Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144041 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Catharina Sri Indah Gunarti
"ABSTRAK
Systemic Lupus Erythematosus SLE adalah penyakit autoimun, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang organ tubuh sendiri. Orang dengan Lupus Odapus mengalami berbagai perubahan secara fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis yang menyebabkan mereka memiliki penghayatan akan penyakit yang dimiliki, atau disebut juga illness cognition. Penghayatan ini mempengaruhi kognisi Odapus dalam memandang penyakit dan mempengaruhi perilaku kesehatan serta coping akan permasalahan yang disebabkan oleh SLE. Penelitian bertujuan untuk mengubah illness cognition Odapus terkait penyakit SLE yang dimiliki. Penelitian merupakan penelitian kuasi-eksperimental dengan one group pretest-posttest design. Kelompok terdiri dari lima orang yang diperoleh lewat accidental sampling. Partisipan mengikuti lima kali sesi individual serta satu kali pra-sesi dan satu kali sesi follow-up. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan data kuantitatif menggunakan adaptasi alat ukur Illness Cognition Questionnaire ICQ serta data kualitatif tentang perubahan kognitif, perilaku, dan strategi pemecahan masalah sebelum dan sesudah mengikuti intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi kognitif-perilaku dapat meningkatkan illness cognition pada Odapus. Partisipan dapat menerima penyakit SLE sebagai bagian dari hidupnya, menghayati adanya berbagai hal positif dari penyakit SLE, dan memiliki harapan serta dapat melakukan kontrol terhadap berbagai keterbatasan yang diakibatkan oleh penyakit SLE. Pada akhirnya, partisipan dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh penyakit SLE secara lebih efektif.

ABSTRACT
Systemic Lupus Erythematosus SLE is autoimmune disease which the immune system damage their own body. Patient with SLE experience change in physical, economic, social, and psychology that caused a perception to their own disease, called illness cognition. This perception influence patient rsquo s cognition about their disease and predispose their health behavior and coping problem related to their disease. This study aimed to identify effectiveness of cognitive behavior therapy to change illness cognition patient about SLE. This was quasi experimental study conducted with one group pre test post test design. Group consisted of five participant recruited through accidental sampling. Participants participated in five individual sessions, preceded by a pre session and followed by a follow up session. Analysis was conducted by comparing quantitative data obtained by Indonesian adaptation of Illness Cognition Questionnaire ICQ and qualitative data showing changes in participants rsquo cognition, behavior, and problem solving before and after the intervention took place. This study showed that cognitive behavior therapy can successfully enhance illness cognition in patient with SLE. Participants may receive SLE disease as a part of their life, appreciate many positive things of SLE, have hope also can control various limitations caused by SLE. Participants can improve their ability to coping with problem related to SLE more effectively."
2018
T49079
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemala Emrizal
"Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE), an autoimmune disease, can cause damage and impairment in the nervous system. Patients who had any manifestation of neurology can be classified as patients with Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus (NPSLE). One of the most frequent NPSLE manifestation is anxiety disorder. The presence of anxiety disorder is believed to be correlated with their ability to carry out daily activities. This study aims to see the correlation between anxiety disorder and quality of life (QOL) in patients with SLE. Method: an analitic cross-sectional study was done. The data were collected by distributing validated questionnaires to patients diagnosed with SLE in the outpatient clinic of dr. Hasan Sadikin General Hospital. Quality of life and anxiety disorder was measured using Short From-36 (SF-36) and Zung Self-Rating Anxiety Scale (Zung-SAS), respectively. Normality test was done before correlating the variables using Pearson method. Result: Forty-six SLE patients fitted with the inclusion criteria were participated in the study. The assessment using Zung-SAS showed that 9 (19.56%) correspondents had mild–moderate anxiety, and 1 (2.17%) had severe anxiety. The analysis of SF-36 showed the means of Physical Component Summary (PCS) and Mental Component Summary (MCS) which were 45.18 ± 8.23 and 47.11± 9.78, in order. The correlation test of Zung-SAS with PCS and MCS showed the result of r= -0.651 (p < 0,01) and -0.654 (p < 0,01), respectively. Conclusion: There is a significant negative correlation between anxiety disorder and QOL in patients with SLE. The result of this study showed that the high degree of ones anxiety was in a parallel line with their low level of QOL, so it is important to do an early detection and prevention of anxiety disorder in SLE patients."
Jakarta: University of Indonesia School of Medicine, 2019
616 IJR 11:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Deta Annisa Nalayani
"ABSTRAK
SLE atau lupus yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah di perkotaan. Perjalanan penyakit SLE/lupus yang bersifat episodik berulang yang diselingi periode sembuh membuat klien merasakan kecemasan dan ketidakberdayaan yang diakbatkan dari kondisi penyakitnya. Karya ilmiah akhir ners ini akan menganalisis mengenai asuhan keperawatan masalah ketidakberdayaan dan ansietas pada klien dengan penyakit SLE/lupus selama 4 hari. Tindakan keperawatan bertujuan untuk mengontrol perasaan tidak berdaya dengan membuat klien mampu mengambil keputusan yang efektif untuk mengendalikan situasi kehidupannya serta untuk mengeatasi kecemasan. Hasil evaluasi yang dilakukan terlihat dalam keseharian klien selama klien mendapatkan perawatan, klien menunjukkan perkembangan dan berkurangnya tanda gejala masalah tersebut.Dibutuhkan upaya seperti menjaga keefektifan koping, mengurangi/menjauhi stres, dan sistem dukungan support system yang baik dari lingkungan di sekitar klien untuk membantu klien untuk mengurangi masalah terutama masalah psikososial yang dirasakan klien. Kata Kunci :Ansietas, asuhan keperawatan, ketidakberdayaan, sistemik lupus eritematosus SLE /lupus

ABSTRACT
SLE /lupus is not contagious diseases which prevalence increases each year and causing a problem especially in urban areas. The course of episodic SLE / lupus disease recurrent interspersed with periods of recovery makes the client feel the anxiety and powerlessness implied by the condition of the illness. This final paper will analyze the nursing care of powerlessness and anxiety in clients with SLE / lupus disease for 4 days. Nursing actions aim to control feelings of powerlessness by allowing clients to make effective decisions to control their life situations and to overcome anxiety. The results of evaluations made visible in the client 39;s daily life as long as the client gets treatment, the client shows the development and decrease of symptoms of the problem. It takes efforts such as maintaining the effectiveness of coping, reducing / avoiding stress, and a good support system from the environment around the client to help clients reducing the problem, especially the psychosocial problems felt by the client. Keywords: Anxiety, nursing care, powerlessness, systemic lupus erythematosus SLE /lupus."
2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Amira Tjandrasari
"LES merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dan banyak terjadi pada  anak remaja dengan rata-rata onset usia 11-12 tahun. Sekitar 10% dari remaja dengan penyakit kronis seperti LES mengalami masalah psikososial, termasuk masalah emosi seperti depresi dan kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelatihan kecakapan hidup pada anak dengan LES dapat memperbaiki masalah emosi. Penelitian dilakukan dengan 30 subjek remaja perempuan dengan LES yang sudah mendapatkan pengobatan, dan nilai SLEDAI 0-5. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak tanpa penyamaran, perlakuan dan kontrol.  Pelatihan kecakapan hidup diberikan pada kelompok perlakuan sebanyak 1 kali dalam kelas. Perbaikan masalah emosi dinilai dengan membandingkan nilai SDQ sebelum pelatihan dan 4 minggu setelah pelatihan. Penelitian melibatkan 30 remaja perempuan dengan LES dengan usia rerata 14 tahun. Sebanyak 20/30 subjek memiliki nilai SDQ normal, 4/30 dengan SDQ borderline dan 6/30 dengan SDQ abnormal. Terdapat perbedaan bermakna selisih masalah emosi pada kedua kelompok (p: 0,025; effect size: 0,87). Pada kelompok yang mendapatkan pelatihan terdapat perbaikan nilai SDQ total (p: 0,001), nilai masalah emosi (p: 0,002), nilai masalah perilaku (p: 0,027) dan nilai masalah perilaku hiperaktif (p: 0,040) dibandingkan dengan awal studi. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya terdapat perubahan nilai masalah dengan teman sebaya (p: 0,011). Selain itu ditemukan pula perbaikan masalah emosi pada kelompok pelatihan yakni keluhan sakit fisik (p: 0,021), rasa khawatir (p: 0,020) dan perasaan gugup (p: 0,020). Studi ini menyimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup-modul pengelolaan emosi efektif dalam memperbaiki masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES secara signifikan, terutama gugup atau sulit berpisah dengan orangtua/pengasuhnya pada situasi baru, mudah kehilangan rasa percaya diri dan banyak kekhawatiran atau sering tampak khawatir.

SLE is a chronic autoimmune inflammatory disease and many occur in adolescents with an average age of onset of 11-12 years. About 10% of adolescents with chronic diseases such as SLE experience psycho-mental problems, including emotional problems such as depression and anxiety. The aim of this study is to determine whether life skills training in children with SLE can improve emotional problems. The study was conducted with 30 female adolescent with SLE who had received treatment and SLEDAI score 0-5. Subjects were divided into 2 groups randomly, not-blinding, experiment and control. Life skills training is given to the experiment group one time in group. Emotional problem improvement was assessed by comparing SDQ scores before training and 4 weeks after training. The study involves a total of 30 female adolescent with SLE with an average age of 14 years. A total of 20/30 subjects had normal SDQ values, 4/30 with borderline SDQ and 6/30 with abnormal SDQ. There were significant differences in the difference between emotional problems in the two groups (p: 0.025; effect size: 0.87). In the group that received training there was an improvement in the total SDQ value (p: 0.001), the value of emotional problems (p: 0.002), the value of conductive problems (p: 0.027) and the value of hyperactive behavior problems (p: 0.040) compared to the beginning of the study. Whereas in the control group there were only changes in the value of problems with peers (p: 0.011). In addition it also found improvements in emotional problems in the experiment group, they are complaints of physical pain (p: 0.021), anxiety (p: 0.020) and nervous feelings (p: 0.020). This study concludes that life skills training-emotion management module is significantly effective in improving emotional problems in female adolescent with LES, especially nervous or having difficulty separating from parents/caregivers in new situations, easily losing self-confidence and many worries or often seems worried."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanah Suzan
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien lupus eritematosus sistemik perempuan usia dewasa.
Metode: Peneltian ini merupakan penelitian potong lintang pada 36 pasien SLE perempuan dewasa dari Poliklinik Reumatologi di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data subyek meliputi usia, klasifikasi penyakit SLE, obat-obatan yang digunakan, tipe kulit, penggunaan tabir surya, bagian tubuh yang tertutup pakaian, lama terpajan sinar matahari, indeks massa tubuh (IMT), asupan vitamin D, dan kadar 25(OH)D serum.
Hasil: Sebagian besar (41,7%) subyek berusia antara 36–45 tahun, tergolong klasifikasi SLE ringan (52,8%), selalu menggunakan tabir surya (63,9%), tipe kulit IV (69,4%), dan memakai pakaian yang menutupi seluruh/sebagian besar tubuh (69,4%), serta tidak terpajan dan terpajan sinar matahari <30 menit (77,8%). Semua subyek menggunakan kortikosteroid. Separuh subyek memiliki berat badan normal berdasarkan IMT, sebagian besar (55,6%) subyek mempunyai asupan vitamin D cukup berdasarkan AKG 2012, dan 28 subyek (77,8%) menderita defisiensi vitamin D ( kadar 25(OH)D serum <50 nmol/L). Didapatkan korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada subyek penelitian (r = 0,52; P <0,01).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien SLE perempuan dewasa (r = 0,52; P <0,01).

Objective: the aim of the study is to investigate the correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 36 adult woman patients with SLE from Rheumatology Clinic of the Departemen of Internal Medicine Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Data collection included age, SLE classification, drugs, skin type, use of sunscreen, part of the body covered by clothes, length of sun exposure, body mass index (BMI), vitamin D intake, and serum 25(OH)D concentration.
Results: Most of the subjects (41.7%) aged 36–45 years old, classified as mild SLE (52.8%), always used sunscreen (63.9%), skin type IV (69.4%), wearing clothes that covered all or almost of the body (69.4%), and not exposed or had sun exposure less than 30 minute (77.8%). All subjects used corticosteroid. Based on BMI half of the subjects had normal body weight, Based on AKG 2012 most (55.6%) had adequate vitamin D intakes, and 28 subjects (77.8%) were in vitamin D-deficient (serum 25(OH)D concentration <50 nmol/L). There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration in subjects (r = 0.52; P <0.01).
Conclusion: There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients (r = 0.52, P <0.01).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Gunawan
"Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic autoimmune disease with various clinical disorders and frequent exacerbations. Psoriasis vulgaris is a common skin disorder which affect 1-3% of general populations. The pathophysiology regarding the coexistence of these diseases is not fully understood. Therapeutic challenges arise since the treatment one of these diseases may aggravate the other. We reported two cases of SLE with psoriasis vulgaris with clinical manifestations as recurrent erythroderma with photosensitivity. Improvement in clinical condition was observed after treating the patients with methylprednisolone combined with methotrexate. The coexistence SLE and psoriasis are considered very rare. The presence of this overlap syndrome may precede one another or occur simultaneously and is closely related with the presence of anti-Ro/SSA. Thus, it raises new challenge regarding its relationships, diagnosis, therapeutic, and management."
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 IJIM 50:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Faradiesa Addiena
"Latar belakang: Limfopenia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi pada pasien dengan LES serta mempunyai arti patologis yang bermakna. Patogenesis limfopenia saat ini masih belum jelas, namun beberapa penyebab yang diketahui adalah terdapatnya antibodi antilimfosit, penurunan CD 55 dan 59 dan apoptosis yang tidak terkontrol. Beberapa penelitian menunjukkan limfopenia berhubungan dengan aktivitas penyakit. Hal lain yang menjadi perhatian adalah pemberian terapi imunosupresan pada pasien LES dalam keadaan limfopenia dapat memperburuk limfopenia.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara limfosit total dan aktivitas penyakit serta terapi imunosupresan pada pasien LES.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan penelusuran rekam medis pasien LES yang berobat ke RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2020 – Desember 2020. Analisa bivariat menggunakan chi square dan fisher exact dilakukan untuk mengetahui hubungan limfopenia dengan aktivitas penyakit, serta analisa bivariat mann whitney dan wilcoxon digunakan untuk perbedaan rerata hitung limfosit dan terapi imunosupresan serta hubungan antara terapi imunosupresan terhadap limfosit total.
Hasil: Sebanyak 214 subjek memenuhi kriteri inklusi. Didapatkan hubungan bermakna antara limfopenia terhadap Mex SLEDAI pada subjek LES dalam keadaan remisi di bulan ke-3 (RR: 0,490; 95% IK: 0,320-0,751; p = 0,001) dan bulan ke-6 (RR: 0,490; 95% IK: 0,322-0,769; p = 0,001). Pada subjek LES dalam keadaan aktif terdapat hubungan bermakna antara limfopenia terhadap Mex SLEDAI pada bulan ke-3 (RR: 2,46; 95% IK: 1,71-5,188; p = 0,009). Tidak didapatkan perbedaan median limfosit total pada pasien LES dalam terapi MMF dan tanpa terapi MMF baik pada bulan ke-0 (p = 0,822), bulan ke-3 (p = 0,916), dan bulan ke-6 (p = 0,560). Tidak didapatkan juga hubungan dari limfosit total pada pasien dalam terapi MMF selama 6 bulan (p = 0,084). Didapatkan perbedaan median limfosit total pada pasien LES dalam terapi AZA dibandingkan pasien LES tanpa terapi AZA di bulan ke-0 (p = 0,044) dan bulan ke-3 (p = 0,007). Terdapat penurunan limfosit total pada bulan ke-3 pada pasien LES dalam terapi AZA namun tidak signifikan (p = 0,844). Tidak didapatkan perbedaan median limfosit total pada subjek pasien LES dalam terapi MTX baik pada bulan ke-0, bulan ke-3 dan bulan ke-6 (p = 0,510), (p=0,977), (p=0,714). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara terapi MTX terhadap limfosit total (p = 0,721).
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara limfopenia terhadap aktivitas penyakit pasien LES yang dihitung dengan Mex SLEDAI. Tidak terdapat hubungan bermakna antara terapi imunosupresan selama 6 bulan terhadap limfosit total pasien LES.

Background: Lymphopenia is a clinical manifestations that frequently develops in SLE patients and has important pathological implications. Although the pathogenesis of lymphopenia is still unknown, antilymphocyte antibodies, diminished CD 55 and 59, and uncontrolled apoptosis are a few of the factors that can develop inside it. Numerous investigations have demonstrated a connection between lymphopenia and disease activity. Another issue is that administering immunosuppressant therapy to SLE patients who are already lymphopenic can make their condition worsen.
Objective: To investigate the association between total lymphocytes, disease activity, and immunosuppressive treatment in SLE patients.
Methods: Retrospective cohort study by tracing the medical records of SLE patients who visited Cipto Mangunkusumo General Hospital between January 2020 and December 2020. The relationship between lymphopenia and disease activity was investigated using bivariate analysis using chi square and fisher exact, and the relationship between immunosuppressant therapy and total lymphocytes and differences in mean lymphocyte count and immunosuppressant therapy were investigated using bivariate analysis using mann-Whitney and Wilcoxon.
Results: 214 subjects fulfilled the criteria for inclusion. Lymphopenia and Mex SLEDAI were shown to be significantly associated in SLE patients in remission at months 3 (RR: 0.490; 95% CI: 0.320-0.751; p = 0.001) and 6 (RR: 0.490; 95% CI: 0.322-0.769; p = 0.001). Lymphopenia and Mex SLEDAI were significantly associated at month 3 in patients with active SLE (RR: 2.46; 95% CI: 1.71-5.188; p = 0.009). At month 0 (p = 0.822), month 3 (p = 0.916), and month 6 (p = 0.560), there was no difference in the median total lymphocyte count between SLE patients receiving MMF therapy and those receiving no MMF medication. In addition, there was no association between total lymphocytes and MMF therapy in individuals treated for 6 months (p = 0.084). At month 0 (p = 0.044) and month 3 (p = 0.007), SLE patients receiving AZA therapy had median differences in total lymphocytes compared to SLE patients not receiving AZA therapy. Patients with SLE receiving AZA medication had a decrease in total lymphocytes in the third month, but it was not statistically significant (p = 0.844). At months 0, 3, and 6, there was no difference in the median total lymphocyte count among SLE patients receiving MTX therapy (p = 0.510), (p = 0.977), and (p = 0.714). Total lymphocytes and MTX treatment had no statistically significant relation (p = 0.721).
Conclusion: The lymphopenia and disease activity of SLE patients as determined by the Mex SLEDAI are related. Immunosuppressant therapy administered for six months had no significant impact on the total lymphocyte count in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Bertyna Yulia M.
"Systemic lupus eryrhenzalasus (SLE) atau juga dikenal sebagai lupus adalah penyakit kronis yang melibatkan sistem kekebalan tubuh, di mana orang yang mengalaminya dapat menderita sejumlah gejala yang menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya. Para penderitanya sering disebut odapus atau orang dengan lupus. Secara khusus, wanita penderita lupus dapat mengalami kesulitan atau konflik ketika hendak memutuskan untuk memiliki anak. Konflik ini tezjadi karena penyakit yang dideritanya dapat menyebabkan ia sulit untuk mengandung. Jika wanita tersebut tetap memumskan untuk memiliki anak, maka risiko saat terjadirnya kehamilan harus segera dianlisipasi dengan ketat. Jika tidak, ia dapat mengalami keguguran. Sementara, jika wanita penderita lupus tidak mengandung atau memiliki anak, maka fungsi perkawinannya sebagai lembaga membangun keluarga dan keturunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa menimbulkan perasaan tidak puas atau rendah diri pada wanita karena tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga.
Tujuan dari penelilian ini adalah untuk Iungetahui gambaran pengambilau keputusan untuk memiliki anak pada wanita penderita SLE. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita penderita SLE yang berada dalam rentang 20-35 tahun (tahap perkembangan dewasa awal) dan sudah menikah. Penelilian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dianggap dapat menggali penghayatan subjek mengenai pengambilan keputusan untuk memiliki anak, Jumlah sampel yang digunakan adalah dua orang karena yang dipentingkan adalah penghayatan subjektifnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua subjek hanya melewati tahap 1, 2, dan 5 dalam proses pengambilan keputusan untuk memiliki anak. Mereka tidak lagi melewati tahap 3 dan 4. Sclain itu, terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak, yaitu pregfcrence, value, belief circumsrances, dan action. Terakhir, ditemukan bahwa kedua subjek mengalami konflik sewaktu mereka mengambil keputusan untuk memiliki anak, yakni adanya keinginan untuk menghindari akibat buruk dari SLE, yaitu keguguran atau gangguan pada bayi, dengan keinginan yang kuat untuk memiliki anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hughes, Graham R.V., editor
"The book is an up-to-date introduction to the disease and includes high quality colour photographs and evidence-based guidelines for diagnosing, treating and managing Lupus in primary care."
London: [, Springer Healthcare], 2012
e20410763
eBooks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>