Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1400 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Suari Wahyudi
Abstrak :
Tesis ini bertujuan menunjukkan bahwa kemunculan dan beroperasinya kejahatan terorganisasi terhadap TKI dapat terjadi karena lemahnya posisi TKI baik secara sosial terlebih secara hukum dalam Struktur Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Kejahatan terorganisasi terhadap TKI merupakan kejahatan yang memiliki pola yang selalu mengikuti eksistensi pola pengelolaan penempatan TKI itu sendiri, dimana keberadaannya sengaja diorganisir secara rahasia oleh orang-orang yang memiliki legalitas formal untuk mengelola penempatan TKI ke luar negeri. Untuk mempertahankan kelanggengan tindak kejahatannya, para pelaku menjalin hubungan kolusi dengan berbagai pihak, baik yang memiliki otoritas formal maupun informal. Pihak-pihak yang memiliki otoritas formal meliputi oknum anggota Polisi, TNI, Depnaker, Depkeh: Dephub, Pemda, DPRD, oknum pegawai Bank, dan lain-lain. Sedangkan pihak yang memiliki otoritas informal terdiri atas oknum warga masyarakat yang memiliki modal, Wartawan, LSM, dan Tokoh Masyarakat. Adanya hubungan yang bersifat kolusi antara para pelaku kejahatan terorganisasi dengan aparat hukum dan aparat lainnya menunjukkan bahwa praktek kejahatan teroganisasi berbaur dengan tingkah laku hukum dan lebih bergantung pada kerjasama politik. Oleh karenanya eksistensi kejahatan terorganisasi lebih berbahaya karena mampu mempengaruhi aparat publik dalam mengambil kebijakan. Kenyataan demikian mengukuhkan pendapat Massimo Pavarini yang menyebutkan bahwa kejahatan terorganisasi adalah kejahatan yang lebih teratur, lebih berbahaya, lebih bercampur dengan tingkah laku hukum dan lebih bergantung pada kerjasama politik (David Nelken:48-50). Sasaran utama para pelaku kejahatan terorganisasi terhadap TKI pada tahap pemulangan adalah valuta asing yang dibawa oleh TKI sekembalinya mereka dari bekerja di luar negeri, yang umumnya dalam bentuk tunai atau kertas berharga. Jenis kejahatan yang paling sering menimpa TKI adalah penipuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHP dan atau pemerasan seperti termuat dalam pasal 368 KUHP. Para pelaku mengemas tindak kejahatan dengan menjalin hubungan simbiotis dengan ekonomi yang legal/sah, yang diwujudkan dalam bentuk usaha penukaran valuta asing, penjualan barang souvenir, elektronik dan atau perhiasan. Kejahatan penipuan dan atau pemerasan juga ditampilkan dengan melakukan rakayasa kerusakan kendaraan dan atau perampokan serta pemalakan. Keengganan TKI memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan penyimpanan dan pengiriman uang yang diperolehnya selama bekerja di luar negeri serta kebiasaan TKI membawa uang dalam bentuk tunai memberi andil dominan bagi merajalelanya kejahatan terhadap TKI. Hal lain yang turut menjadi penyumbang bagi merajalelanya kejahatan terhadap TKI adalah celah-celah sistem pengelolaan pemulangan TKI yang belum mampu memberikan jalan keluar terhadap akar masalah yang sesungguhnya, yaitu pengamanan uang yang dibawa oleh TKI. Akibatnya, TKI tidak hanya sekedar dirugikan melainkan juga tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya guna peningkatan kualitas kesejahteraan dari aspek ekonomi secara leluasa karena sebagian dari uang yang dibawanya telah berpindah tangan ke para pelaku. Penanganan oleh pihak kepolisian, khususnya dalam hal penegakan hukum terhadap kejahatan terorganisasi yang menimpa TKI, dalam kenyataannya belum mampu menumbuhkan efek jera, karena hanya mampu menjerat pelaku di lapis terdepan, sementara pelaku pada lapis tengah dan lapis atas belum terjamah, sehingga mereka tetap memiliki keleluasaan untuk mengatur jalannya praktek illegalnya . Kenyataan demikian tidak terlepas dari efektivitas cara kerja yang digunakan oleh para pelaku kejahatan yang menerapkan strategi sistem kerja terputus (cut out system) dan dan kepiawaian mereka memanfaatkan peluang dan kelemahan hukum sehingga menyulitkan aparat kepolisian pada sisi pembuktian. Upaya preventif oleh pihak kepolisian pun belum mampu meniadakan faktor korelatif bagi berprakteknya kejahatan terorganisasi, yakni dalam bentuk pengamanan uang yang dibawa oleh TKI. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pihak yang turut menentukan suatu langkah pemecahan, sehingga memakan waktu bahkan dalam proses pembahasannya kehilangan fokus. Ditemukan pula adanya ekses dari tindakan kepolisian. Mengacu pada hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kejahatan dapat berlangsung dan bepotensi untuk berkembang secara terus menerus karena dilakukan oleh lebih dari satu orang, dalam pelaksanaannya dikelola secara terorganisasi dengan pembagian peran yang sistematis, melibatkan pihak-pihak yang memiliki otoritas serta senantiasa mengikuti perkembangan fenomena pasar untuk menentukan strategi kejahatan. Penerapan strategi yang selalu berorientasi pada fenomena pasar dalam kejahatan penipuan dan atau pemerasan terorganisasi tidak hanya efektif memperdaya calon korbannya melainkan juga efektif dalam mengamankan aktivitas kejahatan dari jeratan dan pantauan aparat hukum, karena eksistensi fenomena pasar bepeluang bagi timbulnya variasi interpretasi gramatikal hukum, baik oleh para pelaku untuk membela dirinya maupun dikalangan aparat hukum itu sendiri, sehingga, ditemukan variasi keputusan penyelesaian terhadap suatu peristiwa pidana yang serupa.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pribadi
Abstrak :
ABSTRAK Peningkatan produktivitas kerja karyawan berkaitan erat dengan pengalaman, pelatihan, keterampilan dan peluang untuk mengembangkan bakat, karier dan potensinya. Oleh karena itu peningkatan produktivitas kerja merupakan salah satu hal penting untuk pengembangan sumber daya manusia dan perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengalaman kerja dan pelatihan dengan produktivitas kerja karyawan serta seberapa besar sumbangan pengalaman kerja dan pelatihan terhadap peningkatan produktivitas kcrja. Sampel penelitian yang diambil sebanyak 200 orang. Berdasarkan analisis hasil penelitian ditemukan bahwa rata-rata pengalaman kcrja karyawan adalah 9 tahun dengan standar deviasi 4.01. pelatihan yang pernah diikuti rata-rata 75 jam dengan standar deviasi 13.26 dan produktivitas kerja rata-rata 1.092 dengan standar deviasi 0,164. Disamping itu juga terungkap bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan secara bersama-sama antara pengalaman kerja dan pelatihan dengan produktivitas kerja pada taraf signifikansi 0,05 dan diperoleli harga koefisien determinasi R2 = 0,558. Pengalaman kerja memberikan sumbangan relatif sebesar 62.08 persen dan sumbangan efektif sebesar 34,64 persen terhadap produktivitas keija sedangkan pelatihan memberikan sumbangan relatif sebesar 37,92 persen dan sumbangan efektif sebesar 21,16 persen terhadap produktivitas kerja. Dari penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa ada 45,08 persen responden yang tingkat produktivitasnya diatas rata-rata dan pengalaman kerja memberikan sumbangan relatif dan efektif yang lebih besar dalam peningkatan produktivitas kerja dari pada pelatihan. Dengan demikian untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan seyogyanya perusahaan lebih memperhatikan pengalaman kerja dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan sekaligus mempersiapkan SDM yang berkualitas untuk menghadapi pasar global tahun 2003.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isnarti Hasan
Abstrak :
Beberapa studi mengungkapkan bahwa membengkaknya sektor informal yang terjadi di kota-kota besar khususnya di negara berkembang seperti Indonesia disebabkan karena terbatasnya daya serap sektor modern atau formal terhadap angkatan kerja. Terbatasnya daya serap sektor formal atau modern ini karena tenaga kerja yang dibutuhkan adalah mereka yang mempunyai pendidikan dan keterampilan yang tinggi, padahal di lain pihak sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih mempunyai pendidikan yang rendah. Akibatnya tenaga kerja yang tidak terserap di sektor formal terpaksa masuk ke sektor informal yang tidak membutuhkan persyaratan apa-apa seperti di sektor formal. Dan asumsi tersebut, banyak pendapat yang membedakan sektor formal dan informal dari ciri-ciri sosial ekonomi dan demograti pekerjanya. Pekerja di sektor informal pada umumnya mempunyai pendidikan yang relatif rendah dibandingkan pekerja di sektor formal. Sebagian besar perempuan, dan dilihat dari usianya, rata-rata berusia tua serta mereka yang berstatus migran lebih banyak yang terserap dalam sektor ini. Selain itu dilihat dari jam kerja, kebanyakan pekerja di sektor informal bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang, tetapi penghasilan yang mereka terima sangat rendah. Dalam studi ini dengan menggunakan data Sakerti tahun 1993, beberapa ciri pekerja informal masih konsisten dengan penelitian sebelumnya, kecuali dilihat dari status migrasi, justru yang bukan migran cenderung bekerja di sektor informal. Selain itu dengan memperhatikan jam kerja, proporsi terbanyak adalah mereka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. Dilihat dari penghasilan, yang memperoleh penghasilan antara Rp. 100000 sampai dengan Rp. 200000 sebulan cenderung berada di sektor informal, Bahkan proporsi responden yang mempunyai penghasilan kurang dari Rp.100000 sebulan, justru lebih banyak yang di sektor formal dibandingkan di sektor informal. Dilihat dari tempat tinggal, proporsi terbanyak adalah mereka yang bertempat tinggal di pedesaan. Pekerja sektor informal yang di pedesaan ini, proporsinya lebih banyak perempuan. Dilihat dari usia, lebih banyak yang lansia. Sebagian besar tidak sekolah atau tidak tamat SD. Pada umumnya bertempat tinggal di luar pulau Jawa dan Bali, serta berstatus migran karena ingin mendapatkan pekerjaan di tempat tujuan. Proporsi terbanyak adalah meraka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, dan penghasilan yang diperoleh pada umumnya antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan. Dilihat dari propinsi tempat tinggal, sebagian besar pekerja sektor informal berada di luar pulau Jawa dan Bali. Dilihat dari usia, pada umumnya adalah mereka yang berusia 65 tahun keatas. Sebagian besar perempuan. Kemudian bila dilihat dari tingkat pendidikan, kebanyakan pekerja sektor informal yang bertempat tinggal di luar pulau Jawa dan Bali ini, tidak sekolah atau tidak tamat SD. Pada umumnya berstatus bukan migran. Proporsi paling banyak adalah mereka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, dan paling banyak menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan. Dilihat dari jenis kelamin, perempuan cenderung bekerja di sektor informal. Lebih banyak perempuan yang berstatus kawin. Hal ini terlihat baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Jenis pekerjaan paling banyak dilakukan perempuan yang berstatus kawin di sektor informal adalah sebagai tenaga usaha penjualan, dan kebanyakan bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. Dilihat dari segi umur, proporsi terbanyak diisi oleh mereka yang berusia 65 tahun keatas. Di perkotaan, pekerja sektor informal yang berusia 65 tahun keatas ini lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki, sedangkan di pedesaan sebaliknya. Jenis pekerjaan terbanyak dilakukan oleh mereka adalah sebagai tenaga usaha penjualan, kecuali yang bertempat tinggal di luar pulau Jawa dan Bali, lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga usaha pertanian, perikanan, perburuan dan kehutanan. Dilihat dari pendidikan, di perkotaan, sebagian besar pekerja informal yang lansia ini tamat SLTP, sedangkan di pedesaan lebih banyak yang tamat SD. Laki-laki lebih banyak yang tidak sekolah atau tidak tamat SD, sedangkan perempuan lebih banyak yang tamat SD. Di pulau Jawa dan Bali, pekerja sektor informal yang lansia ini lebih banyak yang tidak sekolah atau tidak tamat SD, di luar pulau Jawa dan Bali justru lebih banyak yang tamat SLTP. Sebagian besar bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, kecuali untuk perempuan, di pulau Jawa dan Bali dan yang di pedesaan, kebanyakan bekerja dengan jam kerja antara 25 sampai 45 jam seminggu. Penghasilan yang diterima oleh mereka yang bertempat tinggal di perkotaan relatif tinggi yaitu diatas Rp.200000 sebulan. Sedangkan di pedesaan, laki-laki maupun perempuan, di pulau Jawa dan Bali serta di luar pulau Jawa dan Bali, proporsi terbanyak adalah mereka yang menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan. Dilihat dari tingkat pendidikan, tanpa mengontrol variabel lain, kebanyakan pekerja sektor informal tidak sekolah atau tidak tamat SD. Bila dikontrol dengan variabel lain, lain-lain baik di perkotaan maupun di pedesaan atau di pulau Jawa Bali dan di luar pulau Jawa Bali, pada umumnya tidak sekolah atau tidak tamat SD, sedangkan perempuan, khusus di perkotaan atau di pulau Jawa Bali serta di luar pulau Jawa Bali lebih banyak yang tamat SD, tetapi khusus perempuan yang bertempat tinggal di pedesaan justru lebih banyak yang tamat SLTP. Mereka yang tidak sekolah atau tidak tamat SD ini sebagian besar bekerja sebagai tenaga usaha penjualan. Pada umumnya bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, kecuali pekerja sektor informal yang berusia 65 tahun keatas, kebanyakan bekerja dengan jam kerja antara 25 - 45 jam seminggu. Penghasilan yang diterima, pada umumnya antara Rp.100000 - Rp.200000 sebulan, kecuali untuk perempuan, pekerja sektor informal yang tidak sekolah atau tidak tamat SD justru memperoleh penghasilan diatas Rp.200000 sebulan. Dilihat dari status migrasi, tanpa memperhatikan variabel kontrol, yang bekerja di sektor informal sebagian besar adalah mereka yang berstatus bukan migran. Setelah memperhatikan variabel kontrol, di daerah perkotaan baik di pulau Jawa Bali maupun di luar pulau Jawa Bali, pekerja sektor informal yang berstatus bukan migran masih lebih banyak dibandingkan dengan yang berstatus migran dengan alasan apapun. Tetapi di pedesaan, baik di pulau Jawa Bali maupun di luar pulau Jawa Bali, yang berstatus migran karena alasan ingin mendapatkan pekerjaan baru karena tidak cukup lapangan kerja ditempat sebelurnnya terlihat lebih banyak. Dilihat dari tempat tinggal, baik diperkotaan maupun di pedesaan, pekerja sektor informal yang berstatus bukan migran ini, lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar berusia 65 tahun keatas. Dilihat dari tingkat pendidikan, kebanyakan mempunyai pendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD, kecuali yang bertempat tinggal di pedesaan, proporsi paling banyak adalah mereka yang tamat SD. Selanjutnya bila dilihat dari propinsi tempat tinggal, pekerja sektor informal yang berstatus bukan migran ini, yang bertempat tinggal di pulau Jawa Bali, lebih banyak perempuan, sebaliknya di luar pulau Jawa Bali, lebih banyak laki-laki. Sebagian besar berusia 65 tahun keatas dan mempunyai pendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD. Pada umumnya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan, kecuali yang tamat SLTP keatas, justru lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga usaha pertanian, perikanan, perburuan dan kehutanan. Dilihat dari jam kerja, pada umumnya pekerja sektor informal bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. Pekerja sektor informal yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu ini, sebagian besar bekerja sebagai tenaga usaha penjualan, kecuali yang mempunyai pendidikan tamat SLTP dan SLTA keatas, lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga operator dan alat-alat angkutan. Dilihat dari penghasilan, tanpa memperhatikan variabel kontrol, sebagian besar menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan. Pekerja sektor informal yang menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan ini, terlihat mengelompok pada hampir semua jenis pekerjaan seperti tenaga usaha penjualan, jasa, pertanian, tata usaha dan sejenisnya, produksi, pekerja kasar dan lainnya. Setelah dilakukan analisa inferensial dengan menggunakan model logistik sederhana dan berganda untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya seseorang ke sektor informal, di temukan bahwa jenis kelamin tanpa dikontrol mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap status pekerjaan, namun setelah di kontrol dengan variabel tempat tinggal menjadi tidak signifikan. Umur dan Pendidikan merupakan variabel yang mempengaruhi seseorang memasuki pekerjaan di sektor informal, dengan atau tanpa di kontrol dengan variabel tempat tinggal. Dilihat dari status perkawinan, mereka yang berstatus kawin mempunyai resiko yang lebih besar untuk memasuki pekerjaan di sektor informal dibandingkan dengan mereka yang berstatus tidak kawin. Setelah di kontrol dengan variabel tempat tinggal, variabel status perkawinan dan interaksi antara status perkawinan dan tempat tinggal menjadi tidak signifikan. Kemudian, dilihat dari status migrasi, tanpa mengontrol variabel lain, status migrasi mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap masuknya seseorang kesektor informal. Mereka yang berstatus bukan migran mempunyai resiko yang lebih besar untuk masuk sektor informal dibandingkan dengan mereka yang berstatus migran karena alasan ingin mendapatkan pekerjaan di tempat tujuan dan karena alasan lain, sedangkan untuk migran yang pindah karena alasan ingin mencari pekerjaan bare karena tidak cukup lapangan pekerjaan di tempat sebelumnya tidak terdapat perbedaan proporsi yang bekerja di sektor informal dengan mereka yang berstatus bukan migran. Bila di kontrol dengan tempat tinggal, setelah mengeluarkan variabel yang tidak signifikan, di peroleh bahwa di perkotaan, resiko memasuki pekerjaan di sektor informal oleh mereka yang berstatus bukan migran lebih tinggi dibandingkan dengan yang berstatus migran. Di pedesaan juga terlihat hal yang sama, kecuali untuk migran yang pindah karena-alasan ingin mencari pekerjaan bare karena tidak cukup lapangan pekerjaan ditempat sebelumnya mempunyai resiko yang lebih besar untuk memasuki pekerjaan di sektor informal dibandingkan dengan yang bukan migran. Melalui analisa inferensial dengan menggunakan model logistik penjumlahan, baik respondennya adalah mereka yang bekerja atau yang bekerja dan bertempat tinggal di daerah perkotaan atau yang bekerja dan bertempat tinggal di pedesaan hanya variabel pendidikan, umur, indikator status migrasi l yang merupakan faktor penentu masuknya seseorang ke sektor informal. Dilihat dan nilai odd ratio diperoleh hasil sebagai berikut:
(a) resiko memasuki pekerjaan di sektor informal untuk mereka yang mempunyai pendidikan rendah lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mempunyaipendidikan lebih tinggi, setelah memperhitungkan variabel bebas yang lain.
(b)resiko memasuki pekerjaan di sektor informal untuk mereka yang berusia lebih tua lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih muda, setelah memperhitungkan variabel bebas yang lain.
(c). resiko memasuki pekerjaan di sektor informal untuk mereka yang berstatus bukan migran lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berstatus migran karena alasan ingin mendapatkan pekerjaan ditempat tujuan, setelah memperhitungkan variabel bebas yang lain. Jadi dari sernua variabel bebas yang diduga mempunyai pengaruh terhadap variabel tak bebas status pekerjaan, ditemukan hanya umur dan pendidikan yang dianggap paling menentukan seseorang memasuki pekerjaan di sektor informal baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rahayu Sudiman
Abstrak :
Batas kemampuan angkut mengangkut berat beban merupakan salah satu contoh dari sekian banyak sistem kerja yang masih perlu diperhatikan. Granjean (1985) menganjurkan berat beban angkut 50-60 kg. Sedangkan ILO (1985) memuat nilai ambang batas angkut dari banyak negara dengan berat bervariasi. Berat beban angkut yang banyak beredar dimasyarakat saat ini rata-rata tiap karung sekitar 100 kg. dimana hal ini melewati batas kewajaran. Yang mendorong dilakukan penelitian ini adalah sampai sekarang Indonesia belum mempunyai nilai ambang batas berat beban angkut, agar supaya para pekerja dapat terlindungi kesehatan kerjanya dan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam rangka meningkatkan produktifitas dan prestasi kerja bangsa. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan berat beban angkut yang serasi dengan kemampuan kerja fisik tenaga kerja laki-laki serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ditemukannya berat beban angkut akan merupakan langkah penting dalam penerapan ergonomi dalam sistem kerja angkut. Penelitian ini dilakukan di kawasan pergudangan beras Depot Logistik Jakarta Raya dengan dasar pertimbangan tingginya intensitas pekerjaan mengangkut baik dari gudang ke truk maupun sebaliknya. Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental Design. Pengolahan dan analisa data univariat, bivariat dan multivariat menggunakan program komputer SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan angkut optimal tenaga kerja laki-laki di Dolog Jaya adalah 58,12 kg. Dari analisa bivariat diketahui umur, status gizi, kesegaran jasmani berpengaruh terhadap kemampuan angkut optimal, sedangkan merokok tidak berpengaruh yang dalam hal ini kemungkinan disebabkan sampel hampir homogen. Dari analisa multivariat ternyata hanya umur dan status gizi yang berpengaruh terhadap kemampuan angkut optimal, setiap kenaikan umur 1 tahun diikuti penurunan kemampuan angkut optimal sebesar 0,09 kg dan setiap kenaikan nilai status gizi 1 kg/m2 diikuti kenaikan kemampuan angkut optimal sebesar 0,98 kg. Status gizi pengaruhnya paling dominan diantara variabel independen lainnya (Beta= 0,279032). Garis regresi dapat menerangkan 44% dan variasi variabel. Untuk menentukan nilai ambang batas dari kemampuan angkut optimal diperlukan faktor-faktor kekuatan, frekuensi angkut, lama angkut dan posisi angkut. Saat penelitian ini Baru sampai tahap kekuatan, sehingga disarankan kelanjutan dalam penelitian ini. ...... The limit to carry heavy load is one of the many work system which still need to be paid attention. Granjean (1985) suggested that 50-60 kg. load is the appropriate limit. While the ILO (International Labor Organization) (1988) determined the threshold value of many countries with varying weights. The existing load which is 100 kg. on the average has exceeded the limit as recommended by Granjean. The reason which prompted this research is that up to now permissible limit has not been set up yet, which is important in protecting workers' health. The objective of this research is to obtain a right load which is in line with the physical capacity of the male workers, and the factors which influence it. The finding of the right load will be an important step in the application of ergonomics in the work system. This research was performed in a rice storage area of Jakarta Logistic Depot with consideration that work intensity of moving the load from the storage to the trucks and vice versa is high. This research is a Quasi Experimental Design. The analysis of univariate, bivariate and multivariate data analysis is done by using the SASS computer program. The result of the research indicate that the average load of the male workers of Jakarta Logistic Depot is 58,12 kg. From bivariate analysis we know that age, nutritional status level, physical fitness have impact toward the optimum carrying capacity, while smoking does not have impact, probably due to nearly homogenous samples. From multivariate analysis it turn out that only age and nutritional status level influence the optimum carrying capacity, where for an increase of age by one year is followed by a decrease of the optimum carrying capacity by 0,09 kg. and an increase of nutritional status level by 1 kg/ m2 followed by an increase of the optimum carrying capacity by 0,98 kg. The nutritional status level is the most dominant factor among the other independent variables (Beta= 0,279). The regression line is able to explain a 44% of the variable variations. In order to determine the threshold value of the optimum carrying capacity we need to examine others factors such as force, frequency, duration and posture of the carrying. The present research examined force only.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S.P. Doulers
Abstrak :
Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang pada akhir Pelita V merupakan propinsi yang banyak dituju oleh para migran, hal ini disebabkan pembangunan di propinsi NTB relatif pesat dibanding propinsi lainnya di kawasan Timur Indonesia, terutama pembangunan di bidang Pariwisata dan Pembangunan fisik. Beberapa studi mengungkapkan bahwa membengkaknya pekerjaan di sektor informal yang terjadi di kota-kota besar disebabkan terbatasnya daya serap pekerjaan di sektor formal (sektor modern) terhadap angkatan kerja. Meningkatnya jumlah angkatan kerja di perkotaan, diantaranya disebabkan oleh arus migrasi dari daerah pedesaan dan karena mereka tidak dapat tertampung di sektor formal. Sehingga alternatif yang paling tepat adalah menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dengan Cara memasuki pekerjaan di sektor informal. Tesis ini mencoba menganalisis apakah resiko atau kemungkinan memasuki pekerjaan di sektor informal ditentukan oleh status migrannya atau lebih dipengaruhi oleh variabel demografisnya, seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, tempat tinggal, jenis kelamin dan kelompok umur, dengan menggunakan data Sensus Penduduk 1990. Responden yang digunakan dibatasi pada mereka yang berusia 10 tahun ke atas yang bekerja disektor formal maupun informal. Kriteria migran yang digunakan adalah migran berdasarkan propinsi tempat lahir (life time migrant). Model statistik yang dipakai untuk memperkirakan resiko atau kemungkinan migran atau non migran dalam memasuki kegiatan di sektor formal atau informal adalah model regresi logistik berganda. Variabel yang diperhatikan adalah status migran, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, tempat tinggal dan status perkawinan. Selain variabel utama tersebut di atas juga diperhatikan adanya pengaruh variabel interaksi baik interaksi dua faktor maupun interaksi tiga faktor. Dari hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara status migran dengan sektor pekerjaan informal. Kemudian setelah memperhatikan tingkat pendidikan terhadap sektor pekerjaannya didapatkan hubungan yang negatif, artinya semakin rendah tingkat pendidikan migran atau non migran maka kemungkinannya memasuki pekerjaan di sektor informal semakin besar. Perbedaan resiko atau kemungkinan dalam memasuki pekerjaan di sektor informal antara migran dan non migran menurut tingkat pendidikan terdapat perhedaan yang menyolok antara migran yang berpendidikan tidak tamat SD, tamat SD dibanding yang tidak sekolah dan SMTP ke atas. Berdasarkan perbedaan variabel jenis kelamin migran laki-laki mempunyai resiko atau kemungkinan sehesar 0,7811 kali resiko wanita migran dalam memasuki pekerjaan di sektor informal. Dari hasil perhitungan, hubungan antara status migran dan sektor pekerjaan di sektor informal, setelah memperhatikan kelompok umur ternyata migran yang berumur 10-19 tahun mempunyai resiko atau kemungkinan lebih besar 7,2551 kali resiko migran atau non migran yang berumur 30 tahun ke atas untuk memasuki pekerjaan di sektor informal, Sedangkan pada migran atau non migran yang berumur 20-29 tahun, mempunyai resiko atau kemungkinan sebesar 0,9142 kali resiko migran atau non migran yang berumur 30 tahun ke atas dalam memasuki pekerjaan di sektor informal. Apabila di perhatikan migran yang berstatus pernah kawin, ternyata mempunyai resiko atau kemungkinan sebesar 0,1278 kali dalam memasuki pekerjaan di sektor informal dibanding migran yang berstatus belum kawin. Dan kalau diperhatikan status tempat tinggal migran, maka terlihat migran yang bertempat tinggal di perkotaan mempunyai resiko atau kemungkinan sebesar 0,3055 kali dalam memasuki pekerjaan di sektor informal, dibanding migran yang bertempat tinggal di pedesaan.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saimul
Abstrak :
Salah satu masalah kependudukan di Propinsi Lampung khususnya, bahkan Indonesia pada umumnya, adalah pengangguran. Penyebab utama pengangguran adalah akibat dari peningkatan jumlah penduduk usia kerja. Sehingga kebutuhan untuk bekerja terus meningkat, sedangkan penyediaan kesempatan kerja dilain pihak sangat terbatas. Dari gap kedua sisi itu muncul pengangguran. Akibat pengangguran yang semakin meningkat dari waktu ke waktu akan menimbulkan masalah social dan ekonomi yang pada akhirnya akan mempunyai dampak luas terhadap pembangunan. Misalnya tingkat upah riel yang diterima para pekerja menjadi semakin rendah. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa, jumlah penawaran tenaga kerja jumlahnya sangat besar jika dibandingkan dengan permintaan, sehingga terjadilah excess supply dan akan menyebabkan upah menjadi rendah. Akan tetapi karena faktor kebutuhan untuk hidup, para angkatan kerja bersedia menerimanya. Pemberian upah rendah yang berlangsung cukup lama, dapat mengurangi gairah kerja mereka. Hal ini tercermin pada penurunan jumlah jam kerjanya. Karena kebutuhan hidup tidak mencukupi, akibatnya pekerja akan mencari tambahan penghasilan dengan menambah jumlah jam kerja di luar pekerjaan utama. Akibat lain yang muncul adalah penurunan pada produktivitas kerja. Kendatipun produktivitas yang rendah dapat pula disebabkan oleh kualitas pekerja yang rendah, misalnya tingkat pendidikan yang rendah. Kualitas pekerja yang berbeda, akan menghasilkan output yang berbeda, sehingga upah yang diterimapun akan bervariasi. Bagi tenaga kerja yang tidak/belum memperoleh pekerjaan tetap, sebagian akan menciptakan lapangan kerja sendiri di sektor informal yang memiliki jam kerja tidak tetap. Sebagian lainnya akan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak menerima upah, sambil mencari pekerjaan yang sesuai dengan upah minimal yang diharapkan. Gambaran di atas menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara penghasilan upah dengan jumlah jam kerja yang dialokasikan untuk bekerja yang disebut pola penawaran tenaga kerja. Hal seperti itu pernah dikemukakan oleh Becker (1964), bahwa jumlah waktu untuk bekerja belum pernah sampai 24 jam sehari semalam. Berarti sebagian waktu digunakan untuk bekerja, dan sisanya untuk leisure. Alokasi waktu untuk bekerja dan leisure ini sangat ditentukan oleh tingkat upah yang diterima. Beranjak dari Becker inilah terjadi perkembangan yang luas dalam teori penawaran tenaga kerja baik secara matematis maupun secara grafis diantaranya oleh Henderson dan Quand, Cobb-Douglass. Untuk melihat hubungan jam kerja dan tingkat upah di atas, penulis telah mencoba meneliti kondisi yang ada di Lampung. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ternyata antara jam kerja dan upah mempunyai hubungan yang sangat erat dan signifikan pada tingkat a = 0.01. Hubungannya berbentuk parabola yang membuka ke atas. Pola hubungan tersebut ternyata tidak berubah, walaupun telah dikontrol oleh variabel pendidikan, jenis kelamin, kotadesa, umur, dan dependensi ratio (deprat). Dari penelitian ini, diperoleh beberapa temuan diantaranya adalah : Terdapat perbedaan pola penawaran tenaga kerja antar kelompok pendidikan di Lampung. Dari hasil perhitungan memberikan informasi, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin rendah jumlah jam kerjanya, namun antara tingkat upah dan jenjang pendidikan mempunyai hubungan yang positip. Gejala ini menunjukkan bahwa di Lampung terjadi under utilisasi pada kelompok pendidikan yang lebih tinggi, karena pada kelompok pekerja yang memiliki pendidikan lebih tingi jumlah jam kerjanya lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok pekerja yang berpendidikan rendah. Walaupun sudah dikontrol oleh variabel tempat tinggal pekerja (di kota atau di desa), ternyata hubungan tersebut tidak berubah. Namun secara deskripitif jumlah jam kerja dan upah yang diterima oleh pekerja di kota lebih tinggi dibandingkan dengan di desa, hanya saja pola penawaran tenaga kerja antara di kota dan di desa tidak mempunyai perbedaan yang nyata. Demikian pula setelah dikontrol dengan variabel jenis kelamin, pola hubungannya tidak mengalami perubahan, namun demikian secara deskriptif jumlah jam kerja dan tingkat upah yang diterima oleh pekerja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja wanita, tetapi pola penawaran tenaga kerja antara pria dan wanita juga tidak memiliki perbedaan yang nyata.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eri Suhendra Irawan
Abstrak :
Dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menitik beratkan pada otonomi daerah, membawa konsekwensi logis terhadap tuntutan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di berbagai bidang. Kebijakan pembangunan dalam kerangka otonomi daerah hamslah diartikan sebagai peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan bangsa di masa depan. Oleh karena itu tidak ada pilihan Iain kecuali memberikan perhatian yang seksama tentang arti penting kompetensi sumber daya manusia aparatur di daerah untuk terus menerus ditingkatkan secara konsisten dan berkesinambungan. Dalam konteks ini permasalahan yang muncul adalah sejauh mana tingkat kompetensi sumber daya manusia aparatur yang ada pada saat ini untuk menunjang kebijakan yang dimaksud. Kemudian seberapa jauh sumber daya manusia aparatur dalam memahami berbagai aspek desentralisasi dan identifikasi pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan untuk peningkatan kompetensi sumber daya manusia aparatur tersebut sehingga semua itu dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap pelaksanaan otonomi daerah di masa yang akan datang. Penelitian dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat pengusaan kompetensi berdasarkan konsep kompetensi generik Civil Service Coiiege terhadap 30 orang pegawai negeri sipil golongan III di lingkungan Sekretariat Dewan Peiwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantn Selatan. Pendekatan yang dilakukan terhadap penelitian ini adalah bersifat kualitatif, dengan juga melakukan studi kepustakaan terhadap teori-teori yang relevan dan melakukan pengamatan dan observasi serta melakukan serangkaian wawancara dengan 30 orang responden yang dipilih secara purposive sampiing. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu yang sedang berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Berdasarkan hasil penelitian disimpuikan bahwa gambaran tentang persepsi pegawai tentang kompetensi secara generik berdasarkan konsep kompetensi Civil Service College sudah cukup memadai. Kemudian tingkatpemahaman para pegawai terhadap konsep desentralisasi sudah cukupmemadai.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3231
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Akhyary
Abstrak :
Dewasa ini masalah yang paling mendasar dalam pembangunan tidak hanya pertumbuhan akan tetapi terjadinya transpormasi pembangunan itu sendiri, dari sini memberikan pertama masalah keadilan sehingga semua orang bisa bekerja dan hidup layak kedua kesinambungan sumber daya alam dimana setiap generasi harus memelihara sumberdaya alam untuk generasi mendatang dan ketiga partisipasi. Oleh karena itu idealnya menempatkan manusia baik sebagai subyek maupun objek pembangunan adalah penting dengan memandang Iingkungan sebagai suatu daya dukung untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan hidup sekarang tanpa mengurangi generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menanggapi konsep pembangunan yang berkelanjutan, berbagai upaya dilakukan pemerintah dan bekerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya mewujudkan konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan. Program tersebut Iebih dikenal dengan program COREMAP (Coral reef rehabilitation and management program) yaitu program yang pada dasarnya bertujuan untuk melakukan perlindungan, rehabilitasi dan mengelola terumbu karang secara berkelanjutan, dengan harapan dari program ini dapat memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan dan peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan di Kepulauan Riau pada khususnya. Antara lingkungan dan pola prilaku masyarakat saling memiliki keterkaitan yang erat.

Di satu sisi lingkungan mempengaruhi prilaku masyarakat di sisi Iain prilaku masyarakat juga mempengaruhi kualitas Iingkungan. Untuk itu dalam program Coremap ini memperioritaskan pada upaya pengelolaan yang berbasis masyarakat (PBM) dimana program ini berupaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam memelihara Iingkungan yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan di daerah pesisir Kepulauan Riau tersebut.

Metode penarikan sample dalam penelitian ini mengunakan teknik cluster sampling, dengan jumlah sample 140 KK , dimana daerah penelitian di kelompokkan dalam wilayah-wilayah desa/pulau yang ada sebagai sasaran target program. Data dari responden dikumpulkan dari kuesioner yang disebarkan secara simple random sample baik di desa target maupun di desa kontrol. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan mengunakan program Statistik Program for Social Sain (Spss) 11.

Selanjutnya untuk mengnalisis pengaruh pelaksanaan program terhadap kesejahteraan dan pelestarian digunakan uji T-Test dimana uji ini digunakan untuk melihat kondisi daerah yang mendapat perlakuan dan daerah yang tidak mendapat perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan : 1. Pelaksanaan program telah berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan 2. Pelaksanaan program memberikan pengaruh terhadap kondisi kesejahteraan dan pelestarian di desa target hal ini dibuktikan dengan signifikasi pada kondisi di desa tarket dan desa kontrol. Berdasarkan hasil penelitian program PBM CORE MAP ini perlu di kembangkan khususnya untuk daerah-daerah pesisir di sekitarnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelestarian lingkungan di masa mendatang.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heryudana
Abstrak :
Perkembangan dan pertumbuhan suatu bangsa tidak terlepas dari peranan proses industrialisasi. Maju mundurnya suatu industri sangat ditunjang oleh tenaga kerja yang produktif, sehat, dan berkualitas dengan manajemen yang baik, khususnya yang berkait dengan masalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3). K3 dalam suatu perusahaan terkadang terlupakan oleh para pengusaha. Betapa tidak? Sebab, K3 mempunyai tujuan pokok dalam upaya memajukan dan mengembangkan proses industrialisasi, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan para buruh. K3 dikatakan merupakan modal utama kesejahteraan para buruh/tenaga kerja secara keseluruhan. Dengan penerapan K3 yang baik dan terarah akan memberikan dampak pads sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Di era pasar babas tentu daya saing dari suatu proses industrialisasi semakin ketat dan sangat menentukan maju tidaknya pembangunan suatu bangsa. Perkembangan ekonomi dan perkembangan teknologi yang begitu cepat yang berdampak pada persaingan yang berlangsung sangat ketat menuntut perusahaan untuk mengutamakan tuntutan pasar yang menghendaki kecepatan dan respon yang fleksibel terhadap tuntutan pelanggan. Respon yang cepat terhadap tuntutan pasar dan pelanggan ini dapat menentukan kemenangan dan kekalahan dalam persaingan usaha. Oleh karena itu, belakangan ini perusahaan mementingkan hal-hal yang mempercepat proses ini demi efisiensi dan effektivitas perusahaan. Salah satu cara adalah dengan menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pihak lain melalui jasa pemborongan atau penyediaan jasa pekerja buruh atau dikenal dengan istilah outsourcing. Outsourcing kemudian menjadi trend dan merupakan tuntutan pasar yang tidak dapat dihindari. Karena dengan penggunaan outsourcing ini maka perusahaan dapat lebih memperhatikan kegiatan utama perusahaan sehingga perusahaan lebih kompetitif. Namun, praktek outsourcing menimbulkan masalah, khususnya mengenai perlindungan pekerja/buruh. Umumnya, pekerja/ buruh outsourcing mendapatkan gaji yang lebih rendah, jaminan social yang diterima minimal, dan bahkan pekerja/ buruh outsourcing dianggap seperti factor produksi. Ada pekerjaan, dipekerjakan oleh perusahaan, tidak ada pekerjaan di PHK. Sehingga pekerja/ buruh outsourcing ini seperti "budak dalam zaman modern". Tesis ini menganalis apakah benar bahwa pekerja/ buruh tersebut diperlakukan tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia dengan tidak adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pekerja/ buruh outsourcing yang ditinjau dari sudut hukum ketenagakerjaan Indonesia, yakni UU No.13 tahun 2003.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daviq Chairilsyah
Abstrak :
PT JICT (Jakarta Intemational Container Terminal) adalah salah satu perusahaan operator kontainer terminal yang berada di pelabuhan Tanjung Priok. Sebelum privatisasi PT JICT dilakukan (Sebelum tahun 1999), fakta di lapangan menunjukkanan bahwa upah karyawan, jumlah tunjangan, dan jumlah insentif masih rendah. Selain itu pungutan berupa uang sering dilakukan oleh karyawan kepada para pengguna jasa kontainer, disiplin kerja karyawan masih rendah dan tingkat produktifitas kerja karyawan di lapangan juga masih rendah. Saat dilakukan privatisasi, manajemen perusahaan berusaha untuk menjadikan PT JICT sebagai terminal pelabuhan petikemas dengan standar internasional. Untuk mencapai hal tersebut, pihak manajeman berusaha meningkatkan kesejahteraan karyawan dengan cara meningkatkan upah pokok, bonus, insentif dan tunjangan Iainnya secara signifikan. Harapan pihak manajemen perusahaan setelah dilakukannya privatisasi agar para karyawan menjadi semakin termotivasi untuk bekerja, semakin loyal pada perusahaan, kepuasan kerja meningkat, menghilangkan pungutan atau sogokan oleh konsumen, dan peningkatan disiplin kerja pada kenyataannya masih belum terwujud. Masalah yang paling besar saat ini adalah para karyawan masih melakukan pungutan liar atau menerima sogokan dari konsumen. Timbul pertanyaan mengapa setelah adanya program privatisasi dan pemberian treatment oleh manajemen PT JICT dengan cara meningkatkan kesejahteraan para karyawan melalui peningkatkan upah pokok, tunjangan-tunjangan dan bonus namun masih terjadi perilaku meminta dan menerima pungutan berupa uang oleh karyawan PT JICT kepada konsumennya. Manfaat penelitian ini untuk mendapatkan gambaran tentang penyebab adanya perilaku menerima dan meminta pungutan uang oleh karyawan PT JICT Serta nantinya diharapkan dapat menetapkan program intervensi yang sesuai untuk perusahaan PT JICT. Penyebab perilaku individu/karyawan meminta dan menerima sogokan uang menurut teori Perilaku Organisasi (OB) tergantung dari tiga faktor penentu, yaitu; dari dalam diri individu sendiri, interaksi individu dengan kelompoknya, dan sistem organisasinya. (Robbins, 2003). Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka individu yang menjadi subyek penelitian adalah para karyawan yang tercatat bekerja di Departemen Operasional PT JICT. Pengambilan sampel (sampling) akan dilakukan dengan menggunakan teknik accidental sampilng. Jumlah karyawan yang direncanakan menjadi responden penelitian sebanyak 131 orang (30%) jumlah karyawan departemen operasional PT JICT. Variabel bebas pada penelilian ini adalah determinan faktor individual, kelompok dan sistem organisasi. Sedangkan variabel terikat adalah perilaku menerima dan meminta sogokan karyawan PT JICT. Alat pengumpul data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Dalam kuesioner ini akan digunakan bentuk skala likert, dengan 6 alternatif pilihan jawaban. Pengujian validitas kuesioner dengan menggunakan teknik korelasi Pearson's Product Moment Sedangkan pengujian reliabilitas menggunakan teknik statistik Alpha Cronbach. Hasil data dari angket yang telah diperoleh pada saat melakukan kegiatan pengambilan data di lapangan diuji dengan menggunakan teknik Multiple Regression.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38495
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>