Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggi Pratiwi
Abstrak :
Salah satu jenis stres pada mahasiswa adalah stres akademik. Perilaku helpseeking merupakan salah satu mekanisme koping yang efektif terhadap stres. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres akademik dan perilaku help-seeking pada mahasiswa Universitas Indonesia. Sebanyak 100 orang mahasiswa dari tiga rumpun ilmu diambil sebagai sampel dengan teknik pengambilan sampel cluster random sampling. Hasil penelitian didapatkan 33% mahasiswa mengalami stress akademik berat dan 53% menunjukkan perilaku help-seeking. Hasil analisis hubungan didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara stress akademik dan perilaku help-seeking (p=0.56; α=0.05). Penelitian lanjutan yang bersifat analitik dibutuhkan untuk mengetahui hubungan sebab-akibat antara kedua variabel. ...... This study focused on the academic stress and help-seeking behavior of regular program students at Universitas Indonesia. This study purpose is to identify the relationship between academic stress and help-seeking behavior. The research method of this study is descriptive-correlative. This research gathered college students as samples (N=100). The result showed 33% of student experienced high level of academic stress and 53% students showed help-seeking behavior, but no evidence of correlation between academic stress and help-seeking behavior (p value 0.560; α 0.05). More analytical researches are recommended to study the causative relations between the two variables.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S45773
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasita Ayu Widyaningtyas
Abstrak :
Perempuan disabilitas menjadi kelompok rentan yang dapat mengalami kekerasan seksual akibat kondisi disabilitas dan ketidaksetaraan gender yang saling beririsan. Pada tahun 2020, kekerasan pada perempuan disabilitas di Indonesia sebesar 77 kasus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui help seeking behavior oleh perempuan disabilitas penyintas kekerasan seksual dengan menggunakan model perilaku pencarian bantuan dari Liang (2005) yang meliputi faktor individu, faktor interpersonal, faktor sosial budaya. Dimana faktor tersebut akan memengaruhi pengenalan masalah, pengambilan keputusan untuk mencari bantuan, dan pemilihan sumber dukungan. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan studi kasus di lembaga X Yogyakarta dengan 4 perempuan disabilitas penyintas kekerasan seksual dan 7 informan kunci. Hasil wawancara mendalam pada mayoritas penyintas menggambarkan persepsi keliru mengenai pemahaman kekerasan seksual dimana kekerasan diartikan sebagai tindakan disertai pemukulan dan bukan pemaksaan. Penyintas memahami kekerasan seksual setelah bergabung ke komunitas disabilitas dan mengikuti pelatihan kekerasan. Semua penyintas awalnya diam dan tidak langsung memutuskan untuk mencari bantuan karena adanya budaya yang menyebutkan bahwa disabilitas adalah orang yang terpinggirkan, kekerasan dalam rumah tangga wajar, dan istri harus patuh pada suami. Sumber bantuan informal dipilih sebagai problem focused coping pada penyintas dibandingkan dengan sumber bantuan formal. Hanya sebagian penyintas yang lanjut mencari bantuan hingga ke sumber formal akibat keluarga yang mendukung atau karena dilakukan pasangan hidupnya. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya pemerintah melakukan sosialisasi kepada lembaga yang menangani kasus kekerasan terkait kebijakan tentang penyandang disabilitas serta penyebaran informasi mengenai hak disabilitas, cara pelaporan, dan penanganan kasus. Bagi masyarakat, maka diperlukan sosialisasi terkait kekerasan seksual agar dapat melindungi perempuan disabilitas. ......Women with disabilities are a vulnerable group who can experience sexual violence due to disability conditions and intersecting gender inequality. In 2020, violence against women with disabilities in Indonesia was 77 cases. The purpose of this study was to determine the help seeking behavior of women with disabilities who survived sexual violence by using the help seeking behavior model from Liang (2005) which includes individual factors, interpersonal factors, and socio-cultural factors. Where these factors will affect problem recognition, decision making to seek help, and selection of support sources. This qualitative research uses a case study approach at Institution X Yogyakarta with 4 women with disabilities survivors of sexual violence and 7 key informants. The results of in-depth interviews with the majority of survivors illustrate the wrong perception of understanding sexual violence where violence is defined as an act accompanied by beatings and not coercion. Survivors understand sexual violence after joining the disability community and attending violence training. All of the survivors were initially silent and did not immediately decide to seek help because of the culture which states that people with disabilities are marginalized, domestic violence is normal, and wives must obey their husbands. Informal sources of assistance were chosen as problem focused coping for survivors compared to formal sources of assistance. Only some survivors continue to seek help to formal sources due to supportive families or because of their spouse. This study recommends the importance of the government conducting socialization to institutions that handle cases of violence related to policies on persons with disabilities and disseminating information on disability rights, reporting methods, and handling cases. For the community, socialization related to sexual violence is needed in order to protect women with disabilities.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eny Dewi Pamungkas
Abstrak :
Pregnant adolescent often get violent cases that have a negative impact on them and their babies. Considering the importance of this problem, it is necessary to make a health promotion intervention as an effort to prevent and control violence against pregnant adolescents. The purpose of this study is to identify the influence of Protect Me interventions on knowledge, self-efficacy about violence against women and help seeking behavior in pregnant adolescents. Research with a pre experimental design: one group pretest posttest using a total sampling of 30 pregnant adolescents who experienced violence. The results showed that 100% of pregnant adolescents experienced psychological violence, 6.7% experienced physical and economic violence, and 13.3% experienced sexual violence and there were significant increase on the level of knowledge and help seeking behavior of pregnant adolescents after being given the Protect Me intervention (p = 0,000 and p = 0.002). Based on the results of the study, it can be concluded that efforts to prevent and handle violence can be carried out through the Protect Me intervention, which is an education-based intervention to increase knowledge and help seeking behavior of pregnant adolescents. ......Remaja hamil sering mendapatkan kasus kekerasan yang memberikan dampak negatif bagi remaja dan bayinya. Mengingat pentingnya permasalahan ini perlu dibuat suatu intervensi promosi kesehatan sebagai upaya pencegahan dan pengendalian kekerasan terhadap remaja hamil. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya pengaruh intervensi Protect Me terhadap pengetahuan, self-efficacy tentang kekerasan perempuan dan help seeking behaviour pada remaja hamil. Penelitian dengan desain pra eksperimen: one grup pretest posttest yang menggunakan total sampling sebanyak 30 remaja hamil yang mengalami kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 100% remaja hamil mengalami kekerasan psikologi, kekerasan fisik dan ekonomi sebanyak 6,7%, dan kekerasan seksual sebanyak 13,3% dan terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dan help seeking behaviour remaja hamil setelah diberi intervensi Protect Me (p= 0.000 dan p= 0.002). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan kekerasan dapat dilakukan melalui intervensi Protect Me, yaitu intervensi berbasis edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan help seeking behaviour remaja hamil
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malikus Sumadyo
Abstrak :
Pembelajaran daring menjadi alternatif pembelajaran karena untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang terkendala oleh jarak maupun alasan efisiensi waktu. Selain itu pembelajaran kolaboratif semakin banyak dikembangkan sejak munculnya paradigma pembelajaran konstruktivisme. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa pengalaman belajar dan interpretasi pengetahuan yang didapat sebelumnya menjadi konstruksi pengetahuan mendalam. Teori konstruksivisme sosial menyatakan bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial yang kemudian diinternalisasi. Berdasarkan teori dan bentuk pembelajaran tersebut, pembelajaran kolaboratif daring menjadi alternatif model pembelajaran yang terus dikembangkan dengan menumbuhkan kesadaran metakognitif. Secara empirik pembelajaran dengan memanfaatkan aspek metakognitif telah banyak dilakukan di Indonesia, bahkan kurikulum nasional pun menjadikan metakognisi menjadi salah satu tujuan pembelajaran. Kemampuan metakognitif peserta didik biasanya dinilai pada saat proses pembelajaran menggunakan think aloud atau setelah pembelajaran dengan menggunakan wawancara maupun kuesioner. Penelitian ini bertujuan mengestimasi kemampuan metakognitif dengan menilai aktivitasnya menggunakan persepsi help-seeking sebelum proses pembelajaran. Kegiatan yang bersifat estimasi membutuhkan model. Model metakognitif ini berfungsi untuk mengestimasi kemampuan metakognitif. Kebutuhan help-seeking tidak hanya kebutuhan kognitif tetapi juga kebutuhan sosial untuk berkomunikasi dan berbagi dalam problem solving. Aktivitas help-seeking biasanya tergantung dari persepsi awalnya. Pertanyaannya adalah bagaimana persepsi help-seeking berkorelasi dengan aktivitas metakognitif. Kemudian jika peserta didik mendapatkan perlakuan tertentu dalam pembelajaran, apakah memungkinkan adanya peningkatan aktivitas help-seeking dan metakognitif serta hasil belajar. Sejauh mana perlakuan tambahan atau intervensi metakognitif terhadap proses pembelajaran akan meningkatkan efektivitas pembelajaran. Penelitian disertasi ini bertujuan untuk menjawab dan memberikan gambaran mengenai hubungan kedua faktor tersebut dengan membandingkan antara pra dan pasca intervensi sehingga gambaran tersebut dapat memprediksi aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking berdasarkan persepsi help-seeking. Oleh sebab itu, model metakognitif dan help-seeking diperlukan untuk memenuhi tujuan tersebut. Data tentang persepsi help-seeking diperoleh melalui kuesioner. Data tentang aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking juga diperoleh melalui kuesioner setelah responden diberikan tugas problem solving. Adapun data hasil pembelajaran didapat dari nilai hasil pekerjaan problem solving. Kedua data yang diperoleh melalui kuesioner memberikan hasil yang sangat beragam, oleh karena itu dilakukan proses klasterisasi untuk mengetahui tipe kecenderungannya. Korelasi data persepsi help-seeking dengan aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking dapat diketahui dengan cara menghubungkan kedua data tersebut pada setiap responden. Hal ini juga dilakukan pada pasca intervensi, sehingga perubahan signifikan setelah diberikan intervensi dapat diketahui. Korelasi antara persepsi help-seeking dengan aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking didapatkan dengan mengetahui hubungan masing-masing tipenya. Tipe persepsi help-seeking instrumental dan perceived benefit berkorelasi positif dengan aktivitas metakognitif individu maupun kelompok dan sebaliknya tipe persepsi help-seeking avoidance dan executive berkorelasi negatif. Dari semua tipe persepsi help-seeking hanya memberikan sedikit perubahan pada frekuensi non-human help-seeking dan tidak memberikan perubahan pada frekuensi human help-seeking. Namun setelah diberikan perlakuan intervensi, terjadi perubahan signifikan pada metakognitif individu dan kelompok maupun frekuensi non-human help-seeking tetapi tidak terjadi pada human help-seeking. Model matematis mengenai input berupa persepsi dan output berupa aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking, dapat memberikan gambaran tentang korelasi persepsi help-seeking terhadap aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking pada pra intervensi maupun pasca intervensi sehingga pemodelan tersebut dapat menjadi perangkat estimasi aktivitas metakognitif berdasarkan persepsi help-seeking. ......Online learning is an alternative learning because it is to meet educational needs which are constrained by distance and time efficiency reasons. In addition, collaborative learning has been increasingly developed since the emergence of the constructivism learning paradigm. Constructivism theory states that learning experiences and interpretations of previously acquired knowledge become in-depth knowledge constructs. Social constructivism theory states that learning occurs through social interaction which is then internalized. Based on these theories and forms of learning, online collaborative learning is an alternative learning model that continues to be developed by cultivating metacognitive awareness. Empirically learning by utilizing metacognitive aspects has been widely carried out in Indonesia, even the national curriculum has made metacognition one of the learning objectives. Students' metacognitive abilities are usually assessed during the learning process using think aloud or after learning using interviews or questionnaires. This study aims to estimate metacognitive abilities by assessing their activities using help-seeking perceptions prior to the learning process. Estimating activities require a model. This metacognitive model serves to estimate metacognitive abilities. Help-seeking needs are not only cognitive needs but also social needs to communicate and share in problem solving. Help-seeking activities usually depend on initial perception. The question is how the perception of help-seeking correlates with metacognitive activity. Then if students get certain treatment in learning, is it possible to increase help-seeking and metacognitive activities and learning outcomes. The extent to which additional treatment or metacognitive intervention in the learning process will increase the effectiveness of learning. This dissertation research aims to answer and provide an overview of the relationship between the two factors by comparing pre- and post-intervention so that this description can predict metacognitive activity and help-seeking frequency based on help-seeking perceptions. Therefore, metacognitive and help-seeking models are needed to fulfill these goals. Data on help-seeking perceptions were obtained through a questionnaire. Data on metacognitive activity and frequency of help-seeking were also obtained through questionnaires after the respondents were given problem solving assignments. The learning outcome data is obtained from the value of problem solving work results. The two data obtained through questionnaires gave very diverse results, therefore a clustering process was carried out to find out the type of trend. The correlation between help-seeking perception data and metacognitive activity and help-seeking frequency can be identified by correlating the two data for each respondent. This was also done post-intervention, so that significant changes after the intervention were given can be identified. The correlation between perceptions of help-seeking and metacognitive activity and frequency of help-seeking is obtained by knowing the relationship between each type. Types of perceptions of instrumental help-seeking and perceived benefits are positively correlated with individual and group metacognitive activities and conversely types of perceptions of help-seeking avoidance and executive are negatively correlated. Of all the types of help-seeking perception, it only gives a slight change in the non-human help-seeking frequency and does not give a change in the human help-seeking frequency. However, after being given the intervention treatment, significant changes in individual and group metacognitive as well as the frequency of non-human help-seeking did not occur in human help-seeking. The mathematical model regarding input in the form of perception and output in the form of metacognitive activity and help-seeking frequency, can provide an overview of the correlation of help-seeking perceptions of metacognitive activity and help-seeking frequency in pre-intervention and post-intervention so that the modeling can be an estimation tool for metacognitive activity based on help-seeking perception.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vini Theodophilia
Abstrak :
Mahasiswa menjadi pengguna internet tertinggi dan mendapatkan paparan yang cukup banyak. Banyak hal yang dapat dialami oleh mahasiswa dan dapat menyebabkan masalah kesehatan mental. Namun, terdapat hambatan-hambatan bagi mahasiswa untuk mencari bantuan. Seperti, finansial, ketersediaan waktu, confidentiality, pengalaman help-seeking sebelumnya dan sebagainnya. Hambatan ini dapat dijembatani dengan Online Help-Seeking, namun stigma tetap menjadi salah satu yang dapat mempengaruhi OHS. Salah satu kategori stigma adalah Religious Reinforced Stigma (RRS). Alat ukur yang akan digunakan pada penelitian ini adalah OHSQ (Online Help-Seeking Questionnaire) dan RBMI (Religious Beliefs about Mental Illness). Pengolahan data akan menggunakan metode pearson’s correlation dan pada beberapa item menggunakan Chi-square. Hasil data yang didapatkan adalah N = 349 dan rentang usia 18-25 tahun (M = 20,75, SD = 1,213). Analisis utama pada penelitian ini menunjukan bahwa di kalangan mahasiswa sin/moral responsibility dan spiritually-oriented causes/treatments tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan online help-seeking. Peran social support, attachment dan mental health literacy dalam mempengaruhi kedua variabel ini dapat diteliti untuk penelitian selanjutnya. ...... The highest internet user is college students and they spend a lot of time in social medias etc. . When in college, college students experiencing many things that might cause mental illness. Despite all the problems they had, there're things that hindrance them to seek help. Those problems can be financial problem, time availability, confidentiality, help-seeking experience etc.. These problems can be solved with Online Help-Seeking (OHS), but stigma might affect OHS. Religious reinforced stigma (RRS) is one of stigma's categories. Tools that were used in this research are OHSQ (Online Help-Seeking Questionnaire) and RBMI (Religious Beliefs about Mental Illness). Pearson's correlation was used to analyze the main research question and some of the item used Chi-Square. This research got N = 349 participants with an age range 18-25 years old (M = 20,75, SD = 1,213). The main analysis showed that religious reinforced stigma isn't significantly correlated with online help-seeking. For the next study, researcher suggest to research on social support, attachment and mental health literacy influence in these variables. These findings might be used as one of the references for psychoeducation about religious reinforced stigma and help-seeking
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisha Almira
Abstrak :
Mahasiswa termasuk dalam kelompok usia dewasa muda yang sangat rentan mengalami gangguan kesehatan mental namun sangat sedikit yang mencari pertolongan. Self-Concealment sebagai faktor penghambat individu untuk mencari pertolongan dapat diatasi dengan media online karena memfasilitasi anonimitas. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk melihat hubungan antara self-concealment dengan online help-seeking. Partisipan (N = 270) merupakan mahasiswa S1 aktif di Indonesia. Hasil menunjukkan bahwa self-concealment secara signifikan berhubungan dengan niat online help-seeking pada cara Mengunggah ke sumber anonim (r = 0,18, p < 0,01), cara Mencari dan membaca informasi (r = 0,29, p < 0,01), dan cara Mengirim pesan secara langsung kepada orang terdekat (r = -0,16, p < 0,01). Self-concealment juga secara signifikan berhubungan dengan perilaku online help seeking pada cara Mencari dan membaca informasi (r = 0,17, p < 0,01) dan cara Mengirim pesan kepada orang terdekat (r = -0,18, p < 0,01). Penemuan ini dapat berguna sebagai landasan untuk mengembangkan fungsi media online agar dapat meningkatkan pencarian bantuan pada orang dewasa muda, khususnya mahasiswa.
College students are classified as young adult age groups who are very vulnerable to mental health disorders but very few of them are seeking help. Self-concealment as an inhibiting factor for individuals to seek help can be overcome by online media because it facilitates anonymity. This correlational study aimed to see the relationship betweet self-concealment and online-help seeking. Participants (N = 270) were active undergraduate students in Indonesia. Results showed that self-concealment was significantly related to online help-seeking intentions by way of Posting to Anonymous sources (r = 0,18, p < 0,01), Searching and reading information (r = 0,29, p < 0,01), and Directly messaging close others (r = -0,16, p < 0,01). Self-concealment is also significantly related to online help-seeking behavior by way of Searching and reading information (r = 0,17, p < 0,01), and Directly messaging close others (r = -0,18, p < 0,01). These findings can be useful as a basis to develop online media functions in order to increase help-seeking in young adults, especially college students.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eleonora Renata Andelina
Abstrak :
Kesepian merupakan pengalaman subjektif dan aversif yang sering dikaitkan dengan dampak negatif terkait kesehatan mental dan fiisk, terutama pada mahasiswa. Internet dianggap sebagai penghubung yang tepat untuk memudahkan individu melakukan help-seeking. Terlebih adanya asosiasi terkait peningkatan penggunaan internet pada individu yang mengalami kesepian. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk melihat hubungan antara kesepian dan online help-seeking berbasis internet pada mahasiswa (N = 270). Dalam penelitian ini ditemukan hubungan signifikan yang positif antara kesepian dan niat online help-seeking dengan cara mengunggah ke sumber anonim (r = 0,23, p < 0,01). Selain itu ditemukan juga hubungan signifikan yang negatif antara kesepian dan niat online help-seeking dengan cara mengirim pesan kepada orang terdekat (r = -0,29, p < 0,01). Kesepian juga ditemukan memiliki hubungan signifikan yang positif dengan perilaku online help- seeking dengan cara mengirim pesan kepada orang terdekat (r = 0,33, p < 0,01). Berdasarkan hasil penelitian ini, pihak profesional dapat menyediakan layanan online sebagai sarana bantuan yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Loneliness is a subjective and aversive experience that is commonly linked to physical and mental health, especially towards college students. Internet is considered as a useful tool of connection which makes seeking help even easier. Moreover there is an association regarding the increase of internet use of the individual who experiences loneliness. The research that is conducted is a correlational study that aims to learn the connection between loneliness and online help-seeking through the internet among college students (N = 270). It is found in the study that loneliness is positively correlated with online help-seeking intention by posting to anonymous sources (r = 0,23, p < 0,01). Additionally, it is found that loneliness is also negatively correlated with online help- seeking intention by way of directly messaging close others (r = -0,29, p < 0,01). Furthermore, loneliness is also have a positive correlation with online help-seeking behaviour by way of directly messaging close others (r = 0,33, p < 0,01). These findings could help the professionals to provide the effective online tools for college students that might want to seek help.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustika Mahayu Putri
Abstrak :

Gambaran Perilaku Mencari Bantuan Kesehatan Jiwa pada Siswa SMA di Depok

 

Remaja adalah kelompok usia yang mengalami berbagai proses perkembangan dalam kehidupannya. Berbagai faktor dapat berperan sebagai faktor risiko dan faktor proteksi dalam kesehatan jiwa remaja. Layanan bantuan profesional dapat menjadi intervensi dini dalam mencegah gangguan jiwa pada remaja. Perilaku mencari bantuan kesehatan jiwa dapat diidentifikasi dengan melihat sikap dan intensi remaja dalam mencari kesehatan jiwa, serta determinan lain seperti dukungan sosial, tingkat literasi kesehatan jiwa, dan status kesehatan jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku mencari bantuan profesional kesehatan jiwa pada siswa SMA di Depok. Metode penelitian menggunakan desain penelitian kuantitatif dengan metode deskriptif sederhana pada 147 siswa SMA Negeri 13 Depok. Instrumen pada penelitian ini adalah kuesioner Multidimensional Scale of Perceived Social Support, Mental Health Knowledge Schedule, Depression, Anxiety, and Stress Scale (DASS – 21), Attitudes toward Seeking Professional Help – Short Form, dan Mental Help Seeking Intention Scale. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat untuk mengetahui frekuensi dan presentase. Hasil penelitian menunjukkan dukungan sosial tinggi (51,7%), tingkat literasi kesehatan jiwa sedang (74,1%), status depresi normal (83%), status kecemasan normal (69,4%), status stres normal (90,05%), sikap terhadap perilaku mencari bantuan profesional kesehatan jiwa positif (53,1%), dan intensi untuk mencari bantuan kesehatan jiwa sedang (92,5%). Pihak sekolah dan layanan kesehatan jiwa perlu menyediakan dukungan, baik instrumental, informasional, atau emosional kepada siswa tentang kesehatan jiwa maupun gangguan jiwa.

 

Kata kunci: Remaja, dukungan sosial, literasi, sikap, intensi, pencarian bantuan, kesehatan jiwa


An overview of Mental Health Help-Seeking Behavior in High School Students in Depok

 

Adolescence is an age group that experiences various developmental processes in their lives. Various factors can act as risk and protective factors in adolescent mental health. Professional assistance services can be early intervention in preventing mental disorders in adolescents. The behavior of seeking mental health assistance can be identified by looking at the attitudes and intentions of adolescents in seeking mental health, as well as other determinants such as social support, mental health literacy levels, and mental health status. This study aims to determine the behavior of seeking mental health professional assistance for high school students in Depok. The research method uses a quantitative research design with a simple descriptive method on 147 students of SMAN 13 Depok. The instruments in this study were the Multidimensional Scale of Perceived Social Support, Mental Health Knowledge Schedule, Depression, Anxiety, and Stress Scale (DASS-21), Attitudes toward Seeking Professional Help - Short Form, and Mental Help Seeking Intention Scale. Analysis of the data used in this study is univariate analysis to determine the frequency and percentage. The results showed high social support (51.7%), moderate mental health literacy level (74.1%), normal depressive status (83%), normal anxiety status (69.4%), normal stress status (90.05 %), positive attitudes toward mental health professional seeking help (53.1%), and moderate intention to seek mental health assistance (92.5%). Schools and mental health services need to provide students, both instrumental, informational, or emotional support about mental health and mental disorders.

 

Keywords: Adolescence, social support, literacy, attitudes, intention, help-seeking, mental health

 

Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Nurhalizah Atjo
Abstrak :
Mahasiswa kedokteran rentan mengalami isu Kesehatan mental dalam masa perkuliahan dikarenakan paparan beban akademis, tingginya ekspektasi serta dukungan dari sekitar yang kurang menunjang. Transisi dari masa pre-klinik ke klinik juga dapat menambah beban stress terhadap mahasiswa kedokteran. Walaupun telah memiliki pengetahuan mengenai kesehatan mental, menghubungkan kebutuhan psikologis mahasiswa kedokteran kepada tenaga ahli kesehatan mental saat menghadapi beban stress yang cukup signifikan masih menjadi tantangan dikarenakan kemungkinan adanya stigma. Promosi Kesehatan mental diadakan sebagai bentuk edukasi kesehatan mental untuk mempersiapkan mahasiswa memasuki rotasi klnik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek promosi Kesehatan mental terhadap sikap mencari bantuan mahasiswa kedokteran. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan data sekunder pre-test and post-test kuesioner MHSIS (Mental Health Seeking Intention Scale) yang diambil dari webinar promosi kesehatan mental pada kegiatan pengabdian masyarakat untuk mahasiswa tingkat tiga di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Terdapat dua kelompok pada penelitian ini, terdiri dari kelompok yang mendapatkan webinar dan kelompok yang tidak mendapatkan webinar sebagai kelompok pembanding. Sampel yang berjumlah 66 dari setiap kelompok akan dianalisis dengan menggunakan tes Kolmogorov, Mann-Whitney, dan Wilcoxon pada program SPSS. Hasil: Tidak terdapat hasil yang berbeda signifikan pada pre-test dan post-test di setiap kelompok (p>0.005) yang mengindikasikan tingkat sikap mencari bantuan yang relatif setara. Setiap kelompok mengalami peningkatan skor MHSIS dari pre-test ke post-test dan kelompok yang menerima webinar memiliki rata-rata peningkatan skor yang sedikit lebih tinggi (p<0.005). Kesimpulan: Mahasiswa tingkat tiga Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia telah memiliki tingkat sikap mencari bantuan yang baik, dan kelompok yang mendapatkan webinar memiliki peningkatkan sikap mencari bantuan yang sedikit lebih tinggi. ......Medical students are prone towards psychological distress throughout their studies as exposed to pressure from studying, heavy workload, high level of expectation and inadequate supportive resources. The transition from pre-clinical to clinical years will add an increasing demand in medical school which are prone to giving more stressors to student. Although has already equipped with mental health knowledge, connecting medical students' psychological needs to professionals when encountered with significant stressors remain an ongoing challenge. Mental health promotion is given as psychoeducation to third year medical student prior to the rotation clinic. This study analyzes the effect of mental health promotion as psychoeducation towards the help-seeking behavior in third-year medical students in the Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Methods: The research is a quasi experimental study using secondary data consisting of pre-test and post-test of MHSIS (Mental Health Seeking Intention Scale) questionnaire taken from a mental health promotion webinar community outreach activity for the third year medical student, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. There are two groups of students comprising group who received webinar and those who did as the comparison group. The 66 samples from each group are analyzed statisticaly using Kolmogorov test, Mann-Whitney and Wilcoxon test through the SPSS programme. Results: This research found that there is no significant gap in the pre-test and post-test result between webinar and non-webinar group (p > 0.05), indicating a similar help-seeking behavior level. Each group has improvement in pre-test and post-test, however the group receiving webinar as psychoeducation has slightly higher result of MHSIS score (p < 0.05). Conclusion: This study demonstrates that the average of third year medical students in Faculty of Medicine, Universitas Indonesia has already equipped with good help-seeking behavior towards and those who are exposed with an additional single day psychoeducation has slightly better improvement in the help-seeking behavior.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifdah Salma Putri Miftana
Abstrak :
Saat menjalani magang, karyawan magang dituntut untuk mampu beradaptasi secara cepat dengan lingkungan, kegiatan, maupun sistem yang berlaku di tempat kerja. Hal tersebut membuat karyawan magang rentan mengalami stres dan dapat mengganggu kesejahteraan peserta magang di tempat kerja. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mencari bantuan kepada atasan maupun rekan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara intensi mencari bantuan dalam konteks organisasi dan kesejahteraan karyawan pada peserta magang. Desain penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan strategi korelasional. Instrumen pengukuran yang digunakan adalah alat ukur yang diadaptasi dari Theory Planned Behavior Questionnaire (TPB Questionnaire) (Mo & Mak, 2009) dan Employee Well-Being Scale (EWBS) (Zheng et al., 2015). Partisipan penelitian merupakan 434 Warga Negara Indonesia yang sedang/telah mengikuti program magang dengan rentang usia 18—24 tahun (M = 21,19, SD = 1,39). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif dan signifikan antara intensi mencari bantuan dalam konteks organisasi dan kesejahteraan karyawan pada peserta magang, r(432) = 0,41, p < 0,01, one-tailed, r2 = 0,17. Hasil penelitian diharapkan dapat membangun motivasi bagi para peserta magang untuk berani mencari bantuan ketika mengalami kesulitan di tempat kerja. Selain itu, hasil penelitian juga dapat menjadi dasar organisasi dalam menciptakan program yang dapat mendorong serta mendukung para peserta magang untuk tidak segan mencari bantuan di tempat kerja. ......When undergoing an internship, interns are required to adapt quickly to the environment, activities, and systems in the workplace. It makes interns vulnerable to stress and can interfere with interns’ well-being at work. A resolution to overcome these problems is to seek help from superiors and colleagues. The objective of this present study is to explore the relationship between help-seeking in an organizational context and employee well-being among interns. This study uses a quantitative approach with a correlational strategy as a research design. This research used measurement instruments adapted from the Theory Planned Behavior Questionnaire (TPB Questionnaire) (Mo & Mak, 2009) and the Employee Well-Being Scale (EWBS) (Zheng et al., 2015). Participants in this study are 434 Indonesian citizens who were/had attended internship programs with an age range from 18 to 24 years (M = 21.19, SD = 1.39). The result of this present study shows that there is a significant positive correlation between help-seeking in an organizational context and employee well-being among interns, r(432) = 0,41, p < 0,01, one-tailed, r2 = 0,17. The research result is expected to motivate the interns to have the courage to seek help when experiencing difficulties at work. In addition, it can also become the basis for the organization in creating programs that can encourage and support interns to seek help in the workplace.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>