Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164142 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Deta Annisa Nalayani
"ABSTRAK
SLE atau lupus yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah di perkotaan. Perjalanan penyakit SLE/lupus yang bersifat episodik berulang yang diselingi periode sembuh membuat klien merasakan kecemasan dan ketidakberdayaan yang diakbatkan dari kondisi penyakitnya. Karya ilmiah akhir ners ini akan menganalisis mengenai asuhan keperawatan masalah ketidakberdayaan dan ansietas pada klien dengan penyakit SLE/lupus selama 4 hari. Tindakan keperawatan bertujuan untuk mengontrol perasaan tidak berdaya dengan membuat klien mampu mengambil keputusan yang efektif untuk mengendalikan situasi kehidupannya serta untuk mengeatasi kecemasan. Hasil evaluasi yang dilakukan terlihat dalam keseharian klien selama klien mendapatkan perawatan, klien menunjukkan perkembangan dan berkurangnya tanda gejala masalah tersebut.Dibutuhkan upaya seperti menjaga keefektifan koping, mengurangi/menjauhi stres, dan sistem dukungan support system yang baik dari lingkungan di sekitar klien untuk membantu klien untuk mengurangi masalah terutama masalah psikososial yang dirasakan klien. Kata Kunci :Ansietas, asuhan keperawatan, ketidakberdayaan, sistemik lupus eritematosus SLE /lupus

ABSTRACT
SLE /lupus is not contagious diseases which prevalence increases each year and causing a problem especially in urban areas. The course of episodic SLE / lupus disease recurrent interspersed with periods of recovery makes the client feel the anxiety and powerlessness implied by the condition of the illness. This final paper will analyze the nursing care of powerlessness and anxiety in clients with SLE / lupus disease for 4 days. Nursing actions aim to control feelings of powerlessness by allowing clients to make effective decisions to control their life situations and to overcome anxiety. The results of evaluations made visible in the client 39;s daily life as long as the client gets treatment, the client shows the development and decrease of symptoms of the problem. It takes efforts such as maintaining the effectiveness of coping, reducing / avoiding stress, and a good support system from the environment around the client to help clients reducing the problem, especially the psychosocial problems felt by the client. Keywords: Anxiety, nursing care, powerlessness, systemic lupus erythematosus SLE /lupus."
2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maula Utrujah
"Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronis yang dapat dirasakan oleh pasien dengan SLE seumur hidup. Manifestasi klinis dari SLE berbeda-beda pada tiap individu, sehingga dibutuhkan perawatan yang tepat agar komplikasi yang parah dapat diminimalisasi. Discharge planning merupakan solusi untuk perawatan anak ketika sudah pulang ke rumah. Discharge planning bertujuan untuk memberikan  pembekalan perawatan di rumah sehingga orangtua atau keluarga dapat merawat pasien secara mandiri. Karya Ilmiah ini ditulis dengan tujuan memberikan informasi tentang hasil implementasi discharge planning pada anak dengan SLE. Metode yang digunakan untuk oenulisan karya ilmiah ini menggunakan studi kasus pada anak dengan SLE yang diberikan intervensi discharge planning sejak pasien pertama kali masuk dan dilakukan pemantauan selama lima hari  dengan pemberian asuhan keperawatan. Hasil discharge planning menunjukkan peningkatan keterampilan orangtua dan keluarga dalam merawat anak dengan SLE yang dibuktikan dengan hasil observasi selama masa perawatan. Sehingga, discharge planning tepat digunakan untuk pasien dengan SLE dalam perawatan lanjutan di rumah sehingga pasien dengan SLE dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan mencegah kejadian eksaserbasi berat dan komplikasi yang parah. Discharge planning yang dilakukan memberikan dampak yang positif bagi pasien dan keluarga.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic disease. Clinical manifestations of SLE vary in each, so proper care is needed so that severe complications can be minimized. Discharge planning is a solution for childcare when they have returned home. Discharge planning aims to provide debriefing at home so parents or families can take care of patients independently. This Scientific Work was written to provide information about the results of discharge planning implementation in children with SLE. The method used for writing scientific papers uses case studies on children with SLE who are given discharge planning intervention since the patient first entered and monitored for five days with the provision of nursing care. The discharge planning results show an increase in parental and family skills in caring for children with SLE as evidenced by the results of observation during the treatment period. Thus, discharge planning is appropriate for patients with SLE in continuing care at home so that patients with SLE can improve their quality of life and prevent severe exacerbations and complications. Discharge planning carried out had a positive impact on patients and families.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Sri Indah Gunarti
"ABSTRAK
Systemic Lupus Erythematosus SLE adalah penyakit autoimun, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang organ tubuh sendiri. Orang dengan Lupus Odapus mengalami berbagai perubahan secara fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis yang menyebabkan mereka memiliki penghayatan akan penyakit yang dimiliki, atau disebut juga illness cognition. Penghayatan ini mempengaruhi kognisi Odapus dalam memandang penyakit dan mempengaruhi perilaku kesehatan serta coping akan permasalahan yang disebabkan oleh SLE. Penelitian bertujuan untuk mengubah illness cognition Odapus terkait penyakit SLE yang dimiliki. Penelitian merupakan penelitian kuasi-eksperimental dengan one group pretest-posttest design. Kelompok terdiri dari lima orang yang diperoleh lewat accidental sampling. Partisipan mengikuti lima kali sesi individual serta satu kali pra-sesi dan satu kali sesi follow-up. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan data kuantitatif menggunakan adaptasi alat ukur Illness Cognition Questionnaire ICQ serta data kualitatif tentang perubahan kognitif, perilaku, dan strategi pemecahan masalah sebelum dan sesudah mengikuti intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi kognitif-perilaku dapat meningkatkan illness cognition pada Odapus. Partisipan dapat menerima penyakit SLE sebagai bagian dari hidupnya, menghayati adanya berbagai hal positif dari penyakit SLE, dan memiliki harapan serta dapat melakukan kontrol terhadap berbagai keterbatasan yang diakibatkan oleh penyakit SLE. Pada akhirnya, partisipan dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh penyakit SLE secara lebih efektif.

ABSTRACT
Systemic Lupus Erythematosus SLE is autoimmune disease which the immune system damage their own body. Patient with SLE experience change in physical, economic, social, and psychology that caused a perception to their own disease, called illness cognition. This perception influence patient rsquo s cognition about their disease and predispose their health behavior and coping problem related to their disease. This study aimed to identify effectiveness of cognitive behavior therapy to change illness cognition patient about SLE. This was quasi experimental study conducted with one group pre test post test design. Group consisted of five participant recruited through accidental sampling. Participants participated in five individual sessions, preceded by a pre session and followed by a follow up session. Analysis was conducted by comparing quantitative data obtained by Indonesian adaptation of Illness Cognition Questionnaire ICQ and qualitative data showing changes in participants rsquo cognition, behavior, and problem solving before and after the intervention took place. This study showed that cognitive behavior therapy can successfully enhance illness cognition in patient with SLE. Participants may receive SLE disease as a part of their life, appreciate many positive things of SLE, have hope also can control various limitations caused by SLE. Participants can improve their ability to coping with problem related to SLE more effectively."
2018
T49079
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemala Emrizal
"Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE), an autoimmune disease, can cause damage and impairment in the nervous system. Patients who had any manifestation of neurology can be classified as patients with Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus (NPSLE). One of the most frequent NPSLE manifestation is anxiety disorder. The presence of anxiety disorder is believed to be correlated with their ability to carry out daily activities. This study aims to see the correlation between anxiety disorder and quality of life (QOL) in patients with SLE. Method: an analitic cross-sectional study was done. The data were collected by distributing validated questionnaires to patients diagnosed with SLE in the outpatient clinic of dr. Hasan Sadikin General Hospital. Quality of life and anxiety disorder was measured using Short From-36 (SF-36) and Zung Self-Rating Anxiety Scale (Zung-SAS), respectively. Normality test was done before correlating the variables using Pearson method. Result: Forty-six SLE patients fitted with the inclusion criteria were participated in the study. The assessment using Zung-SAS showed that 9 (19.56%) correspondents had mild–moderate anxiety, and 1 (2.17%) had severe anxiety. The analysis of SF-36 showed the means of Physical Component Summary (PCS) and Mental Component Summary (MCS) which were 45.18 ± 8.23 and 47.11± 9.78, in order. The correlation test of Zung-SAS with PCS and MCS showed the result of r= -0.651 (p < 0,01) and -0.654 (p < 0,01), respectively. Conclusion: There is a significant negative correlation between anxiety disorder and QOL in patients with SLE. The result of this study showed that the high degree of ones anxiety was in a parallel line with their low level of QOL, so it is important to do an early detection and prevention of anxiety disorder in SLE patients."
Jakarta: University of Indonesia School of Medicine, 2019
616 IJR 11:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Amira Tjandrasari
"LES merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dan banyak terjadi pada  anak remaja dengan rata-rata onset usia 11-12 tahun. Sekitar 10% dari remaja dengan penyakit kronis seperti LES mengalami masalah psikososial, termasuk masalah emosi seperti depresi dan kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelatihan kecakapan hidup pada anak dengan LES dapat memperbaiki masalah emosi. Penelitian dilakukan dengan 30 subjek remaja perempuan dengan LES yang sudah mendapatkan pengobatan, dan nilai SLEDAI 0-5. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak tanpa penyamaran, perlakuan dan kontrol.  Pelatihan kecakapan hidup diberikan pada kelompok perlakuan sebanyak 1 kali dalam kelas. Perbaikan masalah emosi dinilai dengan membandingkan nilai SDQ sebelum pelatihan dan 4 minggu setelah pelatihan. Penelitian melibatkan 30 remaja perempuan dengan LES dengan usia rerata 14 tahun. Sebanyak 20/30 subjek memiliki nilai SDQ normal, 4/30 dengan SDQ borderline dan 6/30 dengan SDQ abnormal. Terdapat perbedaan bermakna selisih masalah emosi pada kedua kelompok (p: 0,025; effect size: 0,87). Pada kelompok yang mendapatkan pelatihan terdapat perbaikan nilai SDQ total (p: 0,001), nilai masalah emosi (p: 0,002), nilai masalah perilaku (p: 0,027) dan nilai masalah perilaku hiperaktif (p: 0,040) dibandingkan dengan awal studi. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya terdapat perubahan nilai masalah dengan teman sebaya (p: 0,011). Selain itu ditemukan pula perbaikan masalah emosi pada kelompok pelatihan yakni keluhan sakit fisik (p: 0,021), rasa khawatir (p: 0,020) dan perasaan gugup (p: 0,020). Studi ini menyimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup-modul pengelolaan emosi efektif dalam memperbaiki masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES secara signifikan, terutama gugup atau sulit berpisah dengan orangtua/pengasuhnya pada situasi baru, mudah kehilangan rasa percaya diri dan banyak kekhawatiran atau sering tampak khawatir.

SLE is a chronic autoimmune inflammatory disease and many occur in adolescents with an average age of onset of 11-12 years. About 10% of adolescents with chronic diseases such as SLE experience psycho-mental problems, including emotional problems such as depression and anxiety. The aim of this study is to determine whether life skills training in children with SLE can improve emotional problems. The study was conducted with 30 female adolescent with SLE who had received treatment and SLEDAI score 0-5. Subjects were divided into 2 groups randomly, not-blinding, experiment and control. Life skills training is given to the experiment group one time in group. Emotional problem improvement was assessed by comparing SDQ scores before training and 4 weeks after training. The study involves a total of 30 female adolescent with SLE with an average age of 14 years. A total of 20/30 subjects had normal SDQ values, 4/30 with borderline SDQ and 6/30 with abnormal SDQ. There were significant differences in the difference between emotional problems in the two groups (p: 0.025; effect size: 0.87). In the group that received training there was an improvement in the total SDQ value (p: 0.001), the value of emotional problems (p: 0.002), the value of conductive problems (p: 0.027) and the value of hyperactive behavior problems (p: 0.040) compared to the beginning of the study. Whereas in the control group there were only changes in the value of problems with peers (p: 0.011). In addition it also found improvements in emotional problems in the experiment group, they are complaints of physical pain (p: 0.021), anxiety (p: 0.020) and nervous feelings (p: 0.020). This study concludes that life skills training-emotion management module is significantly effective in improving emotional problems in female adolescent with LES, especially nervous or having difficulty separating from parents/caregivers in new situations, easily losing self-confidence and many worries or often seems worried."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanah Suzan
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien lupus eritematosus sistemik perempuan usia dewasa.
Metode: Peneltian ini merupakan penelitian potong lintang pada 36 pasien SLE perempuan dewasa dari Poliklinik Reumatologi di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data subyek meliputi usia, klasifikasi penyakit SLE, obat-obatan yang digunakan, tipe kulit, penggunaan tabir surya, bagian tubuh yang tertutup pakaian, lama terpajan sinar matahari, indeks massa tubuh (IMT), asupan vitamin D, dan kadar 25(OH)D serum.
Hasil: Sebagian besar (41,7%) subyek berusia antara 36–45 tahun, tergolong klasifikasi SLE ringan (52,8%), selalu menggunakan tabir surya (63,9%), tipe kulit IV (69,4%), dan memakai pakaian yang menutupi seluruh/sebagian besar tubuh (69,4%), serta tidak terpajan dan terpajan sinar matahari <30 menit (77,8%). Semua subyek menggunakan kortikosteroid. Separuh subyek memiliki berat badan normal berdasarkan IMT, sebagian besar (55,6%) subyek mempunyai asupan vitamin D cukup berdasarkan AKG 2012, dan 28 subyek (77,8%) menderita defisiensi vitamin D ( kadar 25(OH)D serum <50 nmol/L). Didapatkan korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada subyek penelitian (r = 0,52; P <0,01).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien SLE perempuan dewasa (r = 0,52; P <0,01).

Objective: the aim of the study is to investigate the correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 36 adult woman patients with SLE from Rheumatology Clinic of the Departemen of Internal Medicine Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Data collection included age, SLE classification, drugs, skin type, use of sunscreen, part of the body covered by clothes, length of sun exposure, body mass index (BMI), vitamin D intake, and serum 25(OH)D concentration.
Results: Most of the subjects (41.7%) aged 36–45 years old, classified as mild SLE (52.8%), always used sunscreen (63.9%), skin type IV (69.4%), wearing clothes that covered all or almost of the body (69.4%), and not exposed or had sun exposure less than 30 minute (77.8%). All subjects used corticosteroid. Based on BMI half of the subjects had normal body weight, Based on AKG 2012 most (55.6%) had adequate vitamin D intakes, and 28 subjects (77.8%) were in vitamin D-deficient (serum 25(OH)D concentration <50 nmol/L). There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration in subjects (r = 0.52; P <0.01).
Conclusion: There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients (r = 0.52, P <0.01).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rike Triana
"Kerusakan intrarenal pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Acute Kidney Injury (AKI) menyebabkan zat sisa metabolisme tidak dapat terbuang melalui urin serta terjadi kelebihan cairan. Terapi farmakologi seperti kortikosteroid dan imunosupresan turut memperparah overload cairan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi manajemen cairan pada pasien SLE dengan komplikasi AKI terhadap masalah overload cairan. Manajemen cairan yang dilakukan pada pasien meliputi restriksi cairan; pemantauan asupan dan keluaran cairan; tekanan darah, edema dan asites, nilai laboratorium: ureum, kreatinin dan albumin; edukasi manajemen cairan serta kolaborasi pemberian diuretic dan albumin. Hasil intervensi menunjukkan balans cairan mencapai target (-) 1000 cc, asites berkurang dengan penurunan lingkar abdomen dari 105 menjadi 84 cm, adanya perbaikan fungsi ginjal dengan penurunan ureum kreatinin, pengetahuan pasien terkait pentingnya restriksi cairan meningkat dan pasien menunjukkan penerimaan terhadap perawatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid dan imunosupresan pada pasien SLE harus disertai dengan intervensi manajemen cairan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan intervensi manajemen cairan untuk dilakukan pada pasien SLE dengan komplikasi acute kidney injury.


Intrarenal damage in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with complicated Kidney Injury (AKI) causes metabolic waste substances to not be wasted through urine and excess fluid occurs. Pharmacological therapies such as corticosteroids and immunosuppressants also contribute to fluid overload. This study aims to analyze fluid management in SLE patients with complications of AKI to overcome fluid overload. Fluid management performed on patients includes fluid restriction; monitoring fluid intake and output; blood pressure, edema and ascites, laboratory values: urea, creatinine and albumin; fluid management education and collaboration in the administration of diuretics and albumin. The results of the intervention showed that the fluid balance reached the target (-) 1000 cc, ascites decreased with a decrease in the abdominal circumference of 105 to 84 cm, an improvement in kidney function with a decrease in creatinine ureum, the patient's knowledge regarding the importance of fluid restriction increased and the patient showed acceptance of treatment. These results indicate that corticosteroid therapy and immunosuppressants in SLE patients must be accompanied by fluid management interventions. Therefore, the authors recommend fluid management interventions to be performed in SLE patients with complications of acute kidney injury."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fadilah
"Kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal pada anak pengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) mengakibatkan penumpukan produk sisa-sisa metabolisme yang disebut uremia. Komplikasi ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit berupa kulit kering (xerosis) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menimbulkan infeksi lebih lanjut. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak pengidap SLE dengan komplikasi CKD dan menganalisis penerapan intervensi pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) pada masalah gangguan integritas kulit. Intervensi diterapkan sebanyak dua kali dalam sehari dan dilakukan selama 3 hari. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas kulit yang mengalami xerosis yang ditandai dengan penurunan nilai overall dry skin score dari 4 menjadi 3 dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit secara mandiri. Rekomendasi dari studi kasus ini adalah diharapkan pemberian VCO dapat menjadi terapi penunjang sebagai upaya untuk mengatasi gangguan integritas kulit pada kondisi xerosis.

Structural damage and decreased kidney function in children with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with the Chronic Kidney Disease (CKD) complication caused accumulation of metabolic waste products called uremia. This complication resulted in impaired skin integrity in the form of dry skin (xerosis) which can affect the patient's quality of life and lead to further infection. This scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with SLE with complication of CKD and to analyze the intervention of Virgin Coconut Oil (VCO) application to the impaired skin integrity area. The intervention applied twice a day and has been carried out for 3 days. The methodology used is the case study method. The results of the analysis showed that there was a decrease in the area of skin with xerosis which was indicated by a decrease in the overall dry skin score of 4 to 3 and the family was able to perform skin care independently. The recommendation from this case study is application of VCO can be a supporting therapy as an effort to overcome impaired skin integrity in xerosis conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Hardaningsih
"Latar belakang: Lupus eritematosus sistemik LES) merupakan kelainan autoimun sistemik kronik yang dapat melibatkan susunan saraf pusat sehingga terjadi gangguan neurokognitif yang memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual. Berbagai marker biologis terkait penyakit LES dapat memegaruhi fungsi neurokognitif.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kecerdasan intelektual anak dengan LES dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Studi potong lintang terhadap 62 anak usia 7-18 tahun dengan LES. Pemilihan subyek secara consecutive sampling mulai September-Desember 2019. Tingkat kecerdasan intelektual ditetapkan dengan Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV melalui penilaian Intelligence Quotient (IQ). Analisa korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan kadar hemoglobin terhadap IQ dilakukan uji korelasi Spearman. Analisa bivariat marker autoantibodi antiphospholipid syndrome (APS) terhadap IQ dilakukan dengan uji Chi Square.
Hasil: Prevalens subjek dengan IQ di bawah rata-rata (IQ<90) sebesar 73%. Nilai rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES secara berurutan adalah 85,02 ; 84,37 dan 83,11. Hasil korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, IMT dan kadar hemoglobin terhadap IQ total secara berurutan r=-0,029; r=-0,063; r=0,03; r=0,014; r=0,108 dengan P>0,05). Proporsi marker autoantibodi APS terhadap IQ verbal, IQ performa dan IQ total dibawah rata-rata dibandingkan rata-rata tidak berbeda bermakna secara berurutan p=0.18; p=0,57; dan p=0.854.
Kesimpulan: Rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES di bawah nilai normal. Lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, marker autoantibodi APS, IMT dan kadar hemoglobin pada LES tidak memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual.

Background: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic systemic autoimmune disorder that can involve central nervous system resulting in neurocognitive disorder that affect the level of intellectual intelligence. Various biological markers associated with LES can influence neurocognitive function. Objective: This study was conducted to determine the level of intellectual intelligence of children with LES and the factors that influence it. Method: A cross-sectional study was conducted on 62 children aged 7-18 years with SLE by consecutive sampling from September to December 2019. The level of intellectual intelligence was determined by the Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV with an Intelligence Quotient (IQ) level. Correlation of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, body mass index (BMI) and hemoglobin level to IQ was analyzed by Spearman test. Bivariate analysis autoantibody markers of antiphospholipid syndrome (APS) on IQ was performed with Chi Square test. Result: The prevalence of IQ below average (IQ < 90) was 73%. Mean value of verbal, performance and full IQ were 85.02 ; 84.37 and 83.11,respectively. The correlation results of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, BMI and hemoglobin level werent statistically significant to full IQ respectively (r =-0,029; r=-0,063; r=0.03; r=0.014; r=0.108 with p>0.05). The proportion of autoantibody markers of APS to verbal, performance and full IQ below average compared to average didt significantly difference (p=0.18; p=0.57; p=0.854, respectively). Conslusion: Average of verbal, performance and full IQ in children with SLE is below normal level. Neither duration and activity of disease, cumulative dose of steroid, autoantibody markers of APS, BMI nor hemoglobin level are correlated to intellectual intelligence in children with SLE"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Bertyna Yulia M.
"Systemic lupus eryrhenzalasus (SLE) atau juga dikenal sebagai lupus adalah penyakit kronis yang melibatkan sistem kekebalan tubuh, di mana orang yang mengalaminya dapat menderita sejumlah gejala yang menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya. Para penderitanya sering disebut odapus atau orang dengan lupus. Secara khusus, wanita penderita lupus dapat mengalami kesulitan atau konflik ketika hendak memutuskan untuk memiliki anak. Konflik ini tezjadi karena penyakit yang dideritanya dapat menyebabkan ia sulit untuk mengandung. Jika wanita tersebut tetap memumskan untuk memiliki anak, maka risiko saat terjadirnya kehamilan harus segera dianlisipasi dengan ketat. Jika tidak, ia dapat mengalami keguguran. Sementara, jika wanita penderita lupus tidak mengandung atau memiliki anak, maka fungsi perkawinannya sebagai lembaga membangun keluarga dan keturunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa menimbulkan perasaan tidak puas atau rendah diri pada wanita karena tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga.
Tujuan dari penelilian ini adalah untuk Iungetahui gambaran pengambilau keputusan untuk memiliki anak pada wanita penderita SLE. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita penderita SLE yang berada dalam rentang 20-35 tahun (tahap perkembangan dewasa awal) dan sudah menikah. Penelilian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dianggap dapat menggali penghayatan subjek mengenai pengambilan keputusan untuk memiliki anak, Jumlah sampel yang digunakan adalah dua orang karena yang dipentingkan adalah penghayatan subjektifnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua subjek hanya melewati tahap 1, 2, dan 5 dalam proses pengambilan keputusan untuk memiliki anak. Mereka tidak lagi melewati tahap 3 dan 4. Sclain itu, terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak, yaitu pregfcrence, value, belief circumsrances, dan action. Terakhir, ditemukan bahwa kedua subjek mengalami konflik sewaktu mereka mengambil keputusan untuk memiliki anak, yakni adanya keinginan untuk menghindari akibat buruk dari SLE, yaitu keguguran atau gangguan pada bayi, dengan keinginan yang kuat untuk memiliki anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>