Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5818 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendra Gunawan
"Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic excacerbative autoimmune disease with wide clinical spectrum. Gastrointestinal manifestasion is a frequent clinical manifestasion seen in SLE. Management with glucocorticoid and non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) can mask the gastrointestinal symptoms in patient with SLE. One of the etiologies of gastrointestinal manifestations in SLE is acute appendicitis. Patients with acute appendicitis usually have abdominal pain as its chief complaint. The pathophysiology of acute appendicitis can occur primarily from SLE and secondary from other causes eg: infection, inflammation, etc. When a SLE patient has acute appendicitis as its initial assessment, determining its etiology is pivotal to give comprehensive management and preventing life-threatening complications.

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun kronis eksaserbatif dengan manifestasi klinis yang sangat beragam. Manifestasi gastrointestinal merupakan manifestasi yang sering dijumpai namun dapat terjadi efek masking oleh karena penggunaan obat-obatan untuk mengontrol penyakitnya seperti obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dan kortikosteroid. Appendisitis akut merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada penderita LES. Patofisiologi appendisitis akut dapat terjadi primer oleh aktivitas penyakitnya maupun sekunder oleh sebab lain. Membedakan etiologi appendisitis akut perlu dilakukan untuk memberikan tatalaksana yang komprehensif pada penderita dengan LES."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:4 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Sri Indah Gunarti
"ABSTRAK
Systemic Lupus Erythematosus SLE adalah penyakit autoimun, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang organ tubuh sendiri. Orang dengan Lupus Odapus mengalami berbagai perubahan secara fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis yang menyebabkan mereka memiliki penghayatan akan penyakit yang dimiliki, atau disebut juga illness cognition. Penghayatan ini mempengaruhi kognisi Odapus dalam memandang penyakit dan mempengaruhi perilaku kesehatan serta coping akan permasalahan yang disebabkan oleh SLE. Penelitian bertujuan untuk mengubah illness cognition Odapus terkait penyakit SLE yang dimiliki. Penelitian merupakan penelitian kuasi-eksperimental dengan one group pretest-posttest design. Kelompok terdiri dari lima orang yang diperoleh lewat accidental sampling. Partisipan mengikuti lima kali sesi individual serta satu kali pra-sesi dan satu kali sesi follow-up. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan data kuantitatif menggunakan adaptasi alat ukur Illness Cognition Questionnaire ICQ serta data kualitatif tentang perubahan kognitif, perilaku, dan strategi pemecahan masalah sebelum dan sesudah mengikuti intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi kognitif-perilaku dapat meningkatkan illness cognition pada Odapus. Partisipan dapat menerima penyakit SLE sebagai bagian dari hidupnya, menghayati adanya berbagai hal positif dari penyakit SLE, dan memiliki harapan serta dapat melakukan kontrol terhadap berbagai keterbatasan yang diakibatkan oleh penyakit SLE. Pada akhirnya, partisipan dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh penyakit SLE secara lebih efektif.

ABSTRACT
Systemic Lupus Erythematosus SLE is autoimmune disease which the immune system damage their own body. Patient with SLE experience change in physical, economic, social, and psychology that caused a perception to their own disease, called illness cognition. This perception influence patient rsquo s cognition about their disease and predispose their health behavior and coping problem related to their disease. This study aimed to identify effectiveness of cognitive behavior therapy to change illness cognition patient about SLE. This was quasi experimental study conducted with one group pre test post test design. Group consisted of five participant recruited through accidental sampling. Participants participated in five individual sessions, preceded by a pre session and followed by a follow up session. Analysis was conducted by comparing quantitative data obtained by Indonesian adaptation of Illness Cognition Questionnaire ICQ and qualitative data showing changes in participants rsquo cognition, behavior, and problem solving before and after the intervention took place. This study showed that cognitive behavior therapy can successfully enhance illness cognition in patient with SLE. Participants may receive SLE disease as a part of their life, appreciate many positive things of SLE, have hope also can control various limitations caused by SLE. Participants can improve their ability to coping with problem related to SLE more effectively."
2018
T49079
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemala Emrizal
"Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE), an autoimmune disease, can cause damage and impairment in the nervous system. Patients who had any manifestation of neurology can be classified as patients with Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus (NPSLE). One of the most frequent NPSLE manifestation is anxiety disorder. The presence of anxiety disorder is believed to be correlated with their ability to carry out daily activities. This study aims to see the correlation between anxiety disorder and quality of life (QOL) in patients with SLE. Method: an analitic cross-sectional study was done. The data were collected by distributing validated questionnaires to patients diagnosed with SLE in the outpatient clinic of dr. Hasan Sadikin General Hospital. Quality of life and anxiety disorder was measured using Short From-36 (SF-36) and Zung Self-Rating Anxiety Scale (Zung-SAS), respectively. Normality test was done before correlating the variables using Pearson method. Result: Forty-six SLE patients fitted with the inclusion criteria were participated in the study. The assessment using Zung-SAS showed that 9 (19.56%) correspondents had mild–moderate anxiety, and 1 (2.17%) had severe anxiety. The analysis of SF-36 showed the means of Physical Component Summary (PCS) and Mental Component Summary (MCS) which were 45.18 ± 8.23 and 47.11± 9.78, in order. The correlation test of Zung-SAS with PCS and MCS showed the result of r= -0.651 (p < 0,01) and -0.654 (p < 0,01), respectively. Conclusion: There is a significant negative correlation between anxiety disorder and QOL in patients with SLE. The result of this study showed that the high degree of ones anxiety was in a parallel line with their low level of QOL, so it is important to do an early detection and prevention of anxiety disorder in SLE patients."
Jakarta: University of Indonesia School of Medicine, 2019
616 IJR 11:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Deta Annisa Nalayani
"ABSTRAK
SLE atau lupus yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah di perkotaan. Perjalanan penyakit SLE/lupus yang bersifat episodik berulang yang diselingi periode sembuh membuat klien merasakan kecemasan dan ketidakberdayaan yang diakbatkan dari kondisi penyakitnya. Karya ilmiah akhir ners ini akan menganalisis mengenai asuhan keperawatan masalah ketidakberdayaan dan ansietas pada klien dengan penyakit SLE/lupus selama 4 hari. Tindakan keperawatan bertujuan untuk mengontrol perasaan tidak berdaya dengan membuat klien mampu mengambil keputusan yang efektif untuk mengendalikan situasi kehidupannya serta untuk mengeatasi kecemasan. Hasil evaluasi yang dilakukan terlihat dalam keseharian klien selama klien mendapatkan perawatan, klien menunjukkan perkembangan dan berkurangnya tanda gejala masalah tersebut.Dibutuhkan upaya seperti menjaga keefektifan koping, mengurangi/menjauhi stres, dan sistem dukungan support system yang baik dari lingkungan di sekitar klien untuk membantu klien untuk mengurangi masalah terutama masalah psikososial yang dirasakan klien. Kata Kunci :Ansietas, asuhan keperawatan, ketidakberdayaan, sistemik lupus eritematosus SLE /lupus

ABSTRACT
SLE /lupus is not contagious diseases which prevalence increases each year and causing a problem especially in urban areas. The course of episodic SLE / lupus disease recurrent interspersed with periods of recovery makes the client feel the anxiety and powerlessness implied by the condition of the illness. This final paper will analyze the nursing care of powerlessness and anxiety in clients with SLE / lupus disease for 4 days. Nursing actions aim to control feelings of powerlessness by allowing clients to make effective decisions to control their life situations and to overcome anxiety. The results of evaluations made visible in the client 39;s daily life as long as the client gets treatment, the client shows the development and decrease of symptoms of the problem. It takes efforts such as maintaining the effectiveness of coping, reducing / avoiding stress, and a good support system from the environment around the client to help clients reducing the problem, especially the psychosocial problems felt by the client. Keywords: Anxiety, nursing care, powerlessness, systemic lupus erythematosus SLE /lupus."
2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arrum Shafa Maulidiazmi Umar
"Penelaahan ini dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai peran faktor stres terhadap kejadian Lupus Eritematosus Sistemik, khususnya pada aspek fisik dan aspek psikologis penyintas LES. Penelaahan kualitatif ini menggunakan desain literature review. Hasil penelaahan ditemukan 9 jurnal internasional yang meneliti peran faktor stres terhadap aspek fisik, dan 11 jurnal internasional yang meneliti peran faktor stres terhadap aspek psikologis penyintas LES. Sebagian jurnal internasional berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Hanya terdapat dua jurnal yang berasal dari Asia (Korea dan Jepang). Jurnal internasional terlama yang digunakan dalam penelaahan ini adalah jurnal oleh Wekking, et al yang dipublikasi pada tahun 1991. Sedangkan jurnal internasional terbaru adalah jurnal oleh Sumner, et al pada tahun 2019. Dampak dari faktor stres lebih mendominasi pada aspek psikologis pasien LES. Kesimpulan dari penelaahan ini, yaitu stres dapat memicu flare dan memperburuk gejala LES. Jenis stres yang paling berpengaruh dalam munculnya flare dan perburukan gejalanya adalah daily stress (interpersonal dan stres dari lingkungan pekerjaan). Daily stress juga menimbulkan dampak pada emosional, kognitif, dan perilaku pasien. Hal tersebut didukung oleh persepsi pasien, dan penelitian perbandingan antara pasien LES dengan kontrol maupun pasien penyakit autoimun lain. Intervensi kognitif-perilaku dan psikologis dapat menjadi alternatif dalam penurunan tingkat stres pasien LES.

The focus of this study is to know about the role of stress in Systemic Lupus Erythematosus, especially on the physical aspects and psychological aspects of SLE patients. This qualitative study uses a literature review design. The study found 9 international journals that discussed the role of factors in physical aspects, and 11 international journals that discussed the role of factors in the psychological aspects of SLE patients. Most international journals were from the United States and Europe. There were only two journals from Asia (Korea and Japan). The oldest international journal used in this study was journal by Wekking, et al published in 1991. The latest international journal used in this study was journal by Sumner, et al in 2019. The conclusion from this review, that stress can trigger flares LSE symptoms. Source of stress that can trigger flares and worsen symptoms most is daily stress (interpersonal and stress from the work environment). Daily stress also affects the emotional, cognitive, and behavior of patients. These facts supported by patients' perceptions, and studies between SLE patients and controls as well as other autoimmune disease patients. Cognitive-behavioral and psychological interventions can be alternatives in reducing the stress level of SLE patients."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Amira Tjandrasari
"LES merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dan banyak terjadi pada  anak remaja dengan rata-rata onset usia 11-12 tahun. Sekitar 10% dari remaja dengan penyakit kronis seperti LES mengalami masalah psikososial, termasuk masalah emosi seperti depresi dan kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelatihan kecakapan hidup pada anak dengan LES dapat memperbaiki masalah emosi. Penelitian dilakukan dengan 30 subjek remaja perempuan dengan LES yang sudah mendapatkan pengobatan, dan nilai SLEDAI 0-5. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak tanpa penyamaran, perlakuan dan kontrol.  Pelatihan kecakapan hidup diberikan pada kelompok perlakuan sebanyak 1 kali dalam kelas. Perbaikan masalah emosi dinilai dengan membandingkan nilai SDQ sebelum pelatihan dan 4 minggu setelah pelatihan. Penelitian melibatkan 30 remaja perempuan dengan LES dengan usia rerata 14 tahun. Sebanyak 20/30 subjek memiliki nilai SDQ normal, 4/30 dengan SDQ borderline dan 6/30 dengan SDQ abnormal. Terdapat perbedaan bermakna selisih masalah emosi pada kedua kelompok (p: 0,025; effect size: 0,87). Pada kelompok yang mendapatkan pelatihan terdapat perbaikan nilai SDQ total (p: 0,001), nilai masalah emosi (p: 0,002), nilai masalah perilaku (p: 0,027) dan nilai masalah perilaku hiperaktif (p: 0,040) dibandingkan dengan awal studi. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya terdapat perubahan nilai masalah dengan teman sebaya (p: 0,011). Selain itu ditemukan pula perbaikan masalah emosi pada kelompok pelatihan yakni keluhan sakit fisik (p: 0,021), rasa khawatir (p: 0,020) dan perasaan gugup (p: 0,020). Studi ini menyimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup-modul pengelolaan emosi efektif dalam memperbaiki masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES secara signifikan, terutama gugup atau sulit berpisah dengan orangtua/pengasuhnya pada situasi baru, mudah kehilangan rasa percaya diri dan banyak kekhawatiran atau sering tampak khawatir.

SLE is a chronic autoimmune inflammatory disease and many occur in adolescents with an average age of onset of 11-12 years. About 10% of adolescents with chronic diseases such as SLE experience psycho-mental problems, including emotional problems such as depression and anxiety. The aim of this study is to determine whether life skills training in children with SLE can improve emotional problems. The study was conducted with 30 female adolescent with SLE who had received treatment and SLEDAI score 0-5. Subjects were divided into 2 groups randomly, not-blinding, experiment and control. Life skills training is given to the experiment group one time in group. Emotional problem improvement was assessed by comparing SDQ scores before training and 4 weeks after training. The study involves a total of 30 female adolescent with SLE with an average age of 14 years. A total of 20/30 subjects had normal SDQ values, 4/30 with borderline SDQ and 6/30 with abnormal SDQ. There were significant differences in the difference between emotional problems in the two groups (p: 0.025; effect size: 0.87). In the group that received training there was an improvement in the total SDQ value (p: 0.001), the value of emotional problems (p: 0.002), the value of conductive problems (p: 0.027) and the value of hyperactive behavior problems (p: 0.040) compared to the beginning of the study. Whereas in the control group there were only changes in the value of problems with peers (p: 0.011). In addition it also found improvements in emotional problems in the experiment group, they are complaints of physical pain (p: 0.021), anxiety (p: 0.020) and nervous feelings (p: 0.020). This study concludes that life skills training-emotion management module is significantly effective in improving emotional problems in female adolescent with LES, especially nervous or having difficulty separating from parents/caregivers in new situations, easily losing self-confidence and many worries or often seems worried."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanah Suzan
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien lupus eritematosus sistemik perempuan usia dewasa.
Metode: Peneltian ini merupakan penelitian potong lintang pada 36 pasien SLE perempuan dewasa dari Poliklinik Reumatologi di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data subyek meliputi usia, klasifikasi penyakit SLE, obat-obatan yang digunakan, tipe kulit, penggunaan tabir surya, bagian tubuh yang tertutup pakaian, lama terpajan sinar matahari, indeks massa tubuh (IMT), asupan vitamin D, dan kadar 25(OH)D serum.
Hasil: Sebagian besar (41,7%) subyek berusia antara 36–45 tahun, tergolong klasifikasi SLE ringan (52,8%), selalu menggunakan tabir surya (63,9%), tipe kulit IV (69,4%), dan memakai pakaian yang menutupi seluruh/sebagian besar tubuh (69,4%), serta tidak terpajan dan terpajan sinar matahari <30 menit (77,8%). Semua subyek menggunakan kortikosteroid. Separuh subyek memiliki berat badan normal berdasarkan IMT, sebagian besar (55,6%) subyek mempunyai asupan vitamin D cukup berdasarkan AKG 2012, dan 28 subyek (77,8%) menderita defisiensi vitamin D ( kadar 25(OH)D serum <50 nmol/L). Didapatkan korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada subyek penelitian (r = 0,52; P <0,01).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien SLE perempuan dewasa (r = 0,52; P <0,01).

Objective: the aim of the study is to investigate the correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 36 adult woman patients with SLE from Rheumatology Clinic of the Departemen of Internal Medicine Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Data collection included age, SLE classification, drugs, skin type, use of sunscreen, part of the body covered by clothes, length of sun exposure, body mass index (BMI), vitamin D intake, and serum 25(OH)D concentration.
Results: Most of the subjects (41.7%) aged 36–45 years old, classified as mild SLE (52.8%), always used sunscreen (63.9%), skin type IV (69.4%), wearing clothes that covered all or almost of the body (69.4%), and not exposed or had sun exposure less than 30 minute (77.8%). All subjects used corticosteroid. Based on BMI half of the subjects had normal body weight, Based on AKG 2012 most (55.6%) had adequate vitamin D intakes, and 28 subjects (77.8%) were in vitamin D-deficient (serum 25(OH)D concentration <50 nmol/L). There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration in subjects (r = 0.52; P <0.01).
Conclusion: There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients (r = 0.52, P <0.01).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Gunawan
"Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic autoimmune disease with various clinical disorders and frequent exacerbations. Psoriasis vulgaris is a common skin disorder which affect 1-3% of general populations. The pathophysiology regarding the coexistence of these diseases is not fully understood. Therapeutic challenges arise since the treatment one of these diseases may aggravate the other. We reported two cases of SLE with psoriasis vulgaris with clinical manifestations as recurrent erythroderma with photosensitivity. Improvement in clinical condition was observed after treating the patients with methylprednisolone combined with methotrexate. The coexistence SLE and psoriasis are considered very rare. The presence of this overlap syndrome may precede one another or occur simultaneously and is closely related with the presence of anti-Ro/SSA. Thus, it raises new challenge regarding its relationships, diagnosis, therapeutic, and management.

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik eksaserbatif dengan manifestasi klinis yang beragam. Psoriasis vulgaris adalah penyakit kulit yang menyerang 1-3% dari populasi. Patofisiologi mengenai tumpang tindihnya penyakit tersebut belum sepenuhnya tersendiri dalam tatalaksana kedua penyakit tersebut. Dua orang laki-laki dengan LES dan psoriasis vulgaris dilaporkan dengan manifestasi klinis eritroderma berulang dengan fotosensitif. Perbaikan klinis dicapai setelah terapi kombinasi metilprednisolon dengan metotrexat. Adanya LES yang tumpang tindih psoriasis vulgaris merupakan suatu fenomena klinis yang langka. Hubungan kedua penyakit tersebut dapat berupa saling mendahului atau tumpang tindih pada suatu waktu yang sama dan memiliki hubungan dengan adanya anti-Ro/SSA. Adanya tumpang tindih dari dua penyakit tersebut memberikan paradigma baru dalam patofisiologi, diagnosis, dan tatalaksana di masa mendatang."
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 UI-IJIM 50:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rike Triana
"Kerusakan intrarenal pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Acute Kidney Injury (AKI) menyebabkan zat sisa metabolisme tidak dapat terbuang melalui urin serta terjadi kelebihan cairan. Terapi farmakologi seperti kortikosteroid dan imunosupresan turut memperparah overload cairan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi manajemen cairan pada pasien SLE dengan komplikasi AKI terhadap masalah overload cairan. Manajemen cairan yang dilakukan pada pasien meliputi restriksi cairan; pemantauan asupan dan keluaran cairan; tekanan darah, edema dan asites, nilai laboratorium: ureum, kreatinin dan albumin; edukasi manajemen cairan serta kolaborasi pemberian diuretic dan albumin. Hasil intervensi menunjukkan balans cairan mencapai target (-) 1000 cc, asites berkurang dengan penurunan lingkar abdomen dari 105 menjadi 84 cm, adanya perbaikan fungsi ginjal dengan penurunan ureum kreatinin, pengetahuan pasien terkait pentingnya restriksi cairan meningkat dan pasien menunjukkan penerimaan terhadap perawatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid dan imunosupresan pada pasien SLE harus disertai dengan intervensi manajemen cairan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan intervensi manajemen cairan untuk dilakukan pada pasien SLE dengan komplikasi acute kidney injury.


Intrarenal damage in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with complicated Kidney Injury (AKI) causes metabolic waste substances to not be wasted through urine and excess fluid occurs. Pharmacological therapies such as corticosteroids and immunosuppressants also contribute to fluid overload. This study aims to analyze fluid management in SLE patients with complications of AKI to overcome fluid overload. Fluid management performed on patients includes fluid restriction; monitoring fluid intake and output; blood pressure, edema and ascites, laboratory values: urea, creatinine and albumin; fluid management education and collaboration in the administration of diuretics and albumin. The results of the intervention showed that the fluid balance reached the target (-) 1000 cc, ascites decreased with a decrease in the abdominal circumference of 105 to 84 cm, an improvement in kidney function with a decrease in creatinine ureum, the patient's knowledge regarding the importance of fluid restriction increased and the patient showed acceptance of treatment. These results indicate that corticosteroid therapy and immunosuppressants in SLE patients must be accompanied by fluid management interventions. Therefore, the authors recommend fluid management interventions to be performed in SLE patients with complications of acute kidney injury."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>