Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nilovar Zalsabillah
Abstrak :
Seiring bertambahnya usia, kemampuan anak untuk melakukan perilaku berbohong cenderung meningkat. Salah satu motif yang menyebabkan anak berbohong adalah untuk melindungi perasaan orang yang disayang oleh anak. Perilaku berbohong ini disebut dengan prosocial lying. Prosocial lying adalah perilaku berbohong yang memiliki motif menguntungkan bagi orang lain, perilaku ini memiliki fungsi sosial dalam interaksi sehari-hari. Kemampuan berbohong menjadi salah satu indikasi perkembangan sosial dan moral pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran empati terhadap perilaku prosocial lying pada anak usia 7-11 tahun. Penelitian ini juga menguji peran faktor lain seperti semantic leakage control dan usia terhadap perilaku prosocial lying. Semantic leakage control merupakan kemampuan anak dalam mempertahankan kebohongan. Sebanyak 74 partisipan siswa/i SDN Beji 05 berpartisipasi pada penelitian ini (M= 9,11 , SD= 1,299). Pengambilan data dilakukan menggunakan disappointing gift paradigm serta kuesioner empati yang diberikan kepada orang tua siswa. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan hierarchical logistic regression. Analisis regresi menunjukkan hasil tidak signifikan secara statistik pada dimensi affective χ2 = .281, p >.05, Nagelkerke R2 = .114 dan cognitive χ2 = .281, p > .05, Nagelkerke R2 = .114, namun analisis point biserial correlation menunjukkan bahwa terdapat hasil yang signifikan negatif antara prosocial lying dan usia partisipan rpb= -0,287, n=74, p<0,05. Hasil ini mengindikasikan bahwa empati tidak menjadi prediktor prosocial lying, oleh sebab itu, perlu dilihat faktor lain yang menjadi prediktor prosocial lying lain nya seperti executive functions, parenting dan emotional understanding. ......As children grow older, their ability to engage in lying behavior tends to increase. One of the motives that leads children to lie is to protect the feelings of people they care about. This type of lying is called prosocial lying. Prosocial lying is a behavior that involves lying for the benefit of others and has a social function in daily interactions. The ability to lie is an indication of social and moral development in children. This study aims to examine the role of empathy in prosocial lying behavior in children aged 7-11 years. This research also tests the role of other factors such as semantic leakage control and age in prosocial lying behavior. Semantic leakage control is the ability of children to maintain a lie. A total of 74 participants from SDN Beji 05 elementary school participated in this study (M=9.11, SD=1.299). Data was collected using the disappointing gift paradigm and empathy questionnaires given to the parents of the students. The data obtained was then analyzed using hierarchical logistic regression. Regression analysis showed statistically non-significant results in the affective dimension χ2 = .281, p > .05, Nagelkerke R2 = .114 and cognitive dimension χ2 = .281, p > .05, Nagelkerke R2 = .114, but point biserial correlation analysis showed a significant negative result between prosocial lying and participant age rpb = -0.287, n = 74, p < 0.05. These results indicate that empathy is not a predictor of prosocial lying, therefore, other factors that may be predictors of prosocial lying, such as executive functions, parenting, and emotional understanding, need to be examined.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernanda Anindita
Abstrak :
Dalam DSM-IV (APA, 1994) dikemukakan bahwa autisme adalah suatu gangguan perkembangan perilaku yang ditandai oleh kerusakan pada kemampuan komunikasi dan interaksi sosial serta pola-pola minat, aktivitas dan perilaku yang terbatas, diulang-ulang dan stereotipi. Untuk dapat didiagnosa autisme, seorang anak harus memiliki ketiga kriteria di atas namun memang ada kriteria yang menonjol diantara ketiganya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kekurangan tersebut, intervensi yang diberikan harus sedekat mungkin dengan kebutuhan anak. Secara umum, program ini bertujuan untuk memperbaiki kemampuan komunikasi anak dimana perbaikan dilakukan dengan cara membantu anak untuk dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicara. Dengan anak dapat melakukan kontak mata dalam kurun waktu tertentu, diharapkan ia dapat diajarkan berbagai hal lain seperti mengajarkan bagaimana mendiskriminasi benda-benda di sekitarnya. R telah berhasil menjalankan program intervensi yang diberikan, ditandai dengan ia dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicara selama kurun waktu tertentu. Di sisi lain, dalam melakukan diskriminasi benda, R belum dapat mendiskriminasi benda lebih dari dua karena adanya faktor eksternal yang mempengaruhi kelancaran intervensi. Kesimpulan yang dapat diambil adalah terapi Applied Behavior Analysis (ABA) dapat diterapkan dalam melatih R untuk melakukan kontak mata dan diskriminasi benda. Meskipun demikian, masih ada beberapa kelemahan dalam program ini yang perlu diperbaiki dalam penerapan intervensi applied behavior analysis selanjutnya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T38111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Maharani Mudatsir
Abstrak :
Penelitian Williams dkk (2015) menemukan bahwa di antara 79 anak berusia 6-12 tahun, 59.5% di antaranya melakukan kebohongan. Kebohongan prososial adalah kebohongan yang dilakukan dengan memberikan pernyataan tidak benar dengan tujuan untuk memberikan keuntungan kepada orang lain. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa gender dan family expressiveness dapat berkontribusi terhadap kemunculan kebohongan prososial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gender dan family expressiveness dengan kecenderungan melakukan kebohongan prososial pada anak sekolah di usia 7-11 tahun. Family Expressiveness adalah kecenderungan yang dominan dalam keluarga untuk menunjukkan emosi baik secara verbal maupun nonverbal. Penelitian dilakukan pada siswa berusia 7-11 tahun di SDN Beji 3 (N=96) yang terdiri dari siswa Laki-Laki (N=51) dan perempuan (N=45). Family Expressiveness diukur dengan menggunakan The Self Expressiveness in the Family Questionnaire, sedangkan kebohongan prososial diukur dengan menggunakan disappointing gift paradigm. Dalam pelaksanaannya, dari 96 siswa yang mengikuti penelitian, 59.5% di antaranya melakukan kebohongan prososial ketika diminta pendapat terkait hadiah yang diberikan. Meski begitu, hasil penelitian menunjukkan bahwa baik gender maupun family expressiveness tidak memiliki korelasi yang signifikan terhadap kecenderungan kebohongan prososial pada anak. Dengan kata lain, gender dan family expressiveness tidak terbukti berkontribusi sebagai prediktor perilaku kebohongan prososial. ......A related study from Williams, et al (2015) has found that 59.5% of 79 children at the age of 6-12 years old did prosocial lies. Prosocial lies is a lie conducted by giving an untrue statements with the intentions to benefit others. Previous studies have found that gender and family expressiveness could contribute to the tendency for prosocial lying. This study is conducted to examine the relationship between gender and family expressiveness and the tendency to do prosocial lying in children at the age of 7-11 years old. Family expressiveness is a dominant tendency in the family to show emotions, both verbally and non-verbally. The study was conducted on students at the age of 7-11 years old from Beji 3 Elementary School (N=96) which consist of male student (N=51) dan female students (N=45). Family expressiveness is measured using The Self Expressiveness in the Family Questionnaire whereas prosocial lies is measured using the disappointing gift paradigm. This research shows that out of 96 children, 59.5% of them did prosocial lies when being given the questions about their feeling regarding the gifts. However, the result shows that both gender and family expressiveness have no correlations with the tendency to do prosocial lies. In other words, gender and family expressiveness is not one of the predictors of prosocial lying.
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Kemala
2007
T38337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Meizvira
Abstrak :
Studi ini menggunakan program social skills training (SST) untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak perempuan usia 9 tahun dengan perilaku menarik diri (social withdrawal). Melalui program ini, anak dilatih untuk menguasai keterampilan sosial yang diharapkan dikuasai oleh anak 9 tahun. Keterampilan sosial tersebut diukur dengan menggunakan skala perilaku adaptif Vineland (ranah sosialisasi) dan perilaku dalam keterampilan sosial yang didasarkan pada teori Kolb dan Hanley-Maxwell serta teori Elliott dan Busse. Studi ini menggunakan desain before-after atau pre-test post-test dengan partisipan tunggal. Hasil dari pelaksanaan social skills training menunjukkan adanya peningkatan skor pada skala perilaku adaptif Vineland dan partisipan mampu menguasai perilaku dalam keterampilan sosial yang didasarkan pada teori Kolb dan Hanley-Maxwell serta teori Elliott dan Busse. Hasil ini menunjukkan bahwa social skills training efektif dalam meningkatkan keterampilan sosial pada anak middle childhood dengan perilaku menarik diri (social withdrawal). ......This study uses social skills training program to improve social skills in 9 years old girl with social withdrawal. Through this program, children are trained to master social skills expected to be mastered by 9 years old children. Social skills are measured with Vineland adaptive scale (socialization aspect) and behaviors check list based on Kolb and Hanley-Maxwell and Elliott and Busse. This study uses before-after design or pre-test post test design with single case study. The result of social skills training program shows improvement in Vineland adaptive scale socialization scores, and participant can master some behavior needed in social skills based on Kolb and Hanley-Maxwell and Elliott and Busse. So we can conclude that social skills trainingsare effective for improving social skills in middle childhood children with social withdrawal.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T42001
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Agustya Pawidya Putri
Abstrak :
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa perceraian orangtua mempengaruhi rendahnya self-esteem anak meskipun ditemukan adanya kontroversi hasil temuan bahwa anak yang orangtuanya bercerai memiliki selfesteem yang tinggi dan tidak berbeda dengan anak yang orangtuanya tidak bercerai. Penelitian dengan desain ex post facto field study ini, bertujuan untuk mengukur perbedaan self-esteem anak usia middle childhood yang orangtuanya bercerai dan yang tidak bercerai. 80 anak sekolah dasar berpartisipasi dalam penelitian ini, 40 anak yang orangtuanya bercerai dan 40 anak yang orangtuanya tidak bercerai, Self-esteem anak diukur dengan Self-Esteem Inventory (SEI) dari Coopersmith (1967) yang telah divalidasi ulang oleh peneliti. Perbedaan selfkedua kelompok diukur dengan teknik statistik independent sample t-test. Self-esteem dapat diukur sebagai satu keseluruhan atau dianalisis berdasarkan aspeknya yaitu personal, akademis (sekolah), sosial (teman sebaya), dan keluarga (orangtua). Hasil analisis menunjukkan rendahnya self-esteem pada anak yang orangtuanya bercerai, baik secara menyeluruh atau pada tiap aspeknya Pada dua kelompok ditemukan bahwa anak perempuan memiliki self-esteem yang tinggi dibandingkan anak laki-laki. Self-esteem akademis pada kelompok orangtua bercerai tidak berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. ......Research have found that parental affects low self-esteem of children. This research, an ex psot facto field study , examined the difference of self-esteem between middle chilhood children of divorced and not divorced parents. The sample comparised of 80 children from elementary schools, 40 children with divorced and non-divorced parents. Self-esteem is measured with self-esteem inventory of Coopersmith (1967) which has been revaliadated by the researcher. The diggerenceof self-esteem level from those two groups are measured by independent sample t-test. Selft esteem could be measured as an whole or analyzed based on the aspects which are personal, academisc, social (peers) and family (parents). The result found that children of divorced parents show lower self-esteem, as awhole as in each aspect. Regarding the differencebetween boys and girls, regardless of their parental marital status, ingeneral girls have higher srlf-esteem than boys. Nevertheless, there is no significance difference between academic self-esteem of girls and boy with divorce parents.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3645
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Christianasarie
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3471
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neysa Nadia Lestari
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara maternal employment dan gaya pengasuhan ibu, gaya pengasuhan ibu dan masalah penyesuaian diri anak, maternal employment dan masalah penyesuaian diri anak, serta peran gaya pengasuhan ibu sebagai mediator antara maternal employment dan masalah penyesuaian diri anak. Maternal employment ditentukan berdasarkan jumlah jam kerja ibu, dengan acuan 35 jam sebagai batasan antara bekerja paruh waktu dan bekerja penuh waktu. Pengukuran gaya pengasuhan dilakukan menggunakan alat ukur Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) (Robinson, Mandelco, Olsen, & Hart, 1995). Pengukuran masalah penyesuaian diri anak dilakukan menggunakan alat ukur Child Adjustment and Parenting Self Efficacy (CAPES) (Marowska & Sanders, 2010). Partisipan penelitian ini berjumlah 171 ibu (72 ibu tidak bekerja, 31 ibu bekerja paruh waktu, dan 68 ibu bekerja penuh waktu) yang memiliki anak berusia enam hingga 10 tahun dan tinggal di daerah Jabodetabek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan gaya pengasuhan antara ibu tidak bekerja, ibu bekerja paruh waktu, dan ibu bekerja penuh waktu hanya ditemukan dalam gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif, sementara dalam hal gaya pengasuhan permisif tidak ada perbedaan yang signifikan. Ibu yang bekerja penuh waktu paling tidak otoriter dan paling otoritatif dibanding ibu yang tidak bekerja maupun bekerja paruh waktu. Berikutnya, ditemukan bahwa semakin otoriter dan permisif seorang ibu, semakin sering masalah penyesuaian diri anak muncul. Sebaliknya, semakin otoritatif seorang ibu, semakin jarang masalah penyesuaian diri anak muncul. Melalui penelitian ini, ditemukan pula bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal masalah penyesuaian diri anak dari ibu yang bekerja penuh waktu, paruh waktu, dan tidak bekerja. Ibu yang bekerja penuh waktu memiliki anak dengan masalah penyesuaian diri paling sedikit, disusul oleh ibu tidak bekerja dan ibu bekerja paruh waktu secara berturut-turut. Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa hubungan antara maternal employment dan masalah penyesuaian diri anak hanya dimediasi oleh gaya pengasuhan otoriter.
ABSTRACT
The objective of the present study is to investigate the relationship between maternal employment and maternal parenting style, maternal parenting style and child adjustment problems, maternal employment and child adjustment problems, as well as how maternal employment affects child adjustment problems with maternal parenting style as potential mediator. Maternal employment is determined by mothers’ working hours, with 35 hours as boundary between part-time and full-time employment. Maternal parenting style is measured with Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) (Robinson, Mandelco, Olsen, & Hart, 1995). Child adjustment problems is measured with Child Adjustment and Parenting Self Efficacy (CAPES) (Marowska & Sanders, 2010). 171 mothers (72 unemployed, 31 employed parttime, and 68 employed full-time) with at least one child aged six to ten years old who live in Jabodetabek participated in this study. The result of this study shows that differences in parenting style between full-time employed, part-time employed, and unemployed mothers are only found in authoritarian and authoritative parenting style, meanwhile there is no significant differences in permissiveness. Full-time employed mothers are the least authoritarian and most authoritative, compared to unemployed and part-time employed mothers. Secondly, this study found that the more authoritarian and permissive mothers are, the more frequent child adjustment problems happen. On the contrary, the more authoritative mothers are, the less frequent child adjustment problems happen. The next finding is that there are significant differences in child adjustment problems between children from full-time employed, part-time employed, and unemployed mothers. Full-time employed mothers are found to have children with the least adjustment problems, followed by nonemployed and part-time employed mothers, consecutively. Lastly, mediation analysis revealed that the relationship between maternal employment and child adjustment problems is only mediated by authoritarian parenting style and not by the other two parenting style.
2015
S58494
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satvika Vidya Iswara
Abstrak :
Kecemasan Matematika merupakan perasaan negatif yang dialami individu saat berhadapan dengan bidang matematika. Perasaan tertekan dan cemas ini dapat dialami oleh siapa saja terlepas dari usia atau jenjang pendidikan. Kecemasan matematika juga dipengaruhi oleh faktor internal individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran variabel mindset dan task-value dalam memprediksi kecemasan matematika yang dialami oleh siswa kelas 4 dan kelas 5 SD. Penelitian menggunakan kuesioner kecemasan matematika (The Modified Abbreviated Math Anxiety Scale; mAMAS), mindset (Implicit Theories of Intelligence Scale for Children - Self Form), dan task-value (Items Used to Assess Childrens Competence Belief and Subjective Task Values). Hasil dari penelitian terhadap 107 siswa menunjukkan bahwa variabel mindset dan task-value bersama-sama dapat memprediksi kecemasan matematika secara signifikan. Penelitian ini dapat digunakan oleh pihak sekolah dalam menangani siswa dengan kecemasan matematika. ......Math anxiety can be defined as ones negative feelings that occurs when individual is faced with mathematical tasks. The feeling of tension and anxiety can be experienced by anyone, regardless their age or education. This study aimed to examine the role of internal factors such as mindset and task-value as predictors on fourth and fifth graders math anxiety. This study used questionnaire for math anxiety (The Modified Abbreviated Math Anxiety Scale; mAMAS), mindset (Implicit Theories of Intelligence Scale for Children-Self Form), and task-value (Items Used to Assess Childrens Competence Belief and Subjective Task Values). Based on the study of 107 students, this study found that both mindset and task-value are able to predict math anxiety significantly. This research can be used by schools in dealing with students math anxiety.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Aisha
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas penerapan Cognitive Behavior Therapy CBT untuk meningkatkan self esteem Partisipan dalam penelitian ini adalah anak laki laki usia 10 tahun yang memiliki self esteem rendah Self esteem diukur dengan menggunakan skala Self Perception Profile for Children dari Susan Harter 2012 dan didukung dari hasil wawancara dengan orang tua Intervensi Cognitive Behavior Therapy CBT yang diberikan untuk meningkatkan self esteem yang rendah terdiri dari empat tahapan Tahap pertama yaitu pra intervensi dilakukan sebanyak dua sesi Tahap kedua yang berisipsikoedukasi kepada orang tua terkait dengan peran orang tua dalam mendukung intervensi CBT dilakukansebanyak dua sesi Tahap ketiga yaitu tahap intervensi terdiri dari 12 sesi Tahap keempat yaitu post intervensi diberikan sebanyak dua sesi Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan self esteem terutama pada domain kemampuan sosial kemampuan atletik penampilan fisik dan self esteem secara keseluruhan Peran orang tua yang mampu menerapkan teknik SUPPORT Show Understand Patient Prompt Observe Reward Talk diduga turut mendukung keberhasilan intervensi yang sudah dilakukan pada anak ......The aim of this study was to know the effectiveness of Cognitive Behavior Therapy CBT to increase self esteem The participant of this study is a 10 years old boy who has low self esteem Self esteem was measured by Self Perception Profile for Children from Susan Harter 2012 and supported by interviewing with parents Cognitive Behavior Therapy CBT that wasdoneconsisted of four stages Stage one that was pre intervention consisted of two sessions Stage two that includedpsychoeducation to parents about their roles to support CBT to their child consisted of two sessions Stage three was the intervention to the child that consisted of 12 sessions Stage four that was post intervention consisted of two sessions The result of this study showed thatCBTcould increase self esteem especially insocial competence athletic competence physical appearance and global self esteem Parent rsquo s role to apply SUPPORT technique Show Understand Patient Observe Reward Talk was predicted supportingthe success of this intervention
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T38918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>