Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169957 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arindina Meisitta Widhikora
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara forgiveness dan psychological well-being pada individu yang menikah. Pengukuran forgiveness menggunakan alat ukur transgression-related interpersonal motivation 12-scale form (McCullough., et al, 1998) dan pengukuran psychological well-being menggunakan alat ukur Ryff’s psychological well-being scale (Ryff, 1995). Partisipan berjumlah 74 individu yang memiliki karakteristik sebagai seseorang yang terikat dalam hubungan pernikahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara forgiveness dengan psychological well-being pada pasangan yang menikah (r = 0.318; p = 0.006, signifikan pada L.o.S. 0.01). Artinya, semakin tinggi skor forgiveness yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi ia menampilkan kesejahteraan secara psikologis. Berdasarkan hasil tersebut, perlu diadakan intervensi untuk meningkatkan forgiveness sebagai salah satu faktor dibalik bertambahnya psychological well-being.

This research was conducted to find the correlation between forgiveness and psychological well-being in married couples. Forgiveness was measured by using an instrument called transgression-related interpersonal motivation 12-scale form (McCullough, et al, 1998) and psychological well-being was measured by using an instrument called Ryff‟s psychological well-being scale (Ryff, 1995). The participants of this research were 74 individuals with a characteristic of currently being married.
The main result of this research showed that forgiveness is positively and significantly correlated with psychological well-being (r = 0.318; p = 0.006, significant at L.o.S. 0.01). That is, the higher the level of forgiveness in one‟s own nature, the higher that person shows psychological well-being inside oneself. Based on such results, there needs to be an intervention to increase forgiveness as one of the factors in increasing psychological well-being.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45734
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisda Kartika Gunawan
Depok: Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia, 1998
S2606
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Utari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jenis komitmen perkawinan dengan penyesuaian perkawinan pada individu yang menikah melalui proses ta?aruf. Komitmen perkawinan diduga memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dean & Spanier, 1974). Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pengukuran komitmen perkawinan dilakukan dengan menggunakan alat ukur komitmen perkawinan Johnson, dkk. (1999) dan pengukuran penyesuaian perkawinan dilakukan dengan menggunakan alat ukur Marital Adjustment Test. Pada penelitian ini terdapat tiga jenis komitmen yaitu komitmen personal, komitmen moral dan komitmen struktural.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis komitmen personal dan moral memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan penyesuaian perkawinan. Namun pada komitmen struktural dengan penyesuaian perkawinan memiliki hubungan yang tidak terlalu signifikan. Komitmen personal dan komitmen moral merupakan faktor internal yang ternyata berhubungan dengan penyesuaian perkawinan sementara itu komitmen struktural tidak berhubungan dengan penyesuaian perkawinan yang merupakan faktor eksternal.

This study was conducted to determine the relationship between the types of commitment of marriage with marital adjustment in individuals who were married through ta'aruf process. Marital commitment suspected of having correlation with marital adjustment (Dean & Spanier, 1974). The study was conducted using a quantitative approach. Measurement of marital commitment made by using a measuring instrument commitment of marriage Johnson, et al. (1999) and marital adjustment measurements performed using a measuring instrument Marital Adjustment Test. In this study, there are three types of commitments that personal commitment, moral commitment and structural commitment.
The results showed that the type of personal commitment and moral have a positive and significant relationship with marital adjustment. But the structural commitment has a relationship that is not too significant with marital adjustment. Personal commitment and moral commitment are internal factors that were associated with marital adjustment while the commitment is not related to the structural adjustment of marriage which is an external factor.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Khori Imami
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara komitmen perkawinan dengan kualitas perkawinan. Komitmen perkawinan didasarkan pada teori menurut Johnson dkk. (1999), bahwa komitmen perkawinan terbagi atas tiga tipe yaitu personal, moral dan struktural. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen perkawinan dengan kualitas perkawinan.
Subyek penelitian adalah individu yang telah menikah dengan melalui proses ta'aruf. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner komitmen perkawinan yang diadaptasi dari Johnson dkk. (1999) dan juga Quality Marriage index (QMI) yang diadaptasi dari Norton (1983). Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah uji korelasi Pearson Product Moment.
Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan dari ketiga tipe komitmen dengan kualitas perkawinan, sehingga hipotesis yang diajukan diterima. Selain itu, ditemukan juga bahwa hasil uji korelasi antara ketiga tipe komitmen tersebut memiliki kekuatan korelasi yang berbeda, dimana kekuatan korelasi komitmen personal adalah kuat, komitmen moral adalah sedang dan komitmen struktural adalah lemah.

This study aims to determine whether there is a relationship between the marital commitment with marital quality in individuals who were married through ta'aruf process. The marital commitment is based on theory according to Johnson et al. (1999), that marital commitment is devided into three types, namely personal, moral and structural. Researcher hypothesized that there is a significant positive relationship between marital commitment with marital quality.
Research subject in this study were individual who had married through ta'aruf process. Instrument that used in this study was a questionnaire, adapted from marital commitment of Johnson et al. (1999) and also the Quality of marriage Index (QMI), which was adapted from Norton (1983). The analytical methods used to test the hypothesis using Pearson Product Moment Correlation test.
Result of the analysis showed that there was a significant positive correlation of the three types of commitment are correlated with the quality of the marriage, so the hypothesis is accepted. In addition, it was found also that the result of correlations between the three types of commitment have different correlation force, which the type of personal commitment is strong, moral commitment is moderate and structural commitment is weak.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60223
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frea Petra Maheswari
"Masa depan tidak akan dapat diraih apabila seseorang tidak dapat melakukan pemaafan. Pemaafan dibutuhkan seseorang untuk tidak menyimpan rasa dendam dan bersalah yang disebabkan oleh peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dewasa muda yang merupakan masa dengan banyak konflik dan peralihan hidup tentu mengalami hambatan yang terjadi disebabkan oleh diri mereka sendiri maupun hal-hal di luar diri mereka. Pemaafan diperlukan oleh dewasa muda agar dapat memaafkan hal-hal tersebut demi tercapainya cita-cita mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pemaafan dan kesejahteraan psikologis pada dewasa muda. Sebanyak 175 partisipan berusia 22-44 tahun mengisi kuesioner yang mengukur pemaafan Heartland Forgiveness Scale/HFS dan kesejahteraan psikologis Ryff rsquo;s Psychological Well-Being Scale/RPWB. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara pemaafan dan kesejahteraan psikologis pada dewasa muda r=-0.620.

Future cannot be reached if one cannot do forgiveness. Forgiveness is needed to keep us from holding grudge and guilt caused by past events. Young adulthood is a phase of many conflicts and life transitions that obstructed by themselves or another person. Forgiveness is necessary to young adult so that they can forgive those underexpected things for the sake of achieving their aspirations.
The aim of this research was to examine the relationship between forgiveness and psychological well being among young adulthood. A total of 175 participants aged 22 44 completed questionnaires of forgiveness Heartland Forgiveness Scale HFS and psychological well being Ryff rsquo s Psychological Well being Scale RPWB . The result of this research showed that there is a significant and positive relationship between forgiveness and psychological well being among young adulthood r 0.620.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S66070
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunaryo
"Stroke merupakan salah satu penyakit akut yang paling besar menimbulkan ketidakmampuan (disabling) (Guccione dkk; dalam Sarafino, 1998). Ketidakmampuan (disabling) yang terjadi adalah adanya hambatan (handicap) dan kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa jalan, menelan, dan melihat akibat pengaruh stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) mengatakan bahwa banyak penderita stroke menjadi cacat, invalid, tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sedia kala, menjadi tergantung pada orang lain, dan tidak jarang menjadi beban bagi keluarganya. Beban ini dapat berupa beban tenaga, beban perasaan, dan beban ekonomi. Anggrahaeni (2003) mengatakan secara lebih gamblang bahwa perubahan yang teijadi akibat stroke juga mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Mereka mengalami stress karena hidup mereka secara keseluruhan berubah. Mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan keadaan yang baru. Di samping itu, mereka juga masih harus dihadapkan dengan adanya tambahan tanggung jawab. Tanggung jawab itu tidak hanya sebatas mengurus dan melatih si penderita untuk kembali pulih, namun juga tanggung jawab atas pekeijaanpekeijaan yang tidak dapat dilakukan lagi oleh penderita. Seorang istri yang suaminya menderita stroke misalnya, bisa jadi terpaksa bekeija mencari tambahan penghasilan untuk menghidupi keluarga dan biaya pengobatan (Anggrahaeni, 2003). Oleh karenanya, kehidupan rumah tangga dengan salah satu pasangan menderita penyakit akut, seperti stroke, adalah kenyataan hidup yang pada dasarnya tidak diinginkan oleh setiap pasangan suami istri manapun. Kondisi ini tentunya akan berpotensi menimbulkan masalah dan juga mempengaruhi hubungan atau interaksi pasangan suami istri. Hal ini karena stroke tidak hanya berdampak bagi si penderitanya saja melainkan juga bagi lingkungan terdekatnya yaitu pasangan serta keluarganya (Walerby & Forsberg et al, 1999). Penyakit stroke yang diderita oleh salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional (emolional well-being) anggota keluarga lainnya. Anggola keluarga dari pasien stroke, biasanya akan mengalami kekacauan emosional (emotional turmoil) (Walerby & Forsberg et al, 1999). Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai kesejahteraan psikologis (psychological well-bing) pada istri yang memiliki suami penderita stroke. Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran keenam dimensi kesejahteraan psikologis yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1995) yaitu: dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, dimensi tujuan hidup, dan dimensi pertumbuhan pribadi. Penelitian dilakukan terhadap 4 orang istri yang memiliki pasangan terserang stroke. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang lebih dapat menggambarkan proses yang kompleks dan menyeluruh dibandingkan penelitian lain. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam karena peneliti ingin mengetahui pengalaman subyektif subyek. Untuk melengkapi data hasil wawancara, dilakukan observasi terhadap subyek selama proses berlangsungnya wawancara. Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah bahwa kesejahteraan psikologis pada istri yang memiliki pasangan terserang stroke pada penelitian ini tampaknya menunjukkan keragaman kondisi. Secara umum dengan karakteristik demografis yang berbeda, gambaran seluruh dimensi kesejahteraan psikologis 3 subyek menunjukkan kondisi yang relatif sama baiknya. Sedangkan 1 subyek lainnya berbeda dengan ke 3 subyek lainnya pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, otonomi, dan pertumbuhan peribadi. Namun secara umum terlihat kecenderungan bahwa situasi stroke beserta dampak-dampaknya pada awalnya (beberapa minggu setelah kejadian) memberikan tekanan-tekanan psikologis sehingga mereka perlu berproses untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis yang saat ini dirasakannya. Para subyek akhirnya menilai pengalaman menjalani kehidupan dengan suami yang terserang stroke dengan suatu pandangan yang positif. Faktor demografis dan klasifikasi sosial ternyata tidak berpengaruh dalam pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek melainkan faktor: karakteristik pribadi, religiusitas (keberagamaan) (Koenig, Kvale, & Ferrel dalam Mardhianto, 1997), dukungan sosial (Robinson 1991), dan evaluasi terhadap pengalaman hidup (Ryff 1995) adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek. Sehubungan dengan hasil penelitian ini disarankan kepada para istri yang bersuami terkena stroke sebagai orang terdekat penderita untuk dapat mencapai kesejahteraan psikologis yang baik, memaknai peristiwa tersebut dengan penilaian yang positif, dan lebih memberikan dukungan psikologis untuk pemulihan suami yang komprehensif.
Stroke is one of the most severe acute diseases that causes disability (Guccione et al; in Sarafino, 1998). The disability that occurs is the presence of handicap and loss of ability to do something that healthy people should be able to do such as: not being able to walk, swallow, and see due to the effects of stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) said that many stroke sufferers become disabled, invalid, no longer able to earn a living as before, become dependent on others, and often become a burden for their families. This burden can be in the form of physical burden, emotional burden, and economic burden. Anggrahaeni (2003) said more clearly that the changes that occur due to stroke also affect other family members. They experience stress because their lives as a whole change. They are required to adjust to the demands of new circumstances. In addition, they also still have to face additional responsibilities. The responsibility is not only limited to taking care of and training the patient to recover, but also the responsibility for the jobs that the patient can no longer do. A wife whose husband has a stroke, for example, may be forced to work to find additional income to support the family and medical expenses (Anggrahaeni, 2003). Therefore, household life with one partner suffering from an acute illness, such as a stroke, is a fact of life that is basically not desired by any married couple. This condition will certainly have the potential to cause problems and also affect the relationship or interaction of the husband and wife. This is because stroke not only affects the sufferer but also the closest environment, namely the partner and family (Walerby & Forsberg et al, 1999). Stroke suffered by one family member can affect the emotional well-being of other family members. Family members of stroke patients usually experience emotional turmoil (Walerby & Forsberg et al, 1999). The purpose of this study was to obtain an in-depth description of psychological well-being in wives whose husbands had strokes. More specifically, this study aims to see the description of the six dimensions of psychological well-being that refer to the theory proposed by Ryff (1995), namely: the dimension of self-acceptance, the dimension of positive relationships with others, the dimension of autonomy, the dimension of environmental mastery, the dimension of life goals, and the dimension of personal growth. The study was conducted on 4 wives who had partners who had strokes. This study used a qualitative approach that could better describe complex and comprehensive processes compared to other studies. The type of qualitative research used was a case study. The data collection technique used was in-depth interviews because the researcher wanted to know the subjective experiences of the subjects. To complete the interview data, observations were made of the subjects during the interview process. The conclusion obtained from the results of this study is that the psychological well-being of wives who had partners who had strokes in this study seemed to show a variety of conditions. In general, with different demographic characteristics, the description of all dimensions of psychological well-being of the 3 subjects showed relatively equally good conditions. While 1 other subject was different from the other 3 subjects in the dimensions of positive relationships with others, autonomy, and personal growth. However, in general, there is a tendency that the stroke situation and its impacts initially (several weeks after the incident) provide psychological pressures so that they need to process to obtain the psychological well-being that they currently feel. The subjects finally assessed the experience of living with a husband who had a stroke with a positive view. Demographic factors and social classification turned out to have no effect on the formation of the psychological well-being of the subjects, but factors: personal characteristics, religiosity (religiousness) (Koenig, Kvale, & Ferrel in Mardhianto, 1997), social support (Robinson 1991), and evaluation of life experiences (Ryff 1995) are factors that influence the formation of the psychological well-being of the subjects. In connection with the results of this study, it is suggested that wives whose husbands have had a stroke as the closest people to the sufferer can achieve good psychological well-being, interpret the event with a positive assessment, and provide more psychological support for their husbands' comprehensive recovery."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Desita
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara passion dan kepuasan perkawinan pada individu dalam tahap perkawinan yang memiliki anak remaja.
Sebanyak 157 partisipan yang memiliki anak remaja (usia 13-20 tahun) mengisi kuesioner passion (subskala passion dari Sternberg?s Triangular Love Scale) dan kepuasan perkawinan (ENRICH Marital Satisfaction Scale).
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan positif (r=0.656,p<0.01). Hal tersebut menandakan bahwa passion dan kepuasan perkawinan partisipan tinggi. Berdasarkan analisis tambahan, ditemukan adanya hubungan signifikan lama berpacaran dengan kepuasan perkawinan pada partisipan (r=0.164, p<0.05).

This research is aimed to examine the relationship between passion according to Sternberg?s triangular theory of love and marital satisfaction in individuals at marital stage with teenagers.
A total of 157 participants complete the questionnaires on passion (Sternberg?s Triangular Love Scale) and marital satisfaction (Fowers and Olson?s ENRICH Marital Satisfaction Scale). This research shows that participants have high passion and marital satisfaction.
The result of this study indicates a positive and significant relationship between passion and marital satisfaction (r = 0.656, p<0.01). In addition, a significant correlation was found between courtship length and marital satisfaction (r = 0.164, p<0.05).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46005
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neysa Oktanina
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. Pengukuran komitmen kerja dilakukan menggunakan alat ukur Occupational Commitment, sedangkan pengukuran kesiapan menikah dengan menggunakan alat ukur Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah. Partisipan pada penelitian ini berjumlah 96 orang yang merupakan wanita dewasa muda yang bekerja.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara komitmen kerja dengan kesiapan menikah (r = 0.387, p < 0.01). Artinya, semakin tinggi komitmen kerja, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini, terdapat tiga area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan komitmen kerja, yaitu keuangan, anak dan pengasuhan, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, lama berpacaran, dan rencana pelaksanaan pernikahan tidak memberikan pengaruh terhadap komitmen kerja dan kesiapan menikah.

This study examined the relationship between occupational commitment and readiness for marriage in young adult working women. Occupational commitment was measured by Occupational Commitment Scale, whereas the readiness for marriage was measured by Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah. The respondents of this study were 96 young adult working women.
The result of this study shows that there is a significant, positive relationship between occupational commitment and readiness for marriage (r = 0.387, p < 0.01). It indicates that the higher occupational commitment, the higher the readiness for marriage, and vice versa. In this study, there are three areas of readiness for marriage which are found to have positive relationship with occupational commitment. Those are finance, children and parenting, also changes in partner and lifestyle.
Based on this result, age, educational level, organizational tenure, length of dating, and years of the implementation of marriage do not give impact to occupational commitment and readiness for marriage.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46494
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charina Septyandari
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perencanaan karir dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Pengukuran perencanaan karir menggunakan alat ukur Career Planning Scale (CPS) yang dikembangkan oleh Gould (1979) dan pengukuran kesiapan menikah menggunakan alat ukur Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 orang yang merupakan wanita dewasa muda yang bekerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara perencanaan karir dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja (r = 0.241, (p < 0.05). Artinya, semakin baik perencanaan karir individu, maka semakin baik pula kesiapan menikahnya. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa terdapat dua area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan perencanaan karir, yaitu keuangan dan pembagian peran suami-istri. Diketahui pula bahwa area minat dan pemanfaatan waktu luang merupakan area yang menjadi prioritas utama sampel dalam penelitian ini. Aspek demografis seperti usia, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, lama berpacaran, dan rencana menikah diketahui tidak berkorelasi secara signifikan terhadap perencanaan karir dan kesiapan menikah.

This study was conducted to determine the relationship between career planning and readiness for marriage among young adults working women. This research is quantitative study with correlational design. The measurement of career planning use Career Planning Scale (CPS) which developed by Gould in 1979, and the measurement of readiness for marriage use Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004). The sample of this study are 100 young adults working women. The result of this study indicate that there is a significant positive correlation between career planning and readiness for marriage among young adults working women (r = 0.241, (p < 0.05). It means that the better individual career planning, the higher readiness for marriage too. Based on the result of this study, it is known that there are two areas of readiness for marriage which had a significant positive correlation with career planning. Those are finances and spousal roles. It is also known that the area of interest and the use of leisure time is a priority area for the sample in this study. The demographic aspects such as age, education, occupation, duration of work, duration of dating, and marriage plan are known to be not significantly correlated to career planning and readiness for marriage."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46493
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Husna Raditya
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara attachment dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Adult Attachment Scale (AAS) (Collins & Read, 1990) digunakan untuk mengukur attachment dan Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004) digunakan untuk mengukur kesiapan menikah. Jumlah sampel penelitian ini adalah 102 individu yang merupakan dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) terdapat hubungan positif yang signifikan antara secure attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh (r=0.237, p<0.05), 2) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara avoidant attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh jauh (r=-0.341, p<0.01), dan 3) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara anxious attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh (r=-0.375, p<0.01).
Dalam penelitian ini, secure merupakan attachment style yang paling banyak dimiliki oleh dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh dan area yang diprioritaskan dalam kesiapan menikah adalah minat dan pemanfaatan waktu luang.

This research was conducted to determine the relationship between attachment and readiness for marriage in young adults who are having a long-distance relationship. Adult Attachment Scale (AAS) (Collins & Read, 1990) was used to measure attachment and Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004) was used to measure readiness for marriage. The sample size for this research was 102 young adults who are having a long distance relationship.
The result of this research indicated that 1) there is a significant positive relationship between secure attachment style and readiness for marriage in young adults who are having a long-distance relationship (r=0.237, p<0.05), 2) there is a significant negative relationship between avoidant attachment style and readiness for marriage in young adults who are having a long-distance relationship (r=-0.341, p<0.01), and 3) there is a significant negative relationship between anxious attachment style and readiness for marriage in young adults who are having a long-distance relationship (r=-0.375, p<0.01).
In this research, secure was the attachment style which was the most widely owned by young adults who are having a longdistance relationship and an area of eight readiness for marriage areas being a priority was the interested in and the use of leisure time.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S47098
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>