Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140982 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Febriana Sartika Sari
"Pasung merupakan bentuk pengekangan fisik atau kurungan yang dilakukan oleh masyarakat non professional pada ODGJ. Penanganan ODGJ paska pasung di ruang perawatan menjadi bagian penting dalam siklus perawatan. Tujuan penelitian adalah untuk mendiskripsikan secara mendalam penanganan orang dengan gangguan jiwa ODGJ paska pasung di ruang perawatan. Metode penelitian menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan multiple instrumental case study. Penelitian menggunakan 2 kasus dan partisipan sejumlah 11 partisipan dipilih dengan purposive sampling. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam kepada para tenaga kesehatan dan penelusuran dokumen-dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan 6 kategori dengan beberapa subategori yaitu, 1 Kondisi ODGJ paska pasung dengan gejala dominan adalah gejala negatif dan diagnosis keperawatan utamanya isolasi sosial dan defisit perawatan diri, 2 Penanganan ODGJ paska pasung dilakukan di tiap tahap perawatan dan membutuhkan intervensi keperawatan dengan frekuensi lebih banyak, 3 Burnout yang dialami perawat 4 Kendala yang dialami tenaga kesehatan meliputi kebijakan lama rawat dan standar prosedur operasional perawatan kurang efektif, dukungan keluarga tidak adekuat, perbedaan budaya menghambat komunikasi terapeutik, dan ketidakdisiplinan tenaga kesehatan dalam perawatan, 5 Kolaborasi tenaga kesehatan, dan 6 Harapan tenaga kesehatan. Kesimpulan penelitian ini adalah penanganan ODGJ paska pasung di ruang perawatan dilakukan secara kolaboratif namun belum optimal, masih banyak kendala. Sistem pelayanan kesehatan jiwa perlu ditingkatkan baik di rumah sakit maupun di komunitas.

Pasung is a physical restraint or confinement performed by non professional society for people with serious mental illness PWSMI .The treatment for PWSMI post pasung in the mental ward is an important part in the treatment cycle. The objective of the study was to describe the treatment for PWSMI post pasung in the mental ward. The methode of the study was qualitative using multiple instrumental case study approach. Purposive sampling was used to select the participants. Data were obtained by indepth interview with the health care provider and documents tracking. The study used 2 cases and the number of theparticipants in the study was11 participants.
The result of the study was described in six categories 1 The condition of PWSMI post pasung was dominant in negative symptom and the main nursing diagnosis were social isolation and self care deficit, 2 The treatment for PWSMI post pasung in each of the mental ward needed more nursing interventions, 3 Burnout was experienced by the nurse, 4 The obstacles in the treatment experienced by the health care provider were the policy of length of stay and standard operational procedur in treatment were not effective, inadequate of family support, the culture difference between the client dan the health care provider, and indicipline of the health care provider 5 The collaboration of the health care provider in the treatment, 6 The expectation of the health care provider. The conclusion of the study was the treatment for PWSMI post pasung in the mental ward conducted by the health care provider collaboratively was not optimal yet, there were many obstacles. The health care system especially in the mental ward and community had to be improved.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T46831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aty Nurillawaty Rahayu
"Rehabilitasi psikososial merupakan kegiatan pelayanan yang bertujuan mengembangkan keterampilan emosional, sosial, dan intelektual. Program rehabilitasi psikososial ini diterapkan pada orang dengan gangguan jiwa ODGJ paska pasung. Pasung merupakan bentuk pengekangan fisik atau kurungan yang dilakukan oleh masyarakat non profesional pada orang dengan gangguan jiwa. Pemasungan dapat menimbulkan berbagai dampak bagi ODGJ meliputi dampak fisik, psikologi, dan dampak sosial. Dampak pemasungan dapat mempengaruhi kemampuan adaptasi klien dalam mengikuti rehabilitasi psikososial. Tujuan penelitian kualitatif fenomenologi ini menggambarkan pengalaman ODGJ paska pasung dalam melakukan rehabilitasi psikososial di Panti Sosial Pala Martha Kota Sukabumi. Partisipan penelitian berjumlah 6 orang, data dikumpulkan dengan wawancara mendalam. Empat tema yang dihasilkan: Rendah diri sebagai respon awal rehab psikososial paska pasung, peningkatan kemampuan menjalani kehidupan sehari-hari selama rehabilitasi psikososial, peningkatan potensi diri setelah rehabilitasi psikososial, dan kemampuan aktualisasi diri paska rehabilitasi psikososial. Optimalisasi rehabilitasi psikososial diperlukan dalam mempersiapkan kemandirian dan produktivitas ODGJ.

Psychosocial rehabilitation is a service which aimed to develop emotional, social, and intellectual skills. This program applied for people with mental disorder PWMD who experienced physical restrain pasung . Pasung is a form of physical restrain or confinement conducted by non professional community towards person with mental disorder. Pasung may cause various effects on PWMD, including physical, psychological, and social effects. Pasung may impact on the client rsquo s adaptability in following psychosocial rehabilitation program. The objective of this qualitative phenomenological research was to describe the experience of PWMD post pasung conducting psychosocial rehabilitation in Pala Martha Social Retreat, Sukabumi. This number of the participant in the study was six PWMD. The data were collected by indepth interview. There result of the study was describe in four themes 1 Low self esteem as manifestation of psychosocial rehabilitation in PWMD post pasung, 2 The improvement of activity daily living of PWMD post pasung conducting psychological rehabilitation, 3 The improvement of self capacity after conducting psychosocial rehabilitation, 4 The improvement of self actualization after conducitng psychosocial rehabilitation. The optimalization of psychosocial rehabilitation was needed in order to prepare the independency and productivity of PWMD."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T47349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daulima, Novy Helena Catharina
Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2019
610 JKI 22:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kristianus Triyaspodo
"Kekerasan yang dialami oleh Orang dengan Gangguan Jiwa ODGJ membawa dampak psikologis yang sangat serius. Dampak psikologis tersebut mengakibatkan ODGJ mengalami kekambuhan sehingga angka prevalensi penderita gangguan jiwa terus meningkat.Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran pengalaman kekerasan yang dilakukan keluarga terhadap ODGJ pascarawat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif fenomenologi.
Hasil penelitian didapatkan enam tema, yaitu kurang pengetahuan keluarga sebagai penyebab kekerasan yang dialami oleh ODGJ, caregiver utama sebagai pelaku kekerasan terhadap ODGJ, kekerasan fisik mendominasi kekerasan yang dialami oleh ODGJ, ketidakberdayaan sebagai dampak kekerasan, distraksi sebagai mekanisme koping, dan keinginan ODGJ terbebas dari kekerasan.
Hasil penelitian merekomendasikan untuk perawat jiwa agar memberikan terapi kognitif kepada korban kekerasan, dan terapi psikoedukasi keluarga kepada pelaku kekerasan sehingga kekerasan terhadap ODGJ tidak kembali terulang.

The violence experienced by people with mental illness has a very serious psychological impact. These psychological impacts result in people with mental illness experiencing a recurrence so that the prevalence rate of mental illness continues to increase. The purpose of this study is to get an overview of experiences of family violence against people with mental illness post hospitalization. This research uses qualitative method with descriptive approach of phenomenology.
The results of the research are six themes, namely lack of family knowledge as the cause of violence, main caregiver as perpetrator of violence, physical violence dominates violence experienced by people with mental illness, powerlessness as impact of violence, distraction as coping mechanism, and desire free from violence.
The results of this study recommend for mental nurses to provide cognitive therapy to victims of violence, and family psychoeducation therapy to perpetrators of violence so that violence does not reoccur.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fariza Nur Latifa
"Skripsi ini membahas tentang manfaat pemberdayaan bagi penderita gangguan semangat dan tantangan serta faktor pendukung pemberdayaan di Unit Pelayanan Informasi Sosial, yang merupakan pilot project pelayanan rehabilitasi sosial berbasis masyarakat di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa penerima manfaat merasakan peningkatan dalam hal kemandirian, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk berintegrasi dalam masyarakat dari layanan rehabilitasi sosial yang diberikan oleh UILS Rumah Kita.

This thesis discusses the benefits of empowerment for people who suffer from impaired enthusiasm and challenges as well as supporting factors for empowerment in the Social Information Service Unit, which is a pilot project for community-based social rehabilitation services in Indonesia. This research is a qualitative research. The results of this study illustrate that the beneficiaries feel an increase in terms of independence, self-confidence, and ability to integrate into society from the social rehabilitation services provided by UILS Rumah Kita."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gobel, Ifada Salma Maghfirah Van
"Penelitian ini berlokasi di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa II Cipayung, dan bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk dukungan sosial dalam penerapan silabi yang membantu pemulihan personal ODGJ sebagai penerima manfaatnya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi dan studi literatur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat bentuk-bentuk dukungan sosial yang diberikan pada ODGJ melalui penerapan silabi yang mempermudah ODGJ dalam menghadapi pemulihan personal. Berbagai bentuk dukungan sosial membantu proses pemulihan yang dijalani penerima manfaat, terutama dalam meningkatkan kepercayaan diri, kemandirian, kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, serta pemahaman mengenai penyakitnya.

This research is located at the Cipayung Harapan Sentosa II Social Institution, and aims to describe forms of social support in the application of syllabus that help the personal recovery of ODGJ as its beneficiaries. This research is a descriptive study and uses qualitative methods. Data collection techniques are done through in-depth interviews, observation and literature studies.
The results show that there are forms of social support provided to ODGJ through the application of syllabi that makes it easy for ODGJ in the face of personal recovery. Various forms of social support help the recovery process that is carried out by the beneficiaries, especially in increasing self-confidence, independence, ability to interact and socialize with the surrounding environment, and understanding of the disease.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katuuk, Helly M.
"Pasung merupakan tindakan pengekangan secara fisik maupun pengurungan kepada orang dengan gangguan jiwa. Pemasungan berulang merupakan tindakan yang dilakukan keluarga akibat kekhawatiran keluarga terkait perilaku ODGJ yang membahayakan diri sendiri keterbatasan hendaya keluarga dalam perawatan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran tentang pengalaman keluarga dalam merawat ODGJ yang dilakukan pemasungan secara berulang. Metode penelitian adalah riset kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Partisipan penelitian berjumlah 10 orang, pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Analisis data dengan metode Colaizzi. Tiga tema yang dihasilkan : Pemenuhan rasa aman sebagai pemicu pasung berulang, Diferensiasi perawatan pada pasung berulang, Keterbatasan aktivitas keluarga sebagai dampak merawat ODGJ dengan pasung berulang. Perawatan pasung berulang memprioritaskan rasa aman dan nyaman ODGJ.

Pasung is an act of physical restraint and confinement to people with mental disorders. Recurring income is an action taken by people who are related to mental ill patient who are responsible for the family. The purpose of this research is how to find experience in treating mental ill patient which is done repeatedly. The research method is qualitative research with a phenomenological approach. Research participants monitored 10 people, entered data with in-depth interviews. Data analysis using the Colaizzi method. Three themes were generated: Fullfilment of security as triggering, Differentiation of treatments for re-pasung, Limitations of family activities as a caused of mental ill patient with re-pasung. Re-pasung treatment is to prioritizes the securities and comfort of mental ill patient."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T519230
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Billy Teviano
"Penelitian ini mengkaji tentang illness narrative berupa pengalaman mahasiswa penderita gangguan kejiwaan yang mengalami stigma di lingkungan sosial kampus Universitas Indonesia, menggunakan metode kualitatif etnografi yang meliputi pengamatan, wawancara mendalam, serta studi literatur. Penelitian ini menemukan bahwa para narasumber yang notabene adalah mahasiswa pengidap gangguan kejiwaan mengalami stigma berupa label, stereotyping, serta diskriminasi terjadi pada saat mereka beraktifitas di lingkungan sosial masing-masing; di tingkatan program studi, lingkup satu angkatan, serta lingkup Unit Kegiatan Mahasiswa. konstruksi illness narrative yang dipaparkan oleh masing-masing informan memberikan petunjuk akan kejadian dalam hidup yang menurut mereka penting, yaitu beban emosional yang disebabkan karena stigma yang terjadi pada lingkup sosial terdekat di kampus yang menyebabkan kondisi psikis mereka secara signifikan menurun dan berpengaruh terhadap aspek sosial dan akademis para informan.

This study examines the illness narrative in the form of experiences of students with mental disorders who experience stigma in the social environment of the University of Indonesia campus, using qualitative ethnographic methods which include observations, in-depth interviews, and literature studies. This study found that the informants who incidentally were students with mental disorders experienced stigma in the form of labels, stereotyping, and discrimination occurred when they were active in their respective social environments; at the study program, with fellow students of same year, and the scope of Extracurricular Student Units. The construction of illness narrative presented by each informant provides clues to events in life that they think are important, namely the emotional burden caused by the stigma that occurs in the closest social sphere on campus which causes their psychological condition to significantly decrease and affect social and psychological aspects of the academic informants."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Ruang lingkup dan Cara penelitian: Bus kota merupakan sarana transportasi penting pada masyarakat perkotaan, terutama Jakarta dan sekitarnya. Mengemudi bus kota merupakan ciri pekerjaan yang mengandung banyak masalah, seperti kemacetan lalu lintas, jam kerja yang tidak menentu, risiko kecelakaan, gangguan keamanan oleh ancaman penumpang dan penodongan, dan sebagainya. Semua masalah ini dapat menimbulkan stres kerja. Stres kerja dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan pengemudi, diantaranya hipertensi dan gangguan mental emosional. Penelitian stres di Indonesia masih langka, terutama penelitian untuk pekerja kerah biru seperti pengemudi bus kota.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka prevalensi gangguan mental emosional dan hipertensi pengemudi bus kota dan apakah ada hubungannya dengan stres kerja yang dirasakannya. Penelitian ini dilakukan pada pengemudi bus kota di Tangerang. Alat ukur untuk mengukur stres kerja dipergunakan instrumen yang dikembangkan Winkleby yang telah dimodifikasi. Penilaian stres kerja yang dilakukan oleh instrumen ini bersifat self reported stresors. Alat ukur untuk menilai gangguan mental emosional dipergunakan instrumen kuesioner Symptom Check List 90 (SCL 90). Alat ukur untuk mengukur tekanan darah dipergunakan spighmomanometer air raksa merek Nova, dan mengikuti protokol WHO 1978.
Desain yang dipergunakan pada penelitian ini adalah studi potong tintang (Cross sectional), terhadap 287 subjek penelitian. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis bivariat, kemudian anatisis regresi logistik ganda.
Prevalensi gangguan mental emosional pada pengemudi bus kota 29,3%. Ada hubungan bermakna antara stres kerja dengan gangguan mental emosional. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pada pengemudi bus yang mengalami stres tinggi 6,35 lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengalami stres rendah. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pengemudi yang mengalami hipertensi mempunya risiko 1,96 kali lebih tinggi dibandingkan dengan non hipertensi. Hubungan antara hipertensi dengan gangguan mental emosional mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, keluhan subjektif pada skala somatisasi merupakan bagian dari gejala hipertensi. Kedua, hipertensi dan gangguan mental emosional merupakan co morbiditas. Bila diperhatikan anatisis logistik ganda hubungan stres kerja dengan gangguan mental emosional tetap positif dan dominan, maka faktor hipertensi kurang begitu panting mempengaruhi gangguan mental emosional. Meskipun demikian, adanya hipertensi pada pengemudi turut meningkatkan gangguan mental emosional hampir dua kali.
Prevalensi hipertensi pada pengemudi bus kota 25,8%. Tidak ada hubungan bermakna antara stres kerja dengan hipertensi. Risiko terjadinya hipertensi pada pengemudi yang gemuk 1,86 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengemudi yang tidak gemuk.

The Relationship of Occupational Stress to Mental Emotion& Disturbance (Study among City Bus Drivers on a Bus Company in Tangerang, 1997) City bus is an important transportation equipment of Urban Community, particularly in Jakarta and surrounding. Driving the bus is an occupation characterized as having so many problems such as traffic jam, long working hours, accident risk, security annoyance by passengers and an threat. All of the problems may lead to occupational stress and then may lead to outcomes in drivers health such as Hypertension and Mental emotional disturbance. Studies of stress in Indonesia is still rarely, particularly studies on blue collar workers as city bus drivers.
The objectives of this study are to ascertain prevalence of hypertension and mental emotional disturbance and whether an association exist between hypertension, mental emotional disturbance of city bus drivers and their occupational stress felt. This study was carried out on city bus drivers in Tangerang. The instrument for measuring occupational stress was used a questionnaire of Winkleby developed that was modified. This measurement of occupational stress was used an instrument that have the character of self report stressors. The instrument for measuring mental emotional disturbance was used a questionnaire SCL 90. The instrument for measuring blood pressure was used a Mercurial Sphygmomanometer" NOVA' and according to WHO 1978 Protocol.
Design of this study was applied Cross sectional method of 287 subjects study. Collected data were processed by bivariate analysis, and then Multivariate analysis by Multiple logistic regression analysis.
Prevalence of mental emotional disturbance on city bus drivers is 29,3%. There were significant association between Occupational stress with Mental emotional disturbance. Mental emotional disturbance risk of drivers with high level stress 6,35 times more than low level stress. Mental emotional disturbance risk of drivers with hypertension 1.96 times more than drivers with hypertension. The relationships between hypertension and mental emotional disturbance may be caused by two reasons. First, subjective complaints on somatisation scale is a part of hypertension symptoms. Secondly, hypertension and mental emotional disturbance are co-morbidity phenomenon. When we see about multiple logistic regression analysis on relationships of occupational stress with mental emotional disturbance is constant and dominant, therefore hypertension factors less than importance to lead emotional mental disturbance. Nevertheless, hypertension of the drivers to share in confirming mental emotional disturbance increasing twice.
Prevalence of Hypertension on city bus drivers is 25,8%. There were no association between occupational stress and Hypertension. Hypertension risk of obese drivers were 1.86 times more than non obese drivers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekowati Rahajeng
"Sebagian besar pasien dengan gangguan mental emosional pertama-tama belum berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Pasien gangguan mental emosional yang berobat ke Puskesmas wilayah Jakarta Timur hanya 1,88 % dari kasus yang ada di masyarakat dengan rata-rata kunjungan 1,31 kali pada tahun 1994. Agar gangguan tersebut tidak menjadi berat atau menjadi penyakit lain, maka diperlukan pengobatan sedini mungkin. Untuk mencapai maksud tersebut, yang menjadi masalah penelitian ini adalah bagaimana pola perilaku pencarian pengobatan dari pasien gangguan mental emosional dan faktor-faktor apa yang berhubungan dengan perilaku tersebut.
Jenis disain penelitian ini adalah crossectional, namun menggunakan analisis yang lazim digunakan pada studi case control pada penduduk dewasa (17 tahun ke atas) yang mengalami gangguan mental emosional. Gangguan mental emosional ditetapkan berdasarkan pengisian instrumen Self Reporting Questionnaire (SRQ) dengan cut-off points 6. Pengambilan sampel dilakukan secara systematic random sampling dengan sampling fraction 9. Unit sampel adalah rumah tangga dengan jumlah 650 KK yang meliputi 1950 penduduk dewasa sehat. Sampel pasien gangguan mental emosional yang diteliti berjumlah 446 kasus. Untuk mengetahui hubungan faktor dengan perilaku pengobatan dilakukan perhitungan Odds ratio melalui analisis regresi logistik multivariat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pola perilaku pengobatan pertama pasien gangguan mental emmosional di Kelurahan Pulogadung adalah melakukan pengobatan sandhi 27,8 %, ke dokter umum 18,4 %, tidak mencari pengobatan 17,4 %, ke Puskesmas 13,2 %, ke pengobat tradisional 8,7 %, ke rumah sakit umum 6,1 %, ke spesialis penyakit dalarn 5,8 % dan ke psikiater 2,5 %. Pasien yang melakukan kegiatan rujukan adalah 23,6 %. Sebagian besar pasien yang melakukan rujukan dan pasien yang melakukan pengobatan selanjutnya tidak berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.
Pasien gangguan mental emosional lebih mungkin tidak mencari pengobatan apabila pasien tidak merasa terganggu akibat gangguan mental emosional yang dialaminya (OR 0,01 ; 95% Cl 1,5E-03 - 0,02), kurang mendapatkan informasi pelayanan kesehatan jiwa (OR 0,49 ; 95% CI 0,25 - 0,95) dan apabila pasien malu berobat ke psikiater (OR 2,24 ; 95% 1,02 - 4,85).
Pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat diharapkan tidak hanya menunggu pasien datang berobat ke fasilitas kesehatan jiwa. Kegiatan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas perlu dikembangkan dalam kegiatan Puskesmas lainnya (Taruna Husada, Sala Shakti Husada dan sebagainya). Pelayanan prevensi sekunder (mendorong pasien berobat) melalui peningkatan pengetahuan gangguan mental emosional dan fasilitas pengobatannya perlu lebih diprioritaskan. Penyegaran pengetahuan gangguan mental emosional terhadap dokter umum perlu dilakukan secara periodik. Peningkatan mutu pelayanan jiwa di Puskesmas dan pembinaan pengobat tradisional perlu lebih diperhatikan. Disamping itu perlu juga dipertimbangkan tentang perubahan konsep figur psikiater di masyarakat.

Most patients with mental emotional disorder didn't visit health facility with mental health service at the first treatment. There is only 1,8 % of people with mental emotional disorder who visited Puskesmas at East Jakarta with average 1.31 visit in 1994. To prevent the disturbance become more severe or to become another illness, early treatment is needed. To reach the purpose, the problem of this study is to identify health seeking treatment pattern of patient with mental emotional disturbance and to find factors which was associated with the behavior treatment.
The study design is cross sectional study but method of analysis is case control. Sample of the study are adult (17 years or more) who experience mental emotional disorder. The criteria of mental emotional disorder is based on answers of Self Reporting Questionnaire (SRQ) with cut-off 6. Sampling method is systematic random sampling with sampling fraction of 9. Sampling unit is household with totally 650 household which include 1950 adult with good health. Sample of patient with mental emotional disorder are 446 cases. To identify relationship between factors with health seeking treatment, logistic regression with odds ratio is applied.
The result showed that for the first treatment there is 27,8% of the mental emotional disorder patients performing self medication, 18,4% visit medical doctor, 17,4 % didn't seek any treatment, 13,2 % visit Puskesmas, 8,7 % going to traditional healer, 6,1% to general hospital, 5,8% visit internist and 2,5% visit psychiatrist. There where 23,6 patient who were given referral. Most of the patients who were referred or patient who continue the treatment didn't visit health facility with mental health service.
Patients with mental emotional disorder probably not seek any treatment if they didn't feel uncomfortable with the disturbance they experienced (OR 0,01 ; 95% CI 1,5E-03 - 0,02), did not obtained enough information about mental health service (OR 0,49 ; 95% CI 0,25 - 0,95), or if the patient was ashamed to visit psichiatrist (OR 2,24 ; 95% CI 1,02 - 4,85).
Patients with mental emotional disorder probably would performed self medication if their social economic status is low (OR moderat 0,52 ; 95% CI 0,06-0,83; OR high 0,45 ; 95% CI 0,04-0,62), if they were not bothered by the disturbance they experienced (OR 0,47; 95% CI 0,03-0,91), didn't consider the disturbance as severe (OR 0,54 ; 95% CI 0,07-0,91), didn't obtained enough information on the mental health service (OR 0,52 ; 95% CI 0,06-0,79), were not suggested to have treatment (OR 0,45 ; 95 % CI 0,04-0,57), they have no work (OR 0,35 ; 95 %CI 0,17-0,67) and if they are Askes member (OR 2,48 ; 95% CI 2,40-17,54).
Patients with mental emotional disorder will probably visit traditional healer if they have expectation that the treatment not only give drug (OR 8,76 ; 95% CI 1,86 - 42,26), have supernatural believe (OR 7,53; 95% CI 3,15-40,22), and have enough knowledge on the traditional healer service (OR. 6,67; 95% CI 1.86-23,57), did not feel comfortable with the disturbance they experienced (OR 8,84; 95% CI 3,00 - 26,05), their knowledge on the mental emotional disorder was not good (OR 0,12;95% CI 0,03-0,56), and have no information on the mental emotional service (OR. 0,25; 95% CI 0,06-0,98).
Patients with mental emotional disorder will probably visit mental health service if they felt disturbed (OR 4,43 ; 95% CI 1,76 - 11,13), did not have senior high school or more education (OR 0,36 ; 95% CI 0,16 - 0,81), expected to be given more than just drug (OR 5,93 ; 95% CI 1,93 - 18,17), feeling that the high cost of the treatment influence the effort to seek treatment (OR 7,17 ; 95 % CI 2,83 - 17,81), obtained enough information on the mental health service (OR 5,22 ; 95% CI 2,34 - 11,59), and did not feel ashamed to visit psychiatrist (OR 0,43; 95% CI 0,18 - 0,99).
Patients with mental emotional disorder will probably visit Puskesmas if they feel bothered (OR 14,41 ; 95% CI 4,14 - 50,40), feeling the cost of the treatment influence the effort of seeking treatment (OR. 4,28 ; 95% CI 1,39 - 13,06), their social economic status is low (OR high 0,11 ; 95 % CI 0,03 - 0,37), lived near to Puskesmas (OR 0,21 ; 95% CI 0,06 - 0,77), realize that there is mental health service in the Puskesmas (OR 14,31 ; 95 % CI 4,09 - 49,89), did not know about traditional service (OR 0,05 ; 95 % CI 0,01 - 0,25), did not have knowledge about the general health service (OR 0,23; 95% CI 0,07 - 077), and the healer attitude did not influence the choice of treatment (OR 0,35 ; 95 % CI 0,14 - 0,88).
Mental health service in the public is expected not only waited patients to visit the mental health service. Mental health service at the Puskesmas needs to be integrated and to be developed with the other Puskesmas activity (Taruna Husada, Bhakti Husada, Karang Werdha). Secondary prevention thru knowledge development on the mental emotional disorder, treatment facility and early detection should be give more priority. Knowledge refreshment on the mental emotional disorder to medical doctor needed to be in force periodically. Quality improvement of health service in Puskesmas' and education of traditional healer need to be given more attention. The figure of psychiatrist in the society need to changed as well.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>