Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mila Herwina
"Pada kelompok remaja awal, strategi active coping, avoidance coping, emotion focused coping, acceptance coping, dan religious focused coping memberikan sumbangan yang signifikan terhadap tingkat stres. Strategi emotion focused coping memberikan sumbangan terbesar terhadap tingkat stres. Pada kelompok remaja madya, strategi active coping, avoidance coping, dan emotion focused coping, memberikan sumbangan yang signifikan terhadap tingkat styes. Strategi avoidance coping memberikan sumbangan terbesar terhadap tingkat stres. Ada perbedaan yang signifikan pada strategi active coping, avoidance coping, emotion focused coping, acceptance coping, dan religious focused coping dan tingkat stres antara remaja awal dan madya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Darmawan Dani
"ABSTRAK
Rumah Sakit X memilih strategi organisasi yang berfokus pada pelanggan
sebagai keunggulan daya saing terhadap rumah sakit lainnya. Fokus pada
pelanggan dijabarkan melalui konsep branded customer service, yang intinya
adalah menjadikan pelayanan kepada pelanggan sebagai brand Rumah Sakit X,
melalui pelayanan kepada pelanggan yang melebihi harapan pelanggan.
Strategi yang dipilih tersebut belum selaras dengan strategi di bidang SDM
dan manajemen SDM yang diterapkan oleh Rumah Sakit X sehingga belum
mendorong para karyawan untuk berperilaku sesuai dengan brand tersebut,
akibatnya para pelanggan belum mengalami brand Rumah Sakit X dalam proses
pelayanan kesehatan yang mereka terima.
Untuk itu perlu dilakukan peninjauan ulang dan perancangan manajemen
SDM di Rumah Sakit X, agar dapat selaras dengan brand yang ditampilkan
kepada pelanggan. Dalam merancang ulang manajemen SDM, beberapa hal yang
diperhatikan adalah: level intervensi yang akan dilakukan (level strategis atau
level implementasi), pathway penerapan branded customer service yang
dikemukakan oleh Barlow dan Stewart (2006), serta harus memperhatikan faktorfaktor
yang berpengaruh pada pembentukan perilaku dalam organisasi yang
diungkapkan melalui model MARS dari McShane dan Von Glinow (2005).

ABSTRACT
Hospital X has chosen the customer focused organization strategy in order
to compete with other hospitals. This strategy is applied through branded
customer service, where customer service is the brand of the hospital, and
implemented through giving a service that exceeds the customer’s needs.
The chosen strategy does not align with the HR strategy and HR
management at Hospital X. Therefore, the employees’ behaviors do not reflect the
brand in real service situation. Hie customer has not experience the brand yet
It is necessary to evaluate and re-design the HR management at Hospital X
and aligning it with the brand, as the reflection of customer focused organization
strategy. In redesigning the HR management, some concepts are being considered:
the level of intervention (strategic level and implementation level), the pathway of
branded customer service (Barlow and Stewart, 2005), and McShane and Von
Glinow’s MARS model (2005) to explain the factors that influence individual
behavior in organization."
2007
T37653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wulandari
"ABSTRAK
Pengelolaan sumber daya manusia merupakan hal yang esensial bagi setiap organisasi. Dengan menerapkan Human Resources Information System (HRIS) diharapkan akan meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan oleh human resource department dalam menyediakan dasar pengambilan keputusan yang tepat waktu dan akurat. Yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja dan tingkat kepuasan stakeholder dan pengguna lainnya. Kinerja Biro Kepegawaian yang dianggap kurang memuaskan dipengaruhi oleh informasi yang tidak akurat dan sulit dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan yang akurat. Peningkatan kinerja Biro Kepegawaian Instansi ABC sebaiknya dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi yaitu melalui penerapan IT-led Change sebagai ?pemicu? terjadinya perubahan pola kerja dan menumbuhkan budaya knowledge sharing di antara pegawai Biro Kepegawaian dan menerapkan knowledge management dalam organisasi. Dengan demikian tujuan untuk menjadikan Biro Kepegawaian sebagai learning organization dapat terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama. Faktor kunci dalam keberhasilan perubahan tersebut adalah adanya dukungan, komitmen dan keterlibatan aktif dari manajemen puncak dan menengah. Tanpa dukungan dan keterlibatan pimpinan dalam proses perubahan, maka perubahan yang diharapkan tidak akan pernah terjadi.

ABSTRACT
Human resource management is the essential part for every organization. Implementing Human Resources Information System (HRIS) will improve the quality o f service from human resource department in providing the basis for a timeline and acurate decision making. Eventually it will improve the performance of the organization and stakeholders? satisfaction. The performance of Biro Kepegawaian which is considered unsufficient has influenced by the information that is inaccurate and difficult to be a basis o f an accurate decision making.The Improvement of Biro Kepegawaian Instansi ABC could be happen by using information technology which is implementing IT-led Change as ?a trigger? for working pattern dan develop knowledge sharing culture among the employees in Biro Kepegawaian and establishing knowledge management in the organization. Therefore, the purpose of developing Biro Kepegawaian into learning organization could be happening in a not very long time. Key success factor in this change process is the top and middle management support, commitment and involvement. Without any support and involvement from management in the change process, the change itself can never be happen.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T37637
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Syarifah
"ABSTRAK
Permasalahan yang terjadi di PT. XXX yaitu ketidakpuasan karyawan terhadap atasan terhadap penilaian kinerjanya. Hal ini karena tidak diberikannya umpan-balik kinerja pada bawahan. Pemberian umpan-balik dapat meningkatkan kepuasan karyawan terhadap atasannya, akan tetapi pemberian umpan-balik dengan cara yang tidak tepat dapat menurunkan kepuasan terhadap atasan. Hasil dari penelitian mengenai umpan-balik, tidak semua para atasan melakukan umpan-balik pada hasil penilaian kinerja bawahan. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan para atasan dalam melakukan umpan-balik, karena sebelumnya para atasan belum pernah diberikan pelatihan mengenai hal ini. Oleh karena itu perlu diperhatikan cara pemberian umpan-balik terutama dalam pemberian umpan-balik negatif. Hasil ini membuat perancangan intervensi pelatihan umpan-balik kinerja, sehingga para atasan dapat mengetahui pemberian dan melakukan umpan-balik kinerja.

ABSTRACT
The problems that occurred in PT. XXX ie employee dissatisfaction against the boss of the performance evaluation. This is because superior are not given feedback on the performance of subordinates. Giving feedback can improve employee satisfaction to his superiors, but giving feedback in a way that is not right can lower satisfaction with superiors. Results of research on feedback, not all employers carry out the feedback on the results of the performance assessment of subordinates. This is due to the ignorance of the supervisors in conducting feedback, because previously the boss has never been given training in this regard. Therefore, it should be noted how the provision of feedback, especially in the provision of negative feedback. These results make the design of training interventions performance feedback, so that employers can and do know giving performance feedback."
2016
T45808
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandji Dwiana Merizka
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai penyebab dari timbulnya kendala pada
supervisor dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin fungsi kerja di divisi Operation
Production PT X. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk mengetahui intervensi yang dapat
diberikan untuk mengatasi kendala dan efektivitasnya dari intervensi tersebut. Penelitian ini
dilakukan pada 34 (tiga puluh empat) partisipan, yang terdiri dari 4 (empat) supervisor sebagai
partisipan wawancara dan 30 (tiga puluh) staf operator dan technician dengan menggunakan
metode wawancara, Focus Group Discussion, dan penyebaran kuesioner alat ukur instructional
supervisory role yang dikembangkan oleh Ghavifekr & Ibrahim (2014). Berdasarkan hasil analisa
pengumpulan data dan current undesirable - desirable condition , dapat disimpulkan bahwa inti
permasalahan (core problem) yang menyebabkan kendala pada supervisor dalam menjalankan
perannya sebagai pemimpin fungsi kerja unit Operation Production adalah rendahnya kompetensi
manajerial (kemampuan dan pengetahuan) supervisor dalam melakukan aktivitas manajerial dan
supervisi terhadap karyawan staf yang merupakan tenaga kerja produktif (operation & technician).
Kompetensi manajerial yang ditemukan rendah atau menjadi penyebab dari dari permasalahan yang
dihadapi supervisor di unit operation production adalah komunikasi interpersonal, umpan balik
(feedback), coaching, dan kemampuan managing people (teamwork). Bentuk Intervensi yang
diberikan adalah implementasi program pelatihan kompetensi supervisor untuk meningkatkan
kompetensi manajerial supervisor dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin dalam fungsi
kerja. Secara keseluruhan, pelatihan yang dilakukan dapat dikatakan efektif karena terdapat hasil
yang positif pada pengukuran evaluasi pelatihan pada jenjang pertama (reaksi) dan kedua
(pembelajaran) peserta.

ABSTRACT
This study aims to determine the cause of the emergence of constraints on supervisors in their role
as leaders in the work function Operation Production division PT X. In addition, the study also
aims to determine interventions that can be provided to overcome the obstacles and effectiveness
of these interventions. This study was conducted on 34 (thirty-four) participants, consisting of 4
(four) supervisor as a participant interviews and 30 (thirty) staff operator and technician using
interviews, focus group discussions, and questionnaires measuring devices instructional
supervisory role developed by Ghavifekr and Ibrahim (2014). Based on the analysis of data
collection and the current undesirable - desirable condition, it can be concluded that the core
problem (core problem) that cause constraints on supervisors in their role as leaders work function
unit Operation Production is lower managerial competencies (skills and knowledge) supervisor in
performing managerial activities and supervision of staff employees who are productive workers
(operation and technician). Managerial competence were found to be low or be the cause of the
problems faced by supervisors in unit production operation is interpersonal communication,
feedback (feedback), coaching, and the ability of managing people (teamwork). Interventions
given shape is the implementation program supervisor competency training to improve managerial
competence supervisors in their role as leaders in the work function. Overall, the training is done
can be said to be effective because there is a positive result on the measurement of training
evaluation at the first level (reaction) and second (learning) participants."
2016
T46582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Wiraswasti Ningsih
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai penyebab dari timbulnya kendala pada kelompok shift kerja dalam menjalankan proses produksi di departemen produksi PT Manufaktur X. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk mengetahui intervensi yang dapat diberikan untuk mengatasi kendala tersebut. Penelitian ini dilakukan pada 4 empat partisipan, yang terdiri dari 1 satu manajer, 1 satu supervisor, 1 satu team leader, dan 1 satu operator produksi sebagai partisipan wawancara. Berdasarkan hasil analisa pengumpulan data dan current undesirable - desirable condition, dapat disimpulkan bahwa inti permasalahan core problem yang menyebabkan kendala pada proses produksi departemen produksi PT X adalah rendahnya disiplin kerja pada masing-masing kelompok shift. Faktor-faktor yang digali dan dianalisa dalam pembahasan mengenai disiplin kerja adalah faktor ada tidaknya peraturan, faktor pengetahuan karyawan mengenai peraturan dan standar kerja, faktor performa kerja karyawan di masa lalu, faktor catatan kedisiplinan disciplinary records , dan kondisi psikologis. Intervensi didasarkan pada faktor kondisi psikologis karyawan di Departemen Produksi. Bentuk Intervensi yang disusun adalah melalui program pelatihan dengan pendekatan positive discipline untuk menerapkan disiplin kerja dengan menanamkan perilaku disiplin diri dan tanggung jawab tanpa perlu pemberian hukuman atau sanksi terhadap tindakan ketidakdisiplinan. Rancangan program pelatihan disusun sebagai pilot pelatihan untuk Departemen Produksi. Kata kunci:Disiplin kerja, positive discipline, manufaktur

ABSTRACT
This study aims to determine the cause of the emergence of constraints on group work shift in running the production process in the production department of PT Manufacturing X. In addition, this study also aims to determine interventions that can be provided to overcome these obstacles. This research was conducted in 4 four participants, consisting of 1 one manager, 1 one supervisor, 1 one team leader, and 1 one production operators as participants interview. Based on analysis of current data collection and undesirable desirable condition, it can be concluded that the core problem core problem which causes problems in the production process of the production department of PT X is the poor discipline of work in each shift group. Factors that excavated and analyzed in the discussion of labor discipline factor are whether there is a regulatory applied in organization, employee knowledge about the rules and standards of work, employee performance in the past, disciplinary records, and psychological conditions. Interventions are based on factors psychological conditions of employees in the Department of Production. Intervention compiled shape is through a training program with a positive discipline approach to instill self discipline behavior and responsibility without punishment or sanctions against acts of indiscipline. The design of the training program is structured as pilot training for Department of Production.Keywors Labor discipline, positive discipline, manufacturing"
2016
T47358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihatul Jannah
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas program team building untuk meningkatkan kerja tim. Mengetahui hambatan atau masalah yang terjadi di organisasi ini dan apa intervensi yang dapat dilakukan maka melalui survey organization blockage kepada 60 karyawan dilanjutkan dengan wawancara kepada CEO, HR manager, kepala unit dan staf maka ditemukan bahwa core problem di PT XX ini adalah lemahnya kerja tim. Intervensi yang dilakukan di organisasi ini adalah program team building diakomodir dari Noe, Hollenback, Gerhart, dan Wright 2009, p307 dengan metode Adventure Learning, Team Training, dan Action Training Noe, 2005 . Untuk mengetahui efek dari program team building ini dilakukan evaluasi kembali kepada karyawan yang hasilnya adalah bahwa program team building ini apabila diadakan secara rutin setahun dua kali akan membawa membawa efek yang positif lebih positif kepada setiap indvidu, yang kemudian menjadi efekyang positif pada kerja tim, sehingga dapat meningkatkan kerja tim di PT XX. Kata kunci: Kerja tim, intervensi, team building.

This study was conducted to determine the effectiveness of team building programs to improve teamwork. Knowing the obstacles or problems that occur in PT XX through the survey organization to 60 employees blockage followed by an interview to the CEO, HR manager, head of the unit and the staff it was found that the core problem in PT XX this is the weakness of teamwork. Interventions in this organization is a team building program accommodated from Noe, Hollenbeck, Gerhart and Wright 2009, P307 method Adventure Learning, Team Training, and Action Training Noe, 2005 . To determine the effect of team building programs have re evaluated to employees that the result is that the team building programs have if held on a regular basis twice a year will bring bring a positive effect to the individual, who later became a positive effect on teamwork, so as to improve teamwork at PT XX."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T47366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Megawati
"Penelitian ini berfokus untuk meningkatkan perilaku kerja inovatif dengan meningkatkan kepemimpinan transformasional level manajerial Bagian Penjualan PT. X. Perilaku kerja inovatif karyawan mempengaruhi tingkat keinovatifan perusahaan. Berdasarkan diagnosis awal, perilaku kerja inovatif karyawan Bagian Penjualan PT. X mungkin dipengaruhi oleh persepsi dukungan organisasi dan kepemimpinan transformasional, sehingga peneliti mengukur pengaruh persepsi dukungan organisasi dan kepemimpinan transformasional terhadap perilaku kerja inovatif. Perilaku kerja inovatif diukur dengan alat ukur yang dikembangkan oleh Janssen 2000 dan diadaptasi oleh Etikariena dan Muluk 2017 . Persepsi dukungan organisasi diukur dengan alat ukur yang dikembangkan oleh Eisenberger et al. 1986 , sedang kepemimpinan transformasional diukur dengan Multifactor Leadership Questionnaire yang dibuat oleh Bass dan Avolio 2004 . Hasil perhitungan dari 49 responden level supervisor dan manajer Bagian Perjualan PT. X menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara persepsi dukungan inovatif dan perilaku kerja inovatif, sementara kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap perilaku kerja inovatif r2= 0.34.

This reaseach focuses on improving innovative work behavior by increasing transformational leadership of the Sales Manajer PT. X. Innovative work behavior influences the innovativeness of the organization. Based on the initial diagnosis, the innovative wok behavior of the PT. X employees rsquo might be influenced by perceived organization support and transformaional leadership, so the researcher measured the relationship between perceived organization support and transformational leadership toward innovative work behavior. The tool to measure innovative work behavior was developed by Janssen 2000 and was adapted by Etikariena and Muluk 2017 . Perceived organization support was measured by the tool from Eisenberger et al. 1986 . The tool to measure transformational leadership was Multifactor Leadership Questionnaire from Bass and Avolio 2004 . The result of the 49 supervisors and managers of the Sales Department PT. X showed no relationship between perceived organization support and innovative work behavior, while transformational leadership significantly influenced innovative work behavior r2 0.34, p "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T48156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Elfida
"Konsep kebahagiaan dapat dibedakan berdasarkan perspektif hedonik (subjective well-being/SWB), eudaimonik (psychological well-being/PWB), dan gabungan keduanya (PERMA). Semua konsep kebahagiaan berasal dari pemikir dari budaya Barat yang berorientasi individualistik dan hanya terfokus pada diri manusia dan lingkungannya, kurang memperhatikan pengaruh nilai budaya lainnya yang kolektivis dan religius terhadap kebahagiaan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya peran religiusitas, spiritualitas, kebersyukuran dan makna hidup dalam kebahagiaan orang Indonesia. Penelitian ini menggunakan disain konvergen dari metode campuran. Studi kualitatif dilakukan untuk menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya dan agama mempunyai peran penting dalam pengalaman kebahagiaan partisipan. Partisipan berjumlah 9 orang berusia 23-74 tahun. Hasil studi kualitatif menemukan tiga tema besar pengalaman bahagia, yaitu pemaknaan pengalaman bahagia, dimensi kebahagiaan, dan faktor-faktor yang terkait dengan
kebahagiaan. Pemaknaan pengalaman bahagia meliputi tiga tema, yaitu rasa mampu mengatasi masalah dengan penerimaan dan syukur, kepuasan hidup dalam ketercukupan, dan rasa berharga berkat pencapaian dengan kerja keras. Dimensi
kebahagiaan mencakup enam tema yang menggambarkan pengalaman kebahagiaan hedonik dan eudaimonik. Kebahagiaan hedonik meliputi dua tema yaitu pencapaian personal dan menikmati aktivitas waktu luang. Kebahagiaan eudaimonik mencakup hubungan dengan Tuhan, hubungan baik di dalam
keluarga, hubungan sosial yang positif, dan kepedulian pada sesama. Faktor-faktor yang terkait dengan kebahagiaan meliputi ketaatan pada ajaran agama adalah hal utama, kesadaran spiritual, pemaknaan positif terhadap kehidupan,
bersyukur kepada Tuhan di saat senang dan susah, dan pemahaman terhadap makna hidup. Studi kuantitatif dilakukan untuk menguji model teoritis yang menyatakan kebersyukuran dan makna hidup memediasi hubungan antara
religiusitas dan spiritualitas dengan kebahagiaan konstruk PERMA. Partisipan adalah 421 orang berusia 17-63 tahun. Hasil studi kuantitatif memperlihatkan bahwa model teoritis yang diajukan fit dengan data. Dengan demikian,
kebersyukuran dan makna hidup terbukti memediasi hubungan antara religiusitas dan spiritualitas dengan kebahagiaan. Hasil analisis data juga memperlihatkan bahwa spritualitas, kebersyukuran dan makna hidup masing-masing merupakan prediktor yang signifikan terhadap kebahagiaan, sedangkan religiusitas tidak terbukti sebagai prediktor kebahagiaan. Hubungan spiritualitas dan kebahagiaan, juga dapat dimediasi secara parsial oleh kebersyukuran dan makna hidup. Religiusitas tidak memiliki hubungan langsung dengan kebahagiaan tetapi dimediasi penuh oleh kebersyukuran dan makna hidup. Sebagai tambahan, religiusitas dan spiritualitas merupakan konstruk yang berbeda tetapi saling berhubungan.

The concept of well-being can be distinguished based on the hedonic and eudaimonic perspectives, and the combination of both (PERMA). All the concepts of well-being came from Western thinkers whose culture is individually oriented and only focus on human beings and their environment, paying less attention to the influence of other collectivist and religious cultural values on well-being. This research aimed to prove the role of religiosity, spirituality, gratitude, and the meaning in life in the well-being of Indonesians. This research used a convergent design of mixed-method. The qualitative study was conducted to explain that culture values and religion has an important role in the participant's well-being experience. Participants were 9 people aged 23-74 years. The result of qualitative study found three major themes of well-being experience, namely meaning of well-being experiences, dimensions of well-being, and factors related to wellbeing.
The meaning of well-being included three themes, namely the sense of being able to overcome problems with acceptance and gratitude, life satisfaction in sufficiency, and a sense of worth for the accomplishment with hard work. The dimensions of happiness included six themes that describe hedonic and eudaimonic well-being. Hedonic well-being included two themes, namely personal achievement and enjoying leisure activities. Eudaimonic well-being included relationships with God, good relationships in the family, positive social relationships, and caring for others. Factors associated with well-being were adherence to religious teachings is predominant, spiritual awareness, positive meaning toward life, gratitude to God in good and bad times, and understanding of the meaning in life. The quantitative study was conducted to test theoretical model that gratitude and meaning in life mediated the relations between religiosity and spirituality with well-being (using PERMA construct). Participants were 421 people aged 17-63 years. The results showed that the proposed theoretical models was fit with the data. Thus, gratitude and meaning in life were proven to mediate the relationship between religiosity and spirituality with well-being. The results also showed that spirituality, gratitude and the meaning in life were significant predictors of well-being, but religiosity was not. The relationship between spirituality and well-being could also be mediated partially by gratitude and the meaning of life. Religiosity did not have a direct relationship with well-being but was fully mediated by gratitude and the meaning in life. In addition, religiosity and spirituality were different but interconnected constructs.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miwa Patnani
"Setiap pasangan menikah biasanya menginginkan untuk memiliki anak sebagai keturunan. Namun tidak semua pasangan memiliki anak meskipun telah menikah bertahun-tahun dengan berbagai penyebab. Ketidakhadiran anak dalam perkawinan menimbulkan berbagai dampak baik dampak positif maupun negatif. Riset empiris menunjukkan bahwa pasangan yang tidak memiliki anak memiliki kualitas perkawinan yang rendah, namun sebagian riset lain menunjukkan kebalikannya. Perbedaan tersebut diasumsikan karena adanya perbedaan individu dalam memaknai pengalamannya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam
bagaimana pengalaman pasangan tanpa anak dalam menjalani perkawinannya, dan bagaimana peranan konteks dalam mempengaruhi pengalamannya tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi fenomenologi yang menekankan pada pengalaman partisipan. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 11 orang yang telah menikah minimal selama 3 tahun dan belum pernah memiliki anak. Metode pengambilan data dilakukan dengan
wawancara mendalam. Hasil wawancara kemudian dianalisis dengan menggunakan Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) yang menghasilkan 8 tema pengalaman partisipan, yaitu pengalaman positif, pengalaman negatif, penerimaan, relasi dengan pasangan, relasi dengan lingkungan, relasi dengan Tuhan, konflik, dan penilaian pada perkawinan.
Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa pasangan tanpa anak merasakan pengalaman positif maupun negatif terkait dengan kondisinya. Dengan interaksi yang positif dan dukungan sosial dari lingkungan terdekat memudahkan penerimaan terhadap ketidakhadiran anak dalam perkawinan yang pada akhirnya mempengaruhi penilaian yang positif terhadap kualitas perkawinannya.

It is such a common thought to every married couple to have children as heirs, especially in pro natalist country. Unfortunately, not every married couple could have children due to some condition, mainly infertility related. The absence of children causing both positive and negative impact to the couple. Some empirical studies showed that childless couple have a high quality married, but some studies showed the opposite result. The contradictive result assumed to be caused by the individual differences in their experiences. This study aimed to explore how involuntary childless’ experience and how these experiences affected by context. Qualitative
approached using phenomenological study is considered to be the best approach to answer these research questions. Participants of this study were 11 individuals who considered as involuntary childless, have been married for at least 3 years and never have biological children. Data was gathered by in depth interview, and analyzed using Interpretative Phenomenological Analysis.
Result showed 8 themes including positive experience, negative experience, acceptance, spousal relation, external relation, religious relation, conflict and marital evaluation. As a conclusion, this study suggest that involuntary childless have both positive and negative
experience due to their condition. Along with positive interaction and social support, involuntary childless develop a good coping strategies to cope and lead to an acceptance to the absence of children. Furthermore, it will affect to the evaluation of the high quality of marriage.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library