Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134428 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eggi Respati
"Pendahuluan: Tumor Wilms juga dikenal sebagai nephroblastoma, pertama kali dijelaskan oleh Thomas F. Rance pada tahun 1,814 adalah salah satu neoplasma ganas padat yang paling umum pada anak-anak. Modalitas terapi untuk tumor Wilms adalah pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi. Pembedahan adalah perawatan yang paling penting dan prosedur pembedahan yang dilakukan secara tepat dapat menentukan stadium tumor Wilms dan perencanaan perawatan yang lebih akurat. Manajemen multidisiplin tumor Wilms telah menghasilkan peningkatan yang mencolok dalam kelangsungan hidup lebih dari 85% saat ini dan telah menjadi paradigma untuk terapi kanker yang sukses. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik penyakit dan hasil pengobatan pasien tumor Wilms di RSUP Adam Malik selama 5 tahun.
Metode: Kami meninjau secara retrospektif pasien Tumor Wilms yang telah menjalani operasi dan terapi lain di rumah sakit rujukan nasional kami dalam interval antara Januari 2013 dan Desember 2018. Fitur demografi, riwayat obstetrik, stadium tumor, hasil histopatologi dan radiografi, terapi dan hasil dievaluasi. Analisis deskriptif menggunakan frekuensi digunakan untuk menggambarkan variabel penelitian.
Hasil: Total 50 pasien (54% perempuan) dengan tumor Wilms dengan usia rata-rata 56 bulan diidentifikasi. Frekuensi stadium kasus kami adalah: stadium I (24%), stadium II (12%), stadium III (28%) dan stadium IV (36%). Nefrektomi dilakukan pada 16 pasien (32%). Mayoritas orang tua (72%) memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Enam puluh delapan persen orang tua menghadiri perawatan antenatal kurang dari empat kali selama kehamilan. Rerata usia kehamilan dari ibu adalah 24,96 ± 4,370. Rata-rata berat badan lahir dan panjang lahir berada dalam kisaran normal; 2878±415, masing-masing 50,32±3,50. Ditemukan korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan stadium tumor (p=0,002) dengan pelayanan antenatal (p=0,011). Sementara faktor lain seperti usia, jenis kelamin, pengobatan pilihan, usia ibu saat melahirkan, berat badan lahir, dan panjang lahir tidak menunjukkan korelasi yang signifikan.
Kesimpulan: Luaran tumor wilms pada penelitian lebih buruk daripada center lain di Asia dan dunia. Studi ini menunjukkan bahwa latarbelakang penddikan dan asuhan antenatal adalah dua faktor yang berhubungan signifikan terhadap staging tumor pada studi kami

Introduction and Objectives: Wilms tumor also known as nephroblastoma, first described by Thomas F. Rance in 1.814 is one of the most common solid malignant neoplasms in children. Therapy modalities for Wilms tumor are surgery, chemotherapy, and radiotherapy. Surgery is the most important treatment and surgical procedure that is done precisely can determine the staging of Wilms tumor and the treatment planning more accurately. The multidisciplinary management of Wilms tumor has resulted in striking improvement in survival of more than 85% nowadays and has become a paradigm for successful cancer therapy. We try to evaluate outcome treatment for patient with wilms tumor
Method: : We retrospectively reviewed the Wilms Tumor patient who had undergone surgery and other therapy in our national referral hospital in the interval between January 2013 and December 2018. Demographic feature, obstetric history, tumor stage, histopathologic and radiographic result, therapy and outcome were evaluated. Descriptive analysis using frequencies was used to describe the study variables.
Results: Total of 50 patients (54% female) with Wilms tumor with a median age of 56 months were identified. The stage frequencies of our cases were: stage I (24%), stage II (12%), stage III (28%) and stage IV (36%). Nephrectomy was performed in 16 patients (32%). The majority of parents (72%) have low educational level. Sixty-eight percent parent attended antenatal care less than four times during pregnancy. Mean of pregnancy age from the mother is 24,96 ± 4,370. The average birth weight and birth length were within the normal range; 2878±415, 50.32±3.50 respectively. Significant correlations were found between tumor stage educational level (p=0,002), and antenatal care (p=0,011). While other factors such as age, gender, treatment of choice, mother’s age at delivery, birth weight, and birth length failed to show any significant correlations.
Conclusion: Outcome of Wilms tumor in our center were poorer than worldwide Wilms Tumor, even in Asia. Furthermore, our study showed that maternal educational background and antenatal care were the only two factors significantly associated with tumor stage in our study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said Syabri Albana
"Tujuan: Untuk mengetahui gambaran tingkat Toksisitas Finansial dan kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga pada pasein kanker yang berobat menggunakan asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Instalasi Radioterapi pada Rumah Sakit pusat rujukan nasional di Indonesia.
Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan metode potong lintang, dilakukan wawancara pada pasien kanker yang telah selesai menjalani terapi radiasi dengan menggunakan kuesioner COST-FACIT untuk menilai Toksisitas Finansial, serta pengambilan data demografi, sosial ekonomi, status penyakit, serta pengaruh Toksisitas Finansial terhadap kebutuhan dasar rumah tangga dengan menggunakan formulir dan data sekunder rekam medis.
Hasil: Totat terdapat 105 pasien yang menyelesaikan pengisian kuesioner COST- FACIT. Delapan puluh tiga pasien (79%) mengalami Toksisitas Finansial, dimana 40 pasien (38,1%) mengalami Toksisitas Finansial Grade 1, 41 pasien (39%) Grade 2, dan 2 pasien (1,9%) pasien dengan Grade 3. Pada analisa univariat didapatkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, moda transportasi, indikasi radiasi, status covid, dan overall treatment times menjadi tujuh kategori yang secara signifikan berhubungan dengan Toksisitas Finansial, namun hanya jenis kelamin dan tingkat pendidikan yang berhubungan signifikan pada analisa Multivariat. Pasien yang mengalami Toksisitas Finansial secara signifikan berhubungan dengan kesulitan dalam pembayaran energi, pembayaran perumahan, dan pembiayaan transportasi.
Kesimpulan: Pasien laki-laki memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami Toksisitas Finansial dibandingkan dengan perempuan, dimana faktor pendidikan yang lebih rendah menjadi faktor yang bersama-sama dengan jenis kelamin menjadi prediktor terhadap nilai COST FACIT dalam menilai Toksisitas Finansial. Pasien- pasien yang mengalami Toksisitas Finansial juga akan mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga.

Purpose: To determine the level of Financial Toxicity and the ability to fulfill basic household needs in cancer patients seeking treatment using National Health Insurance (JKN) in Radiotherapy Installations at National Referral Center Hospitals in Indonesia.
Method: Descriptive analytical research using a cross-sectional method, interviews were conducted with cancer patients who had completed radiation therapy using the COST-FACIT questionnaire to assess Financial Toxicity, as well as collecting demographic, socio-economic data, disease status, and the influence of Financial Toxicity on basic needs household using forms and medical records.
Results: A total of 105 patients completed the COST-FACIT questionnaire. Eighty- three patients (79%) experienced Financial Toxicity, of which 40 patients (38.1%) experienced Grade 1 Financial Toxicity, 41 patients (39%) Grade 2, and 2 patients (1.9%) had Grade 3. In the univariate analysis, it was found that gender, education level, income level, mode of transportation, radiation indication, covid status, and overall treatment times were seven categories that were significantly related to Financial Toxicity, but only gender and education level were significantly related in the Multivariate analysis. . Patients experiencing Financial Toxicity were significantly associated with difficulties with energy payments, housing payments, and transportation financing.
Conclusion: Male patients have a higher risk of experiencing Financial Toxicity compared to women, where lower education is a factor that together with gender is a predictor of the COST FACIT value in assessing Financial Toxicity. Patients who experience Financial Toxicity will also experience difficulty in meeting basic household needs.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Prawira Putra
"Pendahuluan: Pada tahun 2021, penyakit kanker menggantikan stroke dan penyakit ginjal sebagai penyakit kedua penyebab klaim jaminan kesehatan nasional terbesar di Indonesia. Penelitian sebelumnya telah meneliti dampak determinan sosial kesehatan terhadap beban finansial kanker, namun tidak pada pasien kanker yang menjalani radioterapi.
Tujuan: Mengetahui insidensi dan prediktor kebangkrutan finansial pasien kanker yang menjalani radioterapi dalam jaminan kesehatan nasional di pusat rujukan bervolume tinggi di Jakarta.
Metode: Studi kohort campuran ini merekrut pasien pertama radioterapi pada Januari 2022-Maret 2023. Pasien diikuti sampai enam bulan setelah radioterapi. Analisis data dilakukan untuk mengidentifikasi kejadian dan prediktor kebangkrutan finansial, dengan kematian sebagai luaran kompetitor.
Hasil: Total 115 pasien berhasil direkrut. Rerata usia peserta adalah 50 tahun dan 67% adalah perempuan. Enam bulan setelah radioterapi, 11,3% meninggal dan 36,5% mengalami kebangkrutan finansial. Prediktor kebangkrutan finansial yang teridentifikasi adalah pendidikan, pekerjaan, asal tempat tinggal, lokasi keganasan, dan indikasi radioterapi. Setelah menganggap variabel lain konstan, sektor informal dan tidak bekerja memiliki kemungkinan kebangkrutan finansial 99,45 kali (95% CI, 51,75–191,14) dan 36,93 kali (95% CI, 12,42–109,77) dari sektor formal. Indikasi adjuvan/neoadjuvan dan paliatif meningkatkan kemungkinan kebangkrutan finansial 17,65 kali (95% CI, 4,614–67,476) dan 22,54 kali (95% CI, 11,934–42,589). Setelah mempertimbangkan efek perancu usia dan transportasi, pengeluaran out of pocket tidak memprediksi kebangkrutan finansial dan kematian. Kesimpulan: Prediktor kebangkrutan finansial dalam penelitian ini berguna untuk pembuat kebijakan dalam intervensi beban keuangan pasien kanker di Indonesia. Rekomendasi pendekatan terbaik adalah intervensi populasi pasien sektor informal dan tidak bekerja, serta dengan indikasi radiasi adjuvan/neoadjuvan dan paliatif.

Introduction: In 2021, cancer replaced stroke and kidney disease as the second largest cause of national health insurance claim in Indonesia. Previous research has examined the impact of social determinants of health on the financial burden of cancer, but not in cancer patients undergoing radiotherapy.
Objectives: To determine the incidence and predictors of financial catastrophe in cancer patients undergoing radiotherapy within the setting of national health insurance at our high-volume cancer referral center in Jakarta.
Methods: This mixed cohort study recruited patients first receiving radiotherapy within January 2022 to March 2023. Patients were followed up to six months after radiotherapy. Data analysis was conducted to identify incidence and predictors of financial catastrophe, considering death as a competing outcome.
Results: A total of 115 patients were successfully recruited. The mean age of participants was 50 years and 67% were women. Six months after radiotherapy, 11.3% died and 36.5% experienced financial catastrophe. The identified predictors of financial catastrophe were education, employment, place of residence, cancer site, and radiotherapy indication. After holding other variables constant, the informal and unemployed sectors have 99.45 times (95% CI, 51.75–191.14) and 36.93 times (95% CI, 12.42–109.77) odds of financial catastrophe than the formal sector. Adjuvant/neoadjuvant and palliative indications increased the odds of financial bankruptcy by 17.65 times (95% CI, 4.614–67.476) and 22.54 times (95% CI, 11.934–42.589), respectively. After adjusting for confounders, out-of-pocket spending did not significantly predict financial catastrophe or mortality. Conclusions: The predictors of financial catastrophe identified in this study will be useful in informing policymakers to give an impactful intervention to reduce the overlooked financial burden for cancer patients in Indonesia. The recommended approach is intervention in the informal sector and non-working population, as well as those with adjuvant/neoadjuvant and palliative radiation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wirda Syari
"Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, diketahui bahwa terapi rivaroxabanmemiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan terapi kombinasi UFH warfarin untuk pengobatan trombosis vena dalam deep vein thrombosis/DVT . Akan tetapi,masih sedikit dokter di RS Kanker Dharmais yang memberikan terapi rivaroxabanuntuk pengobatan DVT. Penelitian evaluasi ekonomi parsial ini bertujuan untukmenganalisis efektivitas/outcome dan besarnya biaya yang dibutuhkan dari perspektifrumah sakit antara pemberian terapi rivaroxaban dan terapi kombinasi UFH warfarin untuk pengobatan DVT pada pasien kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun2016 -; 2018.
Karena keterbatasan jumlah pasien yang mendapatkan terapi rivaroxabanselama 3 - 6 bulan, studi ini menganalisis biaya dan efektivitas/outcome dari pasienyang mendapatkan terapi selama 1 bulan. Efektivitas/outcome yang diukur adalahintermediate outcome, yang meliputi lama hari rawat, kesembuhan, dan kejadianperdarahan. Biaya dihitung berdasarkan biaya yang dibebankan kepada pasien charge ,yang meliputi biaya obat, pemeriksaan penunjang, tindakan, serta administrasi danakomodasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk efektivitas/outcome terapi rivaroxaban, sebagian besar pasien tidak mendapatkan perawatan rawat inap, 40 pasien dinyatakan sembuh dari DVT, dan tidak ada pasien yang mengalami kejadian perdarahan. Rata-rata biaya terapi rivaroxaban hingga mencapai outcome yang diharapkan adalah Rp 8.824.791,00. Untuk efektivitas/outcome terapi kombinasi UFH warfarin, sebagian besar pasien memiliki lama hari rawat antara 8 -; 14 hari, 46 pasien dinyatakan sembuh dari DVT, dan tidak ada pasien yang mengalami kejadian perdarahan. Rata-rata biaya terapi kombinasi UFH warfarin hingga mencapai outcome yang diharapkan adalah Rp 13.201.698,00.

Based on previous studies, rivaroxaban therapy has several advantages compared to combination therapy UFH warfarin for the treatment of deep vein thrombosis DVT. However, the use of rivaroxaban in Dharmais Cancer Hospital is still low. This partial economic evaluation study aims to analyze cost and consequence of rivaroxaban therapy and combination therapy UFH warfarin for DVT treatment in cancer patients at the Dharmais Cancer Hospital during 2016 - 2018. Data collection was done using cohort retrospective and individual unit of analysis.
Due to limited number ofpatient treated with rivaroxaban therapy within 3 - 6 months, we estimated the cost and consequence related to patients who were successfully treated in one month. The consequence was the intermediate outcome, i.e length of stay, recovery, and the occurrence of bleeding. The cost was calculated based on hospital perspective including drugs, laboratory tests, procedures, as well as the administrative and accommodation costs.
The results showed that patients with rivaroxaban therapy were not admitted to inpatient care, 40 of patients were recovered from DVT, and none of the patients experienced bleeding. The average cost of rivaroxaban therapy to reach the expected outcome was Rp 8,824,791.00. The study also showed that the outcome of combination therapy UFH warfarin were length of stay between 8 to 14 days, 46 of patients were recovered from DVT, and none of the patients experienced bleeding. The average cost of combination therapy UFH warfarin to reach the expected outcome was Rp 13,201,698.00.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henry Kodrat
"Pendahuluan: Pada penderita kanker selalu terjadi stres oksidatif yang ditandai dengan kadar MDA (malondialdehyde) yang tinggi dan aktivitas katalase yang rendah. Kanker terjadi karena ketidakseimbangan antara proses proliferasi sel dengan apoptosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara apoptosis dengan kadar MDA dan aktivitas antioksidan enzimatik katalase pada pasien kanker leher rahim stadium lokal lanjut.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi cross sectional terhadap 16 pasien kanker leher rahim stadium lokal lanjut yang memenuhi kriteria inklusi dari Juli sampai Agustus 2013. Pengambilan darah pasien dilakukan sebelum radiasi dimulai. Pemeriksaan kadar MDA dan aktivitas katalase dilakukan dengan metode spektrofotometri. Indeks apoptosis dilakukan dengan motode TUNEL.
Hasil: Didapatkan rerata indeks apoptosis sebesar 11,1 ± 0,59 sel; rerata kadar MDA serum sebesar 7,97 ± 0,26 nmol/mL dan rerata aktivitas katalase serum sebesar 0,98 ± 0,04 U/mL. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna (r=+0,51; p=0,043) antara indeks apoptosis dengan kadar MDA dan korelasi negatif lemah yang tidak bermakna (r=-0,02; p=0,94) dengan aktivitas katalase.
Kesimpulan: Pada penderita kanker leher rahim stadium lokal lanjut terjadi stres oksidatif yang ditandai dengan kadar MDA serum yang tinggi dan aktivitas katalase serum yang rendah dan terjadi peningkatan indeks apoptosis. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara indeks apoptosis dengan kadar MDA dan korelasi negatif lemah yang tidak bermakna dengan aktivitas katalase.

Introduction: Oxidative stress always occurs in cancer patient, which characterized with high level of Malondialdehyde (MDA) and low activity of catalase enzymatic antioxidant. Cancer occurs due to imbalance between cell proliferation and cell death due to apoptosis. The purpose of this study to determine the correlation between apoptosis with MDA level and catalase enzymatic antioxidant activity in patients with locally advanced cervical cancer.
Methods: This is a cross sectional study to 16 locally advanced cervical cancer patients who meet the inclusion criteria from July to August 2013. Blood sampling was done before patients began radiation. MDA level and catalase activity was measured by spectrophotometry. Apoptotic index was conducted by TUNEL method.
Results: The mean of apoptotic index is 11,1 ± 0,59 cell, the mean of serum MDA levels is 7.97 ± 0.26 2 nmol /mL, and the mean of serum catalase activity is 0.98 ± 0.04 U /mL. There was a significant moderate positive correlation (r = +0.51, p = 0.043) between the apoptotic index with serum MDA levels and a non-significant weak negative correlation (r = -0.02, p = 0.94) between the apoptotic index with serum catalase activity.
Conclusion: This study showed that oxidative stress occurs in patients with locally advanced cervical cancer, which characterized with high level of serum MDA and low activity of serum catalase. There is an increase in apoptotic index in patients with locally advanced cervical cancer. There was a significant moderate positive correlation between apoptotic index with MDA levels and a non-significant weak negative correlation with catalase activity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58551
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Sulistyawati
"Fatigue merupakan kondisi yang dimanifestasikan dengan perasaan lelah, kehilangan energi, dan tidak memiliki keinginan untuk mengerjakan apapun. Anak dengan kanker lebih sering mengalami fatigue yang dapat berdampak pada kualitas hidupnya. Karya Ilmiah Akhir ini mengaplikasikan Teori Kenyamanan dalam asuhan keperawatan anak dengan kanker yang menjalani kemoterapi. Fatigue menjadi masalah dalam konteks kenyamanan fisik yang berpengaruh terhadap konteks kenyamanan psikospiritual, sosiokultural, dan lingkungan. Intervensi dilakukan melalui inovasi pemberian relaksasi otot progresif dengan frekuensi 1x sehari pada pagi hari dengan durasi 15 menit selama 5 hari berturut-turut. Evaluasi secara klinis menunjukkan adanya penurunan fatigue setelah pemberian intervensi, meskipun penurunan skor fatigue tidak bermakna secara signifikan. Teori Kenyamanan dapat diaplikasikan dalam asuhan keperawatan untuk mengatasi fatigue pada anak dengan kanker melalui penerapan relaksasi otot progresif.

Fatigue is a condition that is manifested by feeling tired, losing energy, and not having the desire to do anything. Children with cancer more often experience fatigue which can have an impact on their quality of life. This final scientific work applies the Theory of Comfort in nursing care for children with cancer undergoing chemotherapy. Fatigue becomes a problem in the context of physical comfort which affects the context of psychospiritual, sociocultural, and environmental comfort. The intervention was carried out through the innovation of providing progressive muscle relaxation with a frequency of 1x a day in the morning with a duration of 15 minutes for 5 consecutive days. Clinical evaluation showed a decrease in fatigue after the intervention, although the decrease in fatigue scores was not significant. Comfort theory can be applied in nursing care to overcome fatigue in children with cancer through the application of progressive muscle relaxation."
Jakarta: Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Wirawan
"ABSTRAK
Penyakit kanker merupakan penyakit yang sangat kompleks sehingga memerlukan pendekatan multidisiplin baik dalam diagnostik maupun terapi. Durasi penegakkan diagnosis dan terapi pada pasien kanker mempengaruhi hasil akhir pasien tersebut. Keterlambatan terapi dapat disebabkan oleh keterlambatan dokter dalam merujuk pada pelayanan kesehatan primer dan keterlambatan sistem pelayanan kesehatan pada proses penegakkan diagnosis dan dimulainya terapi definitif pada kanker. Penelitian ini merupakan studi analisis deskriptif menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif untuk mengetahui data insidens keterlambatan terapi pada pasien kanker yang dirujuk ke Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusmo pada bulan Mei - Agustus 2015 serta mengevaluasi faktor yang mempengaruhi keterlambatan tersebut. Terdapat 294 orang pasien yang diikutsertakan dalam penelitian ini setelah mendapatkan persetujuan tertulis. Pada keterlambatan terapi akibat keterlambatan dokter, dari 62 pasien yang dirujuk dari pelayanan kesehatan primer didapatkan 18 pasien (29%) mengalami keterlambatan rujukan. Keterlambatan diagnosis terjadi pada 78 pasien (26,5%). Sedangkan pada keterlambatan tindakan pengobatan terjadi pada 172 pasien (58,5%). Dari seluruh pasien didapatkan 132 pasien (45%) mengalami keterlambatan dokter dan sistem. Berdasarkan analisis statistik menunjukkan adanyan hubungan yang signifikan antara keterlambatan rujukan (p<0,01), keterlambatan diagnosis (p<0,01) dan keterlambatan tindakan pengobatan (p<0,01) dengan keterlambatan terapi akibat keterlambatan dokter dan system. Tingginya angka keterlambatan terapi kanker pada penelitian ini ditemukan akibat keterlambatan dokter dan sistem, khususnya pada keterlambatan pada penegakkan diagnosis dan tindakan pengobatan.

ABSTRACT
Cancer is a very complex disease that requires a multidisciplinary approach both in diagnostics and therapy. The duration of the diagnosis and treatment of cancer patients affect the outcome of these patients. Delay in treatment may be caused by the delay in referring physicians in primary health care and health care system delay in the commencement of the process of diagnosis and definitive therapy in cancer. This study was a descriptive analytical study using a mix of quantitative and qualitative methods to determine the incidence of therapy delays in cancer patients who were referred to the Department of Radiotherapy RSUPN Dr. Cipto Mangunkusmo in May to August for 2015 and evaluate the factors that influence the delay. There were 294 patients included in this study after obtaining written consent. Doctor's delay due to delayed treatment, from 62 patients referred from primary health care is obtained for 18 patients (29%) experienced a delay in referral. Delay in diagnosis occurred in 78 patients (26.5%). While the delay in treatment action occurred in 172 patients (58.5%). From all patients had 132 patients (45%) experienced doctor and system delay. Statistical analysis showed a significant correlation between the reference delay (p <0.01), late diagnosis (p <0.01) and delays in treatment measures (p <0.01) with a delay due to delayed therapy and doctor system. The high number of delays in cancer therapy in this study was found as a result of delays doctor and systems, in particular on the delay in diagnosis and treatment.eterlambatan terapi akibat keterlambatan dokter dan system. Tingginya angka keterlambatan terapi kanker pada penelitian ini ditemukan akibat keterlambatan dokter dan sistem, khususnya pada keterlambatan pada penegakkan diagnosis dan tindakan pengobatan."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eneng Elisnawati
"Kelelahan (fatigue) kanker didefinisikan sebagai perasaan subjektif pasien kanker yang membuat stres akibat dari kelelahan yang terjadi berbeda dari rasa lelah biasa yang dialami oleh individu yang sehat. Sedangkan, mekanisme koping merupakan suatu cara yang digunakan oleh individu untuk menghadapi dan beradaptasi pada stresor yang ada. Hasil penelitian pada 96 pasien kanker di Rumah Sakit Dharmais menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara kelelahan (fatigue) kanker dengan mekanisme koping pada pasien kanker di Rumah Sakit Dharmais (p = 0,584, α = 0,05). Pengaruh budaya masyarakat Indonesia dalam mengahadapi stresor yang ada serta tidak seimbangnya perbedaan jenis kelamin responden dalam penelitian ini, pada akhirnya berdampak pada penggunaan koping ketika mengalami kelelahan (fatigue) kanker. Rumah Sakit Dharmais sebaiknya segera memberikan arahan kepada para perawat mengintervensi pasien kanker terkait dengan mekanisme koping dan kelelahan (fatigue).

Cancer-related fatigue is a subjective symptom experienced by patients that create stress as a result of the fatigue, which is different with other fatigue among healthy individuals. In another hand, coping mechanisms is used by individuals to confront and adapt the stressors. The result of the study in 96 cancer patients at "Rumah Sakit Dharmais" shows that there is no significant relationship between cancer-related fatigue with coping mechanisms (p = 0.584, α = 0.05). The influence of Indonesian culture to encountering stressors and imbalance of gender differences in this research, ultimately impact to coping which are used by respondents who are experiencing cancer-related fatigue. "Rumah Sakit Dharmais" should immediately provide nurses to intervene coping mechanisms and cancer-related fatigue among cancer patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S62868
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Adhi Keswara
"ABSTRAK
Latar belakang: Tumor periampula merupakan jenis kanker dengan tingkat mortalitas yang tinggi dan sebagian besar dating dengan stadium lanjut. Terdapat terapi operasi paliatif double-bypass untuk pasien tumor periampula unresectable untuk memperbaiki kualitas hidup.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan data diambil melalui rekam medis pada pasien periampula yang dilakukan tindakan double-bypass dari periode Januari 2010 – Agustus 2015. Tingkat kesintasan dinilai menggunakan metode Kaplan-Meier dan kualitas hidup pada pasien yang masih hidup dinilai menggunakan kuisioner EORTC QLQ-C30.
Hasil: 31 pasien tumor periampuladan diketahui 25 kasus (80%) diantaranya unresectable sehingga dilakukan operasi paliatif double-bypass, jenis tumor periampula pada subjek penelitian yaitu tumor kaput pancreas 68%, ampula vater 16%, duodenum 12%, dan kolangiokarsinoma 4%. Median waktu kesintasan sebesar 3 bulan (95%CI 2,13 – 3,87). Kualitas hidup subjek secara keseluruhan baik, dengan skor status kesehatan umum 60, rerata skor skala fungsional 82,36 (SB 4,9), dan rerata skor gejala yang mempengaruhi kualitas hidup 18,36 (SB 7,48).

ABSTRACT
Background: Periampullary tumor is a type of cancer with high mortality rate and most patients present in advanced stage. There is palliative double bypass surgery for patients with unresectable periampullary tumors to improve the quality of life.
Method: This study aims to determine the survival rate of patients with unresectable periampullary tumors who underwent palliative double bypass surgery. The survival rate is assessed using Kaplan- Meier method and quality of live in patients whom survive were assessed using EORTC QLQ-C30 questionnaire.
Results: In January 2010 - August 2015, we retrospectively analyzed 31 patients with tumors known periampullary and 25 cases (80%) of whom are unresectable so palliative double bypass surgery. Types of periampullary tumors on the subject of this study are pancreatic head tumors (68%), papilla Vater (12%), duodenum (12%), ampulla Vater (4%), and cholangiocarcinoma (4%). Median survival time was 3 months (95% CI 2.13 to 3.87). Quality of life of the subjects are good, with general health status scores’ are 60, mean functional scale scores are 82.36 (SB 4.90), and mean scores of symptoms that affect quality of life are 18,36 (SB 7.48).
Conclusion: Palliative double bypass surgery may be an option to improve quality of life of patients with unresectable periampullary tumors.;;"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
571.978 TUM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>