Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206770 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jajang Subagja
"Instalasi Radioterapi dan Radiodiagnostik menggunakan teknologi radiasi untuk pengobatan (terapi) dan pemeriksaan (diagnostik). Penggunaan teknologi radiasi di RSKD berdasarkan data bulan Maret-Mei 2006 intensitasnya cukup tinggi 51 pasien/ hari (Linac) dan jumlah kunjungan pasien ke instalasi Radioterapi rata-rata sebanyak 1.977 orang per bulan sedangkan jumlah kunjungan ke instalasi Radiodiagnostik rata-rata sebanyak 1.031 orang per bulan.
Penggunaan teknologi radiasi tersebut bila tidak secara dini diperhatikan dan dipelihara dengan baik akan menimbulkan risiko dan bahaya seperti kecelakaan radiasi, kebocoran pesawat radiasi, kecelakaan kontaminasi, kebakaran, dan sebagainya. Faktor utama terjadinya kecelakaan radiasi adalah faktor manusia, peralatan, dan lingkungan kerja. Kecelakaan tersebut sewaktu-waktu dapat terjadi dikarenakan perilaku yang tak aman dari pekerja.
Perilaku yang tak aman tersebut dapat disebabkan oleh persepsi yang salah dalam memahami risiko dan bahaya tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan persepsi pekerja tentang risiko bahaya radiasi dan faktor apa yang paling dominan dalam hubungan tersebut, selain itu jugs ingin mengetahui gambaran sistem manajemen keselamatan radiasi.
Janis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional. Data yang diperoleh akan dilakukan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai pada Instalasi Radioterapi dan Radiodiagnostik RSKD kecuali dokter. Data yang dikumpulkan berasal dari data primer dengan cara wawancara/ kuesioner dan data sekunder baik berupa data kuantitatif maupun kualitatif yang berkaitan dengan penelitian. Kemudian data tersebut diolah secara univariat (distribusi frekuensi), bivariat (analisis chi square), dan multivariat (analisis regresi logistik).
Dalam penelitian ini didapatkan hasil, sistem manajemen keselamatan radiasi di Rumah Sakit Kanker Dharmais sudah baik. Hal tersebut terlihat dari pemenuhan oleh pengusaha instalasi hal-hal yang terdapat dalam peraturan pemerintah (PP 63 tahun 2000). Persepsi pekerja tentang risiko bahaya radiasi adalah baik (57,1%). Sebagian besar pekerja memiliki persepsi yang baik terhadap kebijakan K3 (74,1%), program K3 (67,7%), kondisi peralatan (54,8%), dan media komunikasi (69,0%).
Faktor-faktor internal pekerja yang berhubungan dengan persepsi pekerja tentang risiko bahaya radiasi adalah pengetahuan dan jenis pekerjaan dan yang paling dominan berhubungan adalah jenis pekerjaan. Sedangkan faktor-faktor eksternal pekerja yang berhubungan dengan persepsi pekerja tentang risiko bahaya radiasi adalah kebijakan K3, program K3 dan media komunikasi (p value < 0,05) dan yang paling dominan berhubungan adalah kebijakan K3.
Dengan demikian, perlu adanya peningkatan kuantitas dan kualitas pelaksanaan program dan monitoring dengan melakukan penjadwalan program secara rutin, seperti promosi kesehatan pekerja, pendidikan dan pelatihan, pemeriksaan kesehatan, pengukuran dan pemantauan radiasi. Perlunya peran serta pekerja dalam setiap pelaksanaan program proteksi radiasi serta kepatuhan dan kesadaran pekerja urituk menggunakan alat pemantau radiasi perorangan.

Radiotherapy and Radiodiagnostic installation uses radiation technology for therapy and diagnostic. Utilization of radiation technology in RSKD was quite highly around 15 patientlday during March-May 2006. Number of patient visit to radiotherapy installation is 1.977 patients per month, while number of visit to Radiodiagnostic installation is 1.031 patients per month.
We need to put well attention toward utilization of those radiation technologies and maintain it to minimize risk and hazard radiation such as radiation accident, radiation equipment leak, contamination accident, burned. Main factors of radiation accidents occurrence are human, equipment, and working environment. Those accidents could occur at any times because of unsafe behavior from workers.
Those unsafe behaviors could be caused by wrong perception in understanding those risk and hazards. This research aim is to know factors that related with worker perception toward radiation risk and to assess a dominant factor in those relations as well as to know the portrait of radiation safety management system.
This research was an analytic descriptive research using cross sectional research design. Gathered data were analyzed using qualitative and quantitative approach.
Population study was all employees at Radiotherapy and Radiodiagnostic Installation of RSKD except doctor. Data were collected using questionnaire and observation of documents related.
This study found radiation safety management system in Dharmais Cancer Hospital is good enough based on fulfillment the government regulation (PP 63 Year 2003) by entrepreneur of installation. Proportion of workers who have good perception on radiation hazard risk is 57.1%. Most workers have good perception toward OSH (occupational safety and health) policy (74,1%), condition of equipment (54,8%), and communication media (69,0%),
Internal factors of workers that related to worker perception toward radiation hazard risk are knowledge and work type. The most dominant factor is work type. Meanwhile, external factors of workers that related to working perception toward radiation risk is OSH policy, OSH program, and communication media. The most dominant of external factor is perception on OSH policy.
Therefore, RSKD should improve whether quantity or quality of program such as worker health promotion, education and training, health screening, measuring and monitoring of radiation. RSKD also should monitor those programs routinely. Workers should involve in radiation protection program as well as comply to use personal radiation monitoring device.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Dewi Rahmayanti
"ABSTRAK
Kemoterapi sebagai terapi pengobatan kanker diyakini efektif dalam menghambat
pertumbuhan sel kanker. Namun terapi ini juga menimbulkan efek samping bagi
penderita kanker, salah satunya yaitu gangguan pemenuhan kebutuhan tidur.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang gambaran kualitas
tidur pada anak usia sekolah yang sedang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit
Kanker Dharmais. Penelitian ini bersifat cross-sectional dengan melibatkan 40
responden yang diambil dengan teknik total sampling. Responden mengisi
kuesioner berupa data demografi dan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index
(PSQI). Penelitian ini dianalisis menggunakan uji univariat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rerata skor PSQI 7 dari maksimal 21 (95% CI, 6,24;7,76)
yang berarti responden memiliki kualitas tidur buruk. Tenaga kesehatan
(khususnya perawat) diharapkan dapat melakukan monitoring untuk evaluasi
pemenuhan kebutuhan tidur anak kanker.

ABSTRACT
Chemotherapy as a cancer treatment is believed to be effective in inhibiting
cancer cell’s growth. However, this therapy has side effects for cancer patients,
one of them is sleeping needs disturbance. This study aims to get information
about the status of sleep quality in school-age children whom are undergoing
chemotherapy at “Dharmais” Cancer Hospital, Jakarta. This study used cross
sectional with 40 participants using total sampling technique. Participants filled
out questionnaire consisting of demographic data and the Pittsburgh Sleep Quality
Index (PSQI). This study was analyzed using univariate test. The result showed
that participants have quality sleep index with average score 7 from total 21 (95%
CI, 6,24;7,76). It’s indicated that participants have poor sleep quality. Health
provider (especially nurse) are expected to conduct monitoring to evaluate sleep
quality in children with cancer."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S55509
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rahman
"Radioterapi merupakan salah satu metode pengobatan utama kanker. Pasien yang akan menjalani radioterapi sangat rentan terhadap kecemasan. Ketidaktahuan mengenai prosedur radioterapi serta efek samping dari radioterapi dapat menimbulkan kecemasan pada pasien yang mendapatkan radioterapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor internal yang berhubungan dengan kecemasan pada pasien kanker yang mendapatkan radioterapi di RS Kanker Dharmais tahun 2013. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan metode Cross Sectional, jumlah sampel 97 responden. Instrument yang digunakan adalah Depression Anxiety Stress Scale (DASS). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pasien dengan tingkat kecemasan ringan (64,9%), kecemasan sedang (18,6%) dan tingkat kecemasan berat (16,5%). Terdapat hubungan antara jenis kelamin, program dan frekuensi radioterapi dengan tingkat kecemasan pasien dibuktikan (p < α : 0,05). Penelitian ini merekomendasikan untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan dalam memberikan palayanan berupa konseling dan pendidikan kesehatan diperlukan pada pasien yang mendapatkan radioterapi.

Radiotherapy is one of the main methods for cancer treatment. Patients undergoing radiotherapy is very prone to anxiety. Ignorance about the procedure, side effects of radiotherapy can cause anxiety. The purpose of this study was to know the internal factors related to patients receiving radiotherapy at Dharmais Cancer Hospital in 2013. This study used a descriptive cross sectional method approach with 97 patients as a sample. Depression Anxiety Stress Scale (DASS) was used as a instrument. The results shows patients with mild anxiety level (64.9%), moderate anxiety (18.6%), and severe anxiety (16.5%). There was significant corelation between sex and the frequency of radiotherapy program with proved patient's anxiety level (p < α : 0,05). The study recommends to improve the quality of nursing care in providing services such as counseling and health education to reduce patient's anxiety level.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S45962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Indah Pratiwi
"Polifarmasi merupakan penggunaan bersamaan enam obat atau lebih oleh seorang pasien. Semakin banyak obat yang digunakan maka semakin tinggi potensi interaksi yang terjadi dan dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui resiko efek samping dan potensi interaksi obat pada resep polifarmasi nonracikan. Identifikasi terkait potensi efek samping dan interaksi obat dinilai berdasarkan database dari Medscape Drug Interaction Checker, RxList Drug Interaction Checker, drugs.com Drug Interaction Checker, dan WebMD Drug Interaction Checker. Pada resep polifarmasi nonracik pertama ditemukan potensi efek samping berupa ketidakseimbangan elektrolit, hipotensi, hiperurisemia, asam urat, sakit kepala, dan mual/muntah serta terdapat dua potensi interaksi major dan empat potensi interaksi moderate. Sementara pada resep polifarmasi nonracik kedua ditemukan potensi efek samping berupa pencernaan yang terganggu, mengantuk, tremor otot rangka, peningkatan BUN atau kreatinin, dan bronkospasme serta terdapat lima potensi interaksi moderate. Berdasarkan mekansimenya, mayoritas potensi interaksi obat yang ditemukan adalah interaksi farmakodinamik (45.4%). Sementara berdasarkan tingkatannya, mayoritas potensi interaksi obat yang ditemukan adalah interaksi moderate (81.8%).

Polypharmacy is the concomitant use of six or more drugs by a patient. The more drugs used, the higher the potential for interactions that occur and can cause dangerous side effects. The purpose of this study was to determine the risk of side effects and potential drug interactions in nonconcocted polypharmacy prescriptions. Identification of potential side effects and drug interactions is assessed based on databases from Medscape Drug Interaction Checker, RxList Drug Interaction Checker, drugs.com Drug Interaction Checker, and WebMD Drug Interaction Checker. In the first non-mixed polypharmacy prescription, potential side effects were found in the form of electrolyte imbalance, hypotension, hyperuricemia, gout, headache, nausea, and vomiting, and there were two potential major interactions and four potential moderate interactions. While the second non-mixed polypharmaceutical prescription found potential side effects in the form of disturbed digestion, drowsiness, skeletal muscle tremors, increased BUN or creatinine, and bronchospasm, there were five potential moderate interactions. Based on the mechanism, the majority of potential drug interactions found were pharmacodynamic interactions (45.4%). Based on the level, the majority of potential drug interactions found were moderate (81.8%)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mellynia Tri Sugiarti
"
Dalam meningkatkan mutu maupun cakupan pelayanan kefarmasian yang baik di apotek, standar pelayanan kefarmasian perlu diperhatikan agar sesuai dengan protokol untuk pelayanan pelanggan di apotek tersebut. Bentuk pelayanan resep, mulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, hingga penyerahan obat pada pasien perlu disertai pemberian informasi yang tepat pada pasien. Hal tersebut agar pengobatan yang diberikan pada pasien tepat dan sesuai harapan terapi yang diinginkan. Pada setiap tahap alur pelayanan resep juga perlu dipastikan sebagai upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error), salah satunya terjadinya interaksi obat maupun efek samping yang tidak diinginkan. Pengamatan terkait efek samping dan interaksi obat pada obat-obatan yang diresepkan pasien dilakukan pada lima resep polifarmasi racikan yang diberikan per Januari 2023. Obat-obatan yang diresepkan tersebut biasanya terdiri atas lima atau lebih kandungan zat aktif obat yang dilakukan peracikan untuk dijadikan bentuk sediaan lain yang lebih praktis digunakan pasien. Beberapa resep obat racikan polifarmasi yang telah diamati dapat berpotensi menimbulkan interaksi obat, baik interaksi dalam level menengah (intermediate) maupun level mayor serta beberapa efek samping tidak diinginkan dapat timbul dari penggunaan obat, baik sebagai akibat dari penggunaan bersamaan dengan obat lain maupun akibat penggunaan jangka panjang.

In improving the quality and scope of good pharmaceutical services in pharmacies, it is necessary to pay attention to pharmaceutical service standards in accordance with the protocols for customer service in these pharmacies. The form of prescription services, starting from reception, checking availability, preparation of pharmaceutical preparations, medical devices and consumable medical materials including dispensing drugs, examinations, to dispensing drugs to patients needs to be accompanied by providing appropriate information to patients. This is so that the treatment given to the patient is appropriate and according to the expectations of the desired therapy. At each stage of the prescription service flows it is also necessary to ensure as an effort to prevent medication errors, one of which is the occurrence of drug interactions and unwanted side effects. Observations related to side effects and drug interactions for medicines prescribed by patients were carried out on five concoction polypharmacy prescriptions given as of January 2023. The prescribed medicines usually consist of five or more active ingredients of the drug which are compounded to be made into other dosage forms which is more practical for patients to use. Several prescriptions for polypharmacy concoctions that have been observed have the potential to cause drug interactions, both interactions at the intermediate level and major level and some unwanted side effects can arise from drug use, either as a result of concomitant use with other drugs or as a result of long- term use."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadli Maulana
"Limfoma non-Hodgkin (LNH) merupakan salah satu jenis limfoma yang ditandai dengan keberadaan sel Reed-Sternberg. Regimen kemoterapi yang paling sering digunakan pada pengobatan LNH adalah kombinasi Rituximab, Cyclophosphamide, Doxorubicin, Vincristine, dan Prednisone atau disebut juga regimen R-CHOP atau regimen kemoterapi tanpa Rituximab (regimen CHOP). Penggunaan kombinasi obat ini dapat menyebabkan risiko efek samping pada pasien. Laporan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh regimen pengobatan LNH terhadap efek samping yang terjadi. Metode yang digunakan yaitu observasi dan wawancara secara prospektif ke pasien LNH di RSUP Fatmawati periode bulan Februari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dosis pengobatan pasien LNH belum sepenuhnya sesuai dengan protokol pengobatan LNH menggunakan regimen R-CHOP/CHOP karena 4 dari 8 (50 %) pasien yang didata belum mendapatkan regimen lengkap R-CHOP/CHOP. Di sisi lain pengobatan kanker LNH dengan kombinasi R-CHOP memberikan hasil pengobatan yang cukup baik kepada pasien yang dapat ditunjukkan dengan benjolan yang berkurang di tiap siklusnya dan minimum efek samping yang terjadi.

Non-Hodgkin Lymphoma (NHL) is a type of lymphoma characterized by the presence of Reed-Sternberg cells. The chemotherapy regimen most often used in the treatment of NHL is a combination of Rituximab, Cyclophosphamide, Doxorubicin, Vincristine, and Prednisone or also called the R-CHOP regimen or chemotherapy regimen without Rituximab (CHOP regimen). The use of this drug combination can cause a risk of side effects in patients. This report aims to determine the effect of the NHL treatment regimen on the side effect that occurs. The method used was observation and prospective interviews with NHL patients at RSUP Fatmawati for the period of February. Based on the research conducted, it can be concluded that the treatment dose for NHL patients is not fully in accordance with the NHL treatment protocol using the R-CHOP/CHOP regimen because 4 out of 8 (50%) patients who were recorded did not receive the complete R-CHOP/CHOP regimen. On the other hand, the treatment of NHL cancer with the combination of R-CHOP provides quite good treatment results for patients which can be shown by the reduced lumps in each cycle and the minimum side effects that occur."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sindi Fantika
"Pemilihan dan manajemen pemasok menjadi salah satu aspek kritis dalam proses pembuatan obat agar dapat memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan dalam CPOB di mana industri farmasi dapat menjamin keamaan pasien, memberikan produk yang bermutu dan efektif, serta dapat memenuhi permintaan persediaan obat oleh konsumen. Setiap permintaan akan material atau layanan dari pemasok perlu dilakukan proses seleksi dan kualifikasi terhadap pemasok. Dalam melakukan proses seleksi kualifikasi pemasok perlu juga dilakukan proses penilaian risiko (risk assessment). Risk assessment menyeluruh diperlukan untuk memastikan pengendalian risiko yang efektif. Laporan tugas khusus ini memaparkan proses pengimplementasian supplier risk assessment terhadap vendor-vendor yang telah disetujui di PT. Takeda Indonesia berdasarkan pedoman pada SOP (Standard Operating Procedure) yang masih efektif di PT. Takeda Indonesia Bekasi tentang manajemen kualitas untuk pemasok yag berperan dalam proses CPOB dan CDOB. Dari total 106 vendor yang ada di Approved Vendor List dan Approved Vendor List for Non Raw Material-related vendor diperoleh sebanyak 6 vendor termasuk ke dalam kategori risiko 1, 30 vendor merupakan kategori risiko 2, 44 vendor tergolong kategori risiko 3, dan sejumlah 26 vendor adalah kategori risiko 4.

Supplier selection and management is one of the critical aspects in the drug manufacturing process so that it can meet the quality standards set in GMP where the pharmaceutical industry can guarantee patient safety, provide quality and effective products, and be able to meet consumer demand for drug supplies. Every request for materials or services from a supplier requires a selection and qualification process for the supplier. In carrying out the supplier qualification selection process, it is also necessary to carry out a risk assessment process. A thorough risk assessment is required to ensure effective risk control. This report described the supplier risk assessment implementation process for approved vendors at PT. Takeda Indonesia based on the guidelines on SOP (Standard Operating Procedure) which was effective at PT. Takeda Indonesia Bekasi regarding quality management for suppliers in GMP and GDP processes. From a total of 106 vendors on the Approved Vendor List and Approved Vendor List for Non Raw Material-related vendors, 6 vendors were included in risk category 1, 30 vendors were in risk category 2, 44 vendors were in risk category 3, and a total of 26 vendors is risk category 4."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riezki Tri Wahyuni
"Antikoagulan merupakan zat yang digunakan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah atau koagulasi dengan cara menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Dalam penggunaannya, antikoagulan memerlukan pemantauan secara berkala karena risiko perdarahan yang muncul, baik ringan maupun berat. Terkait dengan terapi tersebut, apoteker, berperan penting dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan di rumah sakit untuk mencegah terjadinya risiko yang ditimbulkan. Dalam pelaksanaannya apoteker akan melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinis yaitu Monitoring Efek Samping Obat atau MESO. Tujuan dilakukan penelitian ini untuk dapat mengidentifikasi masalah terkait obat antikoagulan melakukan Monitoring Efek Samping Obat antikoagulan pada pasien rawat inap Rumah Sakit Universitas Indonesia. Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 03 Mei – 30 Juni 2023 di Rumah Sakit Universitas Indonesia Pengkajian dilakukan dengan memantau dan mengamati karakteristik dan kesehatan pasien selama rentang periode tertentu dengan menggunakan metode . Hasil penelitian menunjukkan bawa terapi obat antikoagulan pada 5 pasien sudah sesuai dengan indikasi tetapi setiap penggunaan obat antikoagulan tetap harus dilakukan pemantauan ketat terkait efek samping obat lalu untuk pelaksanaan MESO di RS UI belum dilakukan secara maksimal karena masih ada beberapa komponen yang belum dilaksanakan jika terjadinya efek samping pada saat penggunaan obat.

Anticoagulants are substances used to prevent blood clotting or coagulation by inhibiting the function of several blood clotting factors. When used, anticoagulants require regular monitoring because of the risk of bleeding, whether light or heavy. Regarding this therapy, pharmacists play an important role and are responsible for implementing services in hospitals to prevent the risks that arise. In its implementation, pharmacists will carry out clinical pharmacy service activities, namely Monitoring Drug Side Effects or MESO. The aim of this research was to identify problems related to anticoagulant drugs by monitoring the side effects of anticoagulant drugs in inpatients at the University of Indonesia Hospital. Data collection was carried out on 03 May – 30 June 2023 at the University of Indonesia Hospital. The study was carried out by monitoring and observing the characteristics and health of patients over a certain period using a prospective-retrospective method. The results of the study showed that anticoagulant drug therapy in 5 patients was in accordance with the indications, however, every time anticoagulant drugs are used, strict monitoring must be carried out regarding the side effects of the drug, so the implementation of MESO at UI Hospital has not been carried out optimally because there are still several components that have not been implemented if an effect occurs side effects when using the drug.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Zhafirah Rahmita
"Tuberkulosis Resisten Obat (TB RO) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang sudah resisten terhadap obat lini pertama. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia karena penularannya sangat cepat dan morbiditasnya cukup tinggi. Banyaknya obat yang digunakan dalam pengobatan TB RO menyebabkan kemungkinan munculnya reaksi obat tidak diinginkan (ROTD). ROTD dapat menjadi salah satu faktor penyebab ketidakpatuhan pasien dan pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil pengobatan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara ROTD dengan kepatuhan dan hasil pengobatan TB RO. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional dengan data dari rekam medis pasien di RS UI periode 1 April 2022–28 Februari 2023. Analisis data menggunakan uji Chi Square. Dari 65 pasien ditemukan pasien yang mengalami ROTD sebanyak 62 pasien yang didominasi oleh pasien laki-laki, usia produktif, tidak memiliki penyakit penyerta, serta pasien yang menggunakan paduan pengobatan jangka panjang. Hasil Uji Chi Square untuk ROTD dengan kepatuhan menunjukkan nilai p=0.373 (p>0.05) dan untuk ROTD dengan hasil pengobatan didapatkan nilai p=0.120 (p>0.05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ROTD dengan kepatuhan dan hasil pengobatan pasien tuberkulosis resisten obat di Rumah Sakit Universitas Indonesia.

Drug Resistant Tuberculosis is a disease caused by Mycobacterium tuberculosis which is resistant to the first-line drugs. This disease is still a health problem worldwide because of its fast transmission and high morbidity rate. The large number of drugs used to treat Drug Resistant Tuberculosis causes the possibility of Adverse Drug Reactions (ADRs). ADRs can be one of the factors causing patient non-compliance and can ultimately affect treatment outcomes. This study aimed to analyze the relationship between ADRs with adherence and treatment results of Drug Resistant Tuberculosis. The research design used was cross sectional with medical record data of Drug Resistant Tuberculosis patients at University Indonesia Hospital from April 1, 2022, until February 28, 2023. Data analysis used the Chi Square test. From 65 patients, 62 patients with ADRs were found, dominated by male patients, adult patients with no comorbidities, and patients who used long-term combination medication. The results of the Chi Square Test ADRs with adherence showed a value of p=0.373 (p>0.05) and for ROTD with treatment results obtained p=0.120 (p>0.05). From this study, it can be concluded that there is no relationship between ADRs with Adherence and Treatment Result of Drug Resistant Tuberculosis Patients at University of Indonesia Hospital."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Fitri Chairunnisa
"Doksorubisin merupakan salah satu terapi antikanker yang termasuk golongan antrasiklin, memiliki aktivitas klinis pada penyakit kanker payudara. Doksorubisin dapat menimbulkan efek kardiotoksik akibat pembentukan doksorubisinol selaku metabolit utamanya. Salah satu metode biosampling terbaru yaitu volumetric absorptive microsampling memiliki berbagai kelebihan yaitu pengambilan darah secara finger prick, tidak dipengaruhi oleh hematokrit, dan dapat disimpan dalam suhu ruang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis doksorubisin dan mengetahui reaksi obat merugikan kemoterapi berbasis doksorubisin. Nilai multiple reaction monitoring (MRM) diatur pada m/z 544,22>396,9 untuk doksorubisin; m/z 546,22>398,9 untuk doksorubisinol; dan m/z 528,5>362,95 untuk daunorubisin. Nilai LLOQ yang diperoleh adalah 8 ng/mL untuk doksorubisin dan 3 ng/mL untuk doksorubisinol dengan linearitas 0,9904 untuk doksorubisin dan 0,9902 untuk doksorubisinol. Hasil analisis mendapatkan rentang kadar terukur untuk doksorubisin sebesar 9,47 – 87,84 ng/mL serta rentang kadar terukur untuk doksorubisinol sebesar 4,24 – 54,02 ng/mL. Dosis kumulatif doksorubisin pada pasien sebesar 47,93 – 346,09 mg/m2, hal ini menunjukkan bahwa risiko seluruh pasien terkena kardiomiopati di bawah angka kejadian 4%. Pasien yang mengalami penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri setelah kemoterapi doksorubisin terdiri dari penurunan fraksi ejeksi <10% dan ada 3 pasien yang mengalami penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri >10%. Alopesia merupakan reaksi obat merugikan subjektif yang paling banyak dirasakan pasien diikuti dengan mual dan muntah. Hasil uji hubungan menunjukkan adanya tidak signifikan antara kadar doksorubisin dan doksorubisinol terhadap reaksi obat merugikan pada pasien kanker payudara. Terdapat hubungan signifikan pada kadar doksorubisin terhadap dosis kumulatif dan waktu pengambilan sampel pasien.

Doxorubicin is an anticancer therapy belonging to the anthracycline class, which has clinical activity in breast cancer. Doxorubicin can cause cardiotoxic effects due to the formation of doxorubicinol as its main metabolite. One of the newest biosampling methods, namely Volumetric Absorptive microsampling, has many advantages, namely blood collection by finger prick, not affected by hematocrit, and can be stored at room temperature. This study aims to analyze doxorubicin and determine the adverse drug reactions of doxorubicin-based chemotherapy. The multiple reaction monitoring (MRM) value is set at m/z 544.22> 396.9 for doxorubicin; m/z 546.22>398.9 for doxorubicinol; and m/z 528.5>362.95 for daunorubicin. The LLOQ values ​​obtained were 8 ng/mL for doxorubicin and 3 ng/mL for doxorubicinol with a linearity of 0.9904 for doxorubicin and 0.9902 for doxorubicinol. The results of the analysis showed that the measured concentration range for doxorubicin was 9.47 – 87.84 ng/mL and the measured concentration range for doxorubicin was 4.24 – 54.02 ng/mL. The cumulative dose of doxorubicin in patients was 47.93 – 346.09 mg/m2, this shows that the risk of all patient developing cardiomyopathy is below the incidence rate of 4%. Patients who experienced a decrease in left ventricular ejection fraction after doxorubicin chemotherapy consisted of a decrease in ejection fraction <10% and there were 3 patients who experienced a decrease in left ventricular ejection fraction >10%. Alopecia is the most common subjective adverse drug reaction experienced by patients, followed by nausea and vomiting. The results of the relationship test showed that there was no significant relationship between doxorubicin and doxorubicinol levels on adverse drug reactions in breast cancer patients. There is a significant relationship between doxorubicin levels and cumulative dose and patient sampling time.xv,"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>