Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73922 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hana Humaira Akbar
"Makalah ilmiah akhir ini merefleksikan pengalaman magang saya di program penelitian Receh Coreng, dengan fokus pada tantangan yang saya hadapi sebagai mahasiswa antropologi yang diharapkan untuk menerapkan metode etnografi dalam lingkungan penelitian transdisipliner. Terlepas dari pembelajaran saya sebelumnya, penerapan praktik metode etnografi terbukti sulit, terutama saat mengintegrasikannya ke dalam kerangka penelitian multidisiplin yang lebih luas. Dalam pelaksanaannya, saya menemukan berbagai limitasi mulai dari tahap pra lapangan, penelitian lapangan, pengorganisasian, dan pengolahan data. Dalam setiap prosesnya, saya menyadari bahwa etnografi tidak bisa diimplementasikan secara maksimal. Dengan mengacu pada Hammersley dan Atkinson (2007), makalah ini merefleksikan dan membandingkan kesenjangan antara pelatihan teoritis dan praktis, menggambarkan hambatan dan kendala spesifik yang saya dihadapi selama penelitian magang. Melalui refleksi ini, saya mengeksplorasi bagaimana ekspektasi penggunaan metode etnografi sering kali tidak sesuai dengan implementasi nyatanya dalam penelitian transdisipliner. Refleksi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tantangan praktik metode etnografi dalam penelitian interdisipliner.

This final scientific paper reflects on my internship experience at the Receh Coreng research program, focusing on the challenges I faced as an anthropology student expected to apply ethnographic methods in a transdisciplinary research environment. Despite my prior learning, the practical application of ethnographic methods proved difficult, especially when integrating them into a broader multidisciplinary research framework. In its implementation, I encountered various limitations from the pre-field, field research, organizing, and data processing stages. Throughout the process, I realized that ethnography could not be implemented to its full potential. With reference to Hammersley and Atkinson (2007), this paper reflects on and compares the gap between theoretical and practical training, describing the specific obstacles and constraints I faced during my internship research. Through this reflection, I explore how expectations of using ethnographic methods often do not match the actual implementation in transdisciplinary research. This reflection aims to provide a deeper understanding of the challenges of practicing ethnographic methods in interdisciplinary research."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Axel
"Pada bulan Agustus hingga Mei 2022, saya mengikuti program magang menjadi UX Reseach di PT Vidio Dot Com atau biasa dikenal dengan Vidio, perusahaan yang bergerak pada bidang OTT Streaming. UX Research di Vidio memiliki berbagai macam metode pengumpulan data salah satunya studi etnografi. Dalam satu kesempatan, saya dapat menggunakan studi etnografi pada salah satu proyek mandiri. Namun, pada proyek mandiri ini studi etnografi saya lakukan secara daring karena mengingat situasi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung. Proyek mandiri tersebut mengusung topik kebiasaan menonton, media sosial, dan pola berlangganan dengan subjeknya adalah pengguna Instagram. Metode pengumpulan data yang digunakan pada proyek mandiri adalah observasi melalui Instagram dan wawancara mendalam melalui Google Meet. Selama melakukan hingga selesai proyek mandiri timbul pertanyaan apa istilah etnografi secara daring yang paling sesuai dari pengalaman proyek mandiri yang saya lakukan. Ternyata, istilah yang paling mendekati adalah netnografi karena topik dan pengumpulan data proyek mandiri sesuai dengan definisi netnografi, yaitu studi tentang online community dan budaya online yang dimediasi oleh komputer atau ruang online. Dengan demikian, netnografi memungkinkan untuk dilakukan sebagai metode pengumpulan data oleh UX Researcher, namun pada pengalaman saya masih ada aspek teknologi dan beban kerja yang menjadi limitasi saat melakukan netnografi.

From August to May 2022, I participated in an internship program to become a UX Researcher at PT Vidio Dot Com or commonly known as Vidio, a company engaged in OTT Streaming. UX Research in Vidio has various data collection methods, one of which is ethnographic studies. On one occasion, I was able to use an ethnographic study on one of my independent projects. However, for this independent project, I did an online ethnographic study because I remember the ongoing COVID-19 pandemic situation. The independent project carries the topic of viewing habits, social media, and subscription patterns with the subject being Instagram users. The data collection method used in the independent project is observation through Instagram and in-depth interviews through Google Meet. During the completion of the independent project, the question arose as to what online ethnographic term was the most appropriate for my independent project experience. It turns out that the closest term is netnography because the topic and data collection of independent projects fit the definition of netnography, namely the study of online communities and online culture mediated by computers or online spaces. Thus, netnography is possible to be used as a data collection method by UX Researcher, but in my experience there are still technological aspects and workloads that become limitations when doing netnography."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annabel Adeline Nathania
"Makalah ilmiah ini membahas teknikalisasi yang terjadi selama bekerja sebagai peneliti dalam program penelitian "Receh Coreng" (Research Courses of Housing Cooperatives Rental Housing). Dalam perspektif antropologi pembangunan, tulisan ini mengacu pada konsep Rendering Technical untuk menyoroti teknikalisasi yang terjadi mulai dari tahap pengumpulan data hingga tahap analisis data. Dominasi ahli dalam pembangunan cenderung mengarahkan solusi teknis tanpa mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang diteliti. Program ini merupakan program multidisiplin yang melibatkan berbagai ilmu lain, termasuk antropologi sosial, dengan tujuan menghasilkan solusi pembangunan perumahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun, kendala teknikalisasi mewarnai penelitian ini, dengan penekanan berlebihan pada data kuantitatif dan desain fisik berupa luaran rusun yang mengesampingkan aspek kualitatif dan kontekstual dari pengalaman pengontrak. Teknikalisasi terlihat dalam seluruh proses pengumpulan data dan analisis, menghasilkan output berupa desain arsitektur yang kurang memperhitungkan realitas sosial masyarakat. Refleksi serta kesimpulan yang dilampirkan dalam tulisan ini berasal dari pengalaman pribadi saya yang saya elaborasikan dengan konsep rendering technical untuk mengungkapkan indikasi-indikasi teknikalisasi dalam program penelitian multidisiplin Receh Coreng.

This final scientific paper discuss technicalization that occurs while working as a researcher in the research program "Receh Coreng" (Research Courses of Housing Cooperatives Rental Housing). From the perspective of development anthropology, this paper refers to the concept of Rendering Technical to highlight the technicalization that occurs from the data collection stage to the data analysis stage. The dominance of experts in development tends to direct technical solutions without considering the aspirations and needs of the researched community. This program is a multidisciplinary program involving various other disciplines, including social anthropology, with the aim discusses of producing housing development solutions that are suitable for community needs. However, the constraint of technicalization colors this research, with an excessive emphasis on quantitative data and physical design in the form of apartment outputs, neglecting the qualitative and contextual aspects of tenant experiences. Technicalization is evident in the entire process of data collection and analysis, resulting in outputs in the form of architectural designs that inadequately consider the social realities of the community. The reflections and conclusions presented in this paper stem from my personal experience, which I elaborate on with the concept of rendering technical to reveal indications of technicalization in the multidisciplinary research program Receh Coreng.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ama Galiana Ramadhani
"Makalah ilmiah akhir ini membahas dilema identitas saya sebagai mahasiswa magang dalam program Receh-Coreng yang berdampak pada bagaimana posisi mahasiswa dengan latar belakang jurusan Antropologi ditempatkan oleh warga setempat. Tulisan ini memperlihatkan bagaimana metode penelitian etnografi dengan berfokus pada isu positioning dan isu identitas diaplikasikan dalam melihat realita di lapangan. Program Receh-Coreng yang terintegrasi dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), melibatkan peran aktif mahasiswa dalam mengembangkan keterampilan untuk berkontribusi secara langsung melakukan pengumpulan data penelitian di Kampung Kota. Dalam proses adaptasi di Kampung Tembok Bolong, saya menemukan konflik internal antara pengurus koperasi dengan warga yang semakin memperlihatkan dilema posisi saya sebagai insider dan outsider. Di satu sisi, posisi mahasiswa magang ditempatkan sebagai insider oleh pengurus koperasi yang memberikan ekspektasi kepada saya untuk berpihak kepada koperasi, membantu menyuarakan permasalahan ke pemerintah dan memberikan bantuan sembako kepada warga. Di sisi lain, posisi mahasiswa magang ditempatkan sebagai outsider oleh warga, sejalan dengan asumsi negatif warga yang menganggap saya sebagai “antek-antek koperasi”. Dilema posisi yang dialami mahasiswa magang disertai munculnya tantangan, mempengaruhi keterlambatan dalam proses pengumpulan data untuk keperluan program Receh-Coreng.

This final scientific paper discusses my identity dilemma as an intern student in the Receh-Coreng program which has an impact on how students with a background majoring in Anthropology are positioned by local residents. This article shows how ethnographic research methods focusing on positioning issues and identity issues are applied in looking at reality in the field. The Receh-Coreng program, which is integrated with the Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) program, involves the active role of students in developing skills to contribute directly to collecting research data in Kampung Kota. During the adaptation process in Walling Bolong Village, I discovered an internal conflict between the cooperative management and the residents which increasingly showed the dilemma of my position as an insider and outsider. On the one hand, the student intern position was placed as an insider by the cooperative management which gave me expectations to side with the cooperative, help voice problems to the government and provide basic food assistance to residents. On the other hand, the position of the intern was placed as an outsider by the residents, in line with the negative assumptions of the residents who considered me a "cooperative lackey". The positional dilemma experienced by intern students is accompanied by the emergence of challenges, affecting delays in the data collection process for the Receh-Coreng program.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ave, J.B.
Djakarta: Ichtiar, 1961
985. 503 42 AVE h (1);985. 503 42 AVE h (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Prihandoko Sanjatmiko
Makassar: Nas Media Pustaka, 2020
MK-Pdf
UI - Publikasi  Universitas Indonesia Library
cover
Dendi Andrian
"Penelitian ini menjadikan Desa Biting di Jawa Tengah, Indonesia, sebagai studi kasus untuk mengeksplorasi makna dan praktik kesuksesan dari perspektif pemuda. Desa Biting dikenal dengan praktik gotong royong, nilai guyub rukun, pertanian tembakau, tingkat urbanisasi tinggi, dan partisipasi rendah dalam pendidikan formal. Dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya ini, pemuda Biting menjadi subjek yang menarik untuk memahami kesuksesan pemuda rural di Indonesia. Menggunakan kerangka teori praktik Bourdieu, saya menganalisis praktik kesuksesan pemuda yang berkaitan dengan kapital dan habitus dalam konteks Biting sebagai field. Penelitian ini mengungkap bagaimana habitus keluarga dan masyarakat (doxa) berperan dalam praktik kesuksesan pemuda Biting. Kesuksesan mereka meliputi praktik ekonomi (memiliki pekerjaan, mencapai kemandirian, serta stabilitas ekonomi), tanggung jawab keluarga (berbakti kepada keluarga, khususnya orang tua), dan tanggung jawab sosial serta keagamaan (menjaga hubungan baik, saling membantu, dan hubungan resiprositas di antara anggota masyarakat). Data dikumpulkan melalui penelitian lapangan etnografi selama satu bulan dengan melibatkan dua belas pemuda dan sembilan tokoh Desa, menggunakan metode auto-driven photo-elicitation, wawancara semi-terstruktur, dan observasi partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi pemuda Biting, kesuksesan diukur tidak hanya dari pencapaian ekonomi atau status individu, tetapi juga dari kesuksesan kolektif yang mencakup tanggung jawab keluarga dan sosial. Praktik kesuksesan mereka didasarkan pada akumulasi kapital sosial yang diperoleh dari kontribusi dan keaktifan di masyarakat, yang tertanam dalam nilai guyub rukun dan praktik gotong royong. Kapital sosial memiliki nilai simbolik yang paling dominan bagi kesuksesan di masyarakat Biting. Studi ini mengungkap bahwa kesuksesan di Biting dipahami sebagai doxa, yaitu habitus kolektif berupa disposisi, nilai, atau kepercayaan yang mengaitkan kesuksesan individu pemuda dengan kesuksesan kolektif masyarakat Biting.

This research focuses on the village of Biting in Central Java, Indonesia, as a case study to explore the meaning of success from the perspective of rural youth, with a specific focus on how the local context of Biting shapes their understanding of success. Biting is known for its practices of mutual cooperation (gotong royong), the value of social harmony (guyub rukun), tobacco farming, a high level of urbanization, and low participation in formal education. Given its social, economic, and cultural background, the youth of Biting are an intriguing subject for understanding rural youth success in Indonesia. In this study, Bourdieu's theory of practice serves as the framework to analyze the practices of success among youth, involving capital and habitus, within the Biting context as a field. The research reveals how family and community habitus (doxa) play a role and integrate into the practices of success among Biting's youth. This is represented through their concepts of success, including economic success (having a job and achieving economic independence and stability), family responsibilities (filial piety, particularly towards parents), and social and religious responsibilities (maintaining good relationships, mutual assistance, and reciprocal relationships among community members). Data was collected through a month-long ethnographic field study involving twelve youth and fourteen village leaders, utilizing methods such as auto-driven photo-elicitation, semi-structured interviews, and participant observation. The study shows that for Biting's youth, success is measured not only by economic achievements or individual status but also by collective success involving social and familial responsibilities. Their success practices are based on accumulating social capital through community contributions and active participation, rooted in values of social harmony and cooperation. In Biting, strong social relationships, reciprocity, mutual assistance, and a sense of belonging hold the most symbolic value for success. This study concludes that success in Biting is understood as doxa, a collective habitus of dispositions, values, or beliefs that link individual youth success to the collective success of the Biting community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanro Yonathan Lekitoo
"Kelompok etnik Kayo Pulau dan kelompok etnik asli lainnya di teluk Humboldt, Kota Jayapura adalah rumpun kelompok etnik yang oleh Keesing disebut sebagai masyarakat tribal, masyarakat tanpa ekonomi sentral dan politik sentral. Kelompok etnik di sana dapat dikategorikan sebagai masyarakat pra-industri oleh Lewellen, dengan tipe masyarakat yang oleh Fried disebut rank society. Sejarah Perang Dunia Kedua membawa kelompok-kelompok etnik di Kota Jayapura segera masuk dalam dunia modern, di mana kehadiran Tentara Jepang 1942 dan Sekutu 1944 membuka berbagai infrastruktur perang di sana. Setelah hengkangnya Pemerintah Belanda, dan Papua kembali ke Pangkuan NKRI 1963, hingga kini Kota Jayapura menjadi salah satu daerah yang lebih maju dan sangat polietnik, oleh karena itu sering disebut sebagai Indonesia mini.
Kajian mengenai relasi antar-kelompok etnik dilakukan di Kampung Kayo Pulau kira-kira 3 tahun lamanya, yakni 2015-2018. Penelitan dengan metode etnografi, di mana teknik observasi partisipasi, wawancara, serta studi literatur dari berbagai sumber digunakan. Analisis selain Kampung Kayo Pulau, juga diangkat ke tingkat Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura di mana karakter sosial budaya penduduknya mirip.
Konsep utama yang dipakai pada kajian ini adalah konsep etnisitas dari Barth dan Eriksen, di mana relasi antar-etnik bersifat mencair dan konstruktif. Namun demikian penekanan dari Barth lebih pada relasi individu dan keluarga dalam perspektif ekologi dan demografi. Sedangkan Eriksen lebih kepada konteks kesejarahan. Dalam kaitan relasi antar-etnik orang Kayo Pulau dengan kelompok etnik lainnya di Kota Jayapura, saya mencermati empat konteks, yakni kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan. Dalam kaitan dengan keempat konteks tersebut, sifat inklusif orang Kayo Pulau dan kelompok-kelompok etnik asli di Kota Jayapura yang mana selalu mencari persamaan dan merangkul kelompok etnik lainnya, merupakan nilai-nilai penting dalam mempertahankan kehidupan yang toleran dan harmonis.
Kini penduduk asli Kota Jayapura hanya 3,71 persen dan orang Kayo Pulau di kampungnya hanya 24,6 persen. Namun mereka mampu bertahan dan beradaptasi di tengah pusaran modernisasi, serta dalam konteks masyarakat yang polietnik dan berbagai tuntutan kehidupan dengan mengedepankan relasi antar-kelompok etnik, baik dalam konteks kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan.

The Kayo Pulau ethnic group and other indigenous ethnic groups in the Humboldt bay, Jayapura City are groups of ethnic groups that Keesing refers to as tribal communities, communities without a central economy and central politics. Those ethnic groups can be categorized as pre-industrial societies by Lewellen, with the type of society that Fried calls rank society. The history of the Second World War brought ethnic groups in the city of Jayapura immediately into the modern world, where the presence of the Japanese Army in 1942 and the Allies of 1944 opened various war infrastructures there. After the departure of the Dutch Government and Papua returned to Indonesia in 1963, until now Jayapura has become one of the most developed region and become a highly polyethnical region. The development and the diversity of Jayapura city make this city called Little Indonesia.
The study of relations between ethnic groups in Kampung Kayo Pulau is conducted approximately 3 years, between 2015-2018. The research is done using ethnographic methods, with participatory observation techniques, interviews, and literature studies from various sources are used. The analysis proccess is done other than Kampung Kayo Pulau, is also raised to the level of Jayapura City and Jayapura Regency where the socio-cultural character of the population is similar
The main concept used in this study is the concept of ethnicity from Barth and Eriksen, where inter-ethnic relations are melting and constructive. However, the emphasis of Barth’s concept is on the relations of individuals and families in an ecological and demographic perspective. Whereas Eriksen’s is more on the historical context. The inter-ethnic relations of the Kayo Pulau people with other ethnic groups in Jayapura City, I look at four contexts, those are kinship, economy, politics and religion. In relation to these four contexts, the inclusive nature of Kayo Pulau and indigenous ethnic groups in Jayapura City which always seek equality and embrace other ethnic groups, are important values ​​in maintaining a tolerant and harmonious life.
Today, the native population of Jayapura City is only 3.71 percent and Kayo Pulau is only 24.6 percent. However, they are able to survive and adapt in the midst of a vortex of modernization, multi-ethnic context and various demands of life by prioritizing relations between ethnic groups, both in the context of kinship, economy, politics and religion.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Collier, John, 1913-
New York: Holt, Rinehart and Winston, 1967
301 COL v
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Faradina Alifiyah Rahman
"Tulisan ini membahas peran saya sebagai peneliti dalam kegiatan magang di Program RECEH CORENG dan ekspektasi yang timbul dari pihak-pihak terkait. Saya melakukan penelitian di Kampung Elektro, Jakarta Utara. Terdapat ekspektasi dari pihak RECEH CORENG, teman sekelompok, dan masyarakat setempat terhadap saya sebagai mahasiswa magang. Saya merasa dilema karena keterbatasan yang dimiliki dalam memenuhi ekspektasi yang timbul. Untuk memahami alasan di balik ekspektasi tersebut, saya menggunakan ilmu Antropologi yang dapat menjelaskan keterkaitan yang erat antara identitas, peran, dan ekspektasi. Identitas sebagai mahasiswa Universitas Indonesia merupakan simbolik kapital yang saya miliki. Simbolik kapital yang saya miliki dapat terlihat melalui interaksi dan pengakuan dari lingkungan magang.

This essay discusses my role as a researcher in an internship program at the RECEH CORENG and the expectations arising from the relevant parties. I conducted research in Kampung Elektro, North Jakarta. There are expectations from RECEH CORENG, group mates, and the local community towards me as an intern student. I feel dilemma due to the limitations in meeting the arising expectations. To understand the reasons behind these expectations, I utilize Anthropology, which can explain the close relationship between identity, role, and expectations. Identity as a student of the University of Indonesia is the symbolic capital that I possess. The symbolic capital I have can be seen through interactions and recognition from the internship environment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>