Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174560 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pravyanti Suci Syahphira
"TB atau Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri micro tuberculosis dan dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur, diawasi oleh tim Pemantauan Terapi Obat (PTO). Proses pemantauan terapi obat merupakan proses yang panjang dan komprehensif dan harus dilakukan secara berkesinmabungan untuk sampai ke tujuan terapi tercapai. Penilitian ini bertujuan untuk melakukan pemantauan terapi obat pada pasien yang telah diseleksidengan mengidentifikasi data terapi untuk menetapkan ketepatan terapi dan mengidentifikasi masalah terkait penggunaan terapi tuberkulosis pada pasien yang memiliki komplikasi penyakit. PTO dilakukan secara retrospektif pada salah satu pasien menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien dan hasil laboratorium. Berdasarkan pemantauan terapi obat yang dilakukan terhadap Tn. A dan dilakukan analisis DRP untuk aspek kesesuaian dosis dan potensi interaksi obat. Dosis OAT yang diberikan kepada pasien sudah memenuhi kesesuaian dosis namun ditemukan potensi terjadinya interaksi obat dengan kategori monitor yaitu interaksi antara obat atorvastatin dan digoxin, kemudian interaksi rifampisin dengan isoniazid dan rifampisin dengan pirazinamid dengan kategori interaksi serius. Diperlukan monitoring terhadap gejala interaksi obat yang mungkin muncul dari ketiga kemungkinan interaksi obat ini serta memastikan pasien mengonsumsi obat-obatan secara teratur sesuai jadwal.

TB or Tuberculosis is an infectious disease caused by micro tuberculosis bacteria and can be cured with regular medication, supervised by the Drug Therapy Monitoring (PTO) team. The process of monitoring drug therapy is a long and comprehensive process and must be carried out continuously to achieve the goals of therapy. This study aims to monitor drug therapy in selected patients by identifying therapeutic data to determine the appropriateness of therapy and identify problems related to the use of tuberculosis therapy in patients who have disease complications. PTO was performed retrospectively on one of the patients using secondary data in the form of patient medical records and laboratory results. Based on the monitoring of drug therapy carried out on Mr. A and DRP analysis was carried out for aspects of dosage suitability and potential drug interactions. The dose of anti-tuberculosis drugs given to patients met the appropriate dose, but there was a potential for drug interactions in the monitoring category, namely interactions between atorvastatin and digoxin, then interactions between rifampicin and isoniazid and rifampicin with pyrazinamide in the category of serious interactions. It is necessary to monitor the symptoms of drug interactions that may arise from these three possible drug interactions and ensure that patients take drugs regularly according to schedule."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zulhandani
"Pendahuluan: Indonesia adalah negara dengan kasus tuberkulosis (TB) terbanyak ketiga di dunia (sekitar 10% dari total kasus di dunia) dan 6,5% dari infeksi TB merupakan kasus TB ekstrapulmonal, dimana 50% diantaranya menyerang tulang belakang. Saat ini regimen pengobatan TB masih mengandalkan kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan secara oral. Pemberian OAT dalam jangka panjang memiliki angka kejadian efek samping yang cukup tinggi sebesar 8,3%, sehingga perlu dicari alternatif laindalam pengobatan TB. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penggunaan teknologi pelepasan obat terkontrol atau slow release sebagai modalitas terapi lokal pada infeksi TB muskuloskeletal khususnya tulang belakang. Dengan ditempatkannya rifampisin yang bersifat hidrofobik di dalam kapsulasi senyawa hidrofilik non-imunogenik serta non karsinogenik seperti Polyvinil Alcohol (PVA), diharapkan memiliki kemampuan slow releasesehingga dapat diimplantasi pada fokus infeksi sebagai terapi lokal selama tenggat waktu yang diharapkan tanpa pasien harus mengkonsumsi obat oral.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji eksperimental invivo pada 12 tikus Sprague Dawley betina berusia 5-7 bulan dengan berat 180 – 220 gram dengan menggunakan desain penelitian post test only control group. Evaluasi dilakukan dengan mengukur kadar rifampisin dalam jaringan tulang belakang serta kadar SGOT dan SGPT dalam darah. Analisis dilakukan menggunakan metode deskriptif dan uji perbandingan menggunakan SPSS 25.
Hasil: Penelitian dilakukan hewan uji dengan median usia 5 bulan (5 – 7) yang terdiri dari 12 subjek betina (100%). Rerata berat badan hewan uji yaitu 196.5±3.92 gram. Sebanyak 7 subjek penelitian memiliki berat badan diatas 200-gram dan 5 subjek lainnya dengan berat dibawah 200-gram. Hasil uji normalitas ditemukan adanya distribusi data yang tidak normal pada usia (sig. <0.05), sementara pada variabel berat badan ditemukan adanya distribusi data yang normal (sig. >0.05). Penilaian secara kualitiatif menunjukkan bahwa sampel bubuk tulang pada kelompok perlakuan lokal memperlihatkan warna lebih kemerahan jika dibandingkan bubuk tulang pada kelompok perlakuan oral. Namun dalam pemeriksaan kadar rifampisin secara kuantitatif menggunakan metode HPLC, menunjukkan tidak terdeteksi kadar rifampisin pada kedua kelompok dimana rifampisin seharusnya terdeteksi pada retention time untuk sekitar menit 15,06 dengan panjang gelombang 254nm. Pada uji hipotesis antara perlakuan dan penanda fungsi hati berupa SGOT dan SGPT dilakukan dengan uji t-test tidak berpasangan, menunjukkan hasil yang signifikan (p=0.005 dan p=0.002). Terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara metode pemberian rifampisin secara peroral dengan implantasi lokal rifampisin terenkapsulasi PVA dimana angka SGPT pada sampel darah kelompok perlakuan oral menunjukkan angka yang lebih tinggi. Namun sebaliknya SGOT pada kelompok perlakuan lokal justru menunjukkan angka yang lebih tinggi.
Kesimpulan: Deteksi kandungan rifampisin pada sampel jaringan tulang belakang menggunakan metode HPLC pasca implantasi sediaan rifampisin terenkapsulasi PVA pada hari ke 14, belum mampu membuktikan terjadinya slow release di dalam jaringan hidup secara kuantitatif dan belum dapat dinilai lebih efektif dari segi penyerapan obat ke dalam jaringan tulang belakang jika dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral. Namun pemberian rifampisin terenkapsulasi PVA secara lokal pada tulang belakang menunjukkan efek hepatotoksitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral dibuktikan dengan meinigkatnya angka SGPT di dalam darah.

Introduction: Indonesia is a country with the third most cases of tuberculosis (TB) in the world (about 10% of worldwide TB cases) and 6.5% of TB infections are extrapulmonary, of which 50% affect the spine. Current reliance on combination of oral Anti Tuberculosis Drugs (ATD) and long term medication has given a fairly high incidence of side effects of 8.3%. Under these circumstances, it is necessary to look for other alternatives in TB treatment. This study aims to assess the use of controlled or slow release drug technology as a local therapy modality in musculoskeletal TB infection cases, especially the spine. With the encapsulation of hydrophobic drug substances inside a non-immunogenic and non-carcinogenic hydrophilic compound such as Polyvinyl Alcohol (PVA), it is expected to have a slow release capability so that it can be implanted in the focus of infection as local therapy during the expected deadline without having the patient to take oral medication.
Method: This study is an in vivo experimental study on 12 female Sprague Dawley rats aged 5-7 months weighing 180 – 220 grams using a post test only control group research design. The evaluation was carried out by measuring the level of rifampicin in spinal tissue and the level of SGOT and SGPT in the blood sample. We analyze the result using a descriptive method and a comparison test using SPSS 25.
Results: The study was conducted on Sprague Dawley rat with a median age of 5 months (5 – 7) consisting of 12 female subjects (100%). The average body weight of the test subject was 196.5±3.92 grams. A total of 7 study subjects weighed above 200-grams and 5 other subjects were weighed under. The results of the normality test found that there was an abnormal distribution of data for age (sig. <0.05), while the weight variable was found to have a normal distribution of data (sig. >0.05). The qualitative assessment showed that the bone powder samples in the local treatment group showed a more reddish color than in the oral treatment group. However, quantitative measurement using the HPLC method, showed no detectable levels of rifampicin in both groups where rifampicin should have been detected at 15.06 minutes of retention time with a wavelength of 254nm. The hypothesis test between treatment and liver function markers in the form of SGOT and SGPT was carried out using unpaired t-test, showing significant results (p = 0.005 and p = 0.002). There was a significant difference in the two groups which explained that there was a relationship between the method of giving rifampin orally and local implantation of PVA-encapsulated rifampicin where the SGPT number in the blood sample of the oral treatment group showed a higher number. On the other hand, the SGOT in the local treatment group actually showed a higher number.
Conclusion: Detection of rifampicin content in spinal tissue samples using the HPLC method after implantation of PVA-encapsulated rifampicin preparations on day 14 has not been able to prove its slow release capability in living tissue quantitatively and cannot concluded to be more efficient in terms of absorption into the spinal tissue compared to oral administration. However, local administration of PVA-encapsulated rifampicin in the spine showed a lower hepatotoxicity effect than oral rifampicin as evidenced by an increase of SGPT levels in the blood.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hilda Auliana
"Dalam dokumen Global Tuberculosis Report 2022, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara dengan beban kasus tuberkulosis (TB) terbanyak kedua setelah India pada tahun 2021 lalu, di mana terhitung dari estimasi 969.000 kasus penderita TB di Indonesia, terdapat 525.765 (54,3%) kasus diantaranya belum ditemukan dan diobati, ini berpotensi menjadi sumber penularan serta meningkatan risiko transmisi komunal jika tidak mendapatkan penanganan segera. Menanggapi hal tersebut, dengan kemajuan teknologi kecerdasan buatan yang ada serta melalui peran pencitraan medis sebagai salah satu metode skrining pendukung, dikembangkan sebuah model pendeteksian berbasis arsitektur U-Net yang mampu secara otomatis mengenali dan melokalisasi area berbagai jenis kelainan indikator TB paru pada citra rontgen thorax. Selain melakukan tuning parameter, dibandingkan beberapa kasus segmentasi semantik multi-kelas, diantaranya terdiri atas 14 kelas kelainan spesifik, 5 kelas kelompok kelainan, dan 3 kelas kelompok kelainan, serta kasus segmentasi semantik biner. Hasil memperlihatkan bahwa pada kasus multi-kelas, semakin sedikit kelas yang digunakan, maka semakin besar nilai dice score yang didapat, yaitu mencapai 0,71. Sementara, jika dibandingkan dengan kasus segmentasi biner, meski dice score mengalami peningkatan, namun berdasarkan hasil visualisasi, kasus segmentasi multi-kelas kurang mampu dalam mengenali kondisi paru normal atau tidak memiliki kelainan.

In the Global Tuberculosis Report 2022 document, the World Health Organization (WHO) reports that Indonesia is listed as the country with the second highest burden of tuberculosis (TB) cases after India in 2021, where from an estimated 969.000 cases of TB sufferers in India, there are 525.765 ( 54,3%) cases of which have not been found and treated, this has the potential to become a source of transmission and increase the risk of communal transmission if treatment is not immediately received. In response to this, with advances in existing artificial intelligence technology and through the role of medical imaging as a screening support method, a detection model based on the U-Net architecture was developed that can automatically recognize and localize areas of various types of pulmonary TB marker indicators on chest X-ray images. In addition to parameter tuning, several cases of multi-class semantic segmentation were compared, which consisted of 14 specific disorder classes, 5 class disorder clusters, and 3 class disorder clusters, as well as cases of binary semantic segmentation. The results reveal that in the multi-class case, the fewer classes used, the greater the dice score obtained, which is 0,71. Meanwhile, when compared with binary segmentation cases, even though the dice score has increased, based on visualization results, multi-class segmentation cases are less able to recognize normal lung conditions or have no abnormalities."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Felix Leonard A.M
"Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit menyatakan bahwa salah satu contoh pelayanan farmasi klinik di Rumah Sakit adalah Pemantauan Terapi Obat. Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Pada Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini, calon Apoteker memperoleh kesempatan untuk melakukan PTO pada pasien TBC. Tugas khusus ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman calon Apoteker mengenai pelaksanaan dan pembuatan laporan PTO pada pasien TBC. Kegiatan PTO dilakukan secara retrospektif pada salah satu pasien di Ruang Lily Gedung A. Kajian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien dan hasil laboratorium. Pemantauan terapi obat pada pasien TBC dapat dilakukan dan dapat diidentifikasi masalah terkait obat, yaitu semua obat yang diberikan kepada pasien telah tepat indikasi dan tepat dosis. Terdapat beberapa obat yang memiliki interaksi, sehingga direkomendasikan agar penggunaan obat-obatan yang memiliki interaksi tersebut dipisah dan dilakukan pemantauan terapi.

Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 72 of 2016 concerning Pharmaceutical Service Standards in Hospitals states that one example of clinical pharmacy services in hospitals is Drug Therapy Monitoring. Drug Therapy Monitoring (PTO) is a process that includes activities to ensure safe, effective and rational drug therapy for patients. The goal of PTO is to increase the effectiveness of therapy and minimize the risk of Adverse Drug Reactions (ROTD). In this Pharmacist Professional Work Practice (PKPA), prospective pharmacists have the opportunity to carry out PTO on TB patients. This special assignment aims to increase the understanding of prospective pharmacists regarding the implementation and preparation of PTO reports for TB patients. PTO activities were carried out retrospectively on one of the patients in the Lily Room, Building A. This study used secondary data in the form of patient medical records and laboratory results. Monitoring drug therapy in TB patients can be carried out and drug-related problems can be identified, namely that all drugs given to patients have the correct indications and the correct dosage. There are several drugs that have interactions, so it is recommended that the use of drugs that have interactions be separated and therapy monitored.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Shafira Apriyani
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan kegiatan PTO adalah untuk meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan PTO mencakup pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan dan alternatif terapi. PTO harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan atau kegagalan terapi dapat diketahui. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh agen infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang umumnya menyerang organ paru pada manusia. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan kegiatan PTO yaitu pengumpulan data pasien melalui status pasien, data penunjang seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, pengkajian pemilihan obat meliputi dosis, cara pemberian, waktu dan respon terapi, identifikasi masalah terkait obat, analisis pemantauan SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment dan Plan), rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat, pemantauan efektivitas dan efek samping obat. Obat-obat yang diberikan yaitu, kodein, salbutamol, vitamin B6, curcuma, N-acetylsistein, rifampisin, isoniazid, pyrazinamid, ethambutol, omeprazole, dexamethasone, ceftriaxone, ciprofloxacin, dan meropenem. Berdasarkan hasil kegiatan PTO yang dilakukan terhadap pasien Nn.S.R. adanya interaksi obat dengan kategorinya yaitu interaksi antara Rifampisin dan Isoniazid dengan kategori major, rifampisin dan pyrazinamid dengan kategori major, isoniazid dan kodein dengan kategori moderate, dan pyrazinamid dan isoniazid dengan kategori minor. Diperlukan monitor pada pemakaian obat-obat yang berinteraksi tersebut, dan monitor terhadap pemeriksaan fungsi hati.

Drug Therapy Monitoring (PTO) is a process that includes activities to ensure safe, effective, and rational drug therapy for patients. PTO activities aim to increase the effectiveness of therapy and minimize the risk of Adverse Drug Reactions (ROTD). PTO activities include reviewing drug choices, dosages, methods of drug administration, therapeutic response, adverse drug reactions (ROTD), and recommendations for changes and alternative therapies. PTO must be carried out continuously and evaluated regularly at certain periods so that the success or failure of therapy can be known. Tuberculosis is a contagious infectious disease caused by the infectious agent Mycobacterium tuberculosis which generally attacks the lungs in humans. The stages carried out in carrying out PTO activities are collecting patient data through patient status, supporting data such as data from laboratory examination results, assessment of drug selection including dosage, method of administration, time and response to therapy, identification of drug-related problems, analysis of SOAP monitoring (Subjective, Objectives, Assessment and Plan), recommendations for solving drug-related problems, monitoring drug effectiveness and side effects. The drugs given were codeine, salbutamol, vitamin B6, curcuma, N-acetylcysteine, rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, ethambutol, omeprazole, dexamethasone, ceftriaxone, ciprofloxacin, and meropenem. Based on the results of PTO activities carried out on patients Nn.S.R. There were drug interactions with their categories, namely interactions between Rifampicin and Isoniazid in the major category, rifampicin, and pyrazinamide in the major category, isoniazid and codeine in the moderate category, and pyrazinamide and isoniazid in the minor category. Monitoring is needed on the use of these interacting drugs and monitoring of liver function tests."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Misbahul Fitri Hanifah
"COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome-related Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang telah ditetapkan sebagai pandemik sejak tanggal 11 Maret 2020 oleh World Health Organization (WHO). Diketahui bahwa paru-paru yang terinfeksi langsung oleh virus dapat mengakibatkan manifestasi klinis berupa pneumonia virus. Sistem kekebalan tubuh dapat mengalami perubahan imunologis dalam tubuh seperti leukopenia, limfopenia, dan inflamasi badai sitokin, sehingga dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi lainnya. Maka dari itu, diperlukan adanya Pemantauan Terapi Obat (PTO) untuk mengoptimalkan efek terapi dan menekan angka morbiditas pasien COVID-19. Pada penulisan ini akan dibahas mengenai PTO pada pasien COVID-19 dengan pneumonia, hipokalemia berulang, dan anemia defisiensi zat besi di ruangan Melati COVID di RSUD Tarakan, Jakarta. Hal ini diharapkan dapat menggambarkan peran apoteker klinis dalam Pemantauan Terapi Obat sehingga mampu meminimalisasi risiko masalah terkait obat, progresivitas penyakit, serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengambilan data dilakukan dengan pemantauan data rekam medik pasien dari sejak pertama kali masuk rumah sakit hingga pasien dapat dipulangkan. Selanjutnya, dilakukan penetapan asesmen dan rencana yang akan didiskusikan bersama apoteker penanggung jawab ruangan tersebut. Hasil analisis PTO yang dilakukan terhadap pasien tersebut ialah terdapat satu obat yang tidak tepat dosis, yaitu urotractin. Selain itu, terdapat masalah terkait kegagalan penerimaan vitamin C yang diresepkan dan interaksi antarsuplemen kalsium karbonat dan vitamin D3 yang dapat meningkatkan risiko hiperkalsemia pada pasien.

COVID-19 is a disease caused by Severe Acute Respiratory Syndrome-related Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) which has been comes up as a pandemic since March 11, 2020 by World Health Organization (WHO). It is known that lungs directly infected by viruses can result in clinical manifestations in the form of viral pneumonia. The immune system can experience immunological changes in the body such as leukopenia, lymphopenia, and inflammatory cytokine storms, which can cause an increased risk of other infections. Therefore, there is a need for Monitoring Drug Therapy (MDT) to optimize the therapeutic effect and reducing the morbidity rate of COVID-19 patients. In this article, we will discuss MDT in COVID-19 patients with pneumonia, recurrent hypokalemia, and iron deficiency anemia in the Melati COVID room at Tarakan Hospital, Jakarta. It is hoped that this will illustrate the role of clinical pharmacists in MDT so that they can minimize the risk of drug-related problems (DRPs), disease progression, and can improve the patient's quality of life. Data collection is carried out by monitoring the patient's medical record data from the time they are first admitted to the hospital until the patient can be discharged. Next, an assessment and plan is carried out which will be discussed with the pharmacist in charge of the room. The results of the MDT analysis carried out on this patient were that one drug was not dosed correctly, urotractin. In addition, there are problems related to failure to receive prescribed vitamin C and interactions between calcium carbonate and vitamin D supplements which can increase the risk of hypercalcemia in patients.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Salma Mutmainah
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan kegiatan kritis yang dilakukan oleh Apoteker untuk memastikan keamanan, efektivitas, dan rasionalitas terapi obat bagi pasien. PTO berperan dalam meningkatkan efektivitas terapi pasien serta mengurangi risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) (Kemenkes, 2016). Di RSUD Tarakan, PTO dilakukan pada pasien Tn. S dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dan Tuberkulosis (TB) Paru, dua kondisi medis yang kompleks. AIHA jarang terjadi dan ditandai oleh hemolisis akibat autoantibodi, sementara TB Paru merupakan penyakit menular kronis yang dapat mempengaruhi sistem hematologi. Berdasarkan hasil PTO, pengobatan pasien Tn. S terbukti sesuai dengan indikasi penyakitnya dengan identifikasi satu Masalah Terkait Obat (MTO), yaitu interaksi obat dengan kontraindikasi sedang. Analisis dilakukan dengan metode SOAP untuk memberikan rekomendasi tindak lanjut yang sesuai.

Drug Therapy Monitoring (DTM) is a critical activity conducted by Pharmacists to ensure the safety, effectiveness, and rationality of drug therapy for patients. DTM plays a role in improving patient therapy effectiveness and reducing the risk of Adverse Drug Reactions (ADRs) (Ministry of Health, 2016). At Tarakan Regional General Hospital (RSUD Tarakan), DTM was performed on Mr. S, diagnosed with Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) and Pulmonary Tuberculosis (TB), two complex medical conditions. AIHA, characterized by rare hemolysis due to autoantibodies, and Pulmonary TB, a chronic infectious disease affecting the hematologic system. Based on the DTM results, Mr. S's treatment was found appropriate for his conditions, with identification of one Drug-Related Problem (DRP), namely a moderate contraindication drug interaction. Analysis was conducted using the SOAP method to provide appropriate follow-up recommendations.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adristi Arum Nabilah
"Pelayanan kefarmasian merupakan pelayanan langsung yang diberikan kepada pasien untuk meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping obat dengan tujuan dapat meningkatkan keselamatan pasien sehingga kualitas hidup pasien terjamin. Pemantauan terhadap regimen terapi obat yang diterima tiap individu pasien menjadi salah satu bagian dari pelayanan kefarmasian agar dapat menghindari masalah terkait obat yang dapat muncul selama regimen pengobatan berlangsung serta memastikan keberhasilan atau kegagalan dari terapi yang diterima. Pasien terpilih yaitu Ny. M memiliki diagnosis utama SLE (Systemic Lupus Erythematosus). Pasien SLE harus selalu dilakukan monitoring terhadap aktifitas dan timbulnya manifestasi penyakit. Kebanyakan pasien SLE memiliki perubahan hasil pada tes laboratorium tertentu yang kemudian jika tidak segera diketahui dapat menyebabkan manifestasi penyakit tertentu. Modifikasi pengobatan pada saat terjadinya perubahan hasil laboratorium pasien dapat secara signifikan mengurangi kemungkinan timbulnya manifestasi penyakit tertentu sehingga perlu dilakukan pemantauan terapi obat pada pasien Ny. M untuk menganalisis kesesuaian terapi, masalah terkait obat dan merekomendasikan solusi yang diperlukan Pemantauan terapi obat dilakukan dengan membandingkan data rekam medik pasien dengan hasil terapi berupa data laboratorium. Dari pemantauan terapi obat didapatkan terapi yang didapatkan pasien Ny. M sebagian besar sudah tepat, hanya ada beberapa obat saja yang sebaiknya dilakukan penurunan dosis, peningkatan dosis, menurunkan lama penggunaan terapi, penambahan terapi, penggantian terapi dan pemberhentian terapi. Pada regimen terapi Ny. M terdapat beberapa interaksi obat yang dapat diatasi dengan memberikan jeda waktu pemberian. DRP yang ditemukan pada regimen terapi Ny. M yaitu overdose, underdose, pemberian terapi tidak perlu, pemberian terapi tidak tepat, dan indikasi tanpa terapi.

Pharmaceutical services are direct services provided to patients to improve therapeutic outcomes and minimize the risk of drug side effects with the aim of improving patient safety so that the patient's quality of life is guaranteed. Monitoring of the drug therapy regimen received by each individual patient is a part of the pharmaceutical service in order to avoid drug-related problems that can arise during the treatment regimen and to ensure the success or failure of the therapy received. The selected patient, Mrs. M, has a primary diagnosis of SLE (Systemic Lupus Erythematosus). SLE patients should always be monitored for activity and disease manifestations. Most SLE patients have changes in the results of certain laboratory tests which, if not immediately known, can cause certain disease manifestations. Modification of treatment when changes in patient laboratory results can significantly reduce the possibility of manifestations of certain diseases, so it is necessary to monitor Mrs. M’s drug therapy to analyze the compatibility of therapy, drug-related problems and recommended solutions. Monitoring of drug therapy is carried out by comparing the patient's medical record data with the results of therapy in the form of laboratory data. From monitoring drug therapy, the therapy obtained by the patient Ny. M is mostly correct. There are only a few drugs that should be reduced in dose, increased in dose, decreased the duration of therapy, given as additional therapy, replaced the therapy, and discontinued the therapy. There are several drug interactions that can be overcome by giving a delay in administration. The DRP found in Mrs. M, namely overdose, underdose, giving an unnecessary therapy, giving an inappropriate therapy, and indications without therapy."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kandida Syifaa Diandra Putri
"Tuberkulosis dan empiema merupakan kondisi penyakit pernapasan yang dapat mempengaruhi pasien secara signifikan serta memerlukan manajemen terapi yang baik dan tindakan yang sesuai. Pengobatan tuberkulosis yangdisertai empiema bergantung pada keparahan dan kompleksitas dari kondisinya. Pemantauan terapi obat berperan penting pada pasien rawat inap dengan tuberkulosis dan empiema. Penggunaan obat antituberkulosis dapat menyebabkan efek samping termasuk hepatotoksisitas yang parah hingga mengancam jiwa. Maka dari itu, pasien menderita tuberkulosis harus dimonitor terkait efek samping, khususnya pada pasien yang memiliki komorbiditas, sedang menerima obat-obatan lainnya (polifarmasi) yang mungkin dapat menimbulkan interaksi antar obat, dan gangguan ginjal. Penelitian dilakukan dengan menyeleksi pasien, mengumpulkan data terkait pasien, melakukan pemantauan terapi obat, dan menelaah keberadaan masalah terkait obat. Berdasarkan pementauan dan analisis terapi obat pasien yang telah dilakukan, beberapa masalah terkait obat yang dapat diidentifikasi berdasarkan panduan PCNE dan metode Hepler and Strand yaitu indikasi tanpa terapi, interaksi obat, efek samping, dosis obat berlebih, dosis obat kurang, dan durasi penggunaan obat berlebih. Selebihnya, terapi yang diterima oleh Tn. D tepat indikasi dan tepat dosis. Masalah terkait obat yang muncul dapat direkomendasikan penyelesaian berupa pemberian obat yang sesuai, pemantauan efek terapi obat melalui hasil laboratorium dan gejala yang timbulkan, pemberian jeda konsumsi obat, dan penyeseuiaan dosis sesuai tatalaksana dan kondisi pasien.

Tuberculosis and empyema are respiratory disease conditions that can affect patients significantly and require good therapeutic management and appropriate measures. Treatment of tuberculosis accompanied by empyema depends on the severity and complexity of the condition. Monitoring drug therapy plays an important role in hospitalized patients with tuberculosis and empyema. The use of antituberculosis drugs can cause side effects including severe hepatotoxicity to life threatening. Therefore, patients suffering from tuberculosis must be monitored for side effects, especially in patients who have comorbidities, are receiving other drugs (polypharmacy) that may cause interactions between drugs, and kidney disorders. Research is carried out by selecting patients, collecting patient-related data, monitoring drug therapy, and examining the existence of drug-related problems. Based on the monitoring and analysis of patient drug therapy that has been carried out, several drug-related problems that can be identified based on the PCNE guidelines and the Hepler and Strand method are indications for no therapy, drug interactions, side effects, excessive drug doses, insufficient drug doses, and duration of excessive drug use. The rest, the therapy received bythe patients is proper in terms of indications and doses. Drug-related problems that arise can be recommended for solutions in the form of administering appropriate drugs, monitoring the effects of drug therapy through laboratory results and the symptoms they cause, giving pauses in drug consumption, and adjusting doses according to the management and condition of the patient."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tianna Dyatama Zarfani
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah kegiatan yang memastikan pengobatan yang diberikan kepada pasien efektif, aman, dan rasional. Pemantauan terapi obat mencakup pemantauan efikasi dan interaksi obat, efek toksik, serta kepatuhan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Masalah Terkait Obat (MTO) yang terjadi pada pengobatan pasien dan memberikan rekomendasi tindak lanjut menggunakan metode SOAP. Pengumpulan data pasien dilakukan dengan melihat data pasien pada rekam medis dan status pasien yang terdapat pada AVICENNA. Jenis data yang digunakan bersifat narasi, uraian serta penjelasan data dari informan baik lisan maupun perilaku subjek yang diamati di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pemberian terapi obat ISDN tanpa indikasi, ketidaksesuaian dosis penggunaan omeprazole apabila dibandingkan berdasarkan dosis harian renal drug handbook. Kemudian terdapat pemilihan terapi yang kurang tepat dikarenakan adanya duplikasi terapi antihipertensi CCB dan kurang tepatnya pemilihan terapi antihipertensi yang digunakan pada pasien. Adanya potensi interaksi obat pada CaCO3 dengan nifedipie (adalat oros), amlodipine dan bisoprolol sehingga perlu dijeda dalam pemberian obat dan pemantauan tekanan darah pasien. Hasil analisis MTO diinterpretasikan dalam bentuk SOAP sebagai komunikasi tertulis untuk menyampaikan rekomendasi kepada dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

Drug Therapy Monitoring is an activity that ensures that the treatment given to patients is effective, safe and rational. Monitoring drug therapy includes monitoring drug efficacy and interactions, toxic effects, and patient compliance. This study aims to analyze Medication Related Problems that occur during patient treatment and provide follow-up recommendations using the SOAP method. Patient data is collected by looking at patient data in medical records and patient status in AVICENNA. The type of data used is narrative, description and explanation of data from informants both verbally and subject behavior observed in the field. The results of the study showed that ISDN drug therapy was given without indication, and there was a discrepancy in the dose of omeprazole when compared based on the daily dose of the renal drug handbook. Then there is inappropriate selection of therapy due to duplication of CCB antihypertensive therapy and inaccurate selection of antihypertensive therapy used in patients. There is a potential for drug interactions in CaCO3 with nifedipine (adalat oros), amlodipine and bisoprolol so it is necessary to pause in administering the drug and monitoring the patient's blood pressure. The results of the Medication Related Problems analysis are interpreted in SOAP form as written communication to convey recommendations to the doctor in charge of services (DPJP)"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>