Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183770 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rike Triana
"Kerusakan intrarenal pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Acute Kidney Injury (AKI) menyebabkan zat sisa metabolisme tidak dapat terbuang melalui urin serta terjadi kelebihan cairan. Terapi farmakologi seperti kortikosteroid dan imunosupresan turut memperparah overload cairan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi manajemen cairan pada pasien SLE dengan komplikasi AKI terhadap masalah overload cairan. Manajemen cairan yang dilakukan pada pasien meliputi restriksi cairan; pemantauan asupan dan keluaran cairan; tekanan darah, edema dan asites, nilai laboratorium: ureum, kreatinin dan albumin; edukasi manajemen cairan serta kolaborasi pemberian diuretic dan albumin. Hasil intervensi menunjukkan balans cairan mencapai target (-) 1000 cc, asites berkurang dengan penurunan lingkar abdomen dari 105 menjadi 84 cm, adanya perbaikan fungsi ginjal dengan penurunan ureum kreatinin, pengetahuan pasien terkait pentingnya restriksi cairan meningkat dan pasien menunjukkan penerimaan terhadap perawatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid dan imunosupresan pada pasien SLE harus disertai dengan intervensi manajemen cairan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan intervensi manajemen cairan untuk dilakukan pada pasien SLE dengan komplikasi acute kidney injury.


Intrarenal damage in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with complicated Kidney Injury (AKI) causes metabolic waste substances to not be wasted through urine and excess fluid occurs. Pharmacological therapies such as corticosteroids and immunosuppressants also contribute to fluid overload. This study aims to analyze fluid management in SLE patients with complications of AKI to overcome fluid overload. Fluid management performed on patients includes fluid restriction; monitoring fluid intake and output; blood pressure, edema and ascites, laboratory values: urea, creatinine and albumin; fluid management education and collaboration in the administration of diuretics and albumin. The results of the intervention showed that the fluid balance reached the target (-) 1000 cc, ascites decreased with a decrease in the abdominal circumference of 105 to 84 cm, an improvement in kidney function with a decrease in creatinine ureum, the patient's knowledge regarding the importance of fluid restriction increased and the patient showed acceptance of treatment. These results indicate that corticosteroid therapy and immunosuppressants in SLE patients must be accompanied by fluid management interventions. Therefore, the authors recommend fluid management interventions to be performed in SLE patients with complications of acute kidney injury."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fadilah
"Kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal pada anak pengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) mengakibatkan penumpukan produk sisa-sisa metabolisme yang disebut uremia. Komplikasi ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit berupa kulit kering (xerosis) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menimbulkan infeksi lebih lanjut. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak pengidap SLE dengan komplikasi CKD dan menganalisis penerapan intervensi pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) pada masalah gangguan integritas kulit. Intervensi diterapkan sebanyak dua kali dalam sehari dan dilakukan selama 3 hari. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas kulit yang mengalami xerosis yang ditandai dengan penurunan nilai overall dry skin score dari 4 menjadi 3 dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit secara mandiri. Rekomendasi dari studi kasus ini adalah diharapkan pemberian VCO dapat menjadi terapi penunjang sebagai upaya untuk mengatasi gangguan integritas kulit pada kondisi xerosis.

Structural damage and decreased kidney function in children with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with the Chronic Kidney Disease (CKD) complication caused accumulation of metabolic waste products called uremia. This complication resulted in impaired skin integrity in the form of dry skin (xerosis) which can affect the patient's quality of life and lead to further infection. This scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with SLE with complication of CKD and to analyze the intervention of Virgin Coconut Oil (VCO) application to the impaired skin integrity area. The intervention applied twice a day and has been carried out for 3 days. The methodology used is the case study method. The results of the analysis showed that there was a decrease in the area of skin with xerosis which was indicated by a decrease in the overall dry skin score of 4 to 3 and the family was able to perform skin care independently. The recommendation from this case study is application of VCO can be a supporting therapy as an effort to overcome impaired skin integrity in xerosis conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deta Annisa Nalayani
"ABSTRAK
SLE atau lupus yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah di perkotaan. Perjalanan penyakit SLE/lupus yang bersifat episodik berulang yang diselingi periode sembuh membuat klien merasakan kecemasan dan ketidakberdayaan yang diakbatkan dari kondisi penyakitnya. Karya ilmiah akhir ners ini akan menganalisis mengenai asuhan keperawatan masalah ketidakberdayaan dan ansietas pada klien dengan penyakit SLE/lupus selama 4 hari. Tindakan keperawatan bertujuan untuk mengontrol perasaan tidak berdaya dengan membuat klien mampu mengambil keputusan yang efektif untuk mengendalikan situasi kehidupannya serta untuk mengeatasi kecemasan. Hasil evaluasi yang dilakukan terlihat dalam keseharian klien selama klien mendapatkan perawatan, klien menunjukkan perkembangan dan berkurangnya tanda gejala masalah tersebut.Dibutuhkan upaya seperti menjaga keefektifan koping, mengurangi/menjauhi stres, dan sistem dukungan support system yang baik dari lingkungan di sekitar klien untuk membantu klien untuk mengurangi masalah terutama masalah psikososial yang dirasakan klien. Kata Kunci :Ansietas, asuhan keperawatan, ketidakberdayaan, sistemik lupus eritematosus SLE /lupus

ABSTRACT
SLE /lupus is not contagious diseases which prevalence increases each year and causing a problem especially in urban areas. The course of episodic SLE / lupus disease recurrent interspersed with periods of recovery makes the client feel the anxiety and powerlessness implied by the condition of the illness. This final paper will analyze the nursing care of powerlessness and anxiety in clients with SLE / lupus disease for 4 days. Nursing actions aim to control feelings of powerlessness by allowing clients to make effective decisions to control their life situations and to overcome anxiety. The results of evaluations made visible in the client 39;s daily life as long as the client gets treatment, the client shows the development and decrease of symptoms of the problem. It takes efforts such as maintaining the effectiveness of coping, reducing / avoiding stress, and a good support system from the environment around the client to help clients reducing the problem, especially the psychosocial problems felt by the client. Keywords: Anxiety, nursing care, powerlessness, systemic lupus erythematosus SLE /lupus."
2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Suciani
"Penderita Lupus jumlahnya bertambah setiap tahun. Penyakit yang dikenal dengan penyakit seribu wajah ini sulit didiagnosis karena gejala-gejala yang muncul tidak spesifik dan berbeda di setiap individu, sehingga diagnosisnya terkadang terlambat. Masalah fisik yang ditimbulkan oleh penyakit lupus tentu dapat mempengaruhi kesehatan jiwa karena penyakit yang tidak dapat diprediksi, bersifat episodik, dan harus dihadapi sebagian besar dalam hidup penderitanya. Masalah psikosial yang dapat muncul pada klien dengan lupus salah satunya adalah keputusasaan. Hal ini disebabkan karena pengobatan yang lama, vonis seumur hidup, beragam gejala yang muncul menyebabkan perasaan depresi, kecemasan yang pada akhirnya timbul rasa putus asa. Karya ilmiah melaporkan analisis masalah dan intervensi keperawatan psikososial keputusasaan. Evaluasi akhir menunjukkan terjadinya peningkatan harapan dan perilaku berpikir positif. Pengembangan dan implementasi asuhan keperawatan psokososial keputusasaan perlu diterapkan di ruang rawat umum, lebih khususnya bagi klien dengan penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE).

Lupus patients increase every year. The disease is known as a thousand face disease is difficult to diagnose because the symptoms that appear not specific and different in each individual, so the diagnosis is delayed. The physical problems caused by lupus disease can certainly affect mental health due to unpredictable illness, because it is episodic, and must live mostly in the life of the sufferer. Psychocial problems that can arise in clients with lupus is hopelessness. This is due to long treatment, life sentence, various symptoms that arise due to depression, anxiety that eventually arise despair. Scientific work results analysis and psychosocial nursing psychosocial intervention for hopelessness. Final evaluation shows improvement that increase hope and positive behaviour. Development and implementation of psychosocial nursing care desperation needs to be applied in the general outpatient room, more specifically for clients with Systemic Lupus Erythematosus disease (SLE).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dyvia Mega
"Pemantauan cairan merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dilakukan pada semua pasien COVID-19, terutama yang memiliki risiko dan masalah keseimbangan cairan seperti acute kidney injury (AKI). Intervensi ini menjadi krusial karena balans cairan pasien dapat mempengaruhi status oksigenasi pasien COVID-19. Sebuah kasus pasien laki-laki berusia 62 tahun yang dirawat di ruang rawat inap isolasi COVID-19, dengan COVID-19 terkonfirmasi derajat sedang disertai penyakit penyerta hipertensi dan diabetes melitus, serta mengalami komplikasi AKI, menjelaskan bagaimana hasil pemantauan cairan menjadi data awal kecurigaan perawat bahwa pasien mengalami masalah ketidakseimbangan cairan setelah status oksigenasinya semakin menurun. Pada akhir perawatan pasien mengalami perburukan kondisi karena fungsi ginjal yang terus menurun. Intervensi pemantauan cairan dapat dilakukan secara mandiri oleh perawat, dan secara kolaboratif dimana hasilnya dapat digunakan dalam mengevaluasi status oksigenasi dan kebutuhan terapi oksigen pasien, menentukan kebutuhan terapi cairan, dan mengevaluasi penggunaan diuretik sebagai upaya mencapai keseimbangan cairan pasien. Melalui hasil pemantauan cairan, perawat seharusnya bisa memberikan tanda peringatan kemungkinan kejadian AKI lebih awal pada pasien.

Fluid monitoring is one of the interventions carried out in all COVID-19 patients, especially those who have risks and fluid balance problems such as acute kidney injury (AKI). This intervention is crucial because the patient's fluid balance can affect the impaired oxygenation status in COVID-19 patients. A case of a 62-year-old male patient who was treated in an inpatient COVID-19 isolation ward, with a confirmed moderate degree of COVID-19 accompanied by comorbidities of hypertension and diabetes mellitus, as well as experiencing complications of AKI, explained how fluid monitoring is the initial data for suspicion that the patient has fluid imbalance after his oxygenation status has decreased. At the end of treatment, the patient's condition worsened due to declining kidney function. Fluid monitoring interventions can be carried out independently by nurses, and collaboratively where the results can be used in evaluating the patient's oxygenation status and oxygen therapy needs, determining the need for fluid therapy, and evaluating the use of diuretics as an effort to achieve patient fluid balance. Through the results of fluid monitoring, nurses should be able to provide warning signs of possible AKI events earlier in patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yublina Septiani
"Salah satu penyakit tidak menular yang mengancam masyarakat perkotaan adalah systemic lupus erythematosus. Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun dimana sistem imun memproduksi autoantibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri dan menyebabkan kerusakan pada organ yang diserang. Penyakit ini dapat menimbulkan masalah psikososial ketidakberdayaan karena systemic lupus erythematosus tidak dapat disembuhkan dan bersifat periodik. Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan ketidakberdayaan pada klien yang mengalami systemic lupus erythematosus. Evaluasi hasil implementasi menunjukkan berkurangnya tanda dan gejala ketidakberdayaan yang dialami klien.
Systemic lupus erythematosus is one of non-communicable disease that threaten urban communities. Systemic lupus erythematosus is autoimune disease where immune system produces autoantibodies that attack it own body tissues and cause damage to the organ. This disease can evoke psychosocial problem that is powerlessness because systemic lupus erythematosus can not be cured and periodic. The purpose of this Paper is to describe nursing care of powerlessness in patient with systemic lupus erythematosus. Evaluation of the results of implementation shows that there is a slight decrease in the signs and symptoms of powerlessness that occured on the client. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maula Utrujah
"Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronis yang dapat dirasakan oleh pasien dengan SLE seumur hidup. Manifestasi klinis dari SLE berbeda-beda pada tiap individu, sehingga dibutuhkan perawatan yang tepat agar komplikasi yang parah dapat diminimalisasi. Discharge planning merupakan solusi untuk perawatan anak ketika sudah pulang ke rumah. Discharge planning bertujuan untuk memberikan  pembekalan perawatan di rumah sehingga orangtua atau keluarga dapat merawat pasien secara mandiri. Karya Ilmiah ini ditulis dengan tujuan memberikan informasi tentang hasil implementasi discharge planning pada anak dengan SLE. Metode yang digunakan untuk oenulisan karya ilmiah ini menggunakan studi kasus pada anak dengan SLE yang diberikan intervensi discharge planning sejak pasien pertama kali masuk dan dilakukan pemantauan selama lima hari  dengan pemberian asuhan keperawatan. Hasil discharge planning menunjukkan peningkatan keterampilan orangtua dan keluarga dalam merawat anak dengan SLE yang dibuktikan dengan hasil observasi selama masa perawatan. Sehingga, discharge planning tepat digunakan untuk pasien dengan SLE dalam perawatan lanjutan di rumah sehingga pasien dengan SLE dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan mencegah kejadian eksaserbasi berat dan komplikasi yang parah. Discharge planning yang dilakukan memberikan dampak yang positif bagi pasien dan keluarga.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic disease. Clinical manifestations of SLE vary in each, so proper care is needed so that severe complications can be minimized. Discharge planning is a solution for childcare when they have returned home. Discharge planning aims to provide debriefing at home so parents or families can take care of patients independently. This Scientific Work was written to provide information about the results of discharge planning implementation in children with SLE. The method used for writing scientific papers uses case studies on children with SLE who are given discharge planning intervention since the patient first entered and monitored for five days with the provision of nursing care. The discharge planning results show an increase in parental and family skills in caring for children with SLE as evidenced by the results of observation during the treatment period. Thus, discharge planning is appropriate for patients with SLE in continuing care at home so that patients with SLE can improve their quality of life and prevent severe exacerbations and complications. Discharge planning carried out had a positive impact on patients and families.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Puspita Sari
"Banyak penyakit kronis yang menjadi masalah bagi aktivitas pekerjaan dan status bekerja (Taylor, 2003). Dengan bekerja, laki-laki memenuhi tugasnya dalam tahap dewasa awal dan peran gender sebagai penjaga dan pemberi nafkah (Papalia et al., 2007). Untuk memenuhi hal tersebut, pada penderita SLE diperlukan pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan berbagai alternatif berdasarkan pada teori Janis (dalam Janis & Mann, 1977), yang terdiri dari lima tahap proses pengambilan keputusan dan lima faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan (Kemdal & Montgomery, dalam Reynard, Crozier, & Svenson, 1997).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses pengambilan keputusan untuk bekerja pada penderita SLE laki-laki dan faktor-faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipan penelitian ini adalah tiga penderita SLE laki-laki usia dewasa muda dan bekerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua partisipan melewati kelima tahap dalam proses pengambilan keputusan. Kedua partisipan melewati tahap satu sampai empat dan hanya satu partisipan yang melewati tahap satu sampai tahap kelima. Selain itu, faktor preference, belief, circumstances dan action merupakan faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan pada ketiga partisipan. Diantara keempat faktor tersebut, faktor preference dan circumstances merupakan faktor yang paling berpengaruh dibandingkan faktor lainnya.

There are so many chronic diseases which become a problem in working activity and working status (Taylor, 2003). By working, men could fulfill his duty on young adulthood and gender role as a care taker and live provider (Papalia et al., 2007). In order to fulfill that situation, the SLE patient needs a decision making by considering various alternatives based on Janis theory (in Janis & Mann, 1977), which consist of five level the decision making process and five factors which have a role in decision making (Kemdal & Montgomery, in Reynard, Crozier, & Svenson, 1997).
This research intend to acknowledge the description of the decision making process to work on the men SLE patient and factors which have a role in decision making process. This research participant are three men SLE patient young adulthood and work.
The research result showed that not all participants pass through all the fifth level in decision making process. Two participants pass through first level up to fourth level and only one participant who pass through first level up to fifth level. Beside that, the preference, belief, circumstances and action factors are factors which have a role in decision making process on three participants. Among the fourth factor, preference and circumstances factors are the most influential factor than others.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
153.83 SAR g
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Amira Tjandrasari
"LES merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dan banyak terjadi pada  anak remaja dengan rata-rata onset usia 11-12 tahun. Sekitar 10% dari remaja dengan penyakit kronis seperti LES mengalami masalah psikososial, termasuk masalah emosi seperti depresi dan kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelatihan kecakapan hidup pada anak dengan LES dapat memperbaiki masalah emosi. Penelitian dilakukan dengan 30 subjek remaja perempuan dengan LES yang sudah mendapatkan pengobatan, dan nilai SLEDAI 0-5. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak tanpa penyamaran, perlakuan dan kontrol.  Pelatihan kecakapan hidup diberikan pada kelompok perlakuan sebanyak 1 kali dalam kelas. Perbaikan masalah emosi dinilai dengan membandingkan nilai SDQ sebelum pelatihan dan 4 minggu setelah pelatihan. Penelitian melibatkan 30 remaja perempuan dengan LES dengan usia rerata 14 tahun. Sebanyak 20/30 subjek memiliki nilai SDQ normal, 4/30 dengan SDQ borderline dan 6/30 dengan SDQ abnormal. Terdapat perbedaan bermakna selisih masalah emosi pada kedua kelompok (p: 0,025; effect size: 0,87). Pada kelompok yang mendapatkan pelatihan terdapat perbaikan nilai SDQ total (p: 0,001), nilai masalah emosi (p: 0,002), nilai masalah perilaku (p: 0,027) dan nilai masalah perilaku hiperaktif (p: 0,040) dibandingkan dengan awal studi. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya terdapat perubahan nilai masalah dengan teman sebaya (p: 0,011). Selain itu ditemukan pula perbaikan masalah emosi pada kelompok pelatihan yakni keluhan sakit fisik (p: 0,021), rasa khawatir (p: 0,020) dan perasaan gugup (p: 0,020). Studi ini menyimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup-modul pengelolaan emosi efektif dalam memperbaiki masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES secara signifikan, terutama gugup atau sulit berpisah dengan orangtua/pengasuhnya pada situasi baru, mudah kehilangan rasa percaya diri dan banyak kekhawatiran atau sering tampak khawatir.

SLE is a chronic autoimmune inflammatory disease and many occur in adolescents with an average age of onset of 11-12 years. About 10% of adolescents with chronic diseases such as SLE experience psycho-mental problems, including emotional problems such as depression and anxiety. The aim of this study is to determine whether life skills training in children with SLE can improve emotional problems. The study was conducted with 30 female adolescent with SLE who had received treatment and SLEDAI score 0-5. Subjects were divided into 2 groups randomly, not-blinding, experiment and control. Life skills training is given to the experiment group one time in group. Emotional problem improvement was assessed by comparing SDQ scores before training and 4 weeks after training. The study involves a total of 30 female adolescent with SLE with an average age of 14 years. A total of 20/30 subjects had normal SDQ values, 4/30 with borderline SDQ and 6/30 with abnormal SDQ. There were significant differences in the difference between emotional problems in the two groups (p: 0.025; effect size: 0.87). In the group that received training there was an improvement in the total SDQ value (p: 0.001), the value of emotional problems (p: 0.002), the value of conductive problems (p: 0.027) and the value of hyperactive behavior problems (p: 0.040) compared to the beginning of the study. Whereas in the control group there were only changes in the value of problems with peers (p: 0.011). In addition it also found improvements in emotional problems in the experiment group, they are complaints of physical pain (p: 0.021), anxiety (p: 0.020) and nervous feelings (p: 0.020). This study concludes that life skills training-emotion management module is significantly effective in improving emotional problems in female adolescent with LES, especially nervous or having difficulty separating from parents/caregivers in new situations, easily losing self-confidence and many worries or often seems worried."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangkay Hadiwati
"Kejadian yang berhubungan dengan reaksi obat sangat sulit dikenali, karena seringkali tampak seperti penyakit lain dan banyak gejala reaksi obat yang muncul, terutama untuk paparan obat yang singkat. AKI adalah salah satu dari kondisi yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal, keadaan ini ditandai dengan penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba yang menyebabkan nekrosis pada tubulus, pedoman Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012. Di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung. Tujuan penelitian ini mengetahui prevalensi kejadian D-AKI dan menentukan faktor risiko utama serta data obat-obatan yang dapat mempengaruhi peningkatan kadar kreatinin serum selama dirawat. Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan observasional retrospektif dengan menggunakan desain cross sectional. Tempat pengambilan sampel berada dibagian Rekam Medis RSPAD Gatot Soebroto. Data pasien rawat inap yang diambil periode Januari – Desember 2021 dicatat berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 56 orang pasien yang diidentifikasi dengan menggunakan kriteria Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) dan menggunakan trigger tool, pengambilan sampel ditentukan dengan simple random sampling. Izin Ethical Approval diperoleh dari tim kaji etik RSPAD Gatot Soebroto dan informasi pasien dikumpulkan atas izin Kepala RSPAD Gatot Soebroto. Prevalensi angka kejadian D-AKI diruang rawat inap RSPAD Gatot Soebroto adalah 82,1%. Faktor-faktor terjadinya DAKI di ruang rawat inap adalah Interaksi obat nefrotoksik (OR = 8,926, 95% CI: 1,557-51,179 p value = 0,014) dan Lama penggunaan obat >=7 hari (OR = 5,303, 95% CI: 1,057-177,26,62) p value = 0,043. Secara umum obat nefrotoksik yang paling banyak digunakan adalah kombinasi obat nefrotoksik > 3 macam, obat diuretik, NSAID, Sefalosporin, ARB, ACEi dan obat kemoterapi. Dalam penelitian ini terdapat hubungan antara pemakaian obat nefrotoksik dengan faktor-faktor risiko yang dialami pasien di ruang rawat inap RSPAD Gatot Soebroto, dengan nilai p value ≤ 0,05. Dimana faktor-faktor yang diketahui sangat mempengaruhi secara sifnifikan.

Events related to drug reactions are very difficult to identify, because they often look like other diseases and many symptoms of drug reactions occur, especially for short drug exposures. AKI is one of the conditions that affect the structure and function of the kidney, this condition is characterized by a sudden decrease in kidney function that causes necrosis of the tubules, the 2012 Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) guideline. In Indonesia, kidney disease treatment is ranked second the largest financing from BPJS health after heart disease. Analyzing the prevalence of D-AKI and determining the main risk factors and drug data that can affect the increase in serum creatinine levels during hospitalization. The research method used was retrospective observation using a cross sectional design. The sampling location is in the Medical Record section of the Gatot Soebroto Army Hospital. Inpatient data for the period January – December 2021, recorded based on inclusion and exclusion criteria. The number of samples is 56 patients who were identified using the criteria of Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) and using trigger tool, sampling with simple random sampling. Ethical approval permission was obtained from the ethics review team of Gatot Soebroto RSPAD and patient information was collected with the permission of the Head of Gatot Soebroto RSPAD. The prevalence of the incidence of D-AKI in the inpatient room of the Gatot Soebroto Hospital is 82,1%. The factors for the occurrence of DAKI in the inpatient ward were nephrotoxic drug interaction (OR = 8,926, 95% CI; 1,557-51,179) p Value =0,014 and duration of drug use > = 7 days (OR = 5,303, 95% CI: 1,057-177,26,62) p value = 0,043. In general, the most widely used nephrotoxic drugs are a combination of > 3 kinds of nephrotoxic drugs, diuretic drugs, NSAIDs, cephalosporins, ARBs, ACEi and chemotherapy drugs. In this study, there was a relationship between the use of nephrotoxic drugs and the risk factors experienced by patients in the inpatient room of the Gatot Soebroto Hospital, with a p value of 0.05. Where the factors that are known to have a significant influence. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>