Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104673 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indri Savitri
"ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada penerapan program intervensi berbasis
Developmental-Individual-Relationship (DIR) yang dikembangkan oleh
Greenspan dan Wieder (1998, 2000, 2006) bagi anak penyandang autis. Aspek
Developmental memfokuskan pada tahap komunikasi fungsional yang akan
dikembangkan pada anak. Aspek Individual menekankan pada penerimaan
keunikan anak. Aspek Relationship menitikberatkan pada fokus relasi yang
interaktif antara orangtua dan anak. Dasar pemikiran menggunakan pendekatan
tersebut adalah autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif sehingga
anak mengalami kendala dalam aspek pemrosesan sensorik dan mengembangkan
kapasitas dalam komunikasi dan menjalin relasi sosial (social engagement).
Pendekatan DIR sifatnya menyeluruh yang mencakup intervensi pada aspek
pemrosesan sensorik dan social engagement. Tujuan dari penelitian ini agar anak
penyandang autis dapat mengembangkan kemampuan untuk melakukan ’shared
attention’, ’engagement’, dan ’purposeful emotional interaction’ yang merupakan
tahap awal dari perkembangan komunikasi fungsional. Penelitian ini termasuk
penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini adalah seorang anak laki-laki berusia 6,5 tahun yang
mengalami gangguan autis dengan derajat berat. Ia tergolong low funetioning.
Penelitian berlangsung selama 3 bulan dari Akhir September - Akhir Desember
2006. Program Intervensi pertama adalah pemberian terapi sensory intégration
yang diberikan oleh ahli terapi di bidangnya dari Awal Oktober hingga Minggu
kedua Desember 2006 di sebuah rumah sakit ibu dan anak selama 8 sesi.
Intervensi kedua adalah diet yang diawasi oleh seorang dokter ahli alergi yang
banyak menangani anak berkebutuhan khusus di rumah sakit yang sama. Program
diet dilakukan dari bulan Oktober Minggu ke 2 sampai pelaksanaan keseluruhan
intervensi selesai. Intervensi ketiga yaitu kegiatan floortime di rumah yang
dilakukan oleh peneliti selama 22 sesi yang berlangsung dari tanggal 14 Desember
- 20 Desember 2006. Dari 22 sesi tersebut, ibu dari Subjek juga dilibatkan untuk
bermain dengan pendekatan floortime bersama dengan subjek. Pengumpulan data
dilakukan dengan merekam proses intervensi secara audiovisual dan wawancara
dengan ibu. Analisis data secara kualitatif merujuk pada perilaku yang
menggambarkan masing-masing aspek dari komunikasi fungsional berdasarkan
panduan Greenspan dan Wieder. Dari analisis film dan wawancara dapat disimpulkan bahwa: 1) terapi sensory
intégration membantu S dalam melakukan shared attention atau pengembangan
kapasitas komunikasi fungsional tahap pertama. Terapi sensory intégration
memperbaiki fungsi pemrosesan informasi sensorik S sehingga S mulai dapat
menerima ragam sensasi dan mulai menyimak lingkungan; 2) Intervensi dengan diet memperbaiki fungsi pencernaan sehingga S mulai memiliki regulasi dalam
hal tidur. Diet juga membantu mengelola kebiasaan makan S menjadi teratur; 3)
Terapi Jloortime mempermudah S mengembangkan kapasitas komunikasi
fimgsionalnya baik dari shared attention, engagement, dan purposeful emotional
interaction. Dengan catatan: selama Jloortime peneliti juga memperhatikan profil
sensorik S sehingga terapis dapat mengatasi masalah perilaku yang terjadi dalam
proses terapi; 4) Terapi Sensory Integration saja tidak cukup kuat untuk
membantu S mengembangkan kapasitas komunikasi fungsionalnya. Terapi
sensory integration fokus pada kemampuan S menerima dan memproses berbagai
sensasi sehingga S dapat menyelesaikan tantangan selama terapi; 5) Terapi
Fioortime tanpa diawali dengan perbaikan integrasi sensorik dan fungsi
pencernaan juga sulit dilakukan karena perilaku S masih sulit diarahkan."
2007
T37866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ezra Dessabela Isnannisa
"Kesulitan menjalin komunikasi adalah salah satu fitur utama pada Autism Spectrum Disorder (ASD). Anak dengan ASD cenderung memiliki gangguan pemrosesan sensori yang berdampak pada defisit kemampuan komunikasi. Hal tersebut membuat anak membutuhkan bantuan pengasuh untuk meregulasi diri sebelum dapat menjalin komunikasi dengan orang lain. Salah satu intervensi yang membantu meningkatkan kemampuan komunikasi adalah Developmental, Individual Differences, Relationship (DIR)/Floortime. Intervensi ini mempertimbangkan keunikan profil sensori dan perkembangan functional emotional partisipan sebagai landasan pembuatan program, serta melibatkan pengasuh secara aktif. Secara lebih lanjut, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas DIR Floortime untuk meningkatkan komunikasi antar anak dengan autisme dan ibu dengan profil sensori yang berbeda.  Penelitian ini menggunakan single case design dan multiple baseline across situation untuk mengevaluasi penerapan DIR/Floortime pada situasi free play dan semi-structured play. Lembar Observasi Circle of Communication (CoC) digunakan untuk menghitung jumlah komunikasi dua arah yang terjalin antara anak dan ibu. Skor kapasitas perkembangan functional emotional anak dan ibu juga diukur menggunakan Functional Emotional Assesment Scale (FEAS) untuk mengetahui kapasitas perkembangan yang melandasi kemampuan komunikasi. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa DIR/Floortime efektif untuk meningkatkan jumlah dan kualitas komunikasi antara anak dan ibu. 

The deficit in communication is one of the main features of Autism Spectrum Disorder (ASD). Children with ASD tend to have sensory challenges that aggravates their deficit in their ability to communicate. They need caregivers to help them self-regulate to engage in communication with others.  One of the interventions that often used to increase communication skill in children with ASD is called Developmental, Individual Differences, Relationship (DIR)/Floortime. DIR/Floortime intervention focuses on childrens individual differences, functional emotional development and relationship. Thus, this study aims to evaluate the effectiveness of DIR/Floortime to increase communication between a child with ASD and a mother with different sensory profile. Single case design with multiple baselines across situation was used to evaluate the effectiveness of DIR/Floortime in two settings: free play and semi-structured play. In order to evaluate the effectiveness of the intervention to increase communication, Circle of Communication (CoC) Observation Form was used to measure the frequencies of communication between a child and a mother. The Functional Emotional Assesment Scale (FEAS) was used to assess and measure the child`s and the mother`s functional emotional development capacity. The results indicated that DIR/Floortime is effective to increase the frequency and quality of communication."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T54264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanna
"Interaksi sosial pada awal kehidupan berperan penting bagi seluruh aspek perkembangan anak. Salah satu aspek penting dari perkembangan anak adalah kemampuan meregulasi diri. Studi di ranah perkembangan anak telah menunjukkan bahwa interaksi dan hubungan yang positif menjadi media bagi perkembangan dan peningkatan kemampuan regulasi diri pada anak. Pendekatan Developmental, Individual Differences, Relationship-Based (DIR) merupakan salah satu intervensi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas interaksi antara caregiver dan anak. Maka dari itu, penelitian ini bermaksud untuk mengevaluasi efektivitas DIR/Floortime untuk meningkatkan kualitas interaksi antara seorang ibu dan anak laki-lakinya yang berusia enam tahun yang menunjukkan beberapa gejala psikotik. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa pendekatan DIR/Floortime efektif untuk meningkatkan kualitas interaksi ibu dan anak serta kemampuan regulasi diri anak yang terukur dari peningkatan skor pada skala FEAS, CBCL dan Self Regulation Questionnaire.

Early social interaction plays a vital role in the overall development of the child. One of the important aspects of child development is self-regulation. Many studies on child development have indicated that positive interaction/relationship served as a medium for developing and improving self-regulation in children. The Developmental Individual Diferences and Relationship (DIR) is one of the interventions that have been used to improve the quality interaction between a caregiver and child. Thus, this study is interested in evaluating the effectiveness of DIR/ Floortime approach to improve the quality of interaction between a mother and six-year-old Indonesian boy who displays psychotic symptoms. This results showed that DIR/ Floortime approach is effective in improving the quality of mother-child interaction as well as self-regulation ability in a child as reflected in the increase scoring of the child?s FEAS, CBCL and Self-Regulation Questionnaire."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T32615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lecya Lalitya
"Perkembangan komunikasi pada anak menjadi indikator keberfungsian perkembangan anak secara keseluruhan. Komunikasi juga menjadi gerbang bagi anak untuk mengembangkan diri, sehingga berperan penting dalam mengoptimalkan fungsi anak, terutama pada anak usia dini. Akan tetapi, cukup banyak anak yang memiliki masalah keterlambatan komunikasi. Masalah yang dialami anak dengan keterlambatan komunikasi adalah kesulitan melakukan komunikasi dua arah. Penelitian terdahalu menyebutkan bahwa intervensi untuk masalah komunikasi perlu melibatkan orangtua dan mematangkan kemampuan prelinguistic communication Developmental Individual Differences and Relationship (DIR)/Floortime adalah salah satu intervensi yang mampu mengakomodasi hal tersebut. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas penerapan untuk meningkatkan komunikasi dua arah pada anak usia dini dengan keterlambatan komunikasi. Penelitian dilakukan dengan desain dan multiple baseline across situation. Dilakukan perbandingan pre dan post pada kemampuan komunikasi dua arah anak setelah menjalani intervensi. Partisipan penelitian adalah anak berusia 2 tahun dan ibu yang berusia 37 tahun. Dua alat ukur utama yang digunakan adalah lembar observasi circle of communication (CoC) dan inventori functional-emotional assessment scale (FEAS). Hasil penelitian menunjukkan, penerapan floortime efektif meningkatkan komunikasi dua arah dan functional emotional developmental pada anak dengan keterlambatan komunikasi. Meningkatnya kemampuan komunikasi ditunjukkan dengan adanya penguasaan kosa kata baru dan peningkatan functional emotional developmental dari tahap dua menjadi tahap lima.

The development of communication in children is an indicator of overall childrens development. Communication is also a gateway for children to develop themselves and to function optimally, especially in early childhood. Studies indicated that there a large number of children with communication challenges. Children with communication delays challenges are having difficulty engaging in two-way communication. The latest studies
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T53405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afia Fitriani
"Komunikasi pada Anak yang Mengalami Autistic Disorder Anak yang mengalami Autistic Disorder memiliki hambatan dalam tiga ranah utama yaitu, interaksi sosial timbal balik, komunikasi, dan pola tingkah Iaku repelitif (Ginanjar, 200_8). Tanpa kemampuan berkomunikasi yang baik anak autis al-can mudah Bustrasi dan menunjukkan gangguan perilaku karena kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication .Slystam (PECS) rnerupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengajarkan cara berkomunikasi yang praktis kepada individu gang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan menggunakan kartu-ka11u bergambar (Bondy & Frost, 2001).
Program intervensi dalam tugns akhir ini diberikan pada D, anak laki-Iaki dcngan Autistic Disorder yang berusia 7 tahun. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D me-lalui modilikasi perilaku dengan metode Pictu:-e lnlwlzange Cotmuunication System (PECS) sampai fase kedua dari enam fase PECS. I-lasil menunjukkan bahwa berdasarkan perbandingan data dasar dan evaluasi, kemampuan komunikasi D dengan menggunakan PECS menunjukkan peningkatan kcberhasilan sebesar 30%. Hasil ini didukung oleh prosedur intervensi yang terstruktur, jelas, dilaksanakan secara intensifl serta pembexian prompt yang membantu pemahaman instruksi. Kcndala pelaksanaan program antara lain, pilihan benda yang digunakan dalam intervensi, keadaan ruangan, kondisi D yang belum pcrnah mendapatkan intervensi, serta usia D. Sccara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa program intervensi ini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D.

Children with Autistic Disorder have deficits in three major domains, which are social interaction reciprocity, communication, and repetitive and stereotyped patterns of behavior (Ginanjar, 2008). Without fine communication skills, autistic children may easily frustrated and then show disturbing behavior because their needs are not understood (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication System (PECS) is an alternative method using picture cards to teach a practical way to communicate for individuals with speech and language limitations (Bondy & Frost, 2001).
Intervention program in this final project is given to D, a 7 years old child with Autistic Disorder. The purpose is to improve D’s communication skills by behavior mcdilication using Picture Exchange Communication System (PECS) method up to the second phase from total six phase. Results shows that based on the comparision between baseline and evaluation data, D’s communication skills using PECS indicates 30% increase of success. Supportive factors of this result were clear and structured intervention procedure, carried out intensively, and additional prompt to aid instruction understandings Unfortunately, choices of items used in the intervention, room settings, D’s age and not ever received any intervention before became the hindrance factors. Overall, this intervention program is quite effective to improve D’s communication skills.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34137
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Afra Afifah
"Perilaku seks pranikah pada remaja dilaporkan mengalami peningkatan berdasarkan survei BKKBN tahun 2017. Depok sebagai salah satu kota yang mencanangkan Kota Layak Anak, pada realitasnya masih menghadapi sejumlah masalah perilaku beresiko remaja, termasuk perilaku seks pranikah. Menurut sejumlah penelitian, pengetahuan yang benar tentang kesehatan reproduksi dan seksual merupakan salah satu faktor protektif yang menghindarkan remaja dari perilaku seks pranikah. Di antara berbagai sumber informasi, orang tua direkomendasikan sebagai sumber informasi terbaik bagi anak. Orang tua dapat menjadi sumber informasi dengan melakukan komunikasi seksual atau pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervensi pelatihan dengan model experiential learning terhadap pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual, perilaku komunikasi efektif, dan perilaku komunikasi seksual orang tua kepada anak usia remaja awal (10 – 15 tahun). Desain intervensi yang digunakan adalah field experiment dengan one group pretest-posttest. Setelah melalui tiga sesi pelatihan tatap muka dan penugasan praktek di rumah, diketahui bahwa pelatihan dengan model experiential learning berpengaruh terhadap peningkatan perilaku komunikasi seksual orang tua kepada anak usia remaja awal secara signifikan (p<0.05), namun tidak pada pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual dan perilaku komunikasi efektif. Hasil lebih lanjut dibahas pada diskusi.

Premarital sex behavior in adolescents is reported to have increased based on the 2017 BKKBN survey. Depok as one of the cities that launched a Child Friendly City, in reality still faces a number of youth risk behavioral problems, including premarital sexual behavior. According to a number of studies, correct knowledge about sexual and reproductive health is one of the protective factors that prevents adolescents from premarital sexual behavior. Among various sources of information, parents are recommended as the best source of information for children. Parents can be a source of information by carrying out sexual communication or sexual and reproductive health education. This study aims to determine the effect of training intervention with experiential learning model on knowledge of reproductive and sexual health, effective communication behavior, and sexual communication behavior of parents to early adolescents (10 – 15 years old). The intervention design used was field experiment with one group pretest-posttest. After going through three face-to-face training sessions and practice assignments at home, it was found that training with experiential learning model significantly influenced parent's sexual communication behavior to early adolescents (p<0.05), but not to sexual and reproductive health knowledge and effective communication behavior. Further results are discussed in the discussion.

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T53263
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Susanti
"Di Indonesia penyandang autisme cenderung meningkat. Sepuluh tahun lalu jumlah penyandangnya sekitar 1 per 5.000 anak. Dewasa ini telah mencapai 3 per 5,000 anak, dan peningkatan ini akan terus berlangsung, di mana di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan ada sekitar 6.900 anak menyandang autisme. Autisme terjadi di belahan dunia manapun. Tidak peduli pada suku, ras, agama maupun status sosial (Kesehatan Masyarakat, 2002).
Terdapatnya peningkatan kasus kecemasan dari ibu-ibu yang memiliki anak penyandang autisme menimbulkan masalah dalam menghadapi kehidupan. Kecemasan yang tak terarah dapat menyebabkan stres bagi ibu tersebut sehingga mereka akan mengalami kemampuan koping yang kurang baik dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Dukungan sosial merupakan salah satu alternatif yang dapat dicari oleh mereka dalam mengatasi hal tersebut, baik dari kelompok atau individu itu sendiri sehingga mereka mampu mengendalikan perasaan, emosi, sikap dan perilaku.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen semu (Quasi experimental) dengan rancangan non-equivalent prestest posttest with control group. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi dinamika kelompok terhadap kemampuan koping dan tingkat stres ibu yang mempunyai anak penyandang autisme. Variabel yang diteliti meliputi kemampuan koping dinilai dengan skala F-COPES dan tingkat stres dinilai dengan skala CES-D sebagai variabel dependen dan karakteristik individu (usia ibu, status pekerjaan, sosial ekonomi, pendidikan, pengetahuan, usia autisme, jenis kelamin, lama terapi, no unit kelahiran) sebagai faktor confounding, Analisis dilakukan secara univariat, bivariat.
Hasil analisis diketahui bahwa ada peningkatan kemampuan koping ibu setelah dilakukan intervensi dinamika kelompok. Dari hasil penelitian diharapkan bagi ibu-ibu yang mempunyai anak penyandang autisme untuk menurunkan kecemasan pada diri mereka agar dapat mencari dukungan sosial di dalam masyarakat baik dalam bentuk kelompok atau individu.

There is a tendency of increasing the number of autism cases in Indonesia. The ratio of the autism patient in the last 10 years is 1 in 5000 children. At the moment the number of autism patient is reaching the ratio of 3 in 5000 children, where in Indonesia every year is estimated around 6900 children with autism. The autism can be happened on every country, people with any culture, race, religion and social status (Public Health, 2002).
The mother of autism child may have anxiety as an affect of the child's condition. This anxiety may affect the quality of the family life. The anxiety experienced by the mother would contribute to the ability of mother to use the positive coping mechanism. The social support can be as one of positive coping alternating of the mother in dealing with psychosocial problem. The social support could be provided by the group of mother with similar problem in dealing with their feeling, emotion and behavior.
This study was using quasi experiment approach with non-equivalent pre-test post-test using control group. The goal of this study was to determine the influence of group dynamic intervention towards coping ability and stress level of the mother with autistic child. The variable of this study were the ability of the mother analyzed by F-copes scale and the level of stress by the CES-D scale as the dependent variable and the demographic data (age, working status, social economic background, educational background, the age of autistic child, sex, and duration of the therapy) as the confounding factor. The analyze process used univariate and bivariate.
The result of this study depicted that there was an improvement of the coping ability of the mother after intervention. The recommendation of the study was proposed that the group dynamic intervention can be properly used by the group of the mother with autistic child to share the problems and their solutions so that there would be decreased level of anxiety and also improved social support both from the community and their own group.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2005
T18688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernanda Anindita
"Dalam DSM-IV (APA, 1994) dikemukakan bahwa autisme adalah suatu gangguan perkembangan perilaku yang ditandai oleh kerusakan pada kemampuan komunikasi dan interaksi sosial serta pola-pola minat, aktivitas dan perilaku yang terbatas, diulang-ulang dan stereotipi. Untuk dapat didiagnosa autisme, seorang anak harus memiliki ketiga kriteria di atas namun memang ada kriteria yang menonjol diantara ketiganya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kekurangan tersebut, intervensi yang diberikan harus sedekat mungkin dengan kebutuhan anak. Secara umum, program ini bertujuan untuk memperbaiki kemampuan komunikasi anak dimana perbaikan dilakukan dengan cara membantu anak untuk dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicara. Dengan anak dapat melakukan kontak mata dalam kurun waktu tertentu, diharapkan ia dapat diajarkan berbagai hal lain seperti mengajarkan bagaimana mendiskriminasi benda-benda di sekitarnya. R telah berhasil menjalankan program intervensi yang diberikan, ditandai dengan ia dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicara selama kurun waktu tertentu. Di sisi lain, dalam melakukan diskriminasi benda, R belum dapat mendiskriminasi benda lebih dari dua karena adanya faktor eksternal yang mempengaruhi kelancaran intervensi. Kesimpulan yang dapat diambil adalah terapi Applied Behavior Analysis (ABA) dapat diterapkan dalam melatih R untuk melakukan kontak mata dan diskriminasi benda. Meskipun demikian, masih ada beberapa kelemahan dalam program ini yang perlu diperbaiki dalam penerapan intervensi applied behavior analysis selanjutnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T38111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Airin Yustikarini Saleh
"ABSTRAK
Adanya konilik di beberapa daerah di Indonesia menimbulkan
banyak penderitaan, terutama bagi anak-anak. Pertumbuhan anak akan
menjadi terhambat bahkan dapat terhenti akibat situasi lingkungan yang
harus dihadapinya. Pada saat konflik dan pengungsian atau situasi
kedaruratan lainnya anak mengalami peristiwa traumatis seperti
menyaksikan pembunuhan atau kekerasan yang dilakukau oleh dan kepada
orang yang dekat dengan anak. Anak bahkan tidak hanya menjadi saksi atau
nngamat peristiwa saja, melainkan juga menjadi target kekerasan, dimana
hal tersebut dapat menimbulkan trauma pada anak.
Banyak kenyataan menunjukkan bahwa seringkali anak rnenjadi
pihak yang diabaikan, padahal anak memegang peranan penting dalam
membangun masa depan yang penuh damai. Proses perdamaian tidak dapat
berjalan dengan efektif apabila terjadi kegagalan untuk membantu anak
memberikan kontribusi yang positif terhadap perdamaian itu sendiri.
Perdamaian membutuhkan perubahan dalam memandang dan
mempersepsikan lawan, dengan kemampuan untuk memaafkan lawan
sebagai titik awal. Tindakan memaafkan (forgiveness) dan rekonsiliasi
merupakan komponen esensial dalam transformasi kekerasan ke arah
perdamaian.
Oleh karena ilu dibutuhkan suatu program pendidikan nntuk
mengembangkan sikap memaafkan pada anak-anak. Program ini berlujuan
memberikan informasi mengenai tindakan memaaikan kepada anak. Selain
itu memberikan ketrampilan yang dibutuhkan anak untuk membentuk pola
perilaku memaafkan.
Kekurangan yang terutama adalah program ini belum pemah
diujicobakan pada kelompok anak, terutama pada mereka yang tinggal di
daerah konflik. Dengan demikian, belum diketahni apakah materi serta cara
penyajian yang digunakan benar-benar efektif nntuk mengembangkan sikap
memaafkan pada anak-anak. Selain im surnher materi yang digunakan
dalam program ini masih kurang bervariasi. Analisa kebutuhan yang
digunakan sebagai dasar penyusunan program juga masih terlalu luas,
belum spsifik dalam menggambarkan proses memaafkan secara lebih
mendalam. Hal ini menyebabkan materi program belum menyenluh
karakteristik perilaku anak yang tinggal di daerah konflik herkaitan dengan
perilaku memaafkan.
Berkaitan dengan kekurangan-kekurangan tersebut, penulis
menyarankan agar pengguna program ini terlebih dahulu menguji coba
program ini sebelum menggunakannya. Dengan demikian dapat dilakukan
modiiikasi program jika memang dipérIukan. Tambahan aktivitas juga
dibutuhkan dan disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak di daerah konflik
yang berbeda-bedn, disesuaikan dengan adat istiadat dan Icehudayaan
setempat. Untuk penggunaan yang lebih luas, pada kelompok anak yang
lebih besar, penulis sangat menyarankan adanya analisa kebutuhan pada
setiap kelompok anak yang akan mengikuti program Hal ini disebabkan
setiap program pendidikan selalu bersifat tailor made, yaitu penyusunan
program disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan peserta agar
program lebih mengenai sasaran. Dengan analisa kebutuhan, maka materi
dan penyajian program dapat disesuaikan dengan kbutuhan yang muncul
pada tiap-tiap kelompok anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabiola Priscilla Harlimsyah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kemajuan yang dicapai oleh seorang anak penyandang autisme ringan melalui penerapan terapi sensory integration selama tiga bulan. Selain itu, penulisan tugas akhir ini juga bertujuan untuk mengetahui hal-hal apa yang mendukung keberhasilan terapi. Penelitian ini melibatkan seorang anak penyandang autisme ringan yang diambil secara purposif dengan menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat kemajuan dalam aspek komunikasi, interaksi, dan emosi pada diri subjek setelah menerapkan terapi sensory integration secara efektif selama tiga bulan. Hal ini disebabkan oleh pelaksanaan sesi terapi yang cukup rutin juga keterlibatan keluarga subjek untuk melakukan berbagai aktivitas dan pendekatan yang mendukung terapi. Berbagai aktivitas yang mendukung terapi seperti hiking, berkuda, dan renang dapat memberikan input-input sensorik yang dibutuhkan subjek. Pendekatan visual support yang diterapkan terhadap subjek memudahkannya untuk berkomunikasi melalui gambar. Interaksi antara subjek dengan Ibu juga lebih berkembang dengan penerapan prinsip floor Iime, meskipun belum diterapkan secara optimal. Selain beberapa faktor yang mendukung, terdapat juga beberapa kondisi yang dapat menghambat terapi, antara lain kondisi Kendala maupun kemajuan yang dialami oleh subjek dapat dipengaruhi oleh berbagai hal yang belum banyak tergali dalam waktu yang singkat. Untuk itu, penelitian serupa hendaknya dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama. Dengan demikian, kita dapat memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai kemajuan maupun informasi tambahan dari penerapan terapi sensory integration pada anak penyandang autis ringan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>