Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142733 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartika Soka Rahmita
"Ventilator mekanik adalah salah satu alat bantuan hidup yang paling sering digunakan oleh pasien kritis, namun terdapat banyak komplikasi apabila digunakan dengan durasi yang memanjang yaitu lebih dari 14 hari (prolonged mechanical ventilation, PMV), dan dikatakan hanya 50% pasien dengan
Ventilator mekanik adalah salah satu alat bantuan hidup yang paling sering digunakan oleh pasien kritis, namun terdapat banyak komplikasi apabila digunakan dengan durasi yang memanjang yaitu lebih dari 14 hari (prolonged mechanical ventilation, PMV), dan dikatakan hanya 50% pasien dengan PMV yang dapat dilakukan ekstubasi. Peningkatan durasi pemakaian ventilator dan lama rawat pada pasien ICU disebabkan antara lain karena berkurangnya sintesis protein dan meningkatnya pemecahan protein otot, sehingga asupan protein dalam jumlah yang tepat dan diberikan sesuai dengan waktu rawat dapat mengurangi waktu lama rawat, durasi pemakaian ventilator dan angka kematian pada pasien kritis. Namun, saat ini prevalensi obesitas meningkat pada sakit kritis dan memengaruhi pemanjangan durasi pemakaian ventilator. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada subjek dengan indeks massa tubuh ≥25 kg/m2, berusia 18-70 tahun, menggunakan ventilator mekanik ≥72 jam, dan dirawat di ICU RSCM dan RSUI. Diperoleh 23 subjek dengan proporsi 65,2% laki-laki dan 34,8% perempuan, dengan rerata usia 51 tahun. Mayoritas subjek penelitian memiliki IMT obesitas derajat 1 (91,3%) dan EOSS kelas 2 (56,5%). Berdasarkan diagnosis awal admisi ICU didominasi oleh sepsis dan pasca pembedahan (14,3%). Subjek penelitian sebagian besar belum dapat memenuhi kebutuhan energi berdasarkan rekomendasi (17,52±5,99 kkal/kgBB/hari). Rerata asupan protein pada penelitian ini masih kurang dari rekomendasi (0,833±0,264 g/kgBB/hari) dan rerata durasi pemakaian ventilator pada penelitian ini cukup panjang (245,35±125,16 jam). Hasil penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara rerata asupan protein dengan durasi pemakaian ventilator mekanik. Penelitian lanjutan diperlukan dengan kriteria subjek pada variabel dependen dan independen yang lebih bervariasi dan dengan mempertimbangkan analisis faktor perancu lain yang dapat memengaruhi durasi pemakaian ventilator mekanik.

Mechanical ventilators are one of the most frequent life-support used in critically ill patients. However, prolonged mechanical ventilation (more than 14 days) can lead to many complications and only 50% of PMV patients being able to be extubated. The increased duration of ventilator and length of ICU stay in patients is partly due to decreased protein synthesis and increased muscle protein breakdown. Therefore, adequate protein intake may reduce length of ICU stay, duration of ventilation, and mortality in critically ill patients. However, the prevalence of obesity in critically ill patients has been increasing and affecting the longer duration of ventilation. This study employed a prospective cohort design on subjects with a body mass index (BMI) of ≥25 kg/m², aged 18-70 years, who used mechanical ventilators for ≥72 hours, and were treated in the ICUs of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and University of Indonesia Hospital (RSUI). A total of 23 subjects were included, with 65.2% male and 34.8% female, and an average age of 51 years. The majority of study subjects had a BMI obesity grade 1 (91.3%) and EOSS class 2 (56.5%). The initial diagnosis at ICU admission was dominated by sepsis and post-surgery conditions (14.3%). Most subjects in the study could not meet their energy needs (17.52±5.99 kcal/kgBW/day). The average protein intake in this study was still below the recommendation (0.833±0.264 g/kgBW/day) and the average duration of mechanical ventilation was quite long (245.35±125.16 hours). The study did not find a relationship between protein intake and duration of mechanical ventilation. Further research is needed with more varied subject criteria fpr dependent and independent variables, while considering the analysis of other confounding factors that may influence the duration of mechanical ventilator use."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laurencia Ardi
"Peningkatan kadar Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) dikaiktkan dengan asupan protein yang rendah pada pasien sakit kritis dewasa di ICU. Belum ada penelitian sebelumnya yang menilai hubungan tersebut. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan protein dengan Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) pada pasien sakit kritis dewasa. Studi potong lintang ini dilakukan pada 40 pasien sakit kritis dewasa di ICU RS Universitas Indonesia. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diambil darahnya untuk dilakukan pemeriksaan NGAL serta dinilai asupan proteinnya. Uji t tidak berpasangan dan uji korelasi Spearman digunakan dalam analisis data (p<0,05). Rentang asupan protein pada subjek penelitian ini adalah 13,5-110 g/hari, dengan rerata asupan protein dalam g/kgBB/hari adalah 0,82±0,29. Rentang kadar NGAL plasma pada subjek penelitian adalah 87,75-787,65 ng/mL. Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan NGAL pada pasien sakit kritis dewasa. Hubungan bermakna didapatkan antara usia dan penyakit penyerta dengan NGAL pada pasien sakit kritis dewasa.

Elevated Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) levels are associated with low protein intake in adult critically ill patients in the ICU. No previous studies have evaluated this relationship. This study aimed to determine the association of protein intake with Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) in adult critically ill patients. This cross-sectional study was conducted on 40 adult critically ill patients in the ICU of Universitas Indonesia Hospital. Subjects who met the inclusion and exclusion criteria had their blood drawn for NGAL and protein intake assessed. Independent t-test and Spearman’s correlation test were used to examine the data (p<0.05). The range of protein intake in the subjects of this study was 13.5-110 g/day, with the mean protein intake in g/kgBB/day being 0.82±0.29. The range of plasma NGAL levels in the study subjects was 87.75-787.65 ng/mL. There was no significant association between protein intake and NGAL in adult critically ill patients. Significant association was found between age and comorbidities with NGAL in adult critically ill patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pustika Efar
"Latar belakang: Penentuan kebutuhan nutrisi secara tepat pada anak sakit kritis perlu
dilakukan untuk menghindari underfeeding dan overfeeding. Rumus estimasi menjadi
dasar perkiraan kebutuhan energi jika kalorimetri indirek sebagai baku emas tidak
tersedia. Akurasi rumus pada studi terdahulu sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh
karakteristik populasi setempat, sehingga akurasinya perlu diuji pada populasi Indonesia.
Tujuan: Mengevaluasi akurasi rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO
dibandingkan kalorimetri indirek, serta mengevaluasi dampak penambahan faktor stres
terhadap akurasi.
Metode: Penelitian deskriptif analitik potong lintang ini mengikutsertakan pasien anak
yang menggunakan ventilasi mekanik Mei sampai Juli 2019. Analisis kesesuaian
dilakukan dengan membandingkan perhitungan rumus Schofield WH, Schofield W, dan
WHO, dengan dan tanpa faktor stres terhadap pengukuran kalorimetri indirek.
Hasil: Penelitian mengikutsertakan 52 subjek pada hari perawatan 1-5 di PICU dengan
median usia 5 tahun (1 bulan 10 hari hingga 17 tahun 9 bulan). Kebutuhan energi yang
diukur kalorimetri indirek adalah 60,7 ± 23,5 Kkal/kg/hari. Estimasi rumus Schofield
WH, Schofield W, dan WHO lebih rendah dari hasil pengukuran tersebut dengan %bias
berturut-turut -13 ± 19, -15 ± 20, dan -16 ± 21. Nilai estimasi dan hasil pengukuran
kalorimetri indirek berkorelasi kuat (intraclass correlation coefficient r > 0,9) namun
interval kesesuaian (limit of agreement) dari %bias sangat lebar. Hanya 12 (23%) subjek
yang memiliki nilai estimasi akurat sesuai dengan kalorimetri indirek. Pada populasi
penelitian ini faktor stres meningkatkan akurasi rumus estimasi.
Simpulan: Rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO tidak akurat sebagai estimasi
kebutuhan energi anak sakit kritis. Hasil prediksi rumus tersebut lebih rendah dari
kebutuhan aktual jika faktor stres tidak digunakan.

Background: Accurate estimation of energy expenditure in critically ill children is
important to avoid underfeeding and overfeeding. Prediction formula helps to estimate
energy expenditure when the gold standard indirect calorimetry is not available. Previous
study on estimation accuracy yielded variable result in different population
characteristics, therefore the accuracy of prediction formula in Indonesian population
needs to be evaluated.
Objective: To assess the accuracy of Schofield WH, Schofield W, and WHO formula
compared to indirect calorimetry. To evaluate the impact of additional stress factor on the
accuracy of prediction formula.
Methods: This is a descriptive analytic cross-sectional study on mechanically ventilated
critically ill children held in May-July 2019. We analyze the agreement of measured
energy expenditure using indirect calorimetry and estimated energy expenditure
calculated by Schofield WH, Schofield W, and WHO formula, with and without
additional stress factor.
Results: This study included 52 subjects with median age 5 years old (1 month 10 days -17 years 9 months) on day 0-5 after they were admitted to PICU. Mean measured
energy expenditure was 60,7 ± 23,5 Kcal/kg/day. All estimated energy expenditure by
Schofield WH, Schofield W, and WHO were lower than measured energy expenditure
with % bias of -13 ± 19, -15 ± 20, and -16 ± 21, respectively. Estimated and measured
value have strong correlation (intraclass correlation coefficient r > 0.9) but the limit of
agreement interval is too wide. Only 12 (23%) subjects have accurate estimation of
energy expenditure. In this population stress factor improves the accuracy of prediction
formulas.
Conclusion: Schofield WH, Schofield W, and WHO formula have poor accuracy in
estimating energy expenditure in critically ill children. Without additional stress factor,
the estimated value were lower than actual/measured energy expenditure"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Khairat
"Latar belakang. Delirium adalah komplikasi neuropsikiatri yang serius dan kerap terjadi pada pasien anak sakit kritis yang dirawat di unit rawat intensif anak (URIA). Diagnosis delirium sulit ditegakkan karena manifestasi klinis yang tidak khas. Kurangnya pengetahuan dokter anak mengenai faktor risiko dan diagnosis delirium menyebabkan terjadinya underdiagnosed atau misdiagnosed sehingga pasien tidak mendapat tata laksana yang adekuat. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada pasien sehingga penting melakukan penapisan delirium dan identifikasi faktor risiko sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan tata laksana yang cepat. Implementasi penapisan dengan menggunakan Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) dan tata laksana yang adekuat terhadap delirium pada anak sakit kritis termasuk pengaturan dalam pemberian sedasi tertuang dalam pediatric intensive care unit (PICU) liberation bundle. Saat ini data mengenai prevalens dan faktor risiko kejadian delirium pada anak sakit kritis di Indonesia belum ada. Dibutuhkan data tersebut untuk dapat melakukan implementasi PICU Liberation Bundle di Indonesia, terutama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Tujuan. Mengetahui prevalens dan faktor risiko delirium pada anak sakit kritis.
Metode. Studi deskriptif observasional menggunakan desain potong lintang yang dilakukan pada 87 pasien anak sakit kritis yang dirawat di URIA Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA), URIA Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan URIA Unit Luka Bakar (ULB), URIA Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM.
Hasil. Sebanyak 4 (4,6%) anak sakit kritis memenuhi kriteria delirium berdasarkan DSM IV-TR/ICD-10. Dua subjek mengalami delirium tipe campuran, satu subjek mengalami delirium tipe hipoaktif, dan satu subjek mengalami delirium tipe hiperaktif. Tiga subjek tidak mendapatkan sedasi tetapi salah satu subjek mendapatkan sedasi dengan kombinasi yang banyak, jumlah yang besar, dan waktu yang lama. Dua dari keempat subjek mengalami keterlambatan perkembangan. Satu dari empat subjek dengan delirium yang menggunakan ventilasi mekanik.
Kesimpulan. Prevalens delirium pada anak sakit kritis di RSCM adalah 4,6%. Penggunaan midazolam, opioid, dan deksmedetomidin infus kontinu di URIA sebagai faktor risiko delirium pada anak sakit kritis belum memiliki data yang cukup untuk dapat disimpulkan karena data prevalens delirium pada penelitian ini yang rendah meskipun dengan minimal besar sampel telah terpenuhi.

Background. Delirium is a serious neuropsychiatric complication that occurs frequently in critically ill pediatric patients who admitted to the pediatric intensive care unit (PICU). The diagnosis of delirium is difficult to establish because of the atypical clinical manifestations. The lack of knowledge from pediatricians regarding risk factors and the diagnosis of delirium causes underdiagnosed or misdiagnosed of it so that patients do not receive adequate management. This causes morbidity and mortality in patients making it important to screen delirium and identify supporting factors so the preventive action and fast management can be carried out. Implementation of screening using Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) and management of delirium in critically ill children, including arrangements for administering sedation, is contained in PICU liberation bundle. Currently there is no data regarding prevalence and risk factors for delirium in critically ill children in Indonesia. This data is needed to be able to implement the PICU Liberation Bundle in Indonesia, especially Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM).
Objectives. Knowing the prevalence and risk factors for delirium in critically ill children.
Methods. Observational descriptive study using a cross-sectional design conducted on 87 critically ill pediatric patients treated at PICU Department of Pediatrics, PICU of Emergency Room, PICU of Burn Unit, and Cardiac Intensive Care Unit RSCM.
Results. A total of 4 (4.6%) critically ill children met the criteria for delirium based on DSM IV-TR/ICD-10. Two subjects had a mixed type of delirium, one subject had a hypoactive type of delirium, and one subject had a hyperactive type of delirium. Three subjects did not get sedation but one subject got sedation with a lot of combinations, large amounts, and long duration. Two of the four subjects experienced developmental delays. One in four subjects with delirium is on mechanical ventilation.
Conclusion. The prevalence of delirium in critically ill children at RSCM is 4.6%. The use of midazolam, opioids, and continuous infusion of dexmedetomidine in PICU as a risk factor for delirium in critically ill children does not yet have sufficient data to be conclusive because the data on the prevalence of delirium in this study was low even though the minimum sample size was met.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rahmania Yulman
"Malnutrisi pada anak sakit kritis dalam perawatan intensif menjadi masalah dalam beberapa dekade terakhir dan berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas. Hingga kini, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) belum memiliki panduan baku mengenai dukungan nutrisi anak sakit kritis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui profil pemberian nutrisi enteral (NE) dan waktu pencapaian resting energy expenditure (REE) di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RSCM dan faktor-faktor yang memengaruhi. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data rekam medis anak sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM pada tahun 2017-2018. Waktu inisiasi pemberian NE dan pencapaian REE serta faktor-faktor yang memengaruhi pemberian tersebut dicatat dan dilakukan analisis multivariat untuk mencari faktor risiko yang bermakna. Terdapat 203 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 120 subyek berjenis kelamin lelaki (59,1%), dengan median usia adalah 35 bulan (rentang usia 1-209 bulan). Kasus bedah terdapat pada 125 subyek (61,6%) dan status gizi normal terdapat pada 87 subyek (42,9%). Prevalensi pemberian NE dini adalah 63,1%, dan pencapaian kalori REE ≤72 jam adalah 67,5%, dengan median 48 jam. Faktor risiko yang menghambat pemberian NE dini adalah pasca-bedah abdomen, penggunaan inotropik, penggunaan ventilator, gejala gastrointestinal sebelum inisiasi, dan status gizi tidak normal dengan odds ratio (OR) 10,89 (IK 95% 4,31-27,50; p=0,009), 4,60 (IK 95% 1,78-11,90; p=0,002), 4,18 (IK 95% 1,56-11,17; p=0,004), 3,40 (IK 95% 1,59-7,29; p=0,002), 2,49 (IK 95% 1,09-5,72; p=0,031). Faktor risiko yang menghambat pencapaian kalori REE ≤72 jam adalah pemberian NE lambat, intoleransi pemberian enteral berupa gejala gastrointestinal dan skor PELOD-2 ≥7 dengan OR 20,62 (IK 95% 6,48-65,65; p=0,000), 14,77 (IK 95% 4,40-49,60; p=0,000), 3,98 (IK 95% 1,01-15,66; p=0,048). Prevalensi pemberian NE dini pada anak sakit kritis di PICU RSCM cukup baik dengan waktu pencapaian REE sesuai dengan target. Faktor terbanyak penghambat pemberian NE dini adalah kondisi pasca-bedah abdomen, sedangkan faktor penghambat pencapaian REE ≤ 72 jam terbanyak adalah pemberian NE lambat.

Malnutrition of critically ill children remains a major problem that is closely related to high morbidity and mortality in pediatric intensive care unit (PICU) during the last decades. The protocol of nutritional support for critically ill children in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) has not yet been developed. The study is aimed to evaluate the enteral nutrition (EN) profile, the duration to achieve resting energy expenditure (REE) and number of influencing factors associated with the late EN administration and late REE achievement. The data were collected retrospectively from medical records during the year 2017 to 2018 in PICU CMH. We assessed the timing of EN given and the duration of REE achieved from EN. We performed multivariate analysis to determined significant factors associated with late EN and late REE achievement. Two hundred three subjects were included. One hundred twenty subjects (59%) were boys, with median age of 35 (1-209) months old. One hundred twenty five subjects (61.6%) were post-surgical period and 87 subjects (42.9%) were in good nutritional status. The prevalence of early EN was 63.1%, and REE ≤72 hours was achieved in 67.5% subjects, with the median time was 48 hours. Significant factors inhibit early EN administration were post-abdominal surgery, ventilator use, inotropic use, gastrointestinal symptoms before initiation, and abnormal nutritional status; with OR 10.89 (95% CI 4.31 to 27.50; p=0.009), 4.60 (95% CI 1.78 to 11.90; p=0.002), 4.18 (95% CI 1.56 to 11.17; p=0.004), 3.40 (95% CI 1.59 to 7.29; p=0.002), 2.49, 95% CI 1.09 to 5.72; p=0.031), respectively. While factors inhibit the achievement of REE ≤72 hours were the late EN initiation, enteral intolerance, and PELOD-2 score ≥7 with OR 20.62 (95% CI 6.48 to 65.65; p=0.000), 14.77 (95% CI 4.40 to 49.60; p=0.000), 3.98 (95% CI 1.01 to 15.66; p=0.048), respectively. The prevalence of early EN administration with the duration to achieve REE among critically ill children in the PICU CMH was quite satisfying. The most influencing factor inhibit early EN administration was post-abdominal surgery, while the most significant factor inhibit the achievement of REE ≤72 hours was the late NE administration."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Hunter Design
"Latar belakang. Pasien sakit kritis berada dalam kondisi katabolik yang menyebabkan ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan protein sehingga dibutuhkan asupan protein yang adekuat untuk mempertahankan massa otot, meningkatkan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen. Ophiocephalus striatus (OS) mempunyai potensi sebagai sumber protein karena mengandung asam amino, asam lemak, mineral, dan vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari pemberian suplementasi ekstrak OS terhadap luas penampang otot rektus femoris, bisep brakii, kadar prealbumin, dan imbang nitrogen pasien sakit kritis dengan ventilator.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun yang menggunakan ventilator di intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2019 ICU. Sebanyak 42 subjek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok ekstrak (n=19) mendapatkan suplementasi ekstrak OS 15 g/hari, yang diberikan sejak hari kedua sampai dengan hari keenam. Kelompok kontrol (n=23) tidak mendapatkan suplementasi tersebut. Pengukuran luas penampang otot, pemeriksaan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen dilakukan pada hari pertama dan hari ketujuh.
Hasil. Terjadi peningkatan luas penampang otot rektus femoris pada kelompok ekstrak (p=0,038) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,006) disertai perbedaan bermakna antara dua kelompok (p=0,001). Terjadi peningkatan luas penampang otot bisep brakii pada kelompok ekstrak (p=0,033) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar prealbumin pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,023) disertai perbedaan peningkatan yang bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar imbang nitrogen pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan peningkatan yang tidak bermakna antara kedua kelompok (p=0,685).
Kesimpulan. Pemberian suplementasi ekstrak Ophiocephalus striatus secara signifikan dapat meningkatkan luas penampang otot rektus femoris, otot bisep brakii, dan kadar prealbumin pada pasien sakit kritis.

Background. Critically ill patients are in catabolic conditions that have imbalances in protein synthesis and breakdown. Thus, they require adequate protein intake to maintain the muscle mass and to increase the prealbumin levels and nitrogen balance. Ophiocephalus striatus (OS) is a potential source of proteins since it contains high amount of amino acids, fatty acids, minerals, and vitamins. This study was aimed to measure the effect of OS extract supplementation on cross-sectional area (CSA) of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance in critically ill patients with ventilator.
Methods. This was a randomized controlled clinical trial study involving patients aged 18-65 years old with ventilator in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between July until October 2019. In total, 42 subjects were randomized into two groups. Extract group (n=19) recieved 15 g of OS extract supplementation daily, administered from the second day to the sixth day. Control group (n=23) did not receive the extract. Measurement of CSA of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance were done in the first and the seventh day.
Results. There was an increase of cross sectional area of rectus femoris in extract group (p=0.038) and a decrease in control group (p=0.006) with significant difference between the two groups (p=0.001). There was an increase of cross sectional area of biceps brachii in extract group (p=0.033) and a decrase in control group (p=0.001) with significant difference between the two groups (p<0.001). There was an increase of prealbumin levels in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p=0.023), with a significant difference of increase between the two groups (p<0.001). There was an increase of nitrogen balance in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p<0.001), with an insignificant difference of increase between the two groups (p<0.685)
Conclusion. Administration of Ophiocephalus striatus extract supplementation can significantly increase the cross-sectional area of rectus femoris and biceps brachii, and the prealbumin levels in critically ill patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aina Aprilma Ray
"Bayi yang dirawat di unit perawatan intensif sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan yang asing dan gangguan terhadap rutinitas harian normal mereka. Bahkan setelah tidak dirawatpun bayi-bayi ini akan menghadapi tantangan baru selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelahnya. Baby liberation merupakan hasil adaptasi dari PICU liberation dan telah diidentifikasi sebagai strategi utama untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan hasil jangka panjang bagi para penyintas PICU. Teori Henderson bersifat fundamental memenuhi 14 kebutuhan dasar individu yang holistik dan komprehensif, teori ini sudah banyak dipakai di berbagai populasi individu namun belum pada ruang perawatan intensif anak. Tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk memberikan gambaran aplikasi teori kebutuhan Henderson dalam asuhan keperawatan pada bayi sakit kritis sekaligus melihat efektivitas penerapan Baby Liberation Bundles Care untuk mendukung status fungsional bayi sakit kritis di ruang perawatan intensif anak. Terdapat lima kasus bayi yang mengalami masalah pada pemenuhan kebutuhan dasar dan diberikan asuhan keperawatan melalui pendekatan teori kebutuhan Henderson. Aplikasi teori kebutuhan Henderson cocok digunakan di PICU karena teori ini bersifat holistik dan komprehensif yang terdiri dari sembilan kebutuhan dasar fungsional tubuh dan lima kebutuhan dasar kenyamanan meliputi psikologis, sosial dan spiritual. Penerapan Baby Liberation Bundles Care efektif untuk mendukung status fungsional bayi sakit kritis dan diharapkan intervensi ini dapat diaplikasikan oleh perawat ruangan.

Babies treated in intensive care units are easily affected by unfamiliar environments and disruptions to their daily normal routines. Even after not being cared for, these babies will face new challenges for months or even years afterward. Baby liberation is an adaptation of PICU liberation and has been identified as a key strategy to reduce morbidity and improve long-term outcomes for PICU survivors. Henderson's theory is fundamental in fulfilling 14 basic individual needs in a holistic and comprehensive manner, this theory has been widely used in various individual populations but not in pediatric intensive care unit yet. The purpose of writing this scientific work is to provide an overview of the application of Henderson's theory of needs in the care of critically ill babies and see the effectiveness of implementing Baby Liberation Bundles Care to support the functional status of critically ill babies in the Pediatric Intensive Care Unit. There were five cases of babies who experienced problems in providing basic needs and were given nursing care using Henderson's needs theory approach. The application of Henderson's needs theory is suitable for use in the PICU because this theory is holistic and comprehensive, consisting of nine basic functional body needs and five basic comfort needs including psychological, social and spiritual. The implementation of Baby Liberation Bundles Care is effective in supporting the functional status of critical babies and it is hoped that this intervention can be implemented by nursing staff."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Julianti Norva Nemba
"Kadar kalium merupakan salah satu biomarker prognostik yang banyak digunakan untuk memprediksi luaran klinis berbagai penyakit. Kadar kalium yang rendah atau hipokalemia berhubungan dengan perlunya pemasangan ventilasi mekanik pada pasien sakit kritis. Berbagai kondisi seperti status nutrisi dan komorbid dapat menyebabkan hipokalemia. Hipokalemia dapat memengaruhi fungsi otot respirasi dan memengaruhi durasi penggunaan ventilasi mekanik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara status kalium terhadap kejadian sulit weaning ventilasi mekanik pada pasien sakit kritis di ICU RSCM dan RSUI. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ICU RSCM dan RSUI. Diperoleh 52 subjek dengan kelompok yang hipokalemia sebanyak 26 subjek dan kelompok yang normokalemia sebanyak 26 subjek. Rerata usia subjek 49,3±15,1 tahun, jenis kelamin laki-laki 65,4%, status nutrisi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) berat badan normal 34,6%, dan komorbid penyakit keganasan 36,5%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara status kalium dengan kejadian sulit weaning ventilasi mekanik selama perawatan di ICU. Sebagian besar subjek yang mengalami hipokalemia tidak mengalami sulit weaning ventilasi mekanik. Penelitian lanjutan diperlukan dengan menggunakan subjek yang lebih banyak dan menganalisis faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kejadian sulit weaning ventilasi mekanik dan status kalium pada pasien sakit kritis yang dirawat di ICU.

Potassium levels are one of the prognostic biomarkers that are widely used to predict clinical outcomes of various diseases. Low potassium levels or hypokalemia are associated with the need for mechanical ventilation in critically ill patients. Various conditions such as nutritional status and comorbidities can cause hypokalemia. Hypokalemia can affect respiratory muscle function and influence the duration of mechanical ventilation. This study aims to examine the relationship between potassium status and the incidence of mechanical ventilation weaning difficulty in critically ill patients in the ICU at RSCM and RSUI. This study used a retrospective cohort design on subjects aged ≥18 years who were treated in the ICU at RSCM and RSUI. Total 52 subjects obtained, with 26 subjects in the hypokalemia group and 26 subjects in the normokalemia group. The mean age of the subjects was 49.3±15.1 years old, male gender 65.4%, nutritional status based on body mass index (BMI) of normal weight 34.6%, and comorbid of malignant disease 36.5%. There was no significant relationship between potassium status and the incidence of mechanical ventilation weaning difficulty during treatment in the ICU. Most subjects who experienced hypokalemia did not experience mechanical ventilation weaning difficulty. Further research is needed using more subjects and analyzing other factors that may influence the incidence of mechanical ventilation weaning difficulty and potassium status in critically ill patients treated in the ICU."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadius Eka Santoso
"Latar Belakang: Intensive care unit-acquired weakness (ICU-AW) adalah salah satu masalah yang dihadapi dalam manajemen pasien kritis karena dihubungkan dengan ventilasi mekanik berkepanjangan sehingga meningkatkan risiko komplikasi dan mortalitas selama di ICU. Mobilisasi dini seperti neuromuscular electrical stimulation (NMES) dilaporkan bermanfaat mengurangi durasi penggunaan ventilator di ICU. Telaah sistematik dan meta-analisis ini dibuat untuk menyimpulkan dampak dari NMES terhadap durasi penggunaan ventilator di ICU. Tujuan: Mengetahui dampak spesifik penggunaan NMES terhadap durasi penggunaan ventilator pada pasien ICU. Metode: Studi eligibel hingga Januari 2022 terinklusi dalam studi. Pencarian literatur dilakukan melalui database jurnal berbasis elektronik yaitu Cochrane, EBSCOHost, Scopus, dan Pubmed dengan kata kunci spesifik dan operator boolean. Studi terinklusi dievaluasi untuk risiko bias dengan Cochrane RoB 2 dan estimasi besar efek dilakukan dengan fixed effect model menggunakan perangkat lunak Review Manager 5.4. Hasil: Pencarian literatur menghasilkan 9 studi yang terinklusi dalam meta-analisis. Dari penggabungan data, disimpulkan bahwa penggunaan NMES berhubungan dengan penurunan durasi penggunaan ventilator (MD -1.48; 95% CI: -2,54 – -0,41, p = 0,007, I 2 =30%, fixed-effect modelling). Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian NMES dapat menurunkan durasi penggunaan ventilator di ICU.

Background: Intensive Care Unit-Acquired Weakness (ICU-AW) is one of the problems faced in critical medicine management, associated with prolonged mechanical ventilation (PMV) thereby increasing risk and mortality while in the ICU. Early mobilization such as neuromuscular electrical stimulation (NMES) has been reported to be beneficial in reducing the duration of mechanical ventilation in the ICU. This systematic review and meta-analysis was conducted to conclude the impact of NMES on the duration of mechanical ventilation in the ICU. Objective: To determine the impact of the use of NMES on duration of mechanical ventilation in ICU patients. Methods: Eligible studies up to January 2022 were included in the study. The literature search was carried out through electronic-based journal databases, namely Cochrane, EBSCOHost, Scopus, and Pubmed with specific keywords and boolean operators. The included studies were evaluated for risk of bias with Cochrane RoB 2 and estimation of effect size was performed using a fixed effect modelling using Review Manager 5.4 software. Results: The literature search yielded 9 studies that were included in the meta- analysis. From the pooled data, it was concluded that NMES administration was associated with a decrease in the duration of mechanical ventilation (MD -1.48; 95% CI: -2.54 – -0.41, p = 0.007, I2 = 30%, fixed-effect modeling). Conclusion: This study concluded that the administration of NMES reduces the duration of ventilator use in the ICU."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>