R2=0,028). Oleh karena itu, seluruh program edukasi perlu menambahkan materi tentang cara menurunkan konsumsi minuman berpemanis.


The prevalence of overweight–obesity is increasing globally every year, including Indonesia. One global concern by World Health Organization (WHO) related to overweight–obesity was high energy intake from sugar resulting on weight gain, tooth decay, and non-communicable diseases. Recently, more than 10.9% of Indonesian adults consumed energy from SSB exceeding WHO recommendation. This cross sectional study aimed to assess the association between body mass index (BMI) and SSB consumption among young adults in Universitas Indonesia, adjusted to sociodemographic status, total energy intake (TEI) and physical activity level (PAL). Data collection was conducted in Universitas Indonesia, West Java Indonesia during March–June 2019. College students living in dormitory were enrolled 161 students consecutively as respondents. Weight and height measurement was obtained for calculating the BMI, while SSB consumption was obtained by 7–days fluid record. Structured questionnaire, 24–hours recall and short international physical activity questionnaire were used for assessing sociodemographisc status, TEI and PAL. Data analysis used SPSS version 20. The result found 24.2% of respondents were overweight-obese; 11.8% of respondents consumed added sugar in SSB more than 50 g/day. More respondents had inadequate TEI and low PAL. In multivariate analysis, BMI was significantly associated with SSB consumption based on added sugar (β=1.810, 95% 0.014–3.606 of CI, p=0.048, adj R2=0.028). It is necessary to include how to reduce SSB cosumption in all education program.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Shofia
Abstrak :
ABSTRAK
Nama : Nur ShofiaProgram Studi : Ilmu Kesehatan MasyarakatJudul : Studi Validasi Cut-Off Point Obesitas menurut IMT dan Lingkar Pinggang dengan Gold Standard Persentase Lemak Tubuh pada Usia 19-45 Tahun Di Fakultas Syari rsquo;ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Tahun 2018Pembimbing : Triyanti, SKM, M.ScObesitas merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit tidak menular. IMT indeks massa tubuh dan lingkar pinggang adalah indikator antropometri yang sering digunakan untuk mendefinisikan status obesitas. Sejumlah penelitian menyatakan bahwa setiap populasi memerlukan cut-off point IMT dan lingkar pinggang yang berbeda untuk mengidentifikasi status obesitas. Studi ini bertujuan untuk menentukan cut-off point optimal dari IMT dan lingkar pinggang terhadap status obesitas pada pria dan wanita dewasa di Fakultas Syari rsquo;ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Sebanyak 272 subjek usia 19-45 tahun pria, n=116; wanita, n= 156 berpartisipasi dalam pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, dan persentase lemak tubuh. Persentase lemak tubuh diukur menggunakan BIA bioelectrical impedance analysis Omron HBF-212. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cut-off point IMT dan lingkar pinggang dari Kementerian Kesehatan Indonesia memiliki nilai sensitivitas yang rendah dalam mengidentifikasi status obesitas pada subjek penelitian. Cut-off point optimal IMT dan lingkar pinggang bagi pria dan wanita dalam penelitian ini berturut-turut adalah 24.60 kg/m2; 24.05 kg/m2; 82.60 cm; dan 76.00 cm. IMT adalah indikator antropometri yang paling baik untuk menentukan status obesitas pada pria, sedangkan pada wanita adalah lingkar pinggang. Hasil penelitian ini sebaiknya digunakan sebagai evaluasi penentuan cut-off point obesitas menurut IMT dan lingkar pinggang bagi pria dan wanita dewasa di Fakultas Syari rsquo;ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.Kata kunci:Obesitas; IMT; lingkar pinggang; persentase lemak tubuh; cut-off point.
ABSTRACT
Name Nur ShofiaStudy Program Master of Public Health Title The Validation Study of Obesity Cut off Point according to BMI and Waist Circumference with Body Fat Percentage Gold Standard in 19 45 year old Adults in The Sharia and Law Faculty of Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2018Counsellor Triyanti, SKM, M.ScObesity is a risk factor for non communicable diseases. BMI body mass index and waist circumference WC have been extensively used to define obese status. Several studies have raised that BMI and WC cut off points may be different among various populations. The objective of this study was to determine optimal cut off points for BMI and WC to identify obesity in men and women from Sharia and Law Faculty of Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. A total of 272 subjects aged 19 45 years men, n 116 women, n 156 were assessed for weight, height, WC, and body fat percentage BF . BF was determined using BIA bioelectrical impedance analysis Omron HBF 212. The existing BMI and waist circumference cut off points from Ministry of Health of Indonesia showed low sensitivity to identify obesity in our subjects. The optimal cut off points for BMI and WC for determination of obesity in men and women were 24.60 kg m2 24.05 kg m2 82.60 cm and 76.00 cm, respectively. In conclusion, BMI is the most predictive for men to define obese status, while WC is for women. These research findings should be used to evaluate new cut off points for BMI and WC to define obesity optimally in men and women in Sharia and Law Faculty of Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.Key words Obesity BMI waist circumference body fat percentage cut off point.
[Depok;Depok, Depok]: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radistrya Sekaranti Brahmanti
Abstrak :
Pendahuluan Excessive daytime sleepiness / EDS sering dikaitkan dengan penurunan performa kerja dan fatigue pada penerbang sipil. Namun, rekomendasi aeromedis untuk evaluasi EDS saat ini untuk lebih dikaitkan dengan kecurigaan apnea tidur obstruktif / OSA. Dewasa ini, sudah banyak penelitian yang menemukan hubungan antara obesitas dengan EDS terlepas adanya OSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara obesitas dengan EDS pada penerbang sipil di Indonesia dan risikonya terkena OSA. Metode Penelitian ini menggunakan disain krosseksional dan dilaksanakan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden diminta mengisi kuesioner, termasuk Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur EDS dan STOP-Bang untuk menilai risiko OSA, dilanjutkan dengan pengukuran antropometri berupa indeks masa tubuh dan lingkar pinggang untuk indikator obesitas. Hasil Didapatkan 156 responden dengan hasil prevalensi EDS sebesar 16,7%. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara obesitas dan EDS (p >0,05), tapi prevalensi EDS lebih tinggi pada responden obese berdasarkan lingkar pinggang dibandingkan indeks masa tubuh (17,8% vs 15,6%). Pada penerbang obese dengan EDS, sebagian besar memiliki risiko rendah OSA (83,3% dan 80%). Kesimpulan Terdapat prevalensi EDS yang meningkat pada penerbang sipil di Indonesia, terutama pada penerbang dengan obesitas sentral. Kejadian EDS tidak dipengaruhi oleh risiko penyakit OSA. ......Introduction Excessive daytime sleepiness / EDS is often associated with decreased work performance and fatigue in civil pilots. However, aeromedical recommendations for evaluation of EDS are associated with suspicion of obstructive sleep apnea/OSA. Currently, many studies have found an association between obesity and EDS regardless of OSA. This study aims to determine whether there is a relationship between obesity and EDS in Indonesian civilian pilots, and its risks to get OSA. Methods This study used a cross-sectional design and was carried out at the Directorate General Civil Aviation Medical. Respondents were asked to fill out questionnaires, including the Epworth Sleepiness Scale to measure EDS and STOP-Bang to assessed the risks to have OSA, followed by anthropometric measurements for body mass index and waist circumference as obesity indicators. Results We obtained 156 respondents with EDS prevalence of 16.7%. There was no significant relationship between obesity and EDS (p > 0.05), but prevalence of EDS was higher in obese respondents based on waist circumference than body mass index (17,8% vs 15,6%). Most obese pilots with EDS had low risk of OSA (83,3% and 80%). Conclusion There was an increase of EDS prevalence among Indonesian civilian pilots, especially in pilots with central obesity. The incidence of EDS was not affected by the risk of OSA.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
Abstrak :
Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663). ......There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Nadya R V
Abstrak :
Latar Belakang. Obesitas merupakan faktor risiko luaran buruk pada pasien COVID-19. Sampai saat ini studi penilaian hubungan parameter obesitas berupa nilai lemak viseral, lingkar pinggang (LP), indeks massa tubuh (IMT), dan persentase lemak tubuh secara bersamaan dengan luaran COVID-19 menggunakan metode sederhana berupa bioimpedance analyzer (BIA) masih terbatas. Keempat variabel tersebut akan dinilai kemampuannya untuk memprediksi luaran buruk selama perawatan pasien COVID-19. Metode. Penelitian ini merupakan kohort prospektif dari 261 pasien COVID-19 ringan-sedang di RSUPN Cipto Mangunkusumo rawat inap sejak Desember 2020 hingga Maret 2021. Pasien dilakukan pemeriksaan BIA, LP, dan IMT saat admisi. Dilakukan analisis multivariat regresi logistik untuk menilai kemampuan nilai lemak viseral, persentase massa tubuh, IMT dan LP untuk memprediksi luaran buruk komposit yang mencakup ARDS dan mortalitas. Hasil. Didapatkan median nilai lemak viseral 10 (setara 100 cm2 ), lingkar pinggang 93 cm, IMT 26,1 kg/m2 , dan persentase lemak tubuh 31,5%. Berdasarkan multivariat regresi logistik, lingkar pinggang secara statistik bermakna sebagai faktor yang berpengaruh terhadap luaran buruk pada pasien COVID-19 [RR 1,04 (IK 95% 1,01-1,08)] bersama dengan derajat COVID-19 [RR 4,3 (IK 95% 1,9- 9,9)], skor NEWS [RR 5,8 (IK 95% 1,1-31)] saat admisi, dan komorbiditas [RR 2,7 (IK 95% 1,1-6,3)]. Kesimpulan. Luaran buruk COVID-19 selama perawatan pasien COVID-19 terkonfirmasi dapat dipengaruhi oleh lingkar pinggang. ......Background. Obesity is a risk factor for adverse outcomes in COVID-19 patients. Until now, studies on assessing the relationship between obesity parameters in the form of visceral fat, waist circumference (WC), body mass index (BMI), and body fat percentage simultaneously with COVID-19 outcomes using a simple method such as bioimpedance analyzer (BIA) are still limited. The four variables will be assessed for their ability to predict adverse outcomes during the treatment of COVID-19 patients. Method. This study is a prospective cohort of 261 mild-moderate COVID-19 subjects at Cipto Mangunkusumo General Hospital who were hospitalized from December 2020 to March 2021. Patients underwent BIA, WC, and BMI examinations upon admission. Multivariate logistic regression analysis was performed to assess the ability of visceral fat, body mass percentage, BMI, and WC to predict poor composite outcomes, including ARDS and mortality. Results. The median value of visceral fat was 10 (equivalent to 100 cm2 ), WC was 93 cm, BMI was 26.1 kg/m2 , and body fat percentage was 31.5%. Based on multivariate logistic regression, WC was statistically significant as a factor influencing poor outcomes in COVID-19 patients [RR 1.04 (95% CI 1.01-1.08)] along with COVID-19 degree of severity [RR 4.3 (95% CI 1.9-9.9)], NEWS score [RR 5.8 (95% CI 1.1-31)] at admission, and comorbidities [RR 2.7 (95% CI 1.1) - 6.3)]. Conclusion. During the hospitalization of confirmed COVID-19 patients, poor outcomes can be affected by waist circumference.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Andreas
Abstrak :
Latar Belakang: Obesitas merupakan masalah kesehatan utama yang ditemui di berbagai negara. Massa lemak tubuh bagian atas (regio abdominal/android) berhubungan dengan profil kardiometabolik yang buruk sedangkan massa lemak tubuh bagian bawah (regio glutefemoral/gynoid) merupakan faktor protektif. Nilai rasio lemak android/gynoid (rasio A/G) yang didapatkan dari dual energy x-ray absorptiometry (DXA) merupakan prediktor parameter risiko kardiovaskular. Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas yang menjanjikan untuk evaluasi komposisi tubuh serta memiliki korelasi yang sangat baik dengan DXA dalam memprediksi massa lemak tubuh total. Namun belum terdapat studi yang menggunakan USG untuk memperkirakan rasio A/G menurut DXA. Tujuan: Mengetahui korelasi antara tebal lemak subkutis dan viseral yang diukur dengan USG di regio abdominal serta gluteofemoral dan rasio A/G yang diukur dengan DXA. Metode: Sebanyak 28 subjek penelitian dilakukan pemeriksaan DXA untuk menilai rasio A/G. Kemudian subjek menjalani pemeriksaan USG untuk menentukan tebal lemak regio abdominal dan gluteofemoral pada hari yang sama atau maksimal tujuh hari setelah pemeriksaan DXA. Dilakukan analisis korelasi rasio A/G dengan tebal lemak subkutis dan viseral regio abdominal serta tebal lemak subkutis regio gluteofemoral. Setelah itu dilanjutkan dengan mencari formula regresi linear serta formula regresi multipel untuk mencari nilai rasio A/G berdasarkan tebal lemak pada pemeriksaan USG. Hasil: Pada jenis kelamin perempuan didapatkan korelasi kuat antara tebal lemak subkutis regio abdominal (R = 0,82 ; p = 0,000), krista iliaka (R = 0,77 ; p = 0,001), abdominal atas (R = 0,80 ; p = 0,001), dan abdominal bawah (R = 0,85 ; p = 0,000) dengan rasio A/G. Korelasi sedang didapatkan antara tebal lemak subkutis di regio supraspinale (ρ = 0,62 ; p = 0,017) dan erector spinae (ρ = 0,54 ; p = 0,049), serta tebal lemak viseral abdominal di pertengahan garis xipho-umbilikal (R = 0,66 ; p = 0,011), dan 5 cm di atas umbilikal (R = 0,55 ; p = 0,041) dengan rasio A/G. Analisis multivariat kelompok jenis kelamin perempuan menghasilkan formula rasio A/G = 0,295 - 0,019(tebal lemak subkutis abdominal atas) + 0,024(tebal lemak subkutis abdominal bawah) + 0,006(tebal lemak viseral abdomen di pertengahan xipho-umbilikal) dengan nilai koefisien determinasi (R2) = 0,823. Kesimpulan: Pada jenis kelamin perempuan, semakin tebal lemak subkutis dan viseral regio abdominal, semakin besar rasio A/G. Pada jenis kelamin perempuan, tebal lemak subkutis di regio abdominal atas, tebal lemak subkutis di regio abdominal bawah, dan tebal lemak intraabdominal di pertengahan garis xipho-umbilikal dapat digunakan untuk memprediksi rasio A/G jika tidak terdapat sarana pemeriksaan DXA. .....Background: Obesity is a major health problem that is encountered in various countries. Upper body fat mass (abdominal / android region) is associated with a poor cardiometabolic profile while lower body fat mass (glutefemoral / gynoid region) is a protective factor. The value of the android / gynoid fat ratio (A/G ratio) obtained from dual energy x-ray absorptiometry (DXA) is a predictor of cardiovascular risk parameters. Ultrasonography (US) is a promising modality for evaluation of body composition and has a very good correlation with DXA in predicting total body fat mass. However, there are no studies using ultrasound to estimate the A/G ratio according to DXA. Purpose: Knowing the correlation between the thickness of the subcutanoeus and visceral fat as measured by ultrasound in the abdominal and gluteofemoral regions and the A / G ratio as measured by DXA. Methods: A total of 28 subjects completed DXA examinations to assess the A/G ratio. Then the subject underwent US examination to determine the fat thickness in abdominal and gluteofemoral region on the same day or maximum of seven days after the DXA examination. Correlation analysis was performed between A/G ratio and the thickness of the subcutaneous and visceral fat in the abdominal region, and subcutaneous fat thickness in the gluteofemoral region. We also find linear regression formulas and multiple regression formulas to find the A/G ratio value based on the thickness of fat on ultrasound examination. Result: female group showed a strong correlation between the thickness of the subcutaneous fat in the abdominal region (R = 0.82; p = 0.000), iliac crest (R = 0.77; p = 0.001), upper abdominal (R = 0.80; p = 0.001), and lower abdominal (R = 0.85; p = 0.000) with A/G ratio. A moderate correlation was obtained between the thickness of the subcutaneous fat in the supraspinale region (ρ = 0.62; p = 0.017), erector spinae (ρ = 0.54; p = 0.049), and the thickness of the abdominal visceral fat in the middle of the xipho-umbilical line (R = 0.66; p = 0.011), and 5 cm above umbilical (R = 0.55; p = 0.041) with A/G ratio. Multivariate analysis of the female group resulted in the formula: A/G ratio = 0.295 - 0.019 (thickness of upper abdominal subcutaneous fat) + 0.024 (thickness of lower abdominal subcutaneous fat) + 0.006 (thickness of abdominal visceral fat in the middle of xipho-umbilical) with a coefficient of determination (R2) = 0.823. Conclusion: In female group, the thicker the subcutaneous and visceral fat in the abdominal region, the greater the A/G ratio. For female group, the thickness of the subcutaneous fat in the upper abdominal region, the thickness of the subcutaneous fat in the lower abdominal region, and the thickness of the intraabdominal fat in the middle of the xipho-umbilical line can be used to predict the A/G ratio if DXA is not available.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anni Rahmawati
Abstrak :
Latar belakang: Prevalensi penduduk dewasa di Indonesia yang obesitas mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, demikian juga dengan angka obesitas pada karyawan. Puasa intermiten dapat menjadi alternatif solusi dalam tatalaksana obesitas, terutama terhadap ukuran lingkar pinggang dan resistensi insulin yang diketahui melalui nilai HOMA-IR. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek puasa intermiten 5:2 terhadap lingkar pinggang dan resistensi insulin pada karyawan obesitas di Jakarta. Metode: Penelitian uji klinis acak terkontrol ini dilakukan pada 50 karyawan obesitas berusia 19-59 tahun, dan memiliki lingkar pinggang ≥ 90 cm. Sampel dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diminta untuk berpuasa pada hari senin dan kamis selama 8 minggu, sementara kelompok kontrol melanjutkan pola makan seperti biasa. Tidak terdapat pembatasan kalori pada kedua kelompok. Data dikumpulkan melalui kuesioner, food recall 2x24 jam, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan resistensi insulin yang diketahui melalui nilai HOMA-IR. Analisis menggunakan uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney, dan uji t berpasangan atau Wilcoxon. Hasil: Setelah 8 minggu intervensi, perubahan lingkar pinggang pada kelompok intervensi ialah 0,00 (-5,0-8,0) cm dan pada kelompok kontrol 1 (-4,0 – 4) cm. Sementara perubahan kadar HOMA-IR pada kelompok intervensi ialah 0,29 (-17,78 – 6,84) dan kelompok kontrol -0,46 (-18,94 – 10,55). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna perubahan lingkar pinggang dan resistensi insulin pada kelompok yang berpuasa dibandingkan kelompok yang tidak melakukan puasa (p>0,05). ......Introduction: The prevalence of the obese adult population in Indonesia has increased from year to year. So is the obesity rate in employees. Intermittent fasting could be an alternative solution in managing of obesity, especially for waist circumference and insulin resistance levels. Objective: This study aims to determine the effects of intermittent fasting 5:2 on waist circumference and insulin resistance in obese employees in Jakarta. Method: This randomized controlled clinical trial was conducted on 50 obese employees aged 19-59 years, and had a waist circumference ≥ 90 cm. The subjects were divided into intervention groups and control groups. The intervention group was asked to fast on Mondays and Thursdays for eight weeks, while the control group continued their usual diet. There were no calorie restrictions in either group. Data is collected through the interview, food recall 2x24 hours, anthropometry asssessment and measurement of insulin resistance by HOMA-IR index. The data were analyzed using t-test or a Mann-Whitney test, and a paired t-test or Wilcoxon. Results: After 8 weeks of intervention, the change in waist circumference in the intervention group was 0.00 (-5.0-8.0) cm and in the control group 1 (-4.0 - 4) cm. While the change in HOMA-IR levels in the intervention group was 0.29 (-17.78 - 6.84) and the control group was -0.46 (-18.94 - 10.55). Conclusion: There was no significant difference in waist circumference and insulin resistance in the fasting group compared to the control group (p>0.05).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deviena Nabila
Abstrak :
Berdasarkan hasil RISKESDAS 2018, prevalensi obesitas masyarakat Indonesia diatas 18 tahun meningkat dari 14,8% pada 2013 menjadi 21,8% pada 2018. Salah satu model intervensi obesitas adalah dengan konsep kesiapan perubahan perilaku Transtheoretical Model. Dalam konsep ini, proses perubahan perilaku yang penting antara lain adalah emotional reevaluation (kesiapan emosi untuk berubah), weight consequence evaluation (tahu akibar kegemukan). Dengan mengetahui seberapa skor masing-masing proses khususnya pada remaja obesitas, diharapkan dapat membantu perencana program untuk merancang intervensi obesitas yang sesuai tahap kesiapan perubahan perilaku. Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang dengan menggunakan data sekunder untuk menilai skor emotional reevaluation (EMR) dan weight consequence evaluation (WCE) dengan menggunakan kuesioner berbahasa Indonesia yang sudah divalidasi. Data dianalisis menggunakan SPSS 20 menggunakan uji regresi liner. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada skor EMR dan WCE diantara murid SMA dan mahasiswa baru (p>0,05). Skor EMR murid SMA adalah 81(30-100) dan mahasiswa baru 78(25- 100). Skor WCE lebih tinggi pada mahasiswa baru, 78(20-96), sedangkan murid SMA adalah 63(30-100). BMI merupakan satu satunya variabel yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan skor EMR dan WCE. Respon emosional dan pemahaman konsekuensi remaja akhir terhadap obesitas mereka merupakan hal yang kompleks dikarenakan usia transisi dari kanak-kanak menjadi dewasa merupakan masa dimana seseorang mulai berfikir dapat mengambil keputusan secara independen namun rentan terhadap pengaruh dari interaksi sosial terutama dari orang tua dan teman sebaya. Skor WCE masih rendah terutama di kalangan murid SMA sehingga diperlukan intervensi berupa edukasi untuk meningkatkan kesadaran terhadap obesitas mereka dan konsekuensi yang dapat muncul dari obesitas, dan diperlukan penilaian proses perubahan perilaku agar dapat menentukan intervensi yang sesuai. ......RISKESDAS 2018 show the prevalence of obesity in Indonesian population >18 years old increased from 14,8% in 2013 to 21,8% in 2018. Transtheoretical model (TTM) represents behavioral change readiness of a person which can be used for an intervention. There are two main processes of change based on TTM which are emotional reevaluation (emotional readiness to change) and weight consequence evaluation (aware of their obesity and the consequences). We hope by knowing someone score of each process, especially in obese adolescence could help designing a weight management program that matches their current state of readiness to change. This is a cross- sectional study using secondary data of emotional reevaluation (EMR) and weight consequence evaluation (WCE) score using validated Indonesian version questionnaire. The data was tested with linear regression using SPSS Version 20. No significant difference for EMR and WCE score found between high school and college freshmen student (p>0,05). EMR score for high school student is 81(30-100) and college freshmen is 78(25-100). WCE score is higher in college freshmen, 78(20-96), meanwhile high school student scored 63(30-100). BMI is the only variable that has significant relationship with both EMR and WCE score. Emotional response and understanding of the consequences of their obesity is complex due to the transition from childhood to adulthood where they began to think to make their own decision but still vulnerable toward influences from social interaction, especially from parents and peers. Low WCE score, especially among high school students indicate the need of intervention through education to raise awareness of their obesity and the consequences from obesity, and the need of assessing their current process of change to make sure the right intervention was done.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>