Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sengdy Chandra Chauhari
"Tujuan: Mengetahui pengaruh suplementasi 500 mg vitamin C, 6 mg beta-karoten dan 400 IU alfa-tokoferol sehari selama. 2 minggu terhadap fimgsi makula perokok sedang.
Desain: Uji klinik eksperimental secara acak dan tersamar ganda
Metode: Empat belas perokok sedang mendapatkan suplementasi antioksidan (kelompok perlakuan) 500 mg vitamin C, 6 mg beta-karoten dan 400 IU alfa-tokoferol sehari selama 2 minggu. Empat belas perokok sedang mendapatkan plasebo (kelompok kontrol). Pemeriksaan fovea! threshold, photopic electrorelinography (ERG) dan kadar antioksidan total serum dilakukan pre- dan post-suplementasi.
Hasil: Foveal threshold pads kelompok perlakuan dan kelompok kontrol bertuut turut adalah 35,0 ± 3,1 dB dan 31,1 ± 3,0 dB. Amplitudo photopic ERG pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berturut turut adalah 124,3 ± 34,5 pV dan 72,1 ± 19,9 V. Waktu implistt photopic ERG pads kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berturut-turut adalah 33,8 ± 1,4 msec dan 36,6 ± 1,8 msec. Kadar antioksidan total serum pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berturut turut adalah I,48 ± 0,09 mg/dL dan 1,39 ± 0,11 mg/dL. Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) antara kedua kelompok penelitian.
Kesimpulan: Suplementasi 500 mg vitamin C, 6 mg beta-karoten dan 400 IU alfa-tokoferol sehari selama 2 minggu dapat meningkatkan fungsi makula perokok sedang, berupa peningkatan foveal threshold peningkatan amplitudo photopic ERG dan pemendekan waktu implisitphotopic ERG.

Objective: To evaluate the effects of 2 weeks' supplementation of 500 mg vitamin C, 6 mg beta-carotene and 400 IU alpha-tocopherol daily on macular functions of moderate smokers.
Design: Randomized, double-blind experimental clinical trial
Methods: Fourteen moderate smokers assigned with antioxidants (subject group) 500 mg vitamin C, 6 mg beta-carotene and 400 IU alpha-tocopherol daily for 2 weeks. Fourteen moderate smokers assigned with placebo (control group). Pre- and post-supplementation examination of foveal threshold, photopic electroretinography (ERG) and serum total antioxidant level was done.
Results: Post-supplementation, foveal thresholds in subject group and control group were 35.0 + 3.1 dB and 31.1 + 3.0 dB respectively. Amplitudes of photopic ERG in subject group and control group were 124.3 + 34.5 p.V and 72.1 ± 19.9 RV. Implicit times of photopic ERG in subject group and control group were 33.8 ± 1.4 cosec and 36.6 + 1.8 cosec respectively. Serum total antioxidant levels in subject group and control group were 1.48 ± 0.09 mgldL and 1.39 + 0.11 mg/dL respectively. There were significant differences (p<0,05) between two groups.
Conclusion: Two weeks' supplementation of 500 mg vitamin C, 6 mg beta-carotene and 400 IU alpha-tocopherol daily significantly increases macular function of moderate smokers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiansyah Kusuma
"Banyak organisasi yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan mata telah banyak mengajukan panduan dalam pelayanan kesehatan mata terutama yang berkaitan dengan penglihatan warna. The most widely used untuk skrining gangguan penglihatan warna adalah tes Ishihara. Namun saat ini ditawarkan vision tester yang multifungsi untuk banyak berbagai skrining kesehatan mata termasuk penglihatan warna. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara hasil pemeriksaan menggunakan vision tester dengan hasil pemeriksaan menggunakan tes Ishihara pada skrining penglihatan warna pekerja dan untuk mengetahui proporsi gangguan penglihatan warna pada pekerja yang menjadi subyek dalam penelitian ini, dilakukan studi potong lintang dengan memakai data sekunder dari hasil pemeriksaan para pekerja laki-laki dari berbagai jenis perusahaan di Jakarta dan Bogor. 32 dari 492 (6,5%) pekerja terdeteksi sebagai gangguan penglihatan warna oleh tes Ishihara. Namun terlihat ketidaksesuaian hasil yang diperoleh dari kedua alat dimana 152 dinyatakan normal oleh tes Ishihara, sedangkan vision tester menyatakan sebagai gangguan dengan presentasi ketidaksesuaian mencapai 33%. Keduanya ternyata berbeda secara bermakna berdasarkan uji Mc Nemar (p<0.001) dan memiliki tingkat kesesuaian yang rendah berdasarkan uji Kappa dengan nilai 0,21 (p<0.001). Perbedaan panjang gelombang cahaya mungkin menyebabkan bias. Proporsi pekerja dengan gangguan penglihatan warna sebesar 6,5%. Sedangkan berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan vision tester prevalensi gangguan penglihatan warna sebesar 37,4%. Sebagai simpulan adalah hasil pemeriksaan menggunakan vision tester ternyata memiliki ketidaksesuaian dengan hasil pemeriksaan menggunakan tes Ishihara pada skrining penglihatan warna. Dan proporsi gangguan penglihatan warna pada pekerja yang menjadi subyek dalam penelitian ini menurut tes Ishihara sebesar 6,5%, sedangkan menurut vision tester sebesar 37,4%. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari penyebab ketidaksesuaian ini. Juga disarankan melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan vision tester dari merek yang berbeda lain.

Most eye health services organizations had released guidence to vision examination especially related the color vision. Ishihara test is the most widely used for color vision screening. However currently a multifunctional tester offered for vision screening including color vision. A Cross sectional study was conducted by using secondary data to determine the level of suitability between the vision tester and the Ishihara test, based on the results of color vision screening from booth in Male workers from several types of companies in Jakarta and Bogor and also to find out the proportion of impaired colour vision from them. 32 of 492 (6.5%) workers detected as impaired color vision by Ishihara test. But a significant mismatch results was obtained from both which 152 declared normal by Ishihara test, while the vision tester states as impaired and the mismatches reaches 33%. Both tools showed the mismatch according to Mc Nemar test (ρ <0.001) and had a low level of suitability from the Kappa test based on the value of 0.21 (ρ <0.001). The difference of wavelengths of light may cause bias. From the results of Ishihara test, proportion of workers with impaired color vision is 6.5%. While based on the results of vision tester, impaired color vision is 37.4%. We conclude that there is no suitability between the vision tester and the Ishihara test, based on the results of color vision screening. Needed further research to find the cause of this mismatch. Also suggested to do the same study by using vision tester from different brands."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahayu Yulianti
"Tujuan: Mendeteksi perubahan kerusakan saraf optik pada penderita TB paru yang diterapi dengan Etambutol setelah diberikan suplementasi ion Zinc peroral.
Desain: Uji klinik eksperimental secara acak dan tersamar ganda.
Metode: duapuluh dua penderita tuberkulosis paru dengan anti tuberkulosis mendapatkan suplementasi 20 mg ion Zinc (kelompok perlakuan) begitupula duapuluh dua penderita tuberkulosis pare mendapatkan anti tuberkulosis dan plasebo (kelompok kontrol) satu kali sehari selama 4 minggu. Pemeriksaan P 100 [atensi VEP dilakukan pra dan paska suplementasi.
Hasil: Pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan bermakna pada variabel usia, jenis kelamin dan VEP awal. Sehingga kedua kelompok setara untuk dibandingkan. Sebesar 18 penderita (81,8%) pads kelompok kontrol dan hanya sebesar 5 penderita (22,7%) pada kelompok perlakuan mengalami perubahan nilai P 100 latensi abnormal (p< 0.05). Rerata perubahan nilai P 100 latensi abnormal pada kelompok perlakuan sebesar 4A5 + 1.18 msec dan pada kelompok kontrol sebesar 5.21 + 1.49 msec (p< 0.05).
Kesimpulan: VEP dapat mendeteksi neuropati optik subklinis sehingga dapat dipakai sebagai alat ukur memonitor efek toksik dari anti tuberkulosis. Suplementasi Ion Zinc mampu berperan sebagai neuroproteksi terhadap efek toksik Etambutol.

Treated with Etambutol and ion Zinc supplementation orally.
Design: Randomized, double blind experimental clinical trial.
Methods: Twenty two tuberculosis pulmonary patients treated with anti tuberculosis and 20 mg ion Zinc (subject group) while other twenty two patients were treated with anti tuberculosis and placebo (control group) once daily for 4 weeks. P 100 latency examination was done before and after the treatment.
Result: There were no significant difference on both groups in age,gender, and early VEP examination. Both groups can be compare statistically. Eighteen patients (81.8%) of the control group and only 5 patients (22.7%) of the subject group resulted abnormal changes on P 100 latency ( p< 0.05). In the subject group, the abnormal mean of P 100 latency was 4.15 + 118 msec and in the control group was 5.21 + 1.49 msec ( p<0.05).
Conclusion: VEP could be use to detect subclinic optic neuropathy in monitoring anti tuberculosis toxic effect. Ion Zinc supplementation could be use as neuroprotector to the Ethambutol toxic effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18174
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dialika
"Latar belakang: Salah satu efek samping yang cukup dikenal dalam pengobatan TB adalah efek samping akibat konsumsi etambutol, yang dikenal sebagai neuropati optik etambutol (NOE). Beberapa studi baru-baru ini pada hewan coba yang diberikan etambutol mendapatkan adanya penurunan jumlah sel ganglion retina pasca konsumsi etambutol.
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan menggunakan OCT setelah konsumsi etambutol dan mengetahui korelasi perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan fungsi penglihatan.
Desain Penelitian prospektif dengan uji klinis tunggal.
Hasil: Terdapat 29 subjek yang berpartisipasi pada studi ini, dengan rerata dosis etambutol yang dikonsumsi 16,44 ± 2,7 mg/kgBB/hari. Ditemukan perubahan signifikan ketebalan RNFL 2 bulan setelah konsumsi etambutol pada kuadran superior (147 ; 141μm), nasal (92 ; 88μm) dan pada rerata seluruh kuadran (116,77 ; 112,65 μm). Nilai rerata tajam penglihatan, sensitivitas warna dan lapang pandangan mengalami perubahan signifikan, namun bukan perubahan yang bermakna secara klinis. Pada studi ini korelasi antara perubahan masing-masing parameter fungsi penglihatan dengan perubahan ketebalan rerata RNFL tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan ketebalan RNFL peripapil setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan, namun belum mencapai penurunan yang bermakna klinis. Terdapat perubahan tajam penglihatan, sensitivitas warna, dan lapang pandangan yang bermakna setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan. Tidak terdapat korelasi antara perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan masing-masing fungsi penglihatan.

Background: Ethambutol Optic Neuropathy (EON) is a well-known side effect within patients receiving ethambutol therapy. Recent studies performed in animals reveal decreased amount of retinal ganglion cells after they are given ethambutol.
Purpose: To evaluate peripapillary RNFL thickness changes using OCT, before and after patients receive ethambutol therapy. To know the correlation of RNFL thickness changes with the changes of visual function.
Study design: One group pretest-posttest study.
Result: There was 29 subjects enrolling the study, with the mean dose of ethambutol 16,44 ± 2,7 mg/kgBW/day. We found significant changes of peripapillary RNFL thickness 2 months after consuming ethambutol in superior (147 ; 141 μm), nasal (92 ; 88 μm) and average RNFL thickness (116,77 ; 112,65 μm). The mean visual acuity, color sensitivity and visual field also change significantly, without clinically meaningful changes. This study did not found any statistically significant correlation between RNFL thickness changes and the changes of visual function parameters (p>0,05).
Conclusion: After 2 months ethambutol consumption, there was a statistically significant peripapillary RNFL thinning, with non-clinically significant amount of reduction. There was also significant changes of visual acuity, color sensitivity and visual field. No correlation was found between RNFL thickness thinning and visual function parameters changes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Farikha
"Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh suplementasi pycnogenol 150 mg perhari selama 8 minggu terhadap amplitudo dan waktu implisit pada gelombang b dan oscillatory potential (OP) ERG skotopik retinopati diabetik nonproliferatif ringan dan sedang.
Metode: Uji klinik acak tersamar. Empat puluh subjek dengan retinopati diabetik nonproliferatif ringan sedang diacak dan dibagi menjadi dua kelompok, 20 subjek mendapat pycnogenol, 20 subjek mendapat pycnogenol. Pengukuran objektif dilakukan sebelum pemberian suplementasi dan 8 minggu setelahnya, yang meliputi amplitudo gel.b, waktu implisit gel.b, amplitudo sum OP, waktu implisit sum OP .
Hasil: Pada kelompok pycnogenol sebelum perlakuan, amp gel.b 397,9±109,6μV, waktu implisit gel.b 48,7 (44,3-68,2) ms, amp sum OP 193,05 (15,2-498,9) μV dan waktu implisit sum OP 126,18± 7,8ms. Setelah 8 minggu pada kelompok pycnogenol, amp gel.b 396,2±115,7 μV, waktu implisit gel.b 47,8 (43,4-58,4)ms, amp sum OP 228,45 (16,3-511,8) μV dan waktu implisit sum OP 126,2 (118,2-137) ms. Pada kelompok plasebo sebelum intervensi, amp gel.b 349± 79 μV, waktu implisit gel.b 48,7 (44,3-68,2) ms, amp sum OP 101,45 (28,3-301,2) μV dan waktu implisit sum OP 130 (121,6-163,5) ms. Setelah 8 minggu pada kelompok plasebo, amp gel.b 334,65±70,3 μV, waktu implisit gel.b 49,15 (44,3 -68,2) ms, amp sum OP 124,9 (51,3-303,8)μV dan waktu implisit sum OP 130 (121,6-163,5) ms. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada semua keluaran.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik parameter amplitudo gel.b, waktu implisit gel.b, amplitudo sum OP, waktu implisit sum OP dari pemberian pycnogenol 150 mg sehari selama 8 minggu pada retinopati diabetik nonproliferatif ringan sedang.

Objective: This study is to evaluate the effect of eight weeks supplementation of 150 mg pycnogenol, to b-wave amplitude, b-wave implicit time, sum Oscillatory Potential (OP) amplitude and sum Oscillatory Potential (OP) implicit time on Electroretinography (ERG) result of mild - moderate nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR) patient, compared to plasebo.
Methods: Randomized clinical trial of 40 mild - moderate NPDR patients, which further equally divided into two groups. The b-wave amplitude (amp), b-wave implicite time (it), sum OP amplitude (amp), sum OP implicit time (it) ERG were evaluated before and after eight weeks pycnogenol supplementation
Results:The ERG results of pycnogenol group before intervention were as follows: b wave amp 397,9±109,6μV, b-wave it 48,7 (44,3-68,2) ms, sum OP amp 193,05 (15,2-498,9) μV and sum OP it 126,18± 7,8ms. After 8 weeks in pycnogenol group, b wave amp 396,2±115,7 μV, b wave it 47,8 (43,4-58,4)ms, sum OP amp 228,45 (16,3-511,8) μV and sum OP it 126,2 (118,2-137) ms. Meanwhile in placebo group before intervention, the b wave amp was 349± 79 μV, b-wave it 48,7 (44,3-68,2) ms, sum OP amp 101,45 (28,3-301,2) μV and sum OP it 130,8±8,4 ms. After 8 weeks in placebo group, b wave amp 334,65±70,3 μV, b-wave it 49,15 (44,3 -68,2) ms, sum OP amp 124,9 (51,3-303,8)μV and sum OP it 130 (121,6-163,5) ms. No statistical significant differences in all outcome
Conclusions: No significant differences in b-wave amplitude, b-wave implicite time, sum OP amplitude and sum OP implicit time ERG after 150 mg pycnogenol supplementation for 8 weeks in mild-moderate NPDR compare with placebo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Nur Utami
"ABSTRAK
Tujuan tesis ini adalah mengetahui pengaruh suplementasi sitikolin 1000 mg per hari selama 4 minggu terhadap hasil elektroretinografi pada pasien NPDR non-proliferative diabetic retinopathy . Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Tiga puluh delapan mata yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dirandomisasi untuk masuk ke dalam kelompok plasebo P-NPDR atau sitikolin 1000 mg S-NPDR . Pada akhir penelitian didapatkan 18 mata pada kelompok sitikolin dan 16 mata pada kelompok plasebo. Keluaran primer penelitian ini adalah nilai amplitudo P50 dan N95 PERG within group dan intergroup yang dinilai pada baseline dan 4 minggu paska pemberian intervensi. Analisis hasil didapatkan pada S-NPDR didapatkan perbaikan nilai rerata amplitudo N95 sebelum terapi, 4.85 1.9-10.3 V, dan setelah terapi, 5.7 1.9-17.1 V, P = 0.04 . Terdapat kecenderungan perbaikan amplitudo P50 yang lebih baik pada kelompok T-NPDR dan perbaikan amplitudo N95 yang lebih baik pada S-NPDR yang tidak bermakna secara statistik P = 0.45; P = 0.35.

ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the effect of citicoline 1000 mg oral supplementation given for 4 weeks on electroretinography abnormalities in patients with NPDR non proliferative diabetic retinopathy . The study design was a double blind randomized controlled clinical trial. Thirty eight patients who matched the inclusion and exclusion criteria were randomized into two groups the plasebo P NPDR and citicoline C NPDR . In the end, there were 18 eyes in citicoline group and 16 eyes in plasebo group. The primary outcome was P50 and N95 amplitude in PERG within group and intergroup which were taken at the baseline and 4 weeks after treatment. Results at the end of treatment, the N95 amplitude in C NPDR showed improvement, 4.85 1.9 10.3 V, before treatment to 5.7 1.9 17.1 V, after treatment with P 0.04. In P NPDR showed positive trend in P50 amplitude while in C NPDR showed positive trend in N95 amplitude, but these values were not statistically significant P 0.45 P 0.35.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univeristas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erfira
"Tujuan: Mengetahui pengaruh suplementasi 4 g Omega-3 sehari selama 6 minggu terhadap hasil elektrofisiologi retina penderita non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) ringan dan sedang. Desain: Uji klinik eksperimental secara acak dan tersamar ganda. Metode: Empat belas penderita NPDR ringan dan sedang mendapatkan suplementasi 4 g Omega-3 sehari (kelompok perlakuan) selama 6 minggu dan empat belas penderita NPDR ringan dan sedang lainnya mendapatkan plasebo (kelompok kontrol). Pemeriksaan Scotopic ERG dan kadar Omega-3 darah dilakukan pra dan pasca-suplementasi. Hasil: Rerata amplitudo gelombang-a scotopic ERG kelompok kontrol dan kelompok perlakuan berturut-turut adalah 143,32 + 62,5 uV dan 195,57 + 53,3 uV, amplitudo gelombang-b sebesar 200,32+78,6 uV dan 233,06 + 53,4 uV, waktu implisit gelombang-a kelompok kontrol dan kelompok perlakuan adalah 20,16 + 1,9 msec dan 19,36+2,8 msec, sedangkan untuk gelombang-b adalah 40,91 5,5 msec dan 40,01 3,9 msec. Kadar Omega-3 darah kelompok kontrol dan kelompok perlakuan berturut turut adalah 974 ng/mg dan 1430,12 ng/mg. Terdapat perbedaan bermakna pada amplitudo gelombang-a (p<0,05) antara kedua kelompok penelitian. Kesimpulan: Pengaruh suplementasi 4 g Omega-3 sehari selama 6 minggu tidak terbukti secara statistik dalam meningkatkan amplitudo gelombang-b dan memendekkan waktu implisit gelombang-b penderita NPDR, tetapi terbukti bermakna secara statistik dalam meningkatkan amplitudo gelombang-a."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57255
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nella Anggraini
"ABSTRAK
Nervus optikus merupakan saraf kranial kedua, mempersyarafi bola mata, yang terdiri dari selubung dan serabut nervus optikus didalamnya Diameter nervus optikus dapat bervariasi dipengaruhi oleh berbagai sebab yaitu ras, etnik, jenis kelamin atau karena sebab lain yaitu inflamasi, tumor, trauma ataupun penekanan nervus optikus akibat massa disekitarnya. Selubung nervus optikus dapat dinilai rasionya dan dapat dipengaruhi nilainya bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rerata nervus optikus serta rasio selubung dan nervus optikus dengan pemeriksaan MRI pada usia lebih dari 18 tahun sejumlah 64 nervus optikus dari 32 pasien (16 laki-laki dan 16 perempuan) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara laki-laki dan permpuan. Pasien dianamnesis tidak terdapat riwayat trauma orbita, sakit mata yang menyebabkan penurunan lampang pandang, dan dilakukan pemeriksaan visus yang mambaik setelah dilakukan uji pinhole. Pasien juga tidak terdapat kelainan pada orbita atau massa pada intrakranial pada pemeriksaan MRI kepala. Selanjutnya dilakukan penambahan sekuen sesuai aksis nervus optikus potongan koronal T2 supresi lemak untuk menilai rasio selubung dengan nervus optikus, potongan parasagital kanan kiri T1 supresi lemak untuk pengukuran diameter nervus optikus segmen intraorbita dan intrakanalikular, serta potongan aksial T2 untuk pengukuran segmen intrakranial. Statistik deskriptif disajikan berupa rerata dengan simpangan baku nervus optikus serta rasio selubung dengan nervus optikus. Rerata diameter selubung nervus optikus intraorbita dewasa normal bagian proksimal 4,54 mm (SD 0,28 mm), bagian tengah (mid) 3,49 mm (SD 0,19 mm), bagian distal 3,26 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakanalikular 3,03 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakranial 4,22mm (SD 0,32 mm), diameter nervus optikus bagian proksimal 2,54 mm (SD 0,28 mm). Rerata rasio normal selubung dengan nervus optikus adalah 1,81:1 (SD 0,11). Pada statistik analitik dengan uji t tidak berpasangan tidak terdapat perbedaan yang bermakna diameter selubung dan nervus optikus antara laki-laki dibandingkan perempuan.

ABSTRACT
Optic nerve as the second cranial nerve which inervates the eye balls, consists of nerve sheath and optic nerve fibers within. Optic nerve diameter varies, and is influienced by various factors namely age, ethnicity, gender or other conditions such as inflammation, tumor, trauma or mass pressing the optic nerve. Nerve sheath and optic nerve ratio can be measured and is influenced by increase of intracranial pressure. The aim of this research is to determine the mean optic nerve diameter and sheath-optic nerve ratio by MRI on subjects older than 18 years, of 64 optic nerves and 32 patients (16 male and 16 female) to determine the difference of male and female. Patient is interviewed to ensure no history of orbital trauma nor orbital disease which decrease the visual field, and improvement of visus on pinhole test. Only patient with no orbital nor intracranial mass on MRI examination is included in this research. Further additional MR sequence is acquired on coronal optic nerve plane on T2 fat suppression sequence, parasagital plane on T1 fat suppression to measure intraorbital and intracanalicular optic nerve diameter, and T2 axial to measure intracranial segment. Descriptive statistic is provided as mean with standard deviation of optic nerve diameter as well as sheath to optic nerve ratio. Intraorbital segmen of optic nerve sheath diameter of normal adult on proximal side is 4,54 mm (SD 0,28 mm), middle part 3,49 mm (SD 0,19 mm), distal part 3,26 mm (SD 0,17 mm), intracanalicular segment optic nerve 3,03 mm (SD 0,17 mm), intracranial segment of optic nerve 4,22 mm (SD 0,32 mm), proximal optic nerve diameter 2,54 mm (SD 0,28 mm). Mean of normal nerve to sheath ratio is 1,81:1 (SD 0,11). Analytic statistic which utilize unpaired t test demonstrate no difference of male and female optic nerve and nerve sheath diameter."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Nur Adhiyah
"Latar Belakang dan Tujuan penelitian : Pekerja mebel di Kelurahan Pondok Bambu adalah pekerja informal dalam pekerjaannya terpajan dengan pelarut organik seperti toluen. Gangguan penglihatan warna didapat ( diskromatopsia ) akibat pajanan toluen di tempat kerja bersifat subklinis, dengan perjalanan waktu dapat menjadi suatu diskromatopsia yang jelas secara klinis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi gangguan penglihatan warna (diskromatopsia) pada pekerja mebel yang terpajan toluen (kadar Hippuric acid urine).
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dengan jumlah subjek sebanyak 81 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi penglihatan warna dengan Fansworth D-15 , penentuan diskromatopsia secara kuantitatif dengan Bowman CCI dan pemeriksaan metabolit toluen.
Hasil: 40 (49,4%) dari 81 subjek mengalami gangguan penglihatan warna (diskromatopsia) sesuai dengan hasil pemeriksaan persepsi warna. Median kadar hippuric acid urine rata-rata adalah 0,34 (0,00-2,64). Nilai Bowman CCI mata kanan dengan median 1 (1-1,74) dan mata kiri 1 (1-1,87). Tidak didapat hubungan antara kadar hippuric acid urine ( p=1,00 ; OR=0.50 ; CI 95% : 0,044-5,743 ) dengan diskromatopsia. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja, penggunaan masker, jenis pekerjaan, lama pajanan, kebiasaan merokok dan alkohol dengan diskromatopsia.
Kesimpulan: Proporsi kejadian diskromatopsia pada penelitian ini sebesar 40 (49,4%), dan tidak mempunyai hubungan dengan kadar hippuric acid urine.

Background and Objective: Furniture Workers in the Village Pondok Bambu furniture are informal worker who may be occupationally exposed to organic solvent such as toluene. Acquired color vision disturbance (dyschromatopsia) due to exposure to toluene in the workplace is subclinical, that with the passage of time can be a clinically obvious dychromatopsia. This study was conducted to determine the proportion of impaired color vision (dyschromatopsia) furniture workers exposed to toluene (hippuric acid content of urine).
Methods: This study used a cross-sectional design, with 81 subjecs. Data collected through interview, physical examination, examination of color vision function with Fansworth D-15. The quantitative dyschromatopsia was assessed using the Color Confusion Index (CCI) by means of the Bowman scoring method and inspection of toluene metabolite.
Results: 40 (49.4%) of 81 subjecs had impaired color vision (diskromatopsia) in accordance with the result of the perception of color. Median level of urinary hippuric acid the average was 0.34 (0.00 to 2.64). CCI values were right eye with median of 1 (1 to 1.74) and the left eye 1 (1 to 1.87). Not significant association between urinary level of hippuric acid (p = 1.00; OR = 0.50 CI 95 %: 0.044 to 5.743) with diskromatopsia. There are not a significant association between year of service, the use of mask, type of work , duration of exposure, smoking and alcohol habits with dyschromatopsia.
Conclusions: The proportion of dyschromatopsia event in this study was 40 (49.4%), and had no significant correlation with the level of urinary hippuric acid.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
15-22-44577732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Sutrisno
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Saraf optikus merupakan saraf kranial kedua yang mempersarafi bola mata dan diselubungi oleh selubung saraf optikus. Pelebaran selubung saraf optikus pada umumnya disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Deteksi dini peningkatan tekanan intrakranial sangatlah kritikal tetapi sering kali sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan pemeriksaan tekanan intrakranial secara invasif bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dikerjakan dan terdapat keterbatasan alat. Karena itu, pemeriksaan MRI sequence T2WI fat suppressed dapat membantu dalam mengevaluasi peningkatan tekanan intrakranial melalui pengukuran selubung saraf optikus dengan cara non-invasif. Metode : Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang untuk mengetahui rasio normal selubung saraf optikus terhadap saraf optikus anak berdasarkan pengukuran MRI menggunakan data primer di Departemen Radiologi RSCM mulai bulan September 2015 sampai Juli 2016, dengan jumlah sampel 20. Pengukuran dilakukan dengan jarak 3 mm di belakang bola mata. Hasil : Rasio selubung saraf optikus dibandingkan saraf optikus pada anak adalah 1,83 dengan simpang baku 0,06. Rerata diameter selubung saraf optikus pada anak-anak adalah 4,41 mm dengan simpang baku 0,16 dan rerata diameter saraf optikus pada anak-anak adalah 2,41 dengan simpang baku 0,15. Kesimpulan : Nilai normal rasio selubung saraf optik terhadap saraf optik pada anak-anak dapat digunakan sebagai parameter non-invasif untuk evaluasi tekanan intrakranial.

ABSTRACT
Background and Objective Optic nerve is innervate both eyes and covered by a sheath. Widening of the optic nerve sheath are mainly due to increased intracranial pressure. Early detection is critical but difficult to do. This is because the invasive intracranial pressure measurement is not a routine examination done. Therefore, MRI T2WI fat suppressed can be very helpful in evaluating the increased intracranial pressure. Methods The study was conducted with a cross sectional design to determine the normal ratio of optic nerve sheath against optic nerve in children based on MRI measurement using primary data at the Department of Radiology RSCM, from September 2015 until July 2016, with total sample is 20. Measurements were made at 3 mm behind the eyeball. Results The ratio of the optic nerve sheath against optic nerve in children is 1.83 with 0.06 standard deviations. The mean diameter of the optic nerve sheath in children are 4.41 mm with 0.16 standard deviations and the mean diameter of the optic nerve in children is 2.41 with 0.15 standard deviations. Conclusions Normal ratio of the optic nerve sheath against the optic nerve in children can be used as parameters for evaluation of non invasive intracranial pressure."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58862
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>