Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irawati Harsono
Abstrak :
Dalam disertasi ini saya ingin menunjukkan bahwa posisi polisi wanita (polwan) di Kepolisian Resort Metro Jakarta Selatan (Polrestro Jaksel) ditentukan oleh interaksinya dengan polisi Iaki-laki (polki) dalam sebuah dunia kerja yang disebut dunia kerja Iaki-Iaki. Hubungan polwan polki tersebut banyak dipengaruhi oleh struktur gender, meskipun demikian daiam berbagai struktur hubungan, struktur gender tersebut dapat di "simpan" sesuai dengan konteks yang melingkupi dan kebutuhan pelaku hubungan. Disertasi ini menekankan bahwa penggolongan merupakan fenomena individual yang muncul dalam interaksi sosial. Fokus pembahasan ditujukan kepada polwan dan polki, baik sebagai individu maupun golongan dan hubungan keduanya dalam lingkungan dunia kerianya yaitu kepoiisian yang disebut dunia kerja Iaki-Iaki. Dunia kerja di Polrestro Jaksel dipersepsikan sebagai dunia kerja Iaki-laki karena sangat lama kepolisian di Indonesia hanya mempunyai anggota polki dan baru pada pertengahan abad ke 20 polwan masuk ke dalamnya. Dengan anggota hanya Iaki-Iaki, kebudayaan polisiyang berkembang di sana menjurus bersifat patriarkal dan maskulin mengedepankan dan mengakomodasi kepentingan "patriark", bapak atau Iaki-Iaki. Hal ini tentu juga mempengaruhi Polrestro Jaksel sebagai bagian dari Polri. Kebudayaan tersebut menekankan pada temperamen maskulin yang cenderung mengakomodasi ciri-ciri bersifat teguh, kuat, agresif, ingin tahu, ambisius, perencana, Iugas, tegas, cepat, pragmatis, bertanggung jawab, original, kompetitif, dan berorientasi kepada hasil. Kebudayaan seperti itu cenderung menolak kehadiran perempuan/polwan dan mengedepankan chauvinisme laki-laki. Sejarah Polri telah membuktikan signitikansi penolakan itu dengan kenyataan bahwa masuknya polwan ke dalam Polri bukan inisiatif dari Iingkungan Polri sendiri. Polwan masuk Iebih karena dorongan politis atau tekanan dari Iuar Polri yaitu ketika golongan perempuan di Indonesia memperjuangkan kesetaraan dengan golongan laki-laki. Terlebih lagi pada masa Polri menjadi bagian ABRI, penolakan terhadap perempuan bahkan muncul dalam berbagai aturan formal yang diskriminatif dan bias gender. Dengan demikian signitikansi batas golongan polwan-polki makin kuat dan posisi polwan makin bergeser dari kesetaraan dengan polki. Perubahan baru datang setelah Polri mandiri di tahun 2000 dan menentukan paradigma baru yang berupaya menjujung tinggi HAM. Akan tetapi karena bias gender berkaitan dengan kebudayaan, perubahannya tidak mudah dan penolakan terhadap perempuan atau anggapan bahwa perempuan adalah goiongan liyan yang tidak setara tidak dapat segera hapus. Hubungan polwan-polki yang menentukan posisinya tercermin pada pengalaman polwan dan polki selama menjalani proses manajemen personal dan hubungan sosial polwan-polki sebagai atasan, bawahan, rekan sekerja dan anggota masyarakat yang membutuhkan peiayanan polisi. Posisi polwan Polrestro Jaksel dalam hubungan polwan-polki pada manajemen personal di kesatuan tersebut, menunjukkan bahwa penolakan atas dasar gender terhadap polwan masih tinggi. Bias gender masih berlangsung pada proses seleksi rekrutmen, penempatan dan kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang terjadi terutarna karena adanya konstruksi pemisahan pekerjaan polwan-polki di mana polwan cenderung ditempatkan di fungsi pembinaan dan poiki operasionai. Polwan juga mendapati bahwa semua nilai, norma, kebiasaan sampai kepada aturan formal seperti petunjuk peiaksanaan (juklak) dan petunjuk Iapangan (jukiap) disusun untuk mengakomodasi kondisi dan kepenting-an laki-laki serta tidak pemah disesuaikan untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan yang me-mpunyai hak untuk menjalankan fungsi reproduksinya sambil bekerja Daiam hai ini hak perempuan untuk melaksanakan fungsi reproduksinya, hamil, melahirkan dan menyusui serta merawat balita selalu didikotomikan dengan profesionalitasnya sebagai polisi atau haknya untuk bekerja. Dengan adanya pemisahan pekerjaan atas dasar gender, membuat polwan jarang unggul dalam persaingan memperebutkan sumber daya PoIri. Meskipun demikian pada penanganan kasus di beberapa fungsi operasional atau dengan munculnya kepentingan-kepentingan individual tertentu, kebutuhan polwan untuk menjalankan peran gendernya sambil menjalankan profesinya dapat ditoierir dan diakomodasi oieh kesatuannya karena pengingkaran terhadap hak polwan sebagai perempuan akan berdampak mengurangi kinerja kesatuan dan prestasi kerja kepala kesatuan. Artinya, dalam hubungan polki - polwan, berbagai masalah atas dasar gender akan "diam" apabiia posisi polwan berkaitan dengan kepentingan-kepentingan individual pelaku hubungan. Di samping itu Polri diadministrasikan meialui manajemen dan pengorganisasian secara sentralistik dan pada tiap tingkatan manajemen kesatuan kepolisian baik secara vertikai maupun horisontal, konteks pengaruh Iingkungannya berbeda. Dengan demikian penolakan atas dasar penggolongan apapun (gender, pangkat, Iulusan pendidikan dan Iainnya) juga akan "diam' apabila sebuah posisi ditentukan oleh kebijakan struktur yang iebih tinggi. Tetapi dalam kondisi yang Iain, apabila tidak ada intervensi kebijakan atasan, atau tidak ada kelarkaitan dengan kepentingan indvidual yang lain, karena kuatnya struktur gender dalam hubungan polwan-polki, posisi polwan Polrestro Jaksel terbukti rendah.
In this dissertation, I would like to show that the position of female police officer (police women or polwan) in Metro South Jakarta Resort Police (Polresto Jaksel) is determined by their interaction with male police officer (policemen or polki) within the working environment so-called men's world. The relationship between polwan and polki is greatly influenced by gender structure, although in many relationships, such structure can be "kept" in accordance with the surrounding context and the needs of the people in the relationship. This dissertation stresses that grouping is an individual phenomena appearing in social interaction. The focus is placed on polwan and polki, both as individuals and groups and the relationship between the two of them within the police work environment which is often regarded as men's world. The world of work al Polrestro Jaksel is seen as men's world because for a long time the Indonesian police force only accepted male police officers. lt was only in the mid 20th century that female police ofhcers started to be accepted to enter. With male only members, the culture that developed tends to be patriarchal and masculine, where the priority lies at accommodating men's interests. This also influenced Polrestro Jaksel as part of the Indonesian Police. The culture emphasizes on masculine temperament with characters such as tough, strong, aggressive, curious, ambitious, planning, straightfonivard, decisive, quick, pragmatic, responsible, original, competitive, and result-oriented. Such culture tends to deny the existence of female police officers and put fonivard male chauvinism instead. Polri's history has proven the significance of such rejection with the fact that polwan started to enter Polri not as an initiative from Polri itself. Instead, it was more because of a political drive or outside pressure, which is when the women in Indonesia started to fight for equality to men. Even more when Polri became part of the Indonesian Army (ABRI), rejection against women even appeared inthe form of formal regulations that were discriminative and gender-biased Therefore, the significance of the difference between polwan-polki was stronger and polwan's position shifted even further from their inequality to men. A new change came when Polri became independent in 2000 and they found a new paradigm with efforts to uphold human rights. However, because gender-biased is related to culture, the change has not been easy and rejection against women or school of thought that says women are unequal cannot be eradicated anytime soon. The relationship between polwan-polki that determined their positions is reflected in their experience during personnel management and the social relationship between polwan-polki as superior, subordinate, colleague and members of society who need police's service. Polwan's position in Polrestro Jaksel in their relationship to polki within the personnel management of the unit shows that rejection based on gender is still high. Gender bias still continues during selectionlrecruitment process, placement and education opportunities. This occurs mostly because of the construction that separates the work of polwan-polki where polwan tends to be placed in preemptive function while polki in operational. Polwan also hnds that all the values, norms, customs and formal regulations such as implementation guidelines (juklak) and field guidelines (juklap) were formulated to accommodate men's conditions and interests and they were never adjusted to accommodate women's rights to exercise their reproductive rights while working. In this case, women's right to exercise their reproductive rights such as being pregnant, giving birth and breastfeeding, as well as taking care of young children, is always dichotomized with their professionalism as polioe ofticers or their right to work. The gender-based work separation has caused polwan to have fewer opportunities to excel in the competition over Polri's resources. Nevertheless, in terms of case handling in several operational functions or when certain individuals' interests arise, the need for polwan to play their gender role while still living their profession can be tolerated and accommodated by their units because denial against polwan's rights as women will impact on less unit performance and the achievement of the unit chief. This means that in the relationship between polki and polwan, various gender problems will be "still" when polwan's position is related to the interests of the individuals within the relationship. Apart from that, Poln is centrally managed and organized, and on every management level in police units both vertically and horizontally, the context of environmental influence is difference. Therefore, the rejection based on any classifications (gender, rank, educational baclgqround and others) will also be "silent" when a position is detennined by higher structural policy. However, in another condition, when there is no intenrention on the superior's policy, or there is no relation to other individuals' interests, the strong gender structure within polwan-polki relationship has been proven to cause polwan from Polrestro Jaksel to have low position.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D856
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmad Aji Prabowo
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai analisis kepemimpinan Polisi Wanita pada jabatan Kapolres dalam organisasi Polri dengan studi kasus pada Kapolres Banjarnegara AKBP. Nona Pricillia Ohei, S.I.K., S.H., M.H. Periode 2017/2018. Dengan berlandaskan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender, maka Polri merupakan salah satu aparat Negara yang ditunjuk dalam pelaksanaannya. Penulis tertarik meneliti Kapolres Banjarnegara karena Kapolres Banjarnegara adalah salah satu dari 6 Kapolres polwan yang mendapat perhatian dengan program-program yang dijalankan memiliki inovatif dan hubungan dekat dengan masyarakat. Selain itu, wilayah Banjarnegara yang sudah termasuk dalam Zona Integritas dengan predikat WBK (Wilayah Bebas dari Korupsi), kemudian track record prestasi AKBP. NONA PRICILLIA OHEI, S.I.K., S.H., M.H. dalam jenjang pendidikannya yang pernah mendapatkan predikat polwan lulusan terbaik di bidang mental kepribadian, dan AKBP. NONA PRICILLIA OHEI, S.I.K., S.H., M.H. merupakan Polwan kelahiran Jayapura, 11 November 1976 yang mampu menyesuaikan dan memimpin Polres Banjarnegara yang memiliki budaya orang jawa dengan karakter lemah lembut, ramah, dan santun. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, dengan studi kasus pada salah satu Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) polisi wanita. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi. Teori yang digunakan yaitu teori gaya kepemimpinan, kontinum perilaku pemimpin, dan teori kepemimpinan transformasional. Hasilnya menunjukkan bahwa Kapolres memiliki pendekatan kepemimpinan transformasional, berorientasi hubungan dengan karakternya yang peduli, responsif, teladan, inovatif. Program unggulannya yaitu polisi TRESNO dan penerapan 8 budaya malu. Dengan keunggulan gaya kepemimpinannya yang unik mencakup gaya demokratik, partisipatif dan paternalistik untuk mengatur dan mengendalikan anggota dalam pencapaian visi misi organisasi. Sehingga program prioritas Kapolri untuk polisi yang “promoter” dapat terwujud, sebagaimana salah satu dari 11 program prioritas pada poin ke-4 yaitu peningkatan profesionalisme Polri menuju keunggulan. ......This thesis discusses the analysis of the policewomen leadership in the position of kapolres in the organization of Indonesian police (Polri) with the case study in Banjarnegara chief super intendent, Nona Pricillia Ohei, S.I.K., S.H., M.H. Period of 2017/2018). Based on the instruction of president number 9 year 2000 on Gender mainstreaming, the Police is one of the designated national authorities in the implementation. The writer is interested in researching a police chief of Banjarnegara since she is one of the six police chief of policewomen who gained attention with the program being run that has an innovative and close realationship with the community. In addition, Banjarnegara region which is included in zone integrity with honors WBK (region free of corruption), than the track record of achievement of AKBP Nona Pricillia Ohei, S.I.K., S.H., M.H. in her education once gained notation as best gradute in the field of mental personality and super intendent. Nona Pricillia Ohei, S.I.K., S.H., M.H. is a policewomen of Jayapura by birth, November 11 1976 who was able to adjust and lead Banjarnegara district police, has the Javanese culture with the characters gentle, friendly, and polite. In this study the writer used qualitative method, with a case study on one of the chief police of female officer. Techniques for collecting data with interviews, field notes and documentation. The theories used are the theory of leadership styles, the continuum of leader behaviour, and the theory of transformational leadership. The results show the police chief had transformational leadership approach, oriented relationship with her character which are caring, responsive, exemplary, and innovative. Her excellent programs are police TRESNO and the application of 8 culture of shames. With the excellence of his unique leadership style which is include a democratic, participatory and paternalistic to regulate and control members in achieving the organization's vision and mission. So the priority program Police to police the “promoter” can be realized, as one of 11 priority programs at the for point namely improving the professionalism of the Police towards excellence.
Jakarta: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T55475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silfia Sukma Rosa
Abstrak :
Polisi wanita adalah polwan yang memiliki kualifikasi tertentu dibidang kepolisian dan dinyatakan layak setelah mengikuti pendidikan polri sesuai dengan Keputusan Presiden dan Kapolri. Profesionalisme merupakan komitmen polwan terhadap profesinya, sekaligus merupakan 'ruh' atau semangat, cara pandang, metode, dan praktek yang menelusuri sekaligus dijabarkan dari serangkaian karakteristik profesi yang bersangkutan. Ruang lingkup penelitian hanya dibatasi pada kepemimpinan Polwan berdasarkan pandangan anggota satuan fungsi operasional sebagai kapolsek, kasat binmas, kanit reskrim dan kanit lantas diwilayah hukum Polres Bogor. Polwan merupakan seorang wanita memiliki multitasking dan berjiwa feminim mampu menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin dikepolisian. Apakah dalam pelaksanaan tugasnya polwan dapat melakukan tugas dengan baik seperti polisi laki-laki. Bagaimana kepemimpinan polwan dihadapkan pada tantangan tugas yang memiliki ketegasan dan keberanian namun tetap sesuai kodratnya sebagai seorang wanita. Untuk itu peneliti tertarik mengambil judul ini. Penelitian ini memiliki maksud dan tujuan untuk mendapatkan gambaran kinerja tentang profesionalitas polwan sebagai pemimpin disatuan fungsi operasional Polres Bogor dan mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan anggota satuan fungsi operasional terhadap kepemimpinan polwan di Polres Bogor. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Hasil penelitian bahwa pandangan anggota satuan fungsinya terhadap kepemimpinan polwan yang berdinas difungsi operasional Polres Bogor cukup baik dan dipandang perlu untuk melakukan penempatan Anggota Polisi Wanita secara tepat sesuai kompetensi, kinerja dan kedisiplinan. ......The female police officers are female policewomen who have certain qualifications in the field of police and are declared eligible after attending police education in accordance with the decree of the President and the Chief of Police. Professionalism is a policewoman's commitment to her profession, as well as a 'spirit' or spirit, perspective, method, and practice that traces and describes a series of characteristics of the profession concerned. The scope of the research is limited to the leadership of the policewomen based on the views of members of the operational function unit as police chief, head of binmas, head of criminal investigations and head of department in the jurisdiction of the Bogor Police.

A policewoman is a woman who has multitasking and has a feminine spirit capable of carrying out her duties as a leader in the police. Are policewomen able to carry out their duties as well as male police officers in carrying out their duties. How the policewoman's leadership is faced with the challenge of a task that has firmness and courage but still fits her nature as a woman. For that researchers are interested in taking this title.

          This study has the intents and purpose to obtain an overview of the performance of policewomen's professionalism as leaders in the operational function units of the Bogor Police and obtain an overview of the factors that influence the views of members of the operational function units on the leadership of policewomen at the Bogor Police. The method used is descriptive analysis method. The results showed that the views of members of the function unit towards the leadership of the policewomen who served in the operational function of the Bogor Police were quite good and it was deemed necessary to properly place female police officers in accordance with their competence, performance and discipline.

Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sri Santi
Abstrak :
Latar Belakang


Indonesia sejak pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mulai mengambil alih tampuk kekuasaan negara, maka secara pasti telah menempatkan diri di barisan Negara sedang berkembang yang memberi prioritas pertama kepada pembangunan.1)

Pembangunan itu sendiri, sesungguhnya merupakan proses perubahan sosial yang direncanakan (planed) dan dikehendaki (intended), sehingga dalam penyelenggaraannya pembangunan tersebut dilaksanakan aecara bertahap dan berencana. Untuk, mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, pembangunan bertujuan pula membentuk manusia Indonesia seutuhnya, seJahtera lahir dan batin.

Sebagai akibatnya, tak satupun bidang kehidupan masyarakat tidak tersentuh oleh roda pembangunan, hanya barang tentu ada perbedaan dalam kadar dan ukuran. Behubungan hal tersebut, ada satu hal yang dapat ditarik dalam pengertian ini ialah bahwa kehidupan rnasyarakat desa ini terasa semakin kompleks yang diwarnai oleh berbagai perubahan di dalam masyarakat ini Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa "Indonesia kini berada di tengah-tengah perubahan social yang berlangsung secara sitimatis dalam arti direncanakan. Adapun juga ciri-ciri dalam perubahan tersebut, ia tidak menghilangkan ciri-ciri perubahan social pada umumnya".

Pembangunan. menciptakan berbagai masalah yang kontradiktif antara berbagai keadaan yang baik dan buruk, untung dan rugi. Pembangunan dan perubahan social adalah dua gejala yang saling berkaitan, setiap pembangunan baik yang bersifat. (teknologi) maupun rohani. (mental) diharapkan akan membawa perubahan? perubahan social seperti yang diharapkan. Dengan pembangunan akan menimbulkan perubahan-perubahan seperti yang kita alami sekarang ini. Masalah keamanan dan ketertiban sebagai salah satu sasaran pembangunan itu sendiri ternyata merupakan satu masalah yang paling pelik yang dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat, karena masalah ini merupakan hal yang esensial bagi adanya suatu masyarakat.

Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan di situ. Oleh karena itu Ia bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula ia berupa norma.3)

Sebagai norma maka hukum itu mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum itu. Sebagai norma hukum berarti hukum itu harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepadanya. Dalam rangka proses memberikan perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat serta memberikan pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat hukum tidak selalu memberikan keputusannya dengan segera, ia membutuhkan waktu menimbang-nimbang yang bisa makan waktu lama.

Guna mengatasi masalah-masalah tersebut diperlukan suatu sarana untuk dapat menyelaraskan antara kehidupan masyarakat di situ pihak, dengan permasalahan-permasalahan yang timbul sebagai dampak pembangunan di lain pihak. Hukum dalam arti kehadiran dan penegakannya, merupakan salah satu bidang dalam kehidupan masyarakat, hukum terasa mutlak peranannya. la senantiasa dibutuhkan. lebih-lebih dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan, seperti halnya masyarakat Indonesia.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Resita
Abstrak :
Skripsi ini menganalisis tentang kinerja Polwan Unit PPA dalam organisasi kepolisian yang bergender maskulin dengan menggunakan teori Gendered Organization. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gendered Organization Theory yang di dalamnya berisi lima proses yang membentuk organisasi bergender yaitu, (a) pembagian divisi berdasarkan gender; (b) konstruksi simbol dan citra; (c) interaksi antar individu; (d) pemahaman individu mengenai organisasi yang ditempatinya; (e) logika organisasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan tipe penelitian studi kasus yang secara khusus berfokus pada pendeskripisian dan pemahaman serta pengalaman individu. Informan dalam penelitian ini terdiri dari dua orang Polwan Unit PPA sebuah Polres, satu orang Polisi Laki-laki Unit PPA, dan dua orang psikolog. Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan kinerja Polwan Unit PPA yang berada dalam sebuah lingkungan kerja bergender maskulin, terutama ditinjau dari sisi sensitivitas dan empatinya sebagai Polwan Unit PPA. Hasil temuan data menunjukkan bahwa masih adanya budaya maskulin yang berjalan dalam tubuh kepolisian, termasuk dalam Unit PPA yang khusus menangani masalah anak dan perempuan. ......This thesis tries to analyze about Unit PPA Policewomen's working performances in police organization which has strong masculinity culture using Gendered Organization Theory. The theory used in this research is Gendered Organization Theory which contains five gendering process in organization, that is, (a) gendering practices; (b) construction of symbols and images; (c) individual interaction; (d) internal gender constructions; (e) organizational logic. The method used in this research is qualitative research with case study as its type, which focused on describing, understanding and also the experiences of each subjects inside. The subjects in this research consist of two policewomen that work in Unit PPA, one policemen, and two psychologists who have work experiences with police or policewomen. This research tries to reveal Unit PPA Policewomen's working performance, mostly reviewed from their sensitivity and empathy, considering that police organization have their masculinity culture run in their blood, including Unit PPA which is particularly handling children and women's problems.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62636
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thukul Dwi Handayani
Abstrak :
ABSTRAK
Profesionalisme anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) akhir-akhir ini menjadi tuntutan masyarakat, dan hal ini telah dimulai dengan peningkatan sumber daya manusia melalui lembaga pendidikan seperti pada Sekolah Calon Perwira Polri (Secapa Polri). Tuntutan tersebut tidak terbatas pada Polisi Laki-laki (Polisi) saja tetapi juga pada Polisi Wanita (Polwan). Hal ini tertuang dalam kebijakan Polri bidang pembangunan kekuatan yang disebutkan bahwa akan dibentuk polisi berseragam (uniform Police) dan polisi tidak berseragam (ununiform Police / plain cloth Police), dan untuk kepentingan kaderisasi pimpinan Polri dengan penerapan meril system yaitu penilaian yang didasarkan pada performance appraisal atau berdasarkan kinerja dan achievement yang transparan, dan terbuka bagi Polisi maupun Polwan. Maka dari itu, perlu diketahui bagaimana persepsi Polwan tentang perilaku kepemimpinan yang ideal. Perilaku kepemimpinan dalam LBDQ-XII memiliki 12 aspek, yaitu representalion, demand recontiliation, tolerance of uncertainty, persuasiveness, initiation of structure, tolerance of freedom, role assumption, consideration, production emphasis, predictive accuracy, integral ion, dan superior onentation. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Polwan juga dituntut untuk dapat menyesuaikan perannya sesuai dengan pekerjaan yang dihadapinya dengan tidak meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga dan istri dalam keluarganya. Untuk itu perlu diteliti bagaimanakah orientasi peran jenis kelamin yang dimiliki Polwan. Orientasi peran jenis kelamin memiliki tiga orientasi yaitu: maskulin, feminin, dan androgini. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 100 orang Polwan yang sedang menyelesaikan Pendidikan Perwira di Secapa Polri dan diambil secara purposive, karena telah ditentukan ciri-ciri sampel sebelumnya. Untuk mengumpulkan data tentang orientasi peran jenis kelamin, menggunakan alat Skala Maskulin-Feminin, sementara itu untuk mengumpulkan data persepsi tentang perilaku kepemimpinan, digunakan LBDQ-XII. Selanjutnya untuk memperoleh gambaran tentang orientasi peran jenis kelamin dan persepsi tentang perilaku kepemimpinan, data diolah dengan menggunakan mean per aspek dari masing-masing alat ukur. Hasil data orientasi peran jenis kelamin menunjukkan bahwa Polwan ratarata memiliki peran jenis kelamin androgini, disusul dengan feminin, dan sebagian kecil memiliki peran jenis kelamin maskulin. Selanjutnya profil persepsi Polwan tentang perilaku kepemimpinan dapat digambarkan bahwa seorang pemimpin yang ideal dalam kepemimpinannya, menurut Polwan harus memiliki faktor Integral ion (faktor 11), kemudian berturut-turut faktor 12 (Superior Orientation), faktor 7 (Role Assumptiori), faktor 8 (Consideralion), faktor 5 (Iniliation of Structure), faktor 10 (Prediclive Accuracy), faktor 9 (Production Emphasis), faktor 6 (Tolerance of Freedom), faktor 4 (Persuasiveness), faktor 2 (Demand Reconciliation), faktor 3 (Tolerance of Uncertainty), dan terakhir adalah faktor 1 (Represenlaliori). Orientasi peran jenis kelamin Polwan rata-rata adalah androgini, karena dengan menggunakan peran jenis kelamin androgini, Polwan dapat lebih fleksibel dalam menghadapi tuntutan peran yang harus dihadapinya, yaitu disatu pihak Polwan harus melakukan pekeijaan maskulin (Kepolisian) dan disatu pihak Polwan harus menjadi ibu rumah tangga dan istri yang harus mengurus tugastugas domestik (feminin). Dalam kepemimpinan, Polwan mempersepsikan bahwa faktor yang ideal dalam kepemimpinan adalah Integration yang menekankan pada menjaga hubungan yang dekat atau akrab dalam suatu organisasi, serta menyelesaikan konflik antar anggota kelompok. Perbandingan gambaran persepsi Polwan tentang perilaku kepemimpinan yang ideal berdasarkan orientasi peran jenis kelaminnya adalah : androgini menekankan pada integration, superior orientation, role assumption feminin menekankan pada integration, superior orientation, role assumption', dan maskulin menekankan pada integration, superior orientation, initiation of structure. Tema tentang orientasi peran jenis kelamin dan profil persepsi Polwan tentang perilaku kepemimpinan yang ideal adalah tema yang menarik untuk diteliti, untuk penelitian serupa dapat dilakukan dengan melibatkan atasan dan bawahan dan pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam tentang orientasi peran jenis kelamin dan persepsi tentang perilaku kepemimpinan yang ideal.
2004
S3227
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
King Buana
Abstrak :
Skripsi ini membahas relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga perempuan yang berprofesi sebagai polisi wanita. Melalui metode wawancara mendalam saya berusaha menangkap segala hal yang terjadi di antara istri dan suami di dalam rumah saat mengambil keputusan, sehingga saya dapat mengatakan bahwa relasi gender di dalam rumah tangga para polwan yang menjadi subjek penelitian saya masih timpang. Status atau kedudukan polwan masih berada di bawah sang suami hal ini terlihat dari pemegang kendali power di dalam rumah tangga yang selalu dipegang oleh suami, sehingga tulisan ini akan menunjukkan bahwa relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga ternyata tidak sejajar. ...... This thesis discusses the gender relations in the household of women who work as police woman. Through in-depth interviews I tried to capture everything that happens in between wife and husband in the house when taking a decision, so I can say that gender relations in the household of the policewoman who is the subject of my research is still lame. Status or position of policewomen still be under the husband holder as seen from the control power in the household is always held by the husband, so that this paper will show that the gender relations in the household was not aligned.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library