Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124375 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novita Sari
"Adenoma hipofisis merupakan salah satu tumor primer intrakranial tersering yang sebagian dapat bersifat agresif dengan risiko rekurensi/regrowth yang lebih tinggi sehingga berdampak buruk pada kualitas hidup pasien. Identifikasi awal adenoma hipofisis yang agresif dapat membantu menentukan strategi tatalaksana dan follow-up untuk mencegah terjadinya rekurensi/regrowth. Penilaian aktivitas proliferasi dengan ekspresi Ki-67 pada adenoma hipofisis diharapkan dapat memprediksi terjadinya rekurensi/regrowth. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi Ki-67 pada adenoma hipofisis yang mengalami rekurensi/regrowth dan yang tidak mengalami rekurensi/regrowth. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan desain potong lintang. Sampel berupa kasus adenoma hipofisis di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2016-2020. Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia Ki-67 dan penilaian persentase sel tumor yang terpulas positif. Analisis statistik dilakukan dengan uji komparatif numerik di antara dua kelompok tersebut. Nilai titik potong untuk prediksi rekurensi/regrowth ditentukan dengan analisis kurva receiving operator characteristic. Didapatkan 46 kasus adenoma hipofisis yang terdiri atas 23 kasus dengan rekurensi/regrowth dan 23 kasus tanpa rekurensi/regrowth. Rerata ekspresi Ki-67 pada kelompok yang mengalami rekurensi/regrowth lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami rekurensi/regrowth. (1,58% vs 0,88%, p=0,003). Nilai titik potong untuk yang direkomendasikan untuk prediksi rekurensi/regrowth sebesar 1,37%. Ekspresi Ki-67 yang lebih tinggi berhubungan dengan rekurensi/regrowth pada adenoma hipofisis.

Pituitary adenoma is one of the most common primary intracranial tumor that some can behave aggresively with higher reccurrence/regrowth risk and have bad impact to patient’s quality of life. Early identification of aggressive pituitary adenoma can help for deciding aggressive treatment strategies and strict follow-up to prevent recurrence/regrowth. Proliferation assesment using Ki-67 expression is expected to be one of the predictor of tumor recurrence/regrowth. This study aims to evaluate Ki-67 expression in pituitary adenoma with recurrence/regrowth and without recurrence/regrowth. This is an analytic retrospective study with cross sectional study design including specimens diagnosed as pituitary adenoma recorded in archives of Anatomical Pathology Departement FMUI/CMH from 2016-2020. Ki-67 immunostaining was conducted and Ki-67 expression in percentage was evaluated. Data was analyzed statistically to evaluate Ki-67 expression. Cut-off point to predict recurrence/regrowth was determined using receiving operator charasteristic curve analysis. Forty-six cases were selected, consisted of 23 cases with recurrence/regrowth and 23 cases without recurrence/regrowth. There was higher expression of Ki-67 in adenoma with recurrence/regrowth than adenoma without recurrence/regrowth (1,58% vs 0,88%, p=0,03). Recommended cut off value to predict recurrence/regrowth in this study was 1,37%. Higher Ki-67 expression was associated with recurrence/regrowth in pituitary adenoma."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Cahyanur
"ABSTRAK
Latar Belakang : Adenoma hipofisis merupakan tumor intrakranial yang berasal dari jaringan hipofisis anterior. Manifestasi klinis yang ditimbulkan terkait dengan pendesakan massa dan gangguan sekresi hormon. Salah satu gangguan hormonal yang ditimbulkan adalah hipotiroidisme sekunder. Hipotiroidisme sekunder terkait dengan penurunan kualitas hidup serta peningkatan risiko kardiovaskular.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi hipotiroidisme sekunder dan gambaran klinis pasien adenoma hipofisis.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang. Data diambil dari rekam medis pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam kurun waktu tahun 2007-2012. Data demografis pasien (usia, jenis kelamin), karakteristik klinis, jenis adenoma, data radiologis, serta hasil pemeriksaan hormon (T4 bebas dan TSH) dievaluasi pada peneltian ini.
Hasil : Selama kurun waktu 2007-2012 terdapat 63 pasien adenoma hipofisis di RSCM. Sebanyak 45 pasien memiliki data yang lengkap dan diikutsertakan sebagai subyek pada penelitian ini. Sebagian besar subyek adalah wanita (62,2%). Keluhan utama subyek adalah gangguan penglihatan (55,6%). Gejala atau tanda yang sering ditemukan adalah sakit kepala (86,7%), gangguan penglihatan (77,8%). Pada subyek wanita manifestasi yang pertama kali muncul adalah gangguan penglihatan dan gangguan fungsi seksual (39,3% dan 32,1%). Usia gejala pertama kali muncul lebih muda pada kelompok adenoma fungsional dibandingkan non fungsional (32,9 vs. 40,6). Hampir seluruh kasus yang ditemukan adalah makroadenoma (97,8%). Proporsi subyek yang mengalami hipotiroidisme sekunder adalah 40%. Subyek dengan hipotiroidisme sekunder lebih banyak mengeluhkan gangguan penglihatan dan gangguan ereksi.
Simpulan : Gangguan penglihatan adalah keluhan utama yang sering ditemukan. Pada subyek wanita, keluhan gangguan fungsi seksual bersama dengan gangguan penglihatan adalah manifestasi yang pertama kali muncul. Proporsi hipotiroidisme sekunder pada penelitian ini adalah 40,0 %. Subyek dengan hipotiroidisme sekunder lebih banyak mengeluhkan gangguan penglihatan, gangguan ereksi.

ABSTRACT
Background : Pituitary adenoma is intracranial neoplasm that arise from anterior pituitary tissue. Clinical manifestations are caused by mass effect and hormonal secretion disorder. One of the hormonal disorder is secondary hypothyroidism. Secondary hypothyroidism is related with increased cardiovascular morbidity and decreased quality of life.
Objectives: This study described the proportion of secondary hypothyroidism and and clinical features of pituitary adenoma patients.
Methods: This study was a cross sectional study. Data were collected from medical record in Cipto Mangunkusumo Hospital, from 2007 to 2012. Demographic data (age, gender), clinical characteristic, radiological result, adenoma type, and hormonal evaluation (free T4 and TSH) were evaluated.
Result : During 2007-2012 there were 63 patients with pituitary adenoma in Cipto Mangunkusumo Hospital.There were 43 patientswho fulfilled the study criteria. Majority of patients were female (62,2%). Visual disturbance was the most common presenting symptom (55,6%). Headache and visual disturbance were symptoms that commonly found, respectively (86,7% and 77,8%). Female subjects suffered visual disturbance and sexual dysfunction as their first occured symptoms, 39,3% and 32,1% respectively. Age at first symptom was younger in the subjects with functional adenoma compared non functional (32,9 vs. 40,6). Almost all cases were macroadenoma (97,8%). Secondary Hypothyroidism proportionin this study was 40 %. Subjects with secondary hypothyroidism had higher frequencies of visual distrubance and erectile dysfunction.
Summary : Visual disturbance is most common presenting symptom. Female subjects tend to had visual disturbance and sexual dysfunction as their first symptom. Secondary Hypothyroidism proportion in this study was 40 %. Subjects with secondary hypothyroidism had larger tumor diameter. Visual disturbance and erectile dysfunction commonly found in subjects with secondary hypothyroidism."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marceline Olivia
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gigi dengan saluran akar c-shape memiliki kompleksitas anatomi yang menjadikan perawatan saluran akar memiliki prognosis yang masih diperdebatkan akibat kesulitan untuk melakukan debridement dan obturasi yang adekuat. Kompleksitas ini mengakibatkan pengetahuan mengenai anatomi saluran akar c-shape penting untuk menunjang keberhasilan perawatan saluran akar. Tujuan: Mengetahui prevalensi dan variasi saluran akar c-shape pada gigi premolar pertama dan molar kedua rahang bawah. Metode: Penelitian menggunakan sampel 60 gigi premolar pertama dan 32 gigi molar kedua rahang bawah. Sampel dipindai menggunakan micro-CT Bruker SkyScan 1173 dengan resolusi 50 m. Pemotongan melintang untuk melihat bentuk saluran akar dilakukan menggunakan perangkat lunak DataViewer. Pengukuran sudut untuk menentukan klasifikasi c-shape dilakukan menggunakan perangkat lunak Fiji ImageJ. Hasil: Prevalensi c-shape pada gigi premolar pertama rahang bawah adalah 17 dengan prevalensi tipe C1 ditemukan paling besar pada tingkat pemotongan M, tipe C2 memiliki prevalensi terbesar pada AM, dan tipe C3 memiliki prevalensi terbesar pada tingkat pemotongan A 2. Tipe C4 mendominasi tingkat pemotongan CEJ-2 dan CM sedangkan tipe C5 hanya ditemukan pada tingkat pemotongan A 2. Prevalensi c-shape pada gigi molar kedua rahang bawah adalah 16,67 dengan klasifikasi yang paling banyak ditemukan pada kelima tingkat pemotongan adalah C1. Prevalensi konfigurasi tipe C2 terbesar ditemukan pada CM. Tipe C3 pada penelitian ini ditemukan pada tingkat O. Prevalensi tipe C4 paling besar ditemukan pada tingkat pemotongan A 2. Perubahan konfigurasi didapati terjadi sepanjang saluran akar. Kesimpulan: Prevalensi c-shape pada gigi premolar pertama rahang bawah adalah 17 sedangkan pada gigi molar kedua rahang bawah 16,67 . Terdapat variasi konfigurasi di sepanjang saluran akar.Kata kunci : c-shape, molar kedua rahang bawah, micro-CT, prevalensi, premolar pertama rahang bawah

ABSTRACT
Background A tooth with c shaped root canal has a complex anatomy, making root canal treatment prognosis questionable because of the difficulties in doing adequate debridement and obturation. This complexity also makes the knowledge about root canal anatomy important to improve endodontic treatment result. Objective The aim of this study is to know the prevalence and variation of c shaped canal in mandibular first premolars and second molars. Methods 60 mandibular first premolars and 32 mandibular second molars was scanned using micro CT Bruker SkyScan 1173 in 50 m resolution. Transverse sectioning of each tooth was performed using software DataViewer. Angle measurement for determining c shape classification was performed using software Fiji ImageJ. Result The Prevalence of c shaped canal in mandibular first premolars was 17 with type C1 most prevalence in M, type C2 in AM, and type C3 in A 2. Type C4 was the most common classification found in sectioning level CEJ 2 and CM while type C5 was only found in A 2. The Prevalence of c shaped canal in mandibular second molars was 16,67 with the most common classification found in five level of sectioning was C1. C2 was most prevalence in level CM, C3 was most prevalence in O and C4 was most prevalence in A 2. The alteration of configuration happened along the root canal. Conclusion The prevalence of c shape canal in mandibular first premolars was is 17 and in mandibular second molars was 16,67 with variation of root canal configuration happened along the root canal itself.Keywords c shape, mandibular second molar, mandibular first premolar, micro CT, prevalence"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fariyanti Methadias
"Latar Belakang: Terapi bedah flep periodontal dilakukan untuk meningkatkan status periodontal.
Tujuan: Evaluasi secara klinis dan radiografis keberhasilan perawatan bedah flep periodontal tahun 2011-2016.
Metode: Evaluasi status pasien antara sebelum dan sesudah perawatan bedah flep periodontal tanpa bahan cangkok tulang, menilai kedalaman poket, tingkat perlekatan klinis, resesi gingiva, dan ketinggian tulang alveolar.
Hasil: Terdapat 126 data untuk kedalaman poket, resesi gingiva, tingkat perlekatan klinis. Terdapat 135 data untuk ketinggian tulang. Terdapat hasil yang signifikan untuk semua kelompok p=0,00.
Kesimpulan: Perawatan bedah periodontal menghasilkan penurunan kedalaman poket, meningkatkan resesi gingiva, meningkatkan tingkat perlekatan klinis gingiva, dan peningkatan ketinggian tulang alveolar.

Background: Periodontal flap surgery can improve periodontal status.
Objective: Clinical and radiographic evaluation of periodontal flap surgery in 2011 2016.
Methods: Evaluation of patient status between pre and post periodontal flap surgery without bone graft materials, measuring pocket depth, clinical attachment level, gingival recession, and alveolar bone height.
Results There are 126 data for pocket depth, gingival recession, level of clinical attachment. There are 135 data for bone height. There were significant results for all groups p 0.00.
Conclusion: Periodontal flap surgery resulted decreased pocket depth, increased gingival recession, increased clinical attachment level of gingiva, and increased alveolar bone height.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Afifah Hijami
"Gangguan otot dan tulang rangka akibat kerja (Gotrak) tersebar di seluruh dunia dan meningkatkan masalah kesehatan di tempat kerja serta menurunkan efisiensi fisiologis tubuh manusia, sehingga menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Selain terjadi pada pekerja yang menggunakan fisik, Gotrak juga umum terjadi pada pekerja di perkantoran karena terlibat dalam pekerjaan statis dan gerakan berulang dengan durasi yang lama dan monoton. Pada sektor kesehatan, kejadian Gotrak pada tenaga kesehatan telah banyak dilakukan penelitian dan pengendalian, namun sedikit referensinya pada pekerja perkantoran di RS, sehingga perlu dilakukan kajian faktor risiko ergonomi perkantoran di RS. Tujuan penelitian ini menganalisis faktor risiko Gotrak pada pekerja perkantoran di RS. X. Desain penelitian ini cross sectional dengan pendekatan semikuantitatif. Teknik total samping mendapatkan 50 orang responden. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner, lembar periksa ROSA untuk postur kerja, dan alat ukur antropometri. Analisis data menggunakan uji chisquare. Hasil telitian mendapatkan 70% pekerja ada keluhan Gotrak. Terdapat hubungan antara faktor pekerjaan yaitu postur kerja, faktor individu yaitu jenis kelamin dan aktivitas fisik, faktor psikososial yaitu stres kerja dan kecemasan serta faktor pelayanan kesehatan kerja, dan kejadian Gotrak. Pelayanan kesehatan kerja pada Gotrak perlu ditingkatkan agar pekerja mengetahui dan mampu mengendalikan faktor risiko Gotrak di tempat kerja.

Work-related musculoskeletal disorders (WMSDS) are widespread throughout the world and increase health problem in the workplace and reduce the physiological efficiency of human body and becomes serious public health problem. Besides occurring in blue collar workers, wmsds is also common in office workers because involved in static work and repetitive movement with a long and monotonous duration. In health sector, the incidence of WMSDs in
health workers has been widely stidied and controlled, but there are few references to office workers in hospitals, so it is necessary tostudy ergonomic risk factors in hospitals. The purpose of this study was to analyze the risk factors for WMSDs in office worker at the hospital. The design of this study was cross sectional with a semi-quantitative approach. Total technique aside to get 50 respondents. The research instrument used was a questionnaire, ROSA check sheets for work posture, and anthropometric measuring instruments. Data analysis using chisquare test. The results of this study found that 70% of workers had WMSDS complaints. There is a relationship between work factor, namely work posture, individual factors, namely gender
and physical activity, psychosocial factors, namely work stress and anxiety, and organization factor, namely occupational health service. Occupational health services in hospital for WMSDs need to be improved so that workers understand WMSDs risk factors and able to control WMSDS in workplace
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andika Rizki
"Latar belakang: Waktu yang tepat untuk pembedahan katup aorta masihmerupakan tantangan saat ini. Pasien sering datang dengan kondisi lanjut denganperubahan geometri ventrikel kiri sebagai mekanisme kompensasi terhadappeningkatan beban tekanan dan volume berkepanjangan yang akan mempengaruhiluaran klinis pascabedah.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiapakah terdapat pengaruh karakter ventrikel kiri meliputi ukuran dimensi ventrikelkiri EDD, ESD, FEVKi, indeks massa ventrikel kiri LVMI terhadapmorbiditas dan mortalitas di rumah sakit pascabedah katup aorta pada pasiendengan regurgitasi aorta kronik serta luaran klinis jangka menengah.
Metode: 168 pasien dengan regurgitasi aorta kronik yang menjalani pembedahankatup aorta terseleksi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, pascapembedahandilakukan follow-up terhadap luaran klinis morbiditas dan mortalitas di rumahsakit, kemudian diikuti 1 tahun hingga 5 tahun setelah operasi, morbiditas danmortalitas dievaluasi,
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tiap tiapparameter ventrikel kiri EDD, ESD, FEVKi, LVMI terhadap morbiditas danmortalitas saat di rumah sakit p>0,05, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhimorbiditas intrahospital yaitu laju filtrasi ginjal p< 0,001 dan usia p=0,001 ,riwayat Penyakit Jantung Koroner PJK, riwayat PPOK dan riwayat stroke, sedangkan morbiditas jangka menengah dipengaruhi oleh kejadian aritmia pascapembedahan p=0,009, terdapat perbaikan pada NYHA functional class.Mortalitas di rumah sakit dipengaruhi oleh usia p=0,001 dan laju filtrasi ginjal p

Background: The optimal timing of aortic valve replacement is still challenging.The patients often come to hospital in end stage clinical performance withalteration in left ventricular LV geometry due to compensatory mechanism tovolume and pressure overload in long term period.
Objective: This study soughtto determine the effect of left ventricular characters diameter of the left ventricle,end diastolic diameter EDD, end systolic diameter ESD, left ventricularejection fraction LVEF, left ventricular mass index LVMI to in hospitalmorbidity and mortality following aortic valve replacement in patients withchronic aortic regurgitation and postoperative mid term outcome.
Methods: 168 patients with chronic aortic regurgitation underwent aortic valve replacementselected according to inclusion and exclusion criteria. Outcomes morbidity andmortality were observed during hospitalization and 1 year until 5 years aftersurgery. Mid term outcomes consisted of NYHA functional class, rehospitalizationand redo operation.
Results: There was no significant difference to in hospitalmorbidity and mortality for each of left ventricular characters p 0,05. Other factors which influenced in hospital morbidity were glomerularfiltration rate p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lully Kurniawan
"Latar Belakang : Defek pada mandibula yang tidak direkonstruksi dapat menyebabkan
morbiditas yang berat seperti gangguan mastikasi, bicara, dan estetika. Defek mandibula
dapat disebabkan oleh berbagai sebab diantaranya trauma, infeksi, kondisi patologis,
dan kongenital. Diperlukan tindakan rekonstruksi untuk memperbaiki defek tersebut.
Penggunaan autogenus bone graft masih merupakan pilihan utama dalam hal
rekonstruksi. Pada defek mandibula, rekonstruksi autogenus yang digunakan terdapat
dua pilihan yaitu vascularized graft dan non vascularized graft. Di Indonesia sendiri,
penggunaan vascularized bone graft sebagai penutupan defek belum banyak dilakukan
akibat dari kurangnya alat dan keterbatasan operator. Pemilihan rekonstruksi defek yang
lebih reliable yaitu dengan non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft
memiliki beberapa keunggulan yaitu morbiditas donor site lebih kecil, tidak
membutuhkan alat yang lebih kompleks dan tidak membutuhkan skill operator yang
lebih besar, walaupun tingkat keberhasilannya kurang. Resiko resorbsi dan infeksi pada
non vascularized graft lebih besar daripada vascularized graft. Semakin panjang non
vascularized bone graft yang digunakan maka semakin kecil pula tingkat kesuksesan
graft tersebut
Tujuan : Mengevaluasi pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan
autogenous bone graft pada penyembuhan tulang mandibula (studi pada Ovis aries
sebagai model manusia). Material dan Metode : Penelitian metode quasi eksperimental dengan bentuk post test
with control group design ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh Platelet Rich
Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft pada penyembuhan
mandibula Ovis aries secara klinis dan laboratoris (studi pada Ovis aries sebagai model
manusia).
Kesimpulan : Pemeriksaan klinis pada PRP dan Non-PRP dari hasil rata-rata tidak
terdapat perbedaan yang bermakna. Pemeriksaan laboratoris pada PRP dengan Non-
PRP sebelum dan sesudah operasi juga didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna

Background: Mandibular defects that are not reconstructed can cause serious
morbidity such as impaired mastication, speech, aesthetics. Mandibular defects can be
caused by a variety of causes including trauma, infection, pathological conditions and
congenital. Reconstruction is required to correct the defect. Autogenus bone graft is
still the main choice in terms of reconstruction. In mandibular defects there are two
options, vascularized graft and non vascularized graft. In Indonesia, the use of
vascularized bone graft as a closure defect has not been done much due to lack of tools
and operator limitations. The selection of reconstruction of more reliable defects i.e.
with non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft has several advantages
namely smaller donor site morbidity, does not require more complex tools and does not
require greater operator skills, although the success rate is less. The risk of resorbsi
and infection in non vascularized graft is greater than vascularized graft The longer
non vascularized bone graft is used the smaller the success rate of the graft.
Purpose: Evaluating the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with
autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries as a human
model).
Materials and Methods: Research on this experimental analytical method was
conducted to determine the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed withautogenous bone graft in clinical examination and laboratoris in sheep (Ovis aries as a
human model).
Conclusion: Clinical examination in PRP with Non-PRP from the average result there
is not a meaningful difference. Laboratory examination before and after operation in
PRP with Non-PRP also obtained not significantly different meaning
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, M. Deni
"Latar Belakang: Adenoma hipofisis adalah kumpulan dari berbagai jenis tumor yang ditemukan di kelenjar hipofisis, yang dapat menyebabkan kompresi nervus optikus, sehingga menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan lapang penglihatan akibat efek penekanan massa tumor. Tindakan operasi transfenoid pada adenoma hipofisis bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan dekompresi massa tumor dengan harapan memperbaiki atau mempertahankan fungsi nervus optikus.
Tujuan: Menilai luaran fungsi penglihatan (tajam penglihatan dan lapang penglihatan) pada pasien adenoma hipofisis serta faktor-faktor yang mempengaruhi luaran tersebut.
Metode: Penelitian potong lintang terhadap pasien-pasien adenoma hipofisis yang telah dioperasi transfenoid dari tahun 2012-2014. Fungsi penglihatan pasien (visus, visual impairment scale, dan lapang penglihatan) sebelum dan sesudah operasi transfenoid diambil dari rekam medik pasien.
Hasil: Sebanyak delapan sampel (57,1%) mengalami perbaikan dan enam pasien (42,9%) tidak mengalami perbaikan nilai visual impairment scale (VIS). Sebanyak delapan sampel (57,1%) mengalami perbaikan dan sebanyak enam pasien (42,9%) tidak mengalami perbaikan visus. Setelah dilakukan tindakan pembedahan untuk mengangkat adenoma hipofisis dengan pendekatan transfenoid, sebagian besar pasien (57,1%) mengalami perbaikan fungsi penglihatan baik dengan metode pemeriksaan visus maupun VIS. Usia, jenis kelamin, waktu onset sampai berobat, waktu berobat sampai operasi, waktu onset sampai operasi, atau volume operasi tidak berhubungan dengan luaran fungsi penglihatan pasien.
Kesimpulan: Operasi transfenoid pada adenoma hipofisis dapat memberikan perbaikan fungsi penglihatan pada sebagian besar pasien adenoma hipofisis.

Background: Pituitary adenoma is a collection of various type tumors found in the pituitary gland, which can lead to compression of the optic nerve, causing a decrease in visual acuity and field of vision due to the suppressive effect of the tumor mass. Transphenoidal surgery on pituitary adenoma aims to diagnose and decompression of the tumor mass in order to improve or preserve optic nerve function.
Purpose: Evaluate the visual function outcomes (visual acuity and field of vision) in patients with pituitary adenoma and the factors that influence these outcomes.
Method: A cross-sectional study on patients who had transphenoidal surgery of pituitary adenoma from 2012 - 2014. The patient’s visual functions (visual acuity, visual impairment scale, and field of vision) were evaluated before and after transphenoidal surgery. The data were taken from the patient’s medical record.
Result: A total of eight patients (57.1%) showed improvement and six patients (42.9%) didn’t show improvement of visual impairment scale (VIS). A total of eight pstients (57.1%) showed improvement, and as many as six patients (42.9%) did not show vision improvement. After transphenoidal surgery, most patients (57.1%) had improved their visual functions not only by Snellen chart visual acuity test, but also by VIS score. Age, gender, time of onset to treatment, treatment time until surgery, time of onset to surgery, tumor volume before surgery were not related to the patient's visual function outcomes.
Conclusion: Transphenoidal surgery of pituitary adenoma can provide visual function improvement in most patients with pituitary adenoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hellena Deli
"Analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah ini merupakan karya akhir ners spesialis. Analisis praktik residensi ini bertujuan memberikan gambaran pelaksanaan praktik resiensi, terutama pengelolaan berbagai kasus neurologi. Analisis ini terdiri dari kasus kelolaan utama menggunakan pendekatan model adaptasi Roy, penerapan evidence based nursing (EBN) dan proyek inovasi. Kasus kelolaan utama pada laporan ini adalah adenoma hipofisis. Pada kasus kelolaan diagnosa keperawatan diantaranya gangguan mobilitas fisik, Risiko ketidak efektifan perfusi serebral teratasi, dan pada 30 kasus resume diagnose terbanyak yaitu penurunan kapasitas adaptif intrakranial dan nyeri akut. Penerapan EBN yang dilakukan pada praktik residensi ini adalah tentang early removal catheter pada pasien paska kraniotomi, dan terbukti dapat menurunkan length of stay pasien paska kraniotomi. Pada praktik residensi ini residen juga menerapkan proyek inovasi dalam meningkatkan pengetahuan perawat untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan pembedahan spinal, hasil penerapan inovasi ini menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan perawat terkait asuhan keperawatan perioperative pada pasien pembedahan spinal. Banyak manfaat yang didapatkan dari praktik residensi yang telah dilakukan diantaranya latihan critical thinking dalam mengelola kasus sulit, melatih kemampuan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya, menerapkan asuhan keperawatan berbasis bukti. Perawat neurosains dapat menerapkan EBN dalam setiap intervensi keperawatan yang dilakukan, melatih kemampuan berfikir kritis dan kemampuan kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lainnya, sehingga kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan semakin meningkat.

This analysis of medical surgical nursing residency practice is the final work of specialist nurses. This residency practice analysis aims to provide an overview of the practice of residency, especially the management of various neurological cases. This analysis consists of the main managed cases using Roy's adaptation model approach, the application of evidence-based nursing (EBN), and the innovation project. In cases managed, nursing diagnoses included impaired physical mobility, the risk of ineffective cerebral perfusion was resolved, and in 30 cases the most resumed diagnoses were decreased intrakranial adaptive capacity and acute pain. The application of EBN in this residency practice is about early catheter removal in post-craniotomy patients and has been shown to reduce the length of stay of post-craniotomy patients. In this residency practice, the resident also implemented an innovation project in increasing the knowledge of nurses to perform nursing care for patients with spinal surgery, the results of the application of this innovation showed an increase in nurses' knowledge regarding perioperative nursing care for spinal surgery patients. Many benefits have been obtained from the residency practice that has been carried out including critical thinking exercises in managing difficult cases, training in collaboration skills with other health teams, and implementation of evidence-based nursing care. It is expected for nurses, especially neuroscience nurses using EBN in every nursing intervention carried out, and practice critical thinking skills and collaboration skills with other health teams, so that patient satisfaction with nursing services will increase."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saika Faradila
"

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pertumbuhan Rhizopus azygosporus UICC 539 pada medium Potato Sucrose Agar (PSA) pada berbagai suhu dan kemampuan dalam mendegradasi tributirin 1% (v/v) dan 2% (v/v) pada berbagai suhu. Blok agar (diameter 6 mm) mengandung R. azygosporus UICC 539 2x106 CFU/mL pada medium PSA umur 5 hari di suhu 30°C digunakan untuk uji pertumbuhan dan kemampuan degradasi tributirin 1% (v/v) dan 2% (v/v). Suhu pengujian pertumbuhan yaitu 30, 35, 40, 45, 50, 55, dan 60°C pada PSA selama 5 hari. Pengujian kemampuan R. azygosporus UICC 539 mendegradasi tributirin dilakukan pada medium tributyrin agar selama 3 hari dan 5 hari.  Medium tributyrin agar tanpa biakan digunakan sebagai kontrol. Hasil pengujian menunjukkan pertumbuhan R. azygosporus UICC 539 pada medium PSA ditandai dengan adanya miselium berwarna putih kecokelatan, bentuk dan tekstur filamen serta sporulasi. Rhizopus azygosporus UICC 539 dapat tumbuh pada suhu 30, 35, 40, 45, dan 50°C tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu 55°C dan 60°C. Degradasi tributirin ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni, dan dinyatakan dengan nilai enzymatic index (EI), yaitu R/r dengan R adalah diameter zona bening dan r adalah diameter koloni. Adanya zona bening mengindikasikan aktivitas lipolitik pada medium tributirin. Rhizopus azygosporus UICC 539 dapat mendegradasi tributirin 1% dan 2% di suhu 30, 35, 40, 45, dan 50°C. Nilai EI tertinggi yaitu sebesar 4,17 pada konsentrasi 1% suhu 50°C pada inkubasi hari ke-5. 


This study aims to detect the growth temperature of Rhizopus azygosporus UICC 539 on Potato Sucrose Agar (PSA) and the ability of R. azygosporus UICC 539 to degrade 1% (v/v) and 2% (v/v) tributyrin at various temperatures. Agar blocks (6 mm diameter) which contained R. azygosporus UICC 539 at 2x106 CFU/mL from 5-days old in PSA at 30°C were used for growth temperature test and tributyrin degradation assay. Growth temperature test was carried out on PSA at 30, 35, 40, 45, 50, 55, and 60°C for 5 days. Tributyrin degradation assay was carried out on 1% and 2% tributyrin agar for 3 days and 5 days. Tributyrin agar without culture was used as a control. Rhizopus azygosporus UICC 539 showed growth on PSA by the presence of brownish white mycelium, filamentous shape, wooly texture, and sporulation. The growth temperature of R. azygosporus UICC 539 was 30, 35, 40, 45, and 50°C but the fungus was not able to grow at 55°C and 60°C. Tributyrin degradation was shown by the presence of clear zones around the colony. The tributyrin degrading ability was calculated using enzymatic index (EI): R/r, R was the diameter of the clear zone and r was the diameter of the colony. Rhizopus azygosporus UICC 539 degraded 1% and 2% tributyrin at 30, 35, 40, 45, and 50°C. Clear zone indicated lipolytic activity by R. azygosporus UICC 539. The highest EI value was 4.17 at 1% tributyrin at 50°C on day-5.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>