Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212488 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Joshua Alward Herdiman
"Resistensi insulin (IR) yang terjadi pada pasien pengidap diabetes melitus tipe 2 dapat berkembang menjadi Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Proses inflamasi, resistensi insulin, dan meningkatnya level free fatty acid (FFA) menyebabkan apoptosis pada sel hati yang diaktivasi oleh jaras c-jun terminal kinase (JNK) yang akan mengekspresikan gen Bax sebagai protein pro-apoptosis. Selama ini pengobatan NAFLD yang di induksi dari resistensi insulin menggunakan metformin, namun pengobatan dengan metformin menyebabkan efek samping pada lambung. Diketahui alpha-mangostin (α-MG) memiliki efek anti-apoptosis yang baik. Maka dari itu, penelitian ini ingin meneliti apakah efek anti-apoptosis α-MG dan metformin dapat menekan perkembangan NAFLD, khususnya pada ekspresi gen Bax. Penelitian ini dilakukan dengan cara in vivo di lab menggunakan jaringan liver dari tikus berjumlah dua puluh empat tikus Wistar jantan berusia 10-12 minggu. Group dibagi menjadi; 1) normal/kontrol, 2) kontrol dengan pemberian α-MG 200 mg/Kg BB, 3) NAFLD 4) NAFLD dengan metformin 200 mg 5) NAFLD dengan α-MG 100 mg/Kg BB 6) NAFLD dengan α-MG 200 mg/KgBB. Ekspresi gen Bax akan dibaca menggunakan qRT-PCR. Dari data yang diambil, ditemukan bahwa pemberian metformin 200 mg dan α-MG 100 mg/Kg BB dapat mengurangi ekspresi gen Bax secara signifikan (P<0.05). Namun, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada pemberian α-MG 200 mg/Kg BB dibandingkan dengan α-MG 100 mg/Kg BB pada tikus NAFLD (P>0.05). Pemberian α-MG sama baiknya dengan metformin. Hal tersebut dapat disimpulkan karena pemberian α-MG dan metformin mampu mengurangi ekspresi gen Bax secara signifikan sehingga tingkat apoptosis dapat berkurang.

Insulin resistance (IR) that occurs in type 2 Diabetes Mellitus can further develop into Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Inflammation, insulin resistance, and the increase of free fatty acid (FFA) level cause hepatocyte apoptosis by activating c-jun terminal kinase (JNK) that latter express Bax gene as pro-apoptotic protein. Metformin is utilized as NAFLD’s primary medication. However, it is known that it causes side effects such as GI disturbance. It is known that alpha-mangostin (α-MG) has shown an excellent anti-apoptotic effect. Hence, this research aims to analyze the anti-apoptotic effect of α-MG and metformin in suppressing NAFLD development, specifically in Bax genes expression. This research is an in vivo experimental laboratories research with a rats’ liver model. Twenty-four rats’ liver model of 10-12 weeks old male Wistar were grouped as; 1) Normal/control, 2) control treated with α-MG 200 mg, 3) NAFLD, 4) NAFLD treated with metformin 200 mg, 5) NAFLD treated with α-MG 100 mg/Kg BW, 6) NAFLD treated with α-MG 200 mg/Kg BW. Data will be analyzed using qRT-PCR. The result showed that giving metformin 200 mg and α-MG 100 mg/Kg BW reduce expression of the Bax gene significantly (P<0.05). However, there is no significant difference in giving α-MG 200 mg compared with α-MG 200 mg/Kg BW in NAFLD rats. Giving α-MG is as effective as metformin as both α-MG and metformin reduce Bax gene expression significantly until the rate of apoptosis is reduced."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abu Rachman
"Obat antidiabetes yang paling banyak diresepkan di Puskesmas Indonesia adalah metformin atau kombinasi metformin dan sulfonilurea. Studi tentang metformin telah menunjukkan berbagai dampak penurunan kognitif pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, sedangkan sulfonilurea telah terbukti mengurangi dampak ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dampak metformin dan metformin-sulfonilurea pada fungsi kognitif dan menentukan faktor apa yang mempengaruhinya. Studi potong lintang ini dilakukan di Puskesmas Pasar Minggu dengan melibatkan 142 pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengonsumsi metformin atau metformin-sulfonilurea selama >6 bulan dan usia >36 tahun. Fungsi kognitif dinilai menggunakan kuesioner Montreal Cognitive Assessment versi bahasa Indonesia. Efek dari metformin dan metformin-sulfonylurea pada penurunan kognitif tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, bahkan setelah mengontrol kovariat (aOR = 1,096; 95% CI =  13.008px;">0,523–2,297; nilai-p = 0,808). Analisis multivariat menunjukkan usia (OR = 4,131; 95% CI = 1,271–13,428; nilai-p = 0,018) dan pendidikan (OR = 2,746; 95% CI = 1.196–6.305; nilai-p = 0,017) mempengaruhi fungsi kognitif. Pendidikan yang lebih rendah dan usia yang lebih tua cenderung menyebabkan penurunan kognitif, tenaga kesehatan didorong untuk bekerja sama dengan ahli kesehatan masyarakat untuk mengatasi faktor risiko fungsi kognitif ini.

The most prescribed antidiabetic drugs in Indonesian primary health care are metformin or a combination of metformin and sulfonylurea. Studies on metformin have shown various impacts on cognitive decline in patients with type 2 diabetes mellitus, whereas sulfonylurea has been shown to reduce this impact. This study aimed to compare the impacts of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive function and determine what factors affected it. This crosssectional study was conducted at Pasar Minggu Primary Health Care involving 142 type 2 diabetes mellitus patients taking metformin or metformin-sulfonylurea for >6 months and aged >36 years. Cognitive function was assessed using the validated Montreal Cognitive Assessment Indonesian version. The effects of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive decline showed no significant difference, even after controlling for covariates (aOR = 1.096; 95% CI = 0.523–2.297; p-value = 0.808). Multivariate analysis showed age (OR = 4.131; 95% CI = 1.271–13.428; p-value = 0.018) and education (OR = 2.746; 95% CI = 1.196–6.305; p-value = 0.017) affected cognitive function. Since a lower education and older age are likely to cause cognitive decline, health professionals are encouraged to work with public health experts to address these risk factors for cognitive function."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clark Christensen Matheos
"Resistensi insulin (IR) menyebabkan rusaknya respons biologis pada hati. Jika tidak dikontrol, resistensi insulin dapat memicu inflamasi, penumpukan lemak dan lipotoxicity, mengakibatkan cepatnya progresi penyakit perlemakan hati non-alkoholik. Inflamasi pada hati ditandai oleh munculnya sitokin proinflamasi pada respon imun bawaan, contohnya IL-1B. Obat insulin sensitizer seperti metformin dapat dipakai untuk mengontrol resistensi insulin dan mencegah progresi penyakit, akan tetapi mekanisme efek anti-inflamasi metformin pada hati masih belum diketahui. Studi terbaru menyebutkan alfa-mangostin mempunyai potensi untuk menekan inflamasi dan bisa menjadi obat alternatif untuk penyakit perlemakan hati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti efek anti-inflamasi pada model tikus IR memakai ekspresi mRNA IL-1b sebagai marker. Penelitian dilakukan secara in vivo experimental research memakai hati tikus Wistar jantan berusia 10-12 minggu. Sampel dibagi menjadi enam kelompok: 1) kontrol, 2) kontrol dengan pemberian alfa-mangostin 200 mg, 3) diet tinggi lemak, 4) diet tinggi lemak dengan pemberian metformin 200 mg, 5) diet tinggi lemak dengan pemberian alfa-mangostin 100 mg, 6) diet tinggi lemak dengan pemberian alfa-mangostin 200 mg. Ekspresi mRNA IL-1B dianalisa memakai qRT-PCR. Dari data yang diambil, ditemukan bahwa pemberian alfa-mangostin mengurangi ekspresi IL-1B secara signifikan (p <0.05) dan juga dose-dependent. Pemberian metformin juga mengurangi ekspresi IL-1B tetapi perbedaannya tidak signifikan.
Insulin resistance (IR) causes impaired biological response to the liver. If untreated, insulin resistance causes inflammatory change and lipotoxicity, leading to the progression of non-alcoholic fatty liver disease. Inflammation in liver is marked by proinflammatory cytokines produced during innate immune response, such as IL-1B. Insulin sensitizer drug metformin may be used to treat insulin resistance and prevent disease progression, however, it’s unknown if metformin has a direct anti-inflammatory effect of alpha-mangostin in an IR rat model, using IL-1B mRNA expression as a marker. In vivo experimental laboratory research was done using liver of 10-12 weeks old male Wistar rats. We categorized the sample into six groups: 1) control, 2) control treated with alpha-mangostin 200 mg, 3) high fat diet, 4) high fat diet treated with metformin 200 mg, 5) high fat diet treated with alpha-mangostin 100 mg, 6) high fat diet treated with alpha- mangostin 200 mg. IL-1B mRNA expression was analyzed using qRT-PCR. Alpha- mangostin reduced IL-1B expression significantly (p <0.05) and was dose dependent. Metformin reduced IL-1B expression but wasn’t significantly different."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wafa
"ABSTRAK
Diabetes melitus adalah salah satu penyakit tidak menular yang menyebabkan 4% kematian di Indonesia. Efektivitas obat antidiabetes tipe 2 biasanya dilihat dari nilai HbA1c yang mencerminkan rata-rata glukosa darah pasien, glukosa darah 2 jam postprandial dan glukosa darah puasa. Terapi diabetes melitus tipe 2 memiliki berbagai pola terapi kombinasi. Terapi yang berbeda akan memberikan efektivitas yang berbeda pula. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi kombinasi metformin-sulfonilurea dan metformin-akarbose terhadap parameter glikemik pasien diabetes melitus tipe 2 yaitu nilai HbA1c, glukosa darah 2 jam postprandial dan glukosa darah puasa. Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan pengumpulan data primer dan sekunder menggunakan teknik total population sampling. Data primer yang digunakan adalah hasil pengisian kuesioner dan data sekunder didapatkan dari rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara responden yang menggunakan metformin-sulfonilurea dibandingkan dengan responden yang menggunakan metformin-akarbose terhadap perubahan nilai HbA1c (p value=0.060). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara metformin-sulfonilurea dan metformin-akarbose dengan nilai glukosa darah 2 jam postprandial akhir (p value=0.655) dan nilai glukosa darah puasa akhir (p value=0.460). Variabel olahraga mempengaruhi efektivitas metformin-sulfonilurea dan metformin-akarbose terhadap perubahan nilai HbA1c, variabel jenis kelamin terhadap perubahan nilai glukosa darah 2 jam postprandial dan variabel diet terhadap perubahan nilai glukosa darah puasa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Tidak terdapat perbedaan bermakna pada perbandingan efektivitas antara terapi kombinasi metformin-sulfonilurea dan metformin-akarbose.

ABSTRACT
Diabetes mellitus is an uninfectious disease that causes 4% of deaths in Indonesia. The effectiveness of type 2 antidiabetic drugs is usually seen from the HbA1c value that reflects the patient's average blood glucose, 2-hour postprandial blood glucose and fasting blood glucose. Type 2 diabetes mellitus therapy has various combination therapy patterns. Different therapies will provide different effectiveness. This study aims to compare the effectiveness of metformin-sulfonylurea and metformin-acarbose combination therapy on glycemic parameters of type 2 diabetes mellitus patients, namely HbA1c value, postprandial 2 hours blood glucose and fasting blood glucose. This research is a retrospective cohort study with primary and secondary data collection using purposive sampling technique. Primary data used are the results of filling out the questionnaire and secondary data obtained from medical records and hospital information systems. The analysis showed that there was no significant difference between respondents who used metformin-sulfonylurea compared with respondents who used metformin-acarbose to changes in the HbA1c value (p value=0.060). The analysis also showed that there was no significant relationship between metformin-sulfonylurea and metformin-acarbose with 2 hours postprandial blood glucose value (p value=0.655) and fasting blood glucose value (p value=0.460). Sports variable affects the effectiveness of metformin-sulfonylureas and metformin-acarbose on changes in HbA1c values, gender variable on changes in postprandial 2 hours blood glucose values and dietary variable on changes in fasting blood glucose values. The conclusion of this study is that the effectiveness comparison of metformin-sulfonylurea and metformin-acarbose combination therapy is not significant."
2019
T55013
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Amartya
"Sel stelata hepatik yang teraktivasi adalah kunci terhadap proses fibrosis hati yang disebabkan oleh alkohol. Salah satu metode untuk menghentikan progresi fibrosis adalah melalui apoptosis pada sel stelata hepatik yang teraktivasi. Alfa-mangostin diketahui memiliki efek apoptosis pada berbagai sel. Eksperiment ini bertujuan untuk mengetahui efek alfa-mangostin terhadap jalur apoptosis, khususnya ekspresi mRNA Bax and BCl2 pada sel stelata hepatik yang teraktivasi. Eksperiment ini mengunakan galur sel stelata hepatik LX-2. Sample dibagi menjadi 6 kelompok: 1) normal, 2) asetaldehid 100 µM, 3) asetaldehid 100 µM + sorafenib 10 µM, 4) asetaldehid 100 µM + alfa-mangostin 10 µM, 5) asetaldehid 100 µM + 20 alfa-mangostin, 6) alfa-mangostin 10 µM. RNA yang diperoleh dari keenam kelompok sel diatas kemudian dianalisis ekspresi mRNA Bax dan BCl2 menggunakan qRT PCR. Pada sel yang telah diinduksi asetaldehid, alfa-mangostin cenderung meningkatkan ekspresi mRNA Bax (p > 0,05). Sedangkan pada ekspresi mRNA BCl2 terdapat peningkatan yang signifikan (p<0,05). Pada sel yang tidak diinduksi asetaldehid, alfa-mangostin meningkatkan mRNA BCl2 secara signifikan namun tidak pada ekspresi mRNA Bax. Pada kesimpulannya, alfa-mangostin dapat meningkatkan ekspresi mRNA BCl2 dalam sel stelata hepatik yang diinduksi oleh asetaldehid namun tidak mempengaruhi ekspresi mRNA Bax.

The activation of hepatic stellate cell by acetaldehyde induces the progression of liver fibrosis. One of the methods to stop the progression is through apoptosis of activated hepatic stellate cell. Alpha- mangostin is known to have an apoptotic effect towards activated hepatic stellate cell. This research aims to explore the apoptotic pathway of alpha-mangostin towards activated hepatic stellate cell, specifically in the mRNA Bax and BCl2 expression. HSC LX-2 culture was used. The samples were divided into 6 groups: 1) Vehicle group, 2) Acetaldehyde 100 µM, 3) Acetaldehyde 100 µM + Sorafenib 10 µM, 4) Acetaldehyde 100 µM + Alpha-mangostin 10 µM, 5) Acetaldehyde 100 µM + Alpha-mangostin 20 µM, 6) Alpha-mangostin 10 µM. Afterwards, the sample was analyzed for mRNA expression with qRT PCR. Alpha-mangostin increases mRNA Bax expression towards activated hepatic stellate cells. However, this increase is not significant (p > 0.05). The mRNA BCl2 expression is also increased when treated with alpha-mangostin. The increase is statistically significant towards both activated and acetaldehyde- induced hepatic stellate cell. The treatment of alpha-mangostin did not show statistical significance in the increase of mRNA Bax expression in hepatic stellate cell. In conclusion, alpha-mangostin increased mRNA expression of BCl2 in activated hepatic stellate cell, the same cannot be said for mRNA expression of Bax."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Davita
"Glikosaminoglikan (GAG) adalah komponen utama dari membran basal dan memiliki" "potensi sebagai penanda yang baik serta penentuan adanya disfungsi endotel pada tahap awal penyakit ginjal diabetes dan perkembangan penyakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kadar GAG pada pasien dengan terapi metformin dan kombinasi metformin-glimepirid pada penderita diabetes melitus tipe 2. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dan Puskesmas Depok Jaya. Sampel darah dan urin subjek penelitian akan dikumpulkan untuk pengukuran HbA1c, estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG), perbandingan albumin-kreatinin urin, dan kadar GAG. Kadar GAG dapat dianalisis menggunakan 1,9-dimetilmetilen biru (GAG-DMMB). Total123 subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu pengguna terapi metformin (n=57) dan kombinasi metformin-glimepirid (n=66). Nilai koefisien korelasi dari hasil penelitian secara berturut-turut yaitu 0,9972; 0,9240; 0,9980; 0,9983; 0,9997; 0,9997; dan 0,9975. Terdapat perbedaan yang bermakna hanya pada karakteristik dasar usia (p=0,034) dan karakteristik dasar klinis yaitu HbA1c (p=0,037). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=1,000) pada hasil pengukuran glikosaminoglikan urin pada kelompok metformin (2,00 (0,17-8,09)) dan kombinasi metfonnin-glimepirid (2,07 (0,24-13,99)). Terdapat faktor lain yang signifikan dapat meningkatkan nilai GAG yaitu durasi menderita DMT2 >5 tahun dan komorbid. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nilai GAG urin pada kelompok metformin dan kombinasi metformin­ glimepirid.

Glycosaminoglycans (GAGs) are major components of the basement membrane and have" "potential as good markers and determinations of endothelial dysfunction in the early stages of diabetic kidney disease and disease progression. The purpose of the study was to determine differences in GAG levels in patients treated with metformin and a combination of metformin-glimepiride in patients with type 2 diabetes mellitus. The study was conducted with a cross-sectional design with consecutive sampling method at Pasar Minggu Subdistrict Health Center and Depok Jaya Health Center. Blood and urine samples of research subjects will be collected for measurement of HbA1c, estimated glomerular filtration rate (eGFR), urine albumin-creatinine ratio, and GAG levels. GAG levels can be analyzed using 1,9-dimethylmethylene blue (GAG-DMMB). Total of 123 research subjects were divided into two groups, which are divided into users ofmetformin therapy (n=57) and metformin-glimepiride combinations (n=66). The value of the correlation coefficient from the results of the research in order is 0,9972; 0,9240; 0,9980;" "0,9983; 0,9997; 0,9997; and 0,9972. There was a significant difference only in the basic" "characteristics of age (p=0,034) and basic clinical characteristics, namely HbA1c (p=0,037). There was no significant difference (p=1,000) in the measurement results of urine glycosaminoglycans in the metformin (2.00 (0.17-8.09)) and metformin­ glimepiride combination (2.07 (0.24-13.99)). Patient with other comorbidities and have suffered by Diabetes Mellitus Type 2 >5 years can significantly increase the value of GAG. Therefore, it can be said that there was no difference in urinary GAG values in the metformin and metformin-glimepiride group."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabrian Charlie Nugroho
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik umum yang terjadi pada masyarakat modern. Setelah penyakit jantung dan kanker, penyakit DM mewakili penyebab kematian ketiga pada manusia. Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis yang paling umum dari penyakit DM dan DM tipe 2 dapat menyebabkan komplikasi pada jantung yang disebut sebagai diabetic cardiomyopathy. Metformin adalah obat yang meningkatkan sensivitas terhadap insulin dan banyak digunakan sebagai terapi untuk diabetes melitus tipe 2 namun metformin memiliki berbagai macam efek samping yang merugikan. Maka dari itu diperlukan suatu obat alternatif yang lebih aman untuk terapi diabetes melitus tipe 2 yaitu seperti alfa mangostin karena alfa mangostin memiliki efek antidiabetik dan kardioprotektif. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa efek terapi alfa mangostin pada tikus dengan diabetic cardiomyopathy.
Metode: Hewan percobaan yang digunakan berupa tikus jantan galur wistar. Hewan coba dibagi jadi 6 kelompok yaitu kelompok 1 diberikan pakan normal, kelompok 2 diberikan pakan normal dan senyawa alfa mangostin sebesar 200 mg/kg BB tikus,kelompok 3 diberikan pakan tinggi lemak, kelompok 4 diberikan makanan tinggi lemak dan diberikan suntikan streptozotocin lalu diberikan metformin 200 mg/kg BB tikus, kelompok 5 diberikan makanan tinggi lemak dan diberikan suntikan streptozotocin lalu diberikan alfa mangostin 100 mg/kg BB tikus dan kelompok 6 diberikan makanan tinggi lemak dan diberikan suntikan streptozotocin lalu diberikan alfa mangostin 200 mg/kg BB tikus. Gula darah diukur setiap minggu, tekanan darah dan berat badan dan berat jantung diukur pada minggu saat hewan disacrifice. Semua sampel organ jantung dan plasma dari semua kelompok hewan uji yang telah disacrifice di minggu ke 11 akan dianalisa kadar HOMA-IR, MCP-1, TNF-α, IL-6, IL-1β dan dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Hasil Penelitian : Pemberian streptozotocin dan diet tinggi lemak menyebabkan gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, nilai HOMA-IR tinggi, nilai rasio BB/BJ tinggi, kadar MCP-1, TNF-α, IL-6, IL-1β tinggi dan ukuran sel kardiomiosit besar. Tetapi dengan pemberian metformin dan alfa mangostin dapat merendahkan nilai gula darah , tekanan darah , nilai HOMA-IR, nilai rasio BB/BJ, kadar MCP-1, TNF-α, IL-6, IL-1β.
Kesimpulan : Alfa mangostin memperlihatkan efek anti-inflamasi dan antidiabetik terhadap kadar gula darah dan jantung hewan coba yang diberikan diet tinggi lemak dan disuntik STZ.

Background : Diabetes mellitus (DM) is a common chronic disease that occurs in modern society. After heart disease and cancer, DM represents the third leading cause of death in humans. Diabetes mellitus type 2 is the most common type of DM disease and type 2 diabetes can cause heart complications called diabetic cardiomyopathy. Metformin is a drug that increases insulin sensitivity and is widely used as a therapy for type 2 diabetes mellitus but metformin has a variety of adverse side effects. Therefore we need a safer alternative drug for the treatment of type 2 diabetes mellitus, such as alpha mangostin because alpha mangostin has antidiabetic and cardioprotective effects. The purpose of this study was to analyze the effects of alpha mangostin therapy in rats with diabetic cardiomyopathy.
Method : Test animals or experimental animals used in the form of male wistar strain rats. Experimental animals were divided into 6 groups: group 1 was given normal food, group 2 was given normal food and alpha mangostin compound was 200 mg / kg BW rat, group 3 was given high fat food, group 4 was given high fat food and given streptozotocin injection and then given metformin 200 mg / kg body weight rat, group 5 given high fat food and given streptozotocin injection then given alpha mangostin 100 mg / kg body weight rat and group 6 given high fat food and given streptozotocin injection then given alpha mangostin 200 mg / kg body rat. Blood sugar is measured every week, blood pressure and body weight and heart weight are measured on the week when the animal is disacrifice. All cardiac organ and plasma samples from all groups of test animals that were sacrificed at week 11 will be analyzed for HOMA-IR, MCP-1, TNF-α, IL-6, IL-1β levels and histopathological examination.
Result : Administration of streptozotocin and high-fat diets causes high blood sugar, high blood pressure, high HOMA-IR values, high BB / BJ ratio values, MCP-1 levels, TNF-α, IL- 6, high IL-1β and large cardiomyocyte cell sizes . But by giving metformin and alpha mangostin can lower blood sugar values, blood pressure, HOMA-IR values, BB / BJ ratio values, MCP-1 levels, TNF-α, IL-6, IL-1β.
Conclusion : Alfa mangostin exhibits anti-inflammatory and antidiabetic effects on blood sugar and heart of experimental animals which are given a high-fat diet and STZ injections.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyani
"ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) tipe 2 diketahui sebagai salah satu masalah kesehatan yang memberikan beban ekonomi yang cukup besar pada sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bervariasinya penggunaan terapi obat akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam efektivitas dan biaya terapi, sehingga perlu dilakukan analisis efektivitas-biaya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efektivitas-biaya terapi kombinasi metformin-insulin dan metformin-sulfonilurea pada pasien rawat jalan dengan DM tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort, pengambilan data dilakukan secara retrospektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan rekam medik pasien rawat jalan dengan DM tipe 2 dari tahun 2016-2019 dan data billing rumah sakit. Efektivitas terapi (∆HbA1c) dan biaya medis langsung antara kedua kelompok dibandingkan. ∆HbA1c antara kelompok metformin-insulin dan kelompok metformin-sulfonilurea tidak memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik (rerata perbedaan 0,123%; p=0,608). Sedangkan median biaya medis langsung kelompok metformin-insulin lebih tinggi dibandingkan kelompok metformin-sulfonilurea (p < 0,001). Hasil analisis efektivitas-biaya menunjukkan bahwa terapi kombinasi metformin-sulfonilurea lebih cost-effective dibandingkan kombinasi metformin-insulin.

ABSTRACT
Type 2 diabetes mellitus (DM) has been recognized as one of the health problems that imposes economic costs to health care systems around the world. Variation of drug therapy will result in differences in effectiveness and cost of therapy, thus cost-effectiveness analysis has been regarded paramount. The purpose of this study is to analyze the cost-effectiveness of metformin-insulin and metformin-sulfonylurea combination therapy in outpatients with type 2 DM. This cohort study was conducted retrospectively at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo using medical records of outpatients with type 2 DM from 2016-2019 and hospital billing. The effectiveness of therapy (∆HbA1c) and direct medical costs between the two groups were compared. ∆HbA1c between the metformin-insulin group and the metformin-sulfonylurea group did not have statistically significant differences (mean difference 0,123%; p=0,608). While the median of direct medical costs of the metformin-insulin group was higher than metformin-sulfonylurea group (p < 0.001). The results of the cost-effectiveness analysis showed that the combination therapy of metformin-sulfonylurea was more cost-effective compared to the combination of metformin-insulin."
2019
T55097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Indah Pratiwi
"Homosistein (Hcy) adalah asam amino yang mengandung tiol dan memiliki potensi sebagai penanda biologis dari komplikasi terkait diabetes melitus tipe 2, seperti makrovaskular dan mikrovaskular. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan homosistein serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan terapi metformin dan kombinasi metformin-glimepirid. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dan Puskesmas Depok Jaya. Sampel darah subjek penelitian dikumpulkan untuk pengukuran HbA1c dan kadar homosistein serum. Kadar homosistein serum diukur menggunakan Axis® Homocysteine EIA Kit. Total 125 partisipan dibagi menjadi dua kelompok yaitu pengguna terapi metformin (n=57) dan kombinasi metformin-glimepirid (n=68). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada karakteristik dasar dan klinis kedua kelompok kecuali regimen terapi (metformin) (p=0,003). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,163) pada hasil pengukuran kadar homosistein serum pada kelompok metformin (12,03±3,45) dan kombinasi metformin-glimepirid (13,08±4,69). Hiperhomosisteinemia (µmol/L) lebih banyak ditemukan pada kelompok kombinasi metformin-glimepirid dibandingkan dengan kelompok metformin, namun tidak bermakna secara statistik (p=0,113). Terdapat faktor yang dapat memengaruhi kadar homosistein yaitu jenis kelamin, durasi menderita DMT2, rutinitas olahraga, dan regimen terapi (glimepirid). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar homosistein serum pada kelompok metformin dan kombinasi metformin-glimepirid.

Homocysteine (Hcy) is an amino acid that contains thiols and has the potential to be a biological marker of complications related to type 2 diabetes mellitus, such as macrovascular and microvascular. The purpose of this study was to determine the comparison of serum homocysteine in type 2 diabetes mellitus patients with metformin and metformin-glimepiride combination therapy. The study was conducted with a cross-sectional design with a consecutive sampling method at the Pasar Minggu Subdistrict Health Center and the Depok Jaya Health Center. Blood samples of the research subjects were collected for measurements of HbA1c and serum homocysteine levels. Serum homocysteine levels were measured using the Axis® Homocysteine EIA Kit. A total of 125 participants were divided into two groups, users of metformin therapy (n=57) and metformin-glimepiride combinations (n=68). There were no statistically significant differences in baseline and clinical characteristics among groups except for therapeutic regimen (metformin) (p=0,003). There was no significant difference (p=0,163) in the measurement results of serum homocysteine levels in the metformin (12,03±3,45) and metformin-glimepiride combination (13,08±4,69). Hyperhomocysteinemia (μmol/L) was more commonly found in the metformin-glimepiride combination group compared to the metformin group, but was no statistically significant difference (p=0.113). Gender, duration of T2DM, regular exercise, and therapeutic regimen (glimepiride) are factors that can affect homocysteine levels. Therefore, it can be said that there was no difference in serum homocysteine levels in the metformin and metformin-glimepiride groups.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septi Kurniasari
"ABSTRAK
Kaki diabetik merupakan komplikasi yang sangat menakutkan bagi pasien DM karena
resiko amputasi yang sangat tinggi. Tujuan Penelitian: menganalisis faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap kejadian kaki diabetik. Peuelitian ini merupakan penelitian
deskriptif analitik dengan pengumpulan data secara cross sectional. Sampel sebanyak
136 pasien DM yang mempunyai kelainan benluk kaki dan Iuka kaki. Pada penelitian ini
pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan cara observasi dan kuesioner. Hasil
penelitian analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan senam kaki, perawatan
kaki, kepatuhan dalam pencegahan Iuka, kontrol gula darah, pengetahuan, dan diet
dengan kejadian kaki diabetik. Scdangkan secara analisis multivariat hanya ada 3
variabel yang merupakan faktor paling berkontribusi yaitu senam kaki, kepatuhan dalam pencegahan luka dan pengetahuan. Rekomendasi hasil penelitian ini adalah melakukan konseling secara rutin, klub diabetes, dan rutinitas melakukan senam diabetes."
2007
T22882
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>