Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200967 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rike Triana
"Kerusakan intrarenal pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Acute Kidney Injury (AKI) menyebabkan zat sisa metabolisme tidak dapat terbuang melalui urin serta terjadi kelebihan cairan. Terapi farmakologi seperti kortikosteroid dan imunosupresan turut memperparah overload cairan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi manajemen cairan pada pasien SLE dengan komplikasi AKI terhadap masalah overload cairan. Manajemen cairan yang dilakukan pada pasien meliputi restriksi cairan; pemantauan asupan dan keluaran cairan; tekanan darah, edema dan asites, nilai laboratorium: ureum, kreatinin dan albumin; edukasi manajemen cairan serta kolaborasi pemberian diuretic dan albumin. Hasil intervensi menunjukkan balans cairan mencapai target (-) 1000 cc, asites berkurang dengan penurunan lingkar abdomen dari 105 menjadi 84 cm, adanya perbaikan fungsi ginjal dengan penurunan ureum kreatinin, pengetahuan pasien terkait pentingnya restriksi cairan meningkat dan pasien menunjukkan penerimaan terhadap perawatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid dan imunosupresan pada pasien SLE harus disertai dengan intervensi manajemen cairan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan intervensi manajemen cairan untuk dilakukan pada pasien SLE dengan komplikasi acute kidney injury.


Intrarenal damage in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with complicated Kidney Injury (AKI) causes metabolic waste substances to not be wasted through urine and excess fluid occurs. Pharmacological therapies such as corticosteroids and immunosuppressants also contribute to fluid overload. This study aims to analyze fluid management in SLE patients with complications of AKI to overcome fluid overload. Fluid management performed on patients includes fluid restriction; monitoring fluid intake and output; blood pressure, edema and ascites, laboratory values: urea, creatinine and albumin; fluid management education and collaboration in the administration of diuretics and albumin. The results of the intervention showed that the fluid balance reached the target (-) 1000 cc, ascites decreased with a decrease in the abdominal circumference of 105 to 84 cm, an improvement in kidney function with a decrease in creatinine ureum, the patient's knowledge regarding the importance of fluid restriction increased and the patient showed acceptance of treatment. These results indicate that corticosteroid therapy and immunosuppressants in SLE patients must be accompanied by fluid management interventions. Therefore, the authors recommend fluid management interventions to be performed in SLE patients with complications of acute kidney injury."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fadilah
"Kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal pada anak pengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) mengakibatkan penumpukan produk sisa-sisa metabolisme yang disebut uremia. Komplikasi ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit berupa kulit kering (xerosis) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menimbulkan infeksi lebih lanjut. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak pengidap SLE dengan komplikasi CKD dan menganalisis penerapan intervensi pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) pada masalah gangguan integritas kulit. Intervensi diterapkan sebanyak dua kali dalam sehari dan dilakukan selama 3 hari. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas kulit yang mengalami xerosis yang ditandai dengan penurunan nilai overall dry skin score dari 4 menjadi 3 dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit secara mandiri. Rekomendasi dari studi kasus ini adalah diharapkan pemberian VCO dapat menjadi terapi penunjang sebagai upaya untuk mengatasi gangguan integritas kulit pada kondisi xerosis.

Structural damage and decreased kidney function in children with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with the Chronic Kidney Disease (CKD) complication caused accumulation of metabolic waste products called uremia. This complication resulted in impaired skin integrity in the form of dry skin (xerosis) which can affect the patient's quality of life and lead to further infection. This scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with SLE with complication of CKD and to analyze the intervention of Virgin Coconut Oil (VCO) application to the impaired skin integrity area. The intervention applied twice a day and has been carried out for 3 days. The methodology used is the case study method. The results of the analysis showed that there was a decrease in the area of skin with xerosis which was indicated by a decrease in the overall dry skin score of 4 to 3 and the family was able to perform skin care independently. The recommendation from this case study is application of VCO can be a supporting therapy as an effort to overcome impaired skin integrity in xerosis conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deta Annisa Nalayani
"ABSTRAK
SLE atau lupus yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah di perkotaan. Perjalanan penyakit SLE/lupus yang bersifat episodik berulang yang diselingi periode sembuh membuat klien merasakan kecemasan dan ketidakberdayaan yang diakbatkan dari kondisi penyakitnya. Karya ilmiah akhir ners ini akan menganalisis mengenai asuhan keperawatan masalah ketidakberdayaan dan ansietas pada klien dengan penyakit SLE/lupus selama 4 hari. Tindakan keperawatan bertujuan untuk mengontrol perasaan tidak berdaya dengan membuat klien mampu mengambil keputusan yang efektif untuk mengendalikan situasi kehidupannya serta untuk mengeatasi kecemasan. Hasil evaluasi yang dilakukan terlihat dalam keseharian klien selama klien mendapatkan perawatan, klien menunjukkan perkembangan dan berkurangnya tanda gejala masalah tersebut.Dibutuhkan upaya seperti menjaga keefektifan koping, mengurangi/menjauhi stres, dan sistem dukungan support system yang baik dari lingkungan di sekitar klien untuk membantu klien untuk mengurangi masalah terutama masalah psikososial yang dirasakan klien. Kata Kunci :Ansietas, asuhan keperawatan, ketidakberdayaan, sistemik lupus eritematosus SLE /lupus

ABSTRACT
SLE /lupus is not contagious diseases which prevalence increases each year and causing a problem especially in urban areas. The course of episodic SLE / lupus disease recurrent interspersed with periods of recovery makes the client feel the anxiety and powerlessness implied by the condition of the illness. This final paper will analyze the nursing care of powerlessness and anxiety in clients with SLE / lupus disease for 4 days. Nursing actions aim to control feelings of powerlessness by allowing clients to make effective decisions to control their life situations and to overcome anxiety. The results of evaluations made visible in the client 39;s daily life as long as the client gets treatment, the client shows the development and decrease of symptoms of the problem. It takes efforts such as maintaining the effectiveness of coping, reducing / avoiding stress, and a good support system from the environment around the client to help clients reducing the problem, especially the psychosocial problems felt by the client. Keywords: Anxiety, nursing care, powerlessness, systemic lupus erythematosus SLE /lupus."
2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Suciani
"Penderita Lupus jumlahnya bertambah setiap tahun. Penyakit yang dikenal dengan penyakit seribu wajah ini sulit didiagnosis karena gejala-gejala yang muncul tidak spesifik dan berbeda di setiap individu, sehingga diagnosisnya terkadang terlambat. Masalah fisik yang ditimbulkan oleh penyakit lupus tentu dapat mempengaruhi kesehatan jiwa karena penyakit yang tidak dapat diprediksi, bersifat episodik, dan harus dihadapi sebagian besar dalam hidup penderitanya. Masalah psikosial yang dapat muncul pada klien dengan lupus salah satunya adalah keputusasaan. Hal ini disebabkan karena pengobatan yang lama, vonis seumur hidup, beragam gejala yang muncul menyebabkan perasaan depresi, kecemasan yang pada akhirnya timbul rasa putus asa. Karya ilmiah melaporkan analisis masalah dan intervensi keperawatan psikososial keputusasaan. Evaluasi akhir menunjukkan terjadinya peningkatan harapan dan perilaku berpikir positif. Pengembangan dan implementasi asuhan keperawatan psokososial keputusasaan perlu diterapkan di ruang rawat umum, lebih khususnya bagi klien dengan penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE).

Lupus patients increase every year. The disease is known as a thousand face disease is difficult to diagnose because the symptoms that appear not specific and different in each individual, so the diagnosis is delayed. The physical problems caused by lupus disease can certainly affect mental health due to unpredictable illness, because it is episodic, and must live mostly in the life of the sufferer. Psychocial problems that can arise in clients with lupus is hopelessness. This is due to long treatment, life sentence, various symptoms that arise due to depression, anxiety that eventually arise despair. Scientific work results analysis and psychosocial nursing psychosocial intervention for hopelessness. Final evaluation shows improvement that increase hope and positive behaviour. Development and implementation of psychosocial nursing care desperation needs to be applied in the general outpatient room, more specifically for clients with Systemic Lupus Erythematosus disease (SLE).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dyvia Mega
"Pemantauan cairan merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dilakukan pada semua pasien COVID-19, terutama yang memiliki risiko dan masalah keseimbangan cairan seperti acute kidney injury (AKI). Intervensi ini menjadi krusial karena balans cairan pasien dapat mempengaruhi status oksigenasi pasien COVID-19. Sebuah kasus pasien laki-laki berusia 62 tahun yang dirawat di ruang rawat inap isolasi COVID-19, dengan COVID-19 terkonfirmasi derajat sedang disertai penyakit penyerta hipertensi dan diabetes melitus, serta mengalami komplikasi AKI, menjelaskan bagaimana hasil pemantauan cairan menjadi data awal kecurigaan perawat bahwa pasien mengalami masalah ketidakseimbangan cairan setelah status oksigenasinya semakin menurun. Pada akhir perawatan pasien mengalami perburukan kondisi karena fungsi ginjal yang terus menurun. Intervensi pemantauan cairan dapat dilakukan secara mandiri oleh perawat, dan secara kolaboratif dimana hasilnya dapat digunakan dalam mengevaluasi status oksigenasi dan kebutuhan terapi oksigen pasien, menentukan kebutuhan terapi cairan, dan mengevaluasi penggunaan diuretik sebagai upaya mencapai keseimbangan cairan pasien. Melalui hasil pemantauan cairan, perawat seharusnya bisa memberikan tanda peringatan kemungkinan kejadian AKI lebih awal pada pasien.

Fluid monitoring is one of the interventions carried out in all COVID-19 patients, especially those who have risks and fluid balance problems such as acute kidney injury (AKI). This intervention is crucial because the patient's fluid balance can affect the impaired oxygenation status in COVID-19 patients. A case of a 62-year-old male patient who was treated in an inpatient COVID-19 isolation ward, with a confirmed moderate degree of COVID-19 accompanied by comorbidities of hypertension and diabetes mellitus, as well as experiencing complications of AKI, explained how fluid monitoring is the initial data for suspicion that the patient has fluid imbalance after his oxygenation status has decreased. At the end of treatment, the patient's condition worsened due to declining kidney function. Fluid monitoring interventions can be carried out independently by nurses, and collaboratively where the results can be used in evaluating the patient's oxygenation status and oxygen therapy needs, determining the need for fluid therapy, and evaluating the use of diuretics as an effort to achieve patient fluid balance. Through the results of fluid monitoring, nurses should be able to provide warning signs of possible AKI events earlier in patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dyvia Mega
"Pemantauan cairan merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dilakukan pada semua pasien COVID-19, terutama yang memiliki risiko dan masalah keseimbangan cairan seperti acute kidney injury (AKI). Intervensi ini menjadi krusial karena balans cairan pasien dapat mempengaruhi status oksigenasi pasien COVID-19. Sebuah kasus pasien laki-laki berusia 62 tahun yang dirawat di ruang rawat inap isolasi COVID-19, dengan COVID-19 terkonfirmasi derajat sedang disertai penyakit penyerta hipertensi dan diabetes melitus, serta mengalami komplikasi AKI, menjelaskan bagaimana hasil pemantauan cairan menjadi data awal kecurigaan perawat bahwa pasien mengalami masalah ketidakseimbangan cairan setelah status oksigenasinya semakin menurun. Pada akhir perawatan pasien mengalami perburukan kondisi karena fungsi ginjal yang terus menurun. Intervensi pemantauan cairan dapat dilakukan secara mandiri oleh perawat, dan secara kolaboratif dimana hasilnya dapat digunakan dalam mengevaluasi status oksigenasi dan kebutuhan terapi oksigen pasien, menentukan kebutuhan terapi cairan, dan mengevaluasi penggunaan diuretik sebagai upaya mencapai keseimbangan cairan pasien. Melalui hasil pemantauan cairan, perawat seharusnya bisa memberikan tanda peringatan kemungkinan kejadian AKI lebih awal pada pasien.

Background: Fluid monitoring is one of the interventions carried out in all COVID-19 patients, especially those who have risks and fluid balance problems such as acute kidney injury (AKI). This intervention is crucial because the patient's fluid balance can affect the impaired oxygenation status in COVID-19 patients. Case Illustration: A case of a 62-year-old male patient who was treated in an inpatient COVID-19 isolation ward, with a confirmed moderate degree of COVID-19 accompanied by comorbidities of hypertension and diabetes mellitus, as well as experiencing complications of AKI, explained how fluid monitoring is the initial data for suspicion that the patient has fluid imbalance after his oxygenation status has decreased. At the end of treatment, the patient's condition worsened due to declining kidney function. Discussion: Fluid monitoring interventions can be carried out independently by nurses, and collaboratively where the results can be used in evaluating the patient's oxygenation status and oxygen therapy needs, determining the need for fluid therapy, and evaluating the use of diuretics as an effort to achieve patient fluid balance. Conclusion: Through the results of fluid monitoring, nurses should be able to provide warning signs of possible AKI events earlier in patients"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Gunawan
"Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic excacerbative autoimmune disease with wide clinical spectrum. Gastrointestinal manifestasion is a frequent clinical manifestasion seen in SLE. Management with glucocorticoid and non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) can mask the gastrointestinal symptoms in patient with SLE. One of the etiologies of gastrointestinal manifestations in SLE is acute appendicitis. Patients with acute appendicitis usually have abdominal pain as its chief complaint. The pathophysiology of acute appendicitis can occur primarily from SLE and secondary from other causes eg: infection, inflammation, etc. When a SLE patient has acute appendicitis as its initial assessment, determining its etiology is pivotal to give comprehensive management and preventing life-threatening complications.

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun kronis eksaserbatif dengan manifestasi klinis yang sangat beragam. Manifestasi gastrointestinal merupakan manifestasi yang sering dijumpai namun dapat terjadi efek masking oleh karena penggunaan obat-obatan untuk mengontrol penyakitnya seperti obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dan kortikosteroid. Appendisitis akut merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada penderita LES. Patofisiologi appendisitis akut dapat terjadi primer oleh aktivitas penyakitnya maupun sekunder oleh sebab lain. Membedakan etiologi appendisitis akut perlu dilakukan untuk memberikan tatalaksana yang komprehensif pada penderita dengan LES."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:4 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yublina Septiani
"Salah satu penyakit tidak menular yang mengancam masyarakat perkotaan adalah systemic lupus erythematosus. Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun dimana sistem imun memproduksi autoantibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri dan menyebabkan kerusakan pada organ yang diserang. Penyakit ini dapat menimbulkan masalah psikososial ketidakberdayaan karena systemic lupus erythematosus tidak dapat disembuhkan dan bersifat periodik. Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan ketidakberdayaan pada klien yang mengalami systemic lupus erythematosus. Evaluasi hasil implementasi menunjukkan berkurangnya tanda dan gejala ketidakberdayaan yang dialami klien.
Systemic lupus erythematosus is one of non-communicable disease that threaten urban communities. Systemic lupus erythematosus is autoimune disease where immune system produces autoantibodies that attack it own body tissues and cause damage to the organ. This disease can evoke psychosocial problem that is powerlessness because systemic lupus erythematosus can not be cured and periodic. The purpose of this Paper is to describe nursing care of powerlessness in patient with systemic lupus erythematosus. Evaluation of the results of implementation shows that there is a slight decrease in the signs and symptoms of powerlessness that occured on the client. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wicaksono Narendro Utomo
"Latar Belakang : Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi luas yang melibatkan hampir seluruh sistem organ. Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun. Manifestasi klinik LES beragam tergantung organ yang terlibat. Risiko kematian pada pasien LES meningkat apabila tidak terdiagnosis dan tidak ditangani secara tepat.
Tujuan : Mengetahui kesintasan pasien LES di RSCM beserta faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dari pasien yang terdiagnosis LES pertama kali pada tahun 2014-2019 di RSCM. Dilakukan analisis survival terhadap usia, jenis kelamin, anemia hemolitik, trombositopenia, NPSLE, anti ds-DNA tinggi, C3 dan C4 rendah, penggunaan
glukokortikoid dosis tinggi, limfopenia, Anti Cardiolipin Antibody ( ACA ) positif, penyakit kardiovaskular, dan nefritis lupus. Dilakukan analisis multivariat dengan cox regression.
Hasil: Terdapat 448 subjek yang diteliti. Kesintasan lima tahun pasien LES di RSCM adalah 88%. Rerata kesintasan 56 bulan (IK95% 55-57). Pada analisis multivariat, ditemukan bahwa NPSLE [HR 3,595 (IK95% 1,932-6,688)], kadar C3 dan C4 rendah [HR 2,501 (IK95% 1,330-4,701)], penyakit kardiovaskuler [HR 2,851 (IK95% 1,198-6,787)], dan anemia hemolitik [HR 2,106 (IK95% 1,008-4,404)] berpengaruh signifikan terhadap kesintasan 5 tahun pasien LES.
Kesimpulan: Kesintasan kumulatif 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dengan neuropsikiatri lupus (NPSLE), kadar C3 dan C4 rendah, penyakit kardiovaskuler, dan anemia hemolitik berpengaruh signifikan terhadap kesintasan pasien LES di RSCM.

Background : Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is an autoimmune rheumatic disease characterized by widespread inflammation involving almost all organ systems. This disease attacks young women with a peak incidence aged 15-40 years. The clinical manifestations of SLE vary depending on the organs involved. The risk of death in SLE patients increases if it is not diagnosed and treated appropriately.
Objective : knowing the survival of SLE patients at RSCM along with the factors that influence survival.
Methods : This study is a retrospective cohort study using medical record data from patients diagnosed with SLE for the first time in 2014-2019 at RSCM. Survival analysis was carried out on age, gender, hemolytic anemia, trombocytopenia, NPSLE, high anti ds-DNA, low C3 and C4, use of high doses of glucocorticoids, lymphopenia, positive Anti-Cardiolipin Antibody (ACA), cardiovascular disease, and lupus nephritis. Multivariate analysis with cox
regression was carried out.
Results : There were 448 subjects studied. The 5 year survival of SLE patients at RSCM is 88%. Mean survival time 56 months (95%CI 55-57). In the multivariate analysis, it was found that NPSLE [HR 3,595 (95%CI 1,932-6,688)], low C3 dan C4 [HR 2,501 (95%CI 1,330-4,701)], cardiovascular disease [HR 2,851 (95% CI 1,198-6,787 )], dan hemolytic anemia [HR 2,106 (95% CI 1,008-4,404)] had a significant effect on 5 year SLE survival.
Conclusion : The 5 year survival cumulative of SLE patients at RSCM is 88% with neuropsychiatric lupus (NPSLE), low C3 dan C4, cardiovascular disease, dan hemolytic anemia have a significant effect on the survival of SLE patients at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maula Utrujah
"Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronis yang dapat dirasakan oleh pasien dengan SLE seumur hidup. Manifestasi klinis dari SLE berbeda-beda pada tiap individu, sehingga dibutuhkan perawatan yang tepat agar komplikasi yang parah dapat diminimalisasi. Discharge planning merupakan solusi untuk perawatan anak ketika sudah pulang ke rumah. Discharge planning bertujuan untuk memberikan  pembekalan perawatan di rumah sehingga orangtua atau keluarga dapat merawat pasien secara mandiri. Karya Ilmiah ini ditulis dengan tujuan memberikan informasi tentang hasil implementasi discharge planning pada anak dengan SLE. Metode yang digunakan untuk oenulisan karya ilmiah ini menggunakan studi kasus pada anak dengan SLE yang diberikan intervensi discharge planning sejak pasien pertama kali masuk dan dilakukan pemantauan selama lima hari  dengan pemberian asuhan keperawatan. Hasil discharge planning menunjukkan peningkatan keterampilan orangtua dan keluarga dalam merawat anak dengan SLE yang dibuktikan dengan hasil observasi selama masa perawatan. Sehingga, discharge planning tepat digunakan untuk pasien dengan SLE dalam perawatan lanjutan di rumah sehingga pasien dengan SLE dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan mencegah kejadian eksaserbasi berat dan komplikasi yang parah. Discharge planning yang dilakukan memberikan dampak yang positif bagi pasien dan keluarga.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic disease. Clinical manifestations of SLE vary in each, so proper care is needed so that severe complications can be minimized. Discharge planning is a solution for childcare when they have returned home. Discharge planning aims to provide debriefing at home so parents or families can take care of patients independently. This Scientific Work was written to provide information about the results of discharge planning implementation in children with SLE. The method used for writing scientific papers uses case studies on children with SLE who are given discharge planning intervention since the patient first entered and monitored for five days with the provision of nursing care. The discharge planning results show an increase in parental and family skills in caring for children with SLE as evidenced by the results of observation during the treatment period. Thus, discharge planning is appropriate for patients with SLE in continuing care at home so that patients with SLE can improve their quality of life and prevent severe exacerbations and complications. Discharge planning carried out had a positive impact on patients and families.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>