Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 229652 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Randy Satria Nugraha Rusdy
"Dermatosis autoimun bulosa (DAB) adalah sekumpulan penyakit kronik autoimun dengan ciri lepuh dan lecet pada kulit dan/atau mukosa; termasuk di dalamnya adalah pemfigus dan pemfigoid. Gangguan psikologis yang berat, hingga misalnya keinginan bunuh diri, terkadang dijumpai. Tetapi, depresi pada DAB belum banyak diteliti. Sebuah studi potong lintang observasional-analitik dilakukan di sebuah rumah sakit rujukan tersier di Jakarta pada Desember 2020-Maret 2021 untuk mengetahui prevalensi depresi pada pasien DAB serta faktor sosiodemografi dan klinis yang berhubungan. Sejumlah 33 orang subjek berusia minimal 18 tahun yang terdiagnosis DAB, tidak sedang remisi, tanpa riwayat depresi sebelum diagnosis tersebut ataupun gangguan psikiatrik lainnya, mengikuti penelitian. Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) versi Bahasa Indonesia yang telah divalidasi digunakan untuk menapis depresi dengan nilai cut-off ≥10. Beberapa variabel sosiodemografi dan klinis, termasuk tingkat risiko stres berdasarkan life events (Skala Stres Holmes dan Rahe), serta keparahan penyakit berdasarkan Autoimmune Bullous Skin Disorder Intensity Score (ABSIS) diidentifikasi. Sebagian besar subjek adalah perempuan (69,7%), berusia 47,36±13,5 tahun, menikah (78,8%), tingkat pendidikan menengah (57,6%), tidak bekerja (57,6%), penghasilan rendah (60,7%), tidak memiliki riwayat depresi pada keluarga (100%), tingkat risiko stressful life events rendah (63,6%), terdiagnosis pemfigus vulgaris (60,6%), lama sakit 1-5 tahun (72,7%), median skor ABSIS 8,75, tanpa lesi mukosa (54,5%), bergejala terkait DAB (60,6%), keterlibatan lokasi terbuka (69,7%), disertai komorbid (78,8%), menggunakan kortikosteroid sistemik ≥4 minggu (78,8%) dengan rerata dosis harian <40mg/hari (87,9%), serta mendapat juga imunosupresan lain (66,7%). Prevalensi depresi pada pasien DAB adalah 24,2%, sedangkan pada pemfigus vulgaris sebesar 40%. Berdasarkan uji bivariat, terdapat hubungan depresi dengan tingkat pendidikan (p=0,082), tingkat stressful life events (p=0,015), diagnosis pemfigus vulgaris (p=0,012), dan keterlibatan lokasi terbuka (p=0,071). Analisis multivariat mendapatkan peningkatan risiko depresi pada tingkat pendidikan tinggi (adjusted OR 9,765; p=0,039), serta skor ABSIS yang lebih tinggi daripada 1 angka di bawahnya (adjusted OR 1,039; p=0,038). Prevalensi depresi pada DAB lebih tinggi daripada di populasi umum Indonesia. Penapisan disarankan khususnya pada pasien pemfigus vulgaris, berpendidikan tinggi, dan/atau dengan kondisi yang parah. Penelitian lanjutan diperlukan untuk memastikan temuan studi pendahuluan ini.

Autoimmune bullous diseases (AIBD) is a group of chronic autoimmune dermatoses characterized by blisters and sores on the skin and/or mucosa; among them are pemphigus and pemphigoids. Severe psychological problems, even leading to suicidal thought, are not uncommonly encountered. However, depression in AIBD is rarely studied. A cross-sectional, observational analytical study was conducted in a tertiary referral hospital in Jakarta from December 2020 through March 2021 to determine the prevalence of depression among AIBD patients and related sociodemographic and clinical characteristics. Thirty-three AIBD subjects aged 18 years or older, not in remission, without recorded depression prior to diagnosis or other psychiatric disorders, were recruited. A validated Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) in Indonesian language was used to screen depression with cut-off score ≥10. Several sociodemographic and clinical characteristics, including stress-risk level according to life events by Holmes and Rahe Scale and disease severity by Autoimmune Bullous Skin Disorder Intensity Score (ABSIS) were identified. Majority of subjects were women (69.7%), aged 47.36±13.5 year-old, married (78.8%), had middle-level education (57.6%), unemployed (57.6%), low income (60.7%), without family history of depression (100%), experiencing low-risk stressful life events (63.6%), diagnosed with pemphigus vulgaris (60.6%), disease duration 1-5 years (72.7%), median of ABSIS score 8.75, without mucosal lesion (54.5%), suffering from symptoms related to AIBD (60.6%), showing involvement of exposed areas (69.7%), with comorbidities (78.8%), treated with systemic corticosteroids ≥4 weeks (78.8%) with daily doses <40mg/day (87.9%), and receiving also other immunosuppressive agents (66.7%). Prevalence of depression was 24.2% among AIBD and 40% among pemphigus vulgaris patients. Bivariate analysis showed significant correlation between depression and education level (p=0.082), stressful life events score (p=0.015), diagnosis of pemphigus vulgaris (p=0.012), and involvement of exposed areas (p=0.071). Multivariate analysis showed increased risk of depression at high level of education (adjusted OR 9.765; p=0.039) and ABSIS score higher than 1 point below (adjusted OR 1.039; p=0.038). Prevalence of depression among AIBD patients was higher than that among Indonesia’s general population. Screening is advised especially among those with pemphigus vulgaris, high level of education and/or severe condition. Further study is needed to confirm these early findings."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Grace Nami
"Urtikaria kronik (UK) adalah urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan frekuensi minimal kejadian urtika sebanyak dua kali dalam 1 minggu. Urtikaria kronik merupakan penyakit yang umum dijumpai dengan insidens pada populasi umum sebesar 1-3%, serta melibatkan mekanisme patofisiologi yang kompleks. Urtikaria kronik lebih sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak dan wanita dua kali lebih sering terkena daripada pria. Laporan morbiditas divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta antara Januari 2001 hingga Desember 2005 menunjukkan jumlah pasien UK sebesar 26,6% dari total 4453 orang pasien baru.
Meski telah dilakukan pemeriksaan klinis maupun berbagai pemeriksaan penunjang, etiologi tidak ditemukan pada 80-90% pasien UK dan digolongkan sebagai urtikaria kronik idiopatik (UKI). Urtikaria kronik idiopatik seringkali menimbulkan masalah bagi dokter maupun pasien. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan autoantibodi pelepas histamin pada 30-50% kasus UKI, sehingga digolongkan sebagai urtikaria autoimun (UA). Autoantibodi pada UA dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan, antara lain uji kulit serum autolog (UKSA) atau disebut pula tes Greaves. Saat ini UKSA dianggap sebagai uji kiinik in vivo terbaik untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin in vitro pada UA. Angka morbiditas UA di Indonesia belum pernah dilaporkan hingga saat ini. Soebaryo (2002) melaporkan angka kepositivan UKSA sebesar 24,4% pada 127 pasien UK, sedangkan Nizam (2004) memperoleh angka prevalensi kepositivan UKSA sebesar 32,1% pada 81 pasien UK.
Infeksi kuman Helicobacter pylori (Hp) merupakan infeksi bakterial kronik tersering pada manusia, mencapai 50% dari seluruh populasi dunia. Peran infeksi Hp sebagai etiologi kelainan gastrointestinal telah diterima luas. Studi lebih lanjut menemukan keterlibatan infeksi Hp pada berbagai kelainan ekstragastrointestinal, antara lain UKI.
Berbagai penelitian di Iuar negeri memperlihatkan tingginya prevalensi infeksi Hp pada pasien UKI, disertai dengan remisi klinis UKI pasca terapi eradikasi Hp. Pada penelitian-penelitian awal didapatkan angka prevalensi mencapai 80% dan remisi klinis pasta terapi eradikasi Hp terjadi pada 95-100% pasien. Pada penelitian-penelitian selanjutnya ditemukan prevalensi dan frekuensi keterkaitan yang bervariasi. Suatu studi meta-analisis mengenai infeksi Hp pada UKI menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya resolusi urtika empat kali lebih besar pada pasien yang mendapat terapi eradikasi Hp dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi. Namun demikian, remisi total hanya terjadi pada 1/3 pasien yang mendapat terapi eradikasi. Pengamatan ini mendasari timbulnya pemikiran bahwa Hp berperan penting sebagai etiologi pada sebagian kasus UKI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny D`Silva
"Latar belakang. Transplantasi hati merupakan terapi definitif untuk penyakit hati tahap akhir baik pada dewasa maupun anak. Beberapa dekade terakhir, kemajuan dalam teknik bedah, perservasi, terapi imunosupresif, pemantauan dan pengobatan infeksi telah meningkatkan keberhasilan transplantasi hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan satu tahun pasien dan graft pasca-transplantasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang mengkarakterisasi pasien <18 tahun yang menjalani transplantasi hati selama periode tahun 2010 dan 2022. Sumber data melalui penelusuran rekam medis. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menggambarkan kesintasan pasien dan graft. Analisis statistik bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan uji log-rank dan Cox’s proportional hazards. Nilai p <0,05 dianggap signifikan pada analisis multivariat.
Hasil. Sebanyak 55 pasien anak yang menjalani transplantasi hati; 50,9% adalah lelaki dengan rerata usia 16 bulan. Atresia bilier merupakan penyebab terbanyak dari penyakit hati kronis tahap akhir yang menjalani transplantasi hati. Kesintasan satu tahun secara keseluruhan adalah 85,5%. Berdasarkan hasil analisis multivariat, skor pediatric end-stage liver disease (PELD) ≥20 (p = 0,011) dan durasi operasi ≥16 jam (p = 0,002) merupakan faktor yang berhubungan dengan kesintasan pasien dan graft yang lebih rendah.
Kesimpulan. Pemantauan khusus direkomendasikan pada pasien anak dengan skor PELD tinggi yang menjalani transplantasi hati dan durasi operasi yang lebih lama untuk meningkatkan kesintasan pasien dan graft. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang signifikan terhadap kesintasan pasien dan graft.

Background. Liver transplantation is the treatment of choice for end-stage liver in both adults and children. The last few decades, progress in terms of surgical techniques, preservation, immunosuppressive therapy, monitoring and treatment of infection have improved survival of liver transplantation. This study aims to identify factors that influence one-year post-transplant patient and graft survival at Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods. This is a retrospective cohort analysis characterizing patients transplanted between 2010 and 2022 included all recipients <18 years of age undergoing pediatric liver transplantation. Data sources included hospital medical records. Outcomes measures were overall patient and graft survival. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient and graft survival. Bivariate and multivariate statistical analysis was undertaken using log-rank test and Cox’s proportional hazards model. A p value <0.05 was considered significant at the multivariate level.
Results. A total of 55 pediatric patients underwent liver transplantation; 50,9% were boys and median age was 16 months. Biliary atresia were the most common causes of liver disease. Overall 1-year survival rates were 85.5%. According to multivariate analysis, pediatric end-stage liver disease (PELD) score ≥20 (p = 0.011) and operative duration ≥16 hours (p = 0,002) were factors associated with worse patient and graft survival.
Conclusion. Greater caution is recommended in pediatric patients with high PELD score undergoing liver transplantation and longer operative duration to improve patient and graft survival. Further research is needed with larger sample size to obtain a significant impact on patient and graft survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dogma Handal
"Pendahuluan. Esofagektomi merupakan tata laksana pembedahan standar bagi pasien kanker esofagus resektabel. Namun, angka kesembuhan tindakan ini hanya berkisar antara 25 - 35% dan dihubungkan dengan seriusnya risiko komplikasi pascabedah. Pasien pascaesofagektomi diketahui mengalami penurunan kualitas hidup, tetapi belum ada penelitiannya di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas hidup pasien pascaesofagektomi pada populasi pasien di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode. Penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan menggunakan instrumen yang dikeluarkan oleh European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC), yaitu modul khusus kanker esofagus EORTC-QLQ-OES18 dan core questionnaire C30. Populasinya adalah pasien pascaesofagektomi periode 2015—2021 di RSCM.
Hasil. Sebanyak 35 subjek dilakukan esofagektomi dan rekonstruksi pascaesofagektomi. Terdiri dari laki-laki 62,9% dan perempuan 37,1%. Rerata usia adalah 43,8 tahun (SB: 13,1). Median kualitas hidup (global health) dari semua subjek adalah 83,3 (IQR: 25,0). Item pertanyaan skala fungsional terhadap keseluruhan subjek yang memiliki skor paling rendah adalah cognitive functioning (CF). Sedangkan berdasarkan item pertanyaan skala gejala terhadap keseluruhan subjek yang memiliki skor paling tinggi, yaitu nausea and vomiting (NV), pain (PA), dysphagia (OESDYS), eating (OESEAT), choking (OESCH), dan coughing (OESCO).
Kesimpulan. Kualitas hidup pasien pascaesofagektomi di RSCM berdasarkan kuesioner EORTC-QLQ-C30 dan OES18 secara keseluruhan tergolong baik. Faktor prognostik yang berhubungan dengan penurunan kualitas hidup sebaiknya lebih diedukasi ke pasien dan dilakukan upaya persiapan sejak sebelum tindakan esofagektomi dikerjakan sehingga dapat memaksimalkan kualitas hidup pascaoperasi.

Introduction. Esophagectomy is the standard surgical treatment for resectable esophageal cancer patients. However, the success rate for this procedure was about 25—35% and was associated with a severe risk of postoperative complications. Patients after esophagectomy have decreased their quality of life (QOL), but no research has been done in Indonesia. This study was conducted to determine the quality of life after esophagectomy in Indonesia based on the patient population at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (CMGH).
Method. A retrospective study was conducted using quality of life instruments issued by the European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC). It consists of the module for esophageal cancer EORTC-QLQ-OES18 and the core questionnaire C30. Subjects were patients after esophagectomy in 2015—2021 at CMGH.
Results. About 35 subjects underwent esophagectomy and followed by reconstruction, which comprised 62.9% male and 37.1% female. The mean age was 43.8 years (SD: 13.1 years). All subjects' median global health was 83.3 (IQR: 25.0). The overall functional scale question item with the lowest score was cognitive functioning (CF) 66.7 (IQR: 50.0). Meanwhile, based on the question items on the overall symptom scale, the worst scores were nausea and vomiting (NV) 16.7 (IQR: 50.0), pain (PA) 16.7 (IQR: 33.3), dysphagia (OESDYS) 33.3 (IQR: 33.3), eating (OESEAT) 34.5 (IQR: 23.9), choking (OESCH) 33.3 (IQR: 33.3), and coughing (OESCO) 33.3 (IQR: 33.3).
Conclusion. The overall QOL after esophagectomy at CMGH based on the EORTC-QLQ-C30 and OES18 questionnaires was good. Prognostic factors associated with decreased quality of life should be better educated to patients and prepared well before the esophagectomy procedure, thus maximizing quality of life after esophagectomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septian Nindita Adi Nugraha
"Latar Belakang: GERD merupakan penyakit saluran cerna atas yang banyak ditemukan dan prevalensnya semakin meningkat. Pemberian PPI belum memberikan hasil yang memuaskan, dimana 30-42% pasien masih menunjukkan keluhan. Pasien yang masih menunjukkan keluhan dikatakan GERD refrakter. Ansietas dan depresi dipikirkan sebagai salah satu faktor risiko GERD refrakter. Saat ini belum ada data mengenai angka kejadian ansietas dan depresi pada pasien GERD refrakter di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui perbedaan proporsi kejadian ansietas dan depresi pada subgrup GERD refrakter berdasarkan pemeriksaan pH impedans.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data primer yang melibatkan 118 pasien GERD refrakter. Dilakukan analisis dengan membagi pasien berdasarkan EGD dan pH impedans menjadi ERD, true NERD, esofagus hipersensitif dan functional heartburn. Kemudian dilakukan analisis proporsi kejadian ansietas dan depresi pada masing-masing subgrup.
Hasil: Sampel berjumlah 118 pasien terdiri dari 41 pasien ERD, 25 pasien true NERD, 8 pasien esofagus hipersensitif dan 44 pasien functional heartburn. Proporsi kejadian ansietas sebesar 41,5% pada kelompok ERD, 60% pada kelompok NERD, sebesar 62,5% pada kelompok esofagus hipersensitif, dan 40,9% pada kelompok functional heartburn. Proporsi kejadian depresi sebesar 41,5% pada kelompok ERD, sebesar 40% pada kelompok NERD dan 40,9% pada kelompok functional heartburn. Tidak ada pasien yang menderita depresi pada kelompok esofagus hipersensitif. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik proporsi kejadian ansietas dan depresi pada subgrup GERD refrakter.
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian ansietas dan depresi pada masing-masing subgrup GERD refrakter.

Background: GERD is a major gastrointestinal disease that is found in the community and the prevalence is increasing. Giving PPI has not given satisfactory results, where 30-42% patients still showing complaints. This patients is referred as refractory GERD. Anxiety and depression is considered as risk factors for refractory GERD. Currently there is no data on the incidence of anxiety and depression correlated with subgroups  of refractory GERD based on pH impedance examination in Indonesia.
Objectives: To determine the proportion differences of anxiety and depression events on each of GERD refractory subgroups based on pH impedance examination.
Methods: This study is a cross-sectional study using primary data involving 118 refractory GERD patients. Analysis were carried out by dividing patients based on EGD and pH impedance examination into ERD, NERD, hypersensitive esophagus and functional heartburn. The proportion of anxiety and depression then analyzed in each of those groups.
Results: 118 patients participated in these study consisting of 41 ERD patients, 25 NERD patients, 8 hypersensitive esophageal patients and 44 functional heartburn patients. The proportion of anxiety events was 41.5% in the ERD group, 60% in the NERD group, 62.5% in the hypersensitive esophageal group, and 40.9% in the functional heartburn group. The proportion of depression events was 41.5% in the ERD group, 40% in the NERD group and 40.9% in the functional heartburn group. There is no patient suffered from depression in the hypersensitive esophageal group. There is no statistically significant difference between the incidence of anxiety and depression in each of those groups.
Conclusions: There is no differences in the proportion of anxiety and depression events in each of GERD refractory subgroup.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Amira Tjandrasari
"LES merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dan banyak terjadi pada  anak remaja dengan rata-rata onset usia 11-12 tahun. Sekitar 10% dari remaja dengan penyakit kronis seperti LES mengalami masalah psikososial, termasuk masalah emosi seperti depresi dan kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelatihan kecakapan hidup pada anak dengan LES dapat memperbaiki masalah emosi. Penelitian dilakukan dengan 30 subjek remaja perempuan dengan LES yang sudah mendapatkan pengobatan, dan nilai SLEDAI 0-5. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak tanpa penyamaran, perlakuan dan kontrol.  Pelatihan kecakapan hidup diberikan pada kelompok perlakuan sebanyak 1 kali dalam kelas. Perbaikan masalah emosi dinilai dengan membandingkan nilai SDQ sebelum pelatihan dan 4 minggu setelah pelatihan. Penelitian melibatkan 30 remaja perempuan dengan LES dengan usia rerata 14 tahun. Sebanyak 20/30 subjek memiliki nilai SDQ normal, 4/30 dengan SDQ borderline dan 6/30 dengan SDQ abnormal. Terdapat perbedaan bermakna selisih masalah emosi pada kedua kelompok (p: 0,025; effect size: 0,87). Pada kelompok yang mendapatkan pelatihan terdapat perbaikan nilai SDQ total (p: 0,001), nilai masalah emosi (p: 0,002), nilai masalah perilaku (p: 0,027) dan nilai masalah perilaku hiperaktif (p: 0,040) dibandingkan dengan awal studi. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya terdapat perubahan nilai masalah dengan teman sebaya (p: 0,011). Selain itu ditemukan pula perbaikan masalah emosi pada kelompok pelatihan yakni keluhan sakit fisik (p: 0,021), rasa khawatir (p: 0,020) dan perasaan gugup (p: 0,020). Studi ini menyimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup-modul pengelolaan emosi efektif dalam memperbaiki masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES secara signifikan, terutama gugup atau sulit berpisah dengan orangtua/pengasuhnya pada situasi baru, mudah kehilangan rasa percaya diri dan banyak kekhawatiran atau sering tampak khawatir.

SLE is a chronic autoimmune inflammatory disease and many occur in adolescents with an average age of onset of 11-12 years. About 10% of adolescents with chronic diseases such as SLE experience psycho-mental problems, including emotional problems such as depression and anxiety. The aim of this study is to determine whether life skills training in children with SLE can improve emotional problems. The study was conducted with 30 female adolescent with SLE who had received treatment and SLEDAI score 0-5. Subjects were divided into 2 groups randomly, not-blinding, experiment and control. Life skills training is given to the experiment group one time in group. Emotional problem improvement was assessed by comparing SDQ scores before training and 4 weeks after training. The study involves a total of 30 female adolescent with SLE with an average age of 14 years. A total of 20/30 subjects had normal SDQ values, 4/30 with borderline SDQ and 6/30 with abnormal SDQ. There were significant differences in the difference between emotional problems in the two groups (p: 0.025; effect size: 0.87). In the group that received training there was an improvement in the total SDQ value (p: 0.001), the value of emotional problems (p: 0.002), the value of conductive problems (p: 0.027) and the value of hyperactive behavior problems (p: 0.040) compared to the beginning of the study. Whereas in the control group there were only changes in the value of problems with peers (p: 0.011). In addition it also found improvements in emotional problems in the experiment group, they are complaints of physical pain (p: 0.021), anxiety (p: 0.020) and nervous feelings (p: 0.020). This study concludes that life skills training-emotion management module is significantly effective in improving emotional problems in female adolescent with LES, especially nervous or having difficulty separating from parents/caregivers in new situations, easily losing self-confidence and many worries or often seems worried."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David
"Latar Belakang. Sejak laporan pertama ensefalitis antireseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada 2007, prevalensi ensefalitis autoimun (EA) serupa dengan ensefalitis infeksi (EI). Sayangnya, heterogenitas klinis EA, serupanya klinis dengan EI, penyakit autoimun seperti neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik, atau penyakit psikiatrik menjadi tantangan deteksi awal dan tatalaksana EA. Keterlambatan berhubungan dengan perburukan luaran, sedangkan kekurang-tepatan menerapi EI sebagai EA dapat mengeksaserbasi infeksi. Studi ini bertujuan mengenali karakteristik EA, khususnya ensefalitis antireseptor NMDA definit sebagai EA tersering, di era keterbatasan ketersediaan penunjang definitif di Indonesia.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pada curiga EA yang menjalani pemeriksaan antireseptor NMDA cairan otak sejak Januari 2015-November 2022. Karakteristik klinis dan penunjang EA, EA seropositif NMDA, dan luarannya dinilai. Analisis univariat dan bivariat dilakukan sesuai kebutuhan.
Hasil. Dari 102 subjek yang melalui kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 14 EA seropositif dan 32 seronegatif NMDA. Temuan klinis EA terbanyak adalah gangguan psikiatri dan tidur (85,7%), gangguan kesadaran (78,3%), prodromal (76,1%), dan bangkitan (70,6%). Karakteristik penunjang EA adalah inflamasi sistemik (75,0%), inflamasi cairan otak (69,2%), abnormalitas MRI (57,9%) dominan inflamasi (42,2%), dan abnormalitas EEG (89,5%). Karakteristik klinis EA seropositif NMDA adalah psikosis (76,9% vs 24,1%, p=0,002), delirium (71,4% vs 40,6%, p=0,06), bangkitan (71,4% vs 46,7%, p=0,12), takikardia (55,6% vs 17,6%, p=0,08), dan gangguan otonom lainnya (55,6% vs 23,5%, p=0,19), sedangkan klinis EA seronegatif NMDA adalah somnolen (34,4% vs 7,1%, p=0,07) dan defisit neurologis fokal (31,3% vs 7,1%, p=0,13). Leukositosis dan pleositosis cairan otak dengan dominasi mononuklear secara signifikan lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Sebanyak 10,9% subjek meninggal.
Kesimpulan. Karakteristik klinis EA adalah gangguan psikiatri dan tidur, gangguan kesadaran, prodromal, dan bangkitan. Psikosis, delirium, bangkitan, dan disfungsi otonom cenderung lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Inflamasi sistemik, cairan otak, MRI, dan abnormalitas EEG sering ditemukan pada EA, terutama seropositif NMDA. 

Background. Since the first report of N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) encephalitis in 2007, the prevalence of autoimmune encephalitis (AE) was similar to infectious encephalitis (IE). Unfortunately, heterogenities of EA as well as similarities in the manifestation to IE, other autoimmune diseases including neuropsychiatric systemic lupus erythematosus, or psychiatric diseases compromised the early detection and management of EA. This delay correlated with worse outcome whereas the inaccuracy in treting IE as AE may exacerbate infection. This study aimed to describe the characteristics of EA, particularly definitive NMDAR encephalitis as the most common, in the era of limited availability of definitive ancillary test in Indonesia.
Methods. Retrospective study using medical records at Dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital was conducted for suspected EA cases tested for cerebrospinal fluid NMDAR autoantibody test from January 2015 to November 2022. Clinical, ancillary characteristics, and concordance between clinical diagnosis and diagnostic criteria were assessed. Univariate, bivariate, and multivariate analysis were perfomed as needed.
Result. Of 102 subjects following inclusion and exclusion criteria, there were 14 seropositive and 32 seronegative NMDA subject. Clinical characterstics of AE were psychiatric and sleep disorder (85,7%), altered consciousness (78.3%), prodromal (76.1%), and seizure (70.6%). Ancillary characteristics of AE were systemic inflammation (75.0%), cerebrospinal fluid inflammation (69.2%), MRI abnormalities (57.9%) with inflammatory predominance (42.2%), and EEG abnormalities (89.5%). Seropositive NMDA characteristics were psychosis (76.9% vs 24.1%, p=0.002), delirium (71.4% vs 40.6%, p=0.06), seizure (71.4% vs 46.7%, p=0.12), tachycardia 955.6% vs 17.6%, p=-0.08), and other autonomic disorder (55.6% vs 23.5% p=0.19) whereas seronegative NMDA characteristics were somnolence (34.4% vs 7.1%, p=0.07) and focal neurologic deficit (31.3% vs 7.1%, p=0.13). Leukocytosis and cerebrospinal fluid pleocytosis with mononuclear predominance were significantly found in seropositive NMDA AE. The mortality rate was 10.9%.
Conclusion. Clinical characteristics of AE were psychiatric and sleep disorder, altered consciousness, prodromal, and seizure. Psychosis, delirium, seizure, and autonomic dysfunction tended to be found in seropositive NMDA AE. Inflammation in systemic, cerebrospinal fluid, and MRI findings as well as EEG abnormalities commonly occurred in AE, especially seropositive NMDA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Priharyanti Wulandari
"ABSTRAK
Depresi seringkali dialami oleh perempuan penderita kanker payudara. Depresi yang terjadi pada pasien kanker payudara dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian depresi pada pasien kanker payudara. Pengambilan data dilakukan diruang Poli bedah onkologi dan ruang rawat inap, sampel dalam penelitian ini adalah 102 responden. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. faktor yang ditemukan paling dominan mempengaruhi terjadinya depresi pada pasien kanker payudara adalah dukungan keluarga (p value = 0,002<0,05). Direkomendasikan untuk menurunkan kejadian depresi yaitu perawat seharusnya memfasilitasi dukungan keluarga yang cukup pada penderita kanker payudara untuk mengurangi kejadian depresi.

ABSTRACT
Depression is frequently experienced by women with breast cancer. Depression that occurs in the breast cancer patients is influenced by several factors. This study aimed to find out the factors influencing the incidence of depression in the breast cancer patients. The data collection was performed at the outpatient oncology surgery center and the inpatient ward. The research samples were 102 respondents. The research design was cross sectional. The most dominant factor affecting the occurrence of depression in the breast cancer patients was family support (p value = 0,002<0,05). It is recommended that nurses facilitate the adequate family support for the breast cancer patients in order to reduce the incidence of depression."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T32637
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mitari Nuzullita
"Latar belakang: Kanker ovarium merupakan jenis kanker ke-3 yang paling sering dialami oleh wanita di Indonesia. Diagnosis yang terlambat berperan besar dalam tingginya angka mortalitas. Metode skrining cepat kanker ovarium semakin penting untuk diteliti, dengan beragam biomarker penanda kanker seperti CA-125, HE4, dan FOLR1 yang menawarkan indeks diagnostik dan kemudahan prosedur yang menjanjikan.
Metode: Studi deskriptif desain potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari 2022 hingga Januari 2023. Kadar serum CA-125, HE4, dan FOLR1 dianalisis dari 48 subjek yang terbagi dalam kelompok tumor ovarium ganas dan jinak. Diagnosis pasti tumor merujuk hasil pemeriksaan histopatologis dan pencitraan. Data demografis pasien seperti usia, status menopause, ukuran tumor, hingga hasil analisis sitologi cairan asites dikumpulkan.
Hasil: Hasil analisis demografis menunjukkan kecenderungan subjek menopause untuk memiliki tumor ovarium non-maligna (57,6% vs. 26,7%; p < 0,05), dan subjek dengan cairan asites ganas cenderung memiliki tumor ovaium maligna (3,0% vs. 40,0%; p < 0,05). Kadar ketiga biomarker serum meningkat pada kelompok tumor maligna, namun hanya HE4 (median 12,43 vs. 42,03; p < 0,05) yang memiliki perbedaan bermakna (CA-125 median 102,50 vs. 461,85; p = 0,062; FOLR1 median 0,070 vs. 0,172; p=0,213). Area under the curve (AUC) pada hasil analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) menunjukkan hasil 0,630, 0,747, dan 0,794 secara berturut-turut untuk biomarker FOLR1, Ca125, dan HE4, dengan analisis beda proporsi signifikan pada titik potong 0,1165 ng/mL (Se 66,7%, Sp 60,6%), 208,00 U/mL (Se 73,3%, Sp 84,8%), dan 19,66 pg/mL (Se 86,7%, Sp 60,6%). Analisis kombinasi biomarker menunjukkan peningkatan sensitifitas namun penurunan spesifisitas.
Kesimpulan: Kadar serum ketiga biomarker memiliki kemampuan yang baik sebagai prediktor keganasan tumor ovarium maligna. Pada populasi penelitian, HE4 secara tunggal memiliki indeks diagnostik terbaik, dan kombinasi biomarker tidak memberikan peningkatan kemampuan diagnostik.

Background : Ovarian cancer is the third most common cancer in women in Indonesia. Late diagnosis significantly contributes to high mortality rates. Rapid screening methods for ovarian cancer are increasingly important, with biomarkers such as CA-125, HE4, and FOLR1 offering promising diagnostic indices and procedural ease.
Methods: This cross-sectional descriptive study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital, Jakarta from January 2022 to January 2023. Serum levels of CA-125, HE4, and FOLR1 were analyzed in 48 subjects divided into malignant and benign ovarian tumor groups. Tumor type diagnosis was based on histopathological examination and imaging. Patient demographic data including age, menopausal status, tumor size, and cytology analysis of ascitic fluid were collected.
Results: Demographic analysis showed tendencies of menopausal subjects to have non-malignant ovarian tumors (57.6% vs. 26.7%; p < 0.05), and subjects with malignant ascitic fluid were more likely to have malignant ovarian tumors (3.0% vs. 40.0%; p < 0.05). Serum levels of all three biomarkers were higher in the malignant group, but only HE4 (median 12.43 vs. 42.03; p < 0.05) showed significant differences (CA-125 median 102.50 vs. 461.85; p = 0.062; FOLR1 median 0.070 vs. 0.172; p = 0.213). The area under the curve (AUC) for the receiver operating characteristic (ROC) curve analysis showed 0.630, 0.747, and 0.794 for FOLR1, CA-125, and HE4, respectively. Significant cut-off points were 0.1165 ng/mL (Se 66.7%, Sp 60.6%), 208.00 U/mL (Se 73.3%, Sp 84.8%), and 19.66 pg/mL (Se 86.7%, Sp 60.6%). Biomarker combination analysis increased sensitivity but decreased specificity.
Conclusion: Serum levels of the three biomarkers are good predictors of malignancy in ovarian tumors. In this study population, HE4 alone had the best diagnostic index, and combining biomarkers did not enhance diagnostic capability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Mellissa
"Latar Belakang: Meningkatnya angka kehamilan remaja berkorelasi dengan meningkatnya dampak buruk terhadap ibu atau pun bayi. Selain peningkatan kematian ibu atau pun bayi yang diakibatkan kehamilan remaja, depresi pascapersalinan dan gejalanya meningkat secara bermakna pada kehamilan remaja. Prevalensinya berkisar antara 26 % sampai lebih dari 50%. Depresi pascapersalinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain status pernikahan, status sosial-ekonomi, kepercayaan diri, depresi antenatal, kurangnya dukungan sosial, stresor, gangguan emosi pada masa anak, kehamilan yang tidak diinginkan, depresi terdahulu.
Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi depresi pascapersalinan pada kehamilan remaja di RSUPN Ciptomangunkusumo dan Puskesmas jejaring serta untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara dukungan pasangan, dukungan orangtua, status pernikahan, kehamilan yang tidak diinginkan, stresor psikososial, luaran janin, penyulit obstetri dengan depresi pascapersalinan.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif analitik observasional dengan desain cross sectional yang menggunakan kuesioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi dan hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi pascapersalinan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta  dan puskesmas jejaring dalam 6 bulan (Februari 2019 hingga Juli 2019).
Hasil: Dari 6 bulan (Februari 2019-Juni 2019) terdapat 77 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Prevalensi depresi pascapersalinan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan 5 puskesmas jejaring adalah 45%. Terdapat hubungan bermakna antara dukungan pasangan, status pernikahan, kehamilan yang diinginkan, stresor psikososial, dan komplikasi obstetrik terhadap terjadinya depresi pascapersalinan melalui analisis bivariat dengan nilai signifikansi p<0,001 (p<0,05), sedangkan untuk faktor dukungan keluarga, status pernikahan, kehamilan yang tidak diinginkan, dan luaran janin didapatkan hasil analisis bivariat mempunyai hubungan tidak bermakna dengan kejadian depresi pasca persalinan. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa dukungan suami, stressor psikososial, dan komplikasi obstetrik menjadi 3 faktor utama sebagai pendukung terjadinya depresi pascapersalinan. Terdapat hubungan antara tidak adanya dukungan suami dengan peningkatan depresi pasca persalinan yang terjadi di 31 (93.9%) pasien yang tidak mendapat dukungan suami dengan OR=64,3. Terdapatnya stresor psikososial terbukti pula mempunyai hubungan dengan peningkatan kejadian depresi pascapersalinan pada 14 (93.9%) pasien yang terdapat stressor psikososial dengan OR=67,2. Kesulitan obstetrik yang dialami pasien juga didapatkan hasil analisis yang bermakna terhadap peningkatan kejadian depresi pascapersalinan pada 32 (86.5%) pasien yang mengalami kesulitan obstetrik dengan OR=36,3.
Kesimpulan: Berdasarkan temuan penelitian maka faktor-faktor pengaruh dukungan suami, stres psikososial dan kesulitan obstetrik terhadap depresi sebesar 86,6%, sisanya 13,4% dipengaruhi faktor lain. Faktor tersebut penting dalam memprediksi depresi pascapersalinan pada kehamilan remaja, karena memiliki pengaruh yang signifikan. Hal tersebut penting sebagai pertimbangan untuk melakukan skrining awal dan menentukan tatalaksana yang lebih jauh.
Kata kunci: Kehamilan remaja, depresi pascapersalinan, faktor-faktor

Background: Increasing numbers of adolescent pregnancy correlates with increasing adverse effects on mother or baby. In addition to an increase in maternal or infant mortality due to teenage pregnancy, postpartum depression and symptoms increase significantly in teenage pregnancy. The prevalence ranges from 26% to more than 50%. Postpartum depression is influenced by various factors, including marital status, socio-economic status, self-confidence, antenatal depression, lack of social support, stressors, emotional disturbances in childhood, unwanted pregnancy, previous depression.
Objective: This study aims to find out the prevalence of postpartum depression in adolescent pregnancy at Ciptomangunkusumo General Hospital and network primary helath care and to find out whether there is a relationship between partner support, parental support, marital status, unwanted pregnancy, psychosocial stressors, fetal outcomes, obstetric complications and postpartum depression.
Methods: This study is descriptive observational analytic with cross sectional study design using the Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) questionnaire with the aim to determine the prevalence and relationship of factors that influence the occurrence of postpartum depression at Dr. Hospital. Cipto Mangunkusumo Jakarta and network primary helath care in 6 months (February 2019 to July 2019)
Results: From 6 months (February 2019-June 2019) there were 77 patients who met the inclusion criteria. The prevalence of postpartum depression in Cipto Mangunkusumo General Hospital and 5 networked primary helath care 45%. There was a significant relationship between partner support, marital status, unwanted pregnancy, psychosocial stressors, and obstetric complications of postpartum depression through bivariate analysis with a significance value of p <0.001 (p <0.05). As for the factors of family support, marital status, unwanted pregnancy, and fetal outcomes obtained bivariate analysis results have no significant relationship with the incidence of postpartum depression. The results of multivariate analysis showed that the support of husbands, psychosocial stressors, and obstetric complications were 3 main factors supporting the occurrence of postpartum depression. There was a relationship between lack of husband support with an increase in postpartum depression that occurred in 31 (93.9%) patients with lack of husband support with OR = 64.3. The presence of psychosocial stressors has also been shown to be associated with an increased incidence of postpartum depression in 14 (93.9%) patients with presence of Universitas Indonesia psychosocial stress with OR = 67.2. Obstetric difficulties experienced by patients also obtained results of a meaningful analysis of the increased incidence of postpartum depression in 32 (86.5%) patients with obstetric difficulties with OR = 36.3.
Conclusions: Based on the above findings, the factors influencing husband's support, psychosocial stress and obstetric difficulties for depression were 86.6%, the remaining 13.4% were influenced by other factors. This factor is important in predicting postpartum depression in teenage pregnancy, because it has a significant effect. This is important as a consideration for conducting initial screening and determining further management.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>