Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161928 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nainggolan, Gina Adriana
"Latar Belakang: Kecemasan praoperasi selalu menjadi perhatian bagi pasien maupun dokter anestesiologis dan dokter bedah. Pasien-pasien yang dihadapkan pada kenyataan harus menjalani operasi khususnya operasi jantung mungkin akan mengalami kecemasan yang lebih tinggi karena keadaan jantung mereka yang tidak baik, konsep operasi jantung yang menakutkan dan ketidakpastian terhadap hasilnya. Kecemasan akan mengaktifkan stres respon yang menyebabkan stimulasi sistem saraf simpatis yang kemudian akan menstimulasi kardiovaskular dengan meningkatkan jumlah katekolamin darah yang menyebabkan takikardi, hipertensi, iskemik dan infark miokardial. Respon tersebut mungkin mempunyai efek merugikan pada sirkulasi koroner, yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Berbagai penanganan telah dikembangkan, salah satunya adalah dengan pemberian informasi (edukasi). Dengan pemberian edukasi melalui komunikasi efektif, informatif dan empati diharapkan terjadi penurunan tingkat kecemasan pasien sebelum menjalani pembiusan dan pembedahan. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui pengaruh edukasi pra-anestesia terhadap tingkat kecemasan pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini menggunakan uji kuasi eksperimen pada pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Setelah mendapatkan ijin komite medik dan informed consent, sebanyak 36 subyek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Maret 2016. Sebelum dilakukan penilaian tingkat kecemasan sebelum edukasi dengan menggunakan instrumen APAIS, terlebih dahulu dilakukan pengukuran tanda vital, kemudian dilanjutkan dengan pemberian edukasi dan diskusi. Jika subyek tidak mengalami gaduh gelisah dan atau tanda bahaya kardiovaskular, maka keesokan hari sebelum subyek dibawa ke ruang operasi, akan dilakukan penilaian ulang tingkat kecemasan subyek dengan menggunakan instrumen yang sama.
Hasil: Uji Wilcoxon menunjukkan terdapat penurunan bermakna rerata tingkat kecemasan sebelum edukasi dibandingkan dengan sesudah edukasi (p<0,001).
Simpulan: Edukasi pra-anestesia menurunkan tingkat kecemasan pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Background: Preoperative anxiety is always a concern for patients, anesthetist and surgeon. Patients are faced with the reality had to undergo surgery, especially heart surgery may experience higher anxiety because their heart condition is not good, scary concept of heart surgery and uncertainty of the results. Anxiety will activate the stress response that causes stimulation of the sympathetic nervous system, which then stimulates the cardiovascular by increasing the amount of blood catecholamines that cause tachycardia, hypertension, ischemia and myocardial infarction. The response may have detrimental effects on the coronary circulation, which leads to increase morbidity and mortality. Various handling have been developed, one of which is the provision of information (education). With the provision of education through effective and informative communication with empathy are expected to decline the level of anxiety of patients before undergoing anesthesia and surgery. The objective of this study is to determine the effect of preanesthesia education to the level of anxiety in adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo.
Methods: This study used a quasi-experimental trials of adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo. After getting permission from the medical committee and getting informed consent, a total of 36 subjects is obtained by consecutive sampling in March 2016. Prior to the assessment of the level of anxiety before education using APAIS instrument, first performed measurements of vital signs, and then continued with education and discussion. If the subject is not experiencing restless and rowdy or cardiovascular distress signal, then the next day before the subject is taken to the operating room, the level of anxiety of the subject will be reassessed using the same instrument.
Results: Wilcoxon test showed that there was a significant decrease in the average level of anxiety before education compared with after education (p<0.001).
Conclusion: Preanesthesia education lowers the level of anxiety in adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Junaeni
"Hemodialisis merupakan terapi pengganti fungsi ginjal terbanyak yang dijalani pasien gagal ginjal tahap akhir. Pasien yang menjalani terapi hemodialisis rutin seringkali memiliki kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur yang buruk pada pasien hemodialisis dapat menurunkan kualitas hidup, meningkatkan penyakit autoimun, infeksi dan risiko kardiovaskular yang pada akhirnya dapat juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Keluhan tidur pada pasien hemodialisis diduga karena efek dari hemodialisis dan progresifitas penyakit gagal ginjal itu sendiri. Terapi untuk mengatasi gangguan tidur dilakukan dengan metode sleep hygiene. Sleep hygiene merupakan modifikasi perilaku kesehatan atau membangun kebiasaan sebelum tidur yang mencakup aktivitas, waktu tidur dan lingkungan yang tenang dengan tujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan sleep hygiene dengan kualitas tidur pada pasien hemodialisis. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan consecutive sampling terhadap 106 responden yang menjalani hemodialisis rutin di Unit HD PJT RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan (p<0,05) antara sleep hygiene dengan kualitas tidur (p=0,046). Perawat perlu mengajarkan intervensi sleep hygiene secara terprogram beserta evaluasinya untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas tidur yang baik pada pasien hemodialisis.

Hemodialysis is the most common renal replacement therapy for end stage renal disease patients. These patients who undergoing regular hemodialysis often experience a poor of sleep quality. Poor sleep quality can reduce their quality of life, since increasing autoimmune diseases, infections and cardiovascular risks, ultimately can also increase morbidity and mortality. Sleep complaints in hemodialysis patients are thought to be due to the effects of hemodialysis and the progression of kidney failure itself. Therapy to treat sleep disorders is carried out using the sleep hygiene method. Sleep hygiene is a modification of health behavior or building habits before sleeping that include activities, sleep time and a calm environment to increase the quantity and quality of sleep. This study aims to identify the relationship between sleep hygiene and sleep quality in hemodialysis patients. The research design used is cross sectional with a consecutive sampling of 106 respondents undergoing regular hemodialysis at the PJT HD Unit, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Based on the research results, it shows that there was a significant relationship (p<0.05) between sleep hygiene and sleep quality (p=0,046). Therefore, nurses need to carry out and teach the patients sleep hygiene interventions and their evaluation to improve and maintain a good sleep quality in hemodialysis patients. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maipe Aprianti
"Latar Belakang : Fungsi Kognitif meliputi fungsi pemusatan perhatian, bahasa, daya ingat, motorik serta fungsi eksekutif fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksannaan dan pemantauan . Postoperative Cognitive Dysfunction POCD didefinisikan sebagai gangguan fungsi kognitif yang baru muncul setelah prosedur pembedahan. POCD pascabedah jantung terbuka yang menggunakan teknologi pintas jantung paru CPB merupakan sekuele yang secara teoritis sering terjadi. Belum ada penelitian POCD serta faktor-faktor yang mempengaruhinya di Indonesia sehingga penelitian ini dirasakan perlu dilakukan.
Tujuan : Mengetahui kekerapan terjadinya penurunan fungsi kognitif pada subjek yang menjalani bedah jantung terbuka di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif. Dilakukan penilaian fungsi kognitif terhadap 60 pasien yang menjalani operasi bedah jantung terbuka dengan menggunakan test neuropsikologik. Hasil data pra dan pascabedah akan dibandingkan. Fungsi kognitif dikatakan turun bila terdapat penurunan 20 pada salah satu alat uji. Kriteria penerimaan adalah usia >18 tahun yang menjalani operasi bedah jantung di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian diolah dengan uji bivariat dan analisis regresi logistic.
Hasil : Penurunan fungsi kognitif terjadi pada 40,7 subjek yang menjalani operasi jantung terbuka dengan menggunakan teknologi pintas jantung-paru. Faktor usia merupakan faktor yang berpengaruh melalui analisis bivariat dan regresi logistik p 0,001.
Kesimpulan : Terjadi penurunan fungsi kognitif pada subjek yang menjalani bedah jantung terbuka di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang dipengaruhi oleh usia, namun tidak dipengaruhi tingkat pendidikan, diabetes melitus, lama CPB dan klem silang.

Background: Cognitive functions include the function of attention, language, memory, motoric and executive functions planning, organizing, and monitoring . Postoperative Cognitive Dysfunction POCD is defined as a cognitive dysfunction that arises after a surgical procedure. POCD after open heart surgery with cardiopulmonary bypass CPB is frequent theoretically. There was no research on POCD and the factors that influence it in Indonesia so that this research was necessary to be done.
Purpose : To know the frequency of POCD in subjects underwent open heart surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo and the factors that influence it.
Methods : This study was a prospective cohort study. Cognitive function assessment was performed in 60 patients underwent open heart surgery by using neuropsychological tests. Pre and postoperative data were compared. Cognitive decline was defined if there was a 20 decrease in cognitive function in at least one of the tests. Inclusion criteria were age 18 years old who underwent open heart surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, could speak Indonesian language, were able to read and write, and were willing to become the subject of the research. The result of this research was analyzed by bivariate test and logistic regression analysis.
Results : POCD occured in 40.7 of subjects who underwent open heart surgery using cardiopulmonary bypass. Age was the only influential factor through bivariate test and logistic regression analysis p 0.001.
Conclusion : POCD occured in subjects who underwent open heart surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo which was influenced by age, but not by education level, diabetes, CPB and cross clamp time.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Minarni
"Latar Belakang: Penggunaan deksmedetomidin dengan bolus awal memiliki efek samping seperti transient hypertension, bradikardi dan hipotensi. Penggunaan deksmedetomidin intravena dosis rendah diharapkan tidak menimbulkan efek samping namun diharapkan tetap memberikan efek sedasi yang baik untuk premedikasi pasien yang akan menjalani anestesia umum dibandingkan midazolam sebagai kontrol.
Metode: pada uji klinik dengan randomisasi tersamar ganda ini, 80 pasien yang menjalani pembedahan elektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dibagi menjadi 2 kelompok yang mendapatkan regimen premedikasi yang berbeda. Kelompok deksmedetomidin mendapatkan deksmedetomidin 0,3 µg/kgbb/jam intravena selama 15 menit dosis tunggal dikuti NaCl 0,9% 2ml intravena bolus, sedangkan kelompok midazolam mendapatkan NaCl 0,9% 20ml intravena selama 15 menit diikuti midazolam 0,05 mg/kgbb dosis tunggal. Kedua kelompok kemudian menjalani prosedur induksi, laringoskopi-intubasi yang sama. Tingkat sedasi pada menit ke-20 setelah obat mulai diberikan akan dibandingkan. Tingkat sedasi disebut baik bila berada pada Ramsay Sedation Scale 2.
Hasil: Terdapat perbedaan tingkat sedasi yang bermakna secara statistik (p<0,005) yaitu dari 40 pasien yang mendapatkan deksmedetomidin semuanya (100%) berada pada Ramsay Sedation Scale 2, sedangkan dari 40 pasien yang mendapatkan midazolam 25 pasien berada pada Ramsay Sedation Scale 2 (62,5%), dan 15 pasien berada pada Ramsay Sedation Scale 3 (37,5%).
Kesimpulan: Deksmedetomidin dosis 0,3 µg/kgbb/jam intravena selama 15 menit dosis tunggal memiliki tingkat sedasi yang lebih baik daripada midazolam 0,05 mg/kgbb intravena.

Background: The administration dexmedetomidine using loading dose have some undesirable effects such as transient hypertension, bradycardia and hypotension. The use of low-dose dexmedetomidine single infusion was proposed to avoid those undesirable effects but still provide goodsedation effects for premedication, compared to midazolam as a control, for patients undergoing general anesthesia.
Method: in this randomized double-blind trial, 80 patients planned for elective surgery in RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo were enrolled and divided into 2 groups receiving different premedication regimens. The dexmedetomidine group got 0.3 micrograms/kg/hour infusion in 15 minutes followed by a single bolus of 2ml NaCl 0.9%, while the midazolam group got 20ml of NaCl 0.9% infusion in 15 minutes followed by single bolus of midazolam 0.05 milligram/kg. The level of sedation at minute 20 after the start of drug administration was compared. Both groups then underwent the same induction, laryngoscopy and intubation procedures. The level of sedation is stated good when The Ramsay Sedation Scale is 2.
Results: all 40 patients (100%) in the dexmedetomidine group were on Ramsay Sedation Scale 2 while in the midazolam group 25 patients werw on Ramsay Sedation Scale 2 (62.5% ), and 15 patients were in the Ramsay Sedation Scale 3 (37.5%) and statistically there was a significant difference (p<0.005).
Conclusion: Dexmedetomidine 0.3 micrograms/kg/hour single infusion in 15 minutes provide a better level of sedation than midazolam 0.05 milligram/kg single bolus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Murniati
"ABSTRAK
Tindakan pembedahan dapat menimbulkan kecemasan pasien sebelum tindakan pembedahan. Kecemasan dapat diakibatkan karena ketidaktahuan akan prosedur pembedahan. Pemberian informasi kesehatan sebagai salah satu tindakan preoperatif bertujuan untuk memberi pemahaman bagi pasien tentang pembedahan yang akan dilakukan dan dukungan sosial yang diberikan dapat menimbulkan rasa nyaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pemberian informasi kesehatan, dukungan sosial dan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani transplantasi ginjal di RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta. Sampel berjumlah 32 responden yang didapat dengan menggunakan teknik total sampling. Desain penelitian adalah analitik korelasi dengan pendekatan Cross Sectional dan data dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner pemberian informasi, Social Previsions Scale, dan kuesioner HAM-A. Hasil Analisis Chi Square diperoleh adanya hubungan antara pemberian informasi dan kecemasan p value = 0,013 dan terdapat hubungan pemberian dukungan sosial dan kecemasan p value = 0,014 . Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan tingkat kecemasan pasien preoperasi, dan intervensi yang dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan pasien.

ABSTRACT
Abstract Surgery may lead to preoperative anxiety for the patient. Anxiety may be caused by ignorance of surgical procedure. Providing health information as a preoperative intervention is aimed to facilitate patient rsquo s understanding of the procedure and social support may provide comfort. This study aimedto identify the relationship between providing health information, social support and patients rsquo anxiety level before kidney transplantation in RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta. This analytic descriptive study used cross sectional approach that involved 32 respondents. Questionnaire of information provision, Social Previsions Scale, and HAM A were used to collect the data. Result of chi square analysis indicated that there was a significant correlation between providing health information and anxiety pvalue 0,013 and there was a significant correlation between social support and anxiety p value 0,014 . The study suggests a further research for investigating other factors associated with anxiety in preoperative patient and methods used to relieve anxiety. "
2017
S68718
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rosanti Khalid
"Latar Belakang : Tingkat kepuasan pasien merupakan salah satu indikator kualitas pelayanan anestesia, baik rawat inap maupun rawat jalan. Bedah rawat jalan menawarkan banyak kelebihan dibandingkan rawat inap, sehingga berkembang sangat pesat di Indonesia khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sebagian besar jenis anestesia pada bedah rawat jalan adalah anestesia umum. Perkembangan ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan anestesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian terhadap tingkat kepuasan pasien dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Tingkat kepuasan pasien dapat memberikan feedback untuk meningkatkan kualitas pelayanan anestesia pada instalasi bedah rawat jalan.
Tujuan : Mengetahui tingkat kepuasan pasien yang menjalani anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang memengaruhinya.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang. Dilakukan penilaian tingkat kepuasan pada 76 pasien dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun yang menjalani pembiusan umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia berpartisipasi dan menandatangani surat persetujuan penelitian, pulang dihari yang sama setelah pembedahan atau dirawat kurang dari 24 jam. Hasil kuesioner akan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji univariat dan bivariat.
Hasil : Uji univariat menunjukkan tingkat kepuasan pasien terhadap anestesia umum rata-rata diatas 70 %. Sedangkan dari uji bivariat, faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.
Kesimpulan : Pasien merasa puas terhadap pelayanan anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Karakteristik pasien yang memengaruhi tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.

Background : Patient satisfaction has been one of quality indicators in anesthesia services whether it is inpatient or outpatient. Ambulatory surgery offers more advantages compares to inpatient services, thus it developed nicely in Indonesia especially in RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta where most patients undergone general anesthesia. This development is yet to be offset by improvement in anesthesia quality services. Thus, it is needed to assess patient satisfaction and factors. Patient satisfaction can give feedback to improve quality of anesthesia services in ambulatory surgery.
Purpose : The purpose of this study was to know patient satisfaction toward general anesthesia and influencing factors in ambulatory surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Methods : This is a cross sectional study. Patient satisfaction was assessed in 76 patients using validated questionnaire. The inclusion criteria were age 18-65 undergoing general anesthesia in Ambulatory Surgery, Bahasa speaking, able to read and write, and agreed to participate in this study by signing research consent and discharged on the same day or hospitalized less than 24 hours after surgery. Result was processed using SPSS with univariate and bivariate test.
Results: Univariate test showed patient satisfaction toward general anesthesia was above 70%. While Bivariate test indicated factors influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
Conclusion : Patients were satisfied with general anesthesia services in Ambulatory Surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patient characteristics influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Pradita Rikardi
"Kecemasan pra operasi merupakan kondisi yang lazim dialami oleh pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan. Tingkat kecemasan pra operasi yang tinggi dapat memberikan dampak negatif terhadap pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pra operasi pada pasien-pasien yang menjalani operasi di Instalasi Pelayanan Bedah Terpadu RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini menggunakan desain cross- sectional dengan 393 responden yang diseleksi melalui metode consecutive sampling. Skala kecemasan menggunakan The Amsterdam Preoperative and Anxiety Scale (APAIS). Data dianalisis dengan menggunakan analisis bivariat dan multivariat. Gambaran tingkat kecemasan pra operasi sebesar 54.2%. Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pernikahan, jenis operasi, dan pembiusan terhadap tingkat kecemasan pra operasi (p > 0.05). Jenis operasi merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pra operasi (OR = 3.501;CI = 95%). Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk mengidentifikasi faktor yang secara spesifik berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pra operasi.

Preoperative anxiety is a common condition experienced by patients who will undergo a surgery. High levels of preoperative anxiety can cause negative impacts on patients. This study aims to analyze the factors that influence the level of preoperative anxiety in patients undergoing surgery at the Integrated Surgical Service of Cipto Mangunkusumo National Center Hospital. This study used a cross-sectional design with 393 respondents selected through consecutive sampling method. The anxiety scale are measured by The Amsterdam Preoperative and Anxiety Scale (APAIS). Data were analyzed using bivariate and multivariate analysis. The description of the level of preoperative anxiety was 54.2%. There was no significant relationship between age, gender, education level, employment status, marriage, type of surgery, and anesthesia on the level of preoperative anxiety (p > 0.05). Types of surgery is the variable that mostly influenced the level of preoperative anxiety (OR = 3.501; CI = 95%). Further studies are needed to identify factors that specifically influence the level of preoperative anxiety."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Mahnum Lailan
"Kanker pada anak 4,9 % dari kanker pada semua usia (Depkes, 2009) dan menimbulkan beban bio-psiko-sosio-spiritual bagi penderita dan keluarga (caregiver) khususnya kecemasan. Tujuan penelitian mengetahui pengaruh terapi thought stopping terhadap tingkat kecemasan keluarga (caregiver) dengan anak usia sekolah yang menjalani kemoterapi. Penelitian dilakukan di di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo terhadap 46 responden, yaitu 23 responden sebagai kelompok intervensi dan 23 responden sebagai kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat kecemasan ringan pada keluarga (caregiver) dengan anak usia sekolah yang menjalani kemoterapi pada kelompok yang diberikan dan tingkat kecemasan sedang pada kelompok diberikan thought stopping (p-value < ). Rekomendasi penelitian diutamakan kepada pelayanan kesehatan di rumah sakit umum agar menindaklanjuti dan bekerjasama dengan perawat spesialis jiwa dalam mengatasi kecemasan keluarga (caregiver).

Cancer on children is 4,9 % of cancer in all age (Depkes, 2009) and raises the burden of bio-psycho-socio-spiritual for patients and families (caregivers), especially anxiety. The research objective is to explain the influence of thought stopping therapy to the anxiety level of family (caregiver) with school-age children undergoing chemotherapy. Research conducted in RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo against 46 respondents: 23 respondents as the intervention group and 23 respondents as the control group.
The results shows mild anxiety levels in the group given thought stopping and moderate anxiety levels in the group not given thought stopping (p-value < ). Recommendations of this study preferred to health care in public hospitals in order to follow up the results of this study in collaboration with psychiatric nurse specialist to cope the anxiety of family (caregiver.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Kumalawati Santosoatmodjo
"Latar Belakang: Tetralogi Fallot (TF) merupakan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik terbanyak. Terapi definitifnya berupa koreksi total melalui operasi jantung terbuka, namun usia terbaik koreksi masih menjadi perdebatan. Operasi saat usia < 3 tahun disebut koreksi dini. Angka kesintasan jangka panjang pasien TF pasca-operasi mencapai 90%. Masalah baru yang muncul adalah gangguan neurodevelopmental yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mengetahui sebaran pasien TF pasca-operasi jantung terbuka, serta membandingkan perkembangan, kognitif dan kualitas hidup pasien TF pasca-operasi jantung terbuka yang menjalani koreksi dini dibandingkan koreksi terlambat.
Metode: 29 subjek kelompok koreksi dini dan 34 subjek kelompok koreksi terlambat dipilih secara konsekutif. Penilaian perkembangan menggunakan Denver II. Tingkat kognitif dinilai dengan the Capute scales dan uji intelegensi Wechsler. Kualitas hidup dinilai dengan laporan PedsQLTM. Perbedaan antar kedua kelompok subjek dianalisis dengan menggunakan uji Kai kuadrat, uji Fischer, dan uji t tidak berpasangan.
Hasil: Median usia operasi kelompok koreksi dini adalah 1,8 tahun dan kelompok koreksi terlambat adalah 5,3 tahun. Sebesar 54% subjek menjalani koreksi terlambat. Mikrosefal terjadi pada 15% keseluruhan subjek. Pada kedua kelompok subjek ditemukan masalah perkembangan. Sebesar 75% subjek kelompok koreksi dini memiliki developmental quotient normal. Kelompok koreksi dini memiliki nilai verbal intelligence quotient (IQ) (p 0,002; IK 95% 5,8-24,6) dan full-scale IQ (p0,003; IK 95% 4,7-21,3) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat. Laporan PedsQLTM anak menunjukkan rendahnya kualitas hidup pada fungsi emosi (p=0,02) dan sekolah (p=0,03) pada kelompok koreksi terlambat.
Simpulan: Pasien TF yang menjalani koreksi dini memiliki dan kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat, sehingga diperlukan sosialisasi usia operasi koreksi dini.

Background: Tetralogy of Fallot (TF) is the most common cyanotic congenital heart disease. The definitive treatment is complete repair thru open heart surgery. At present, the most effective age category for repair is still being debated. Complete repair for children who are younger than 3 years is called early repair. Recent technological advancement has allowed the early repair to be performed earlier and improve the survival rate of the patients. However, these survivors risk having neurodevelopmental disorder which affect their health-related quality of life.
Objective: To describe the characteristics of post open heart surgery TF patients and compare the TF patients who undergo early correction to ones who undergo late correction within the aspects of development, cognitive outcomes, and health-related quality of life.
Design : Twenty nine subjects from early correction group and 34 subjects from late correction group were compared in development (Denver development screening II), cognitive outcomes (The Capute scales and Wechsler test), and health-related quality of life (PedsQLTM).
Result : Median age of the subjects in early correction group is 1,8 years and in late correction group is 5,3 years. Fifty five percent undergo late correction. The prevalence of microcephaly is 15%. Developmental delay is found in both group. Seventy five percent of subject who undergo early correction have normal developmental quotient. Early correction group have higher verbal intelligence quotient (IQ) (p=0.002; CI 95% 5.8-24.6) and full scale IQ (p=0.003; CI 95% 4.7-21.3). Child report PedsQLTM showed lower quality of life in late correction group.
Conclusions : Tetralogy of Fallot patients who undergo early correction have higher IQ and better health-related quality of life compared to late correction group. The age of early complete repair (< 3 years) needs to be disseminated.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Kumalawati Santosoatmodjo
"Tetralogi Fallot (TF) merupakan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik terbanyak. Terapi definitifnya berupa koreksi total melalui operasi jantung terbuka, namun usia terbaik koreksi masih menjadi perdebatan. Operasi saat usia < 3 tahun disebut koreksi dini. Angka kesintasan jangka panjang pasien TF pasca-operasi mencapai 90%. Masalah baru yang muncul adalah gangguan neurodevelopmental yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mengetahui sebaran pasien TF pasca-operasi jantung terbuka, serta membandingkan perkembangan, kognitif dan kualitas hidup pasien TF pasca-operasi jantung terbuka yang menjalani koreksi dini dibandingkan koreksi terlambat.
Metode: 29 subjek kelompok koreksi dini dan 34 subjek kelompok koreksi terlambat dipilih secara konsekutif. Penilaian perkembangan menggunakan Denver II. Tingkat kognitif dinilai dengan the Capute scales dan uji intelegensi Wechsler. Kualitas hidup dinilai dengan laporan PedsQLTM. Perbedaan antar kedua kelompok subjek dianalisis dengan menggunakan uji Kai kuadrat, uji Fischer, dan uji t tidak berpasangan.
Hasil: Median usia operasi kelompok koreksi dini adalah 1,8 tahun dan kelompok koreksi terlambat adalah 5,3 tahun. Sebesar 54% subjek menjalani koreksi terlambat. Mikrosefal terjadi pada 15% keseluruhan subjek. Pada kedua kelompok subjek ditemukan masalah perkembangan. Sebesar 75% subjek kelompok koreksi dini memiliki developmental quotient normal. Kelompok koreksi dini memiliki nilai verbal intelligence quotient (IQ) (p 0,002; IK 95% 5,8-24,6) dan full-scale IQ (p0,003; IK 95% 4,7-21,3) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat. Laporan PedsQLTM anak menunjukkan rendahnya kualitas hidup pada fungsi emosi (p=0,02) dan sekolah (p=0,03) pada kelompok koreksi terlambat.
Simpulan: Pasien TF yang menjalani koreksi dini memiliki dan kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat, sehingga diperlukan sosialisasi usia operasi koreksi dini.

Background: Tetralogy of Fallot (TF) is the most common cyanotic congenital heart disease. The definitive treatment is complete repair thru open heart surgery. At present, the most effective age category for repair is still being debated. Complete repair for children who are younger than 3 years is called early repair. Recent technological advancement has allowed the early repair to be performed earlier and improve the survival rate of the patients. However, these survivors risk having neurodevelopmental disorder which affect their health-related quality of life.
Objective: To describe the characteristics of post open heart surgery TF patients and compare the TF patients who undergo early correction to ones who undergo late correction within the aspects of development, cognitive outcomes, and health-related quality of life.
Design : Twenty nine subjects from early correction group and 34 subjects from late correction group were compared in development (Denver development screening II), cognitive outcomes (The Capute scales and Wechsler test), and health-related quality of life (PedsQLTM).
Result : Median age of the subjects in early correction group is 1,8 years and in late correction group is 5,3 years. Fifty five percent undergo late correction. The prevalence of microcephaly is 15%. Developmental delay is found in both group. Seventy five percent of subject who undergo early correction have normal developmental quotient. Early correction group have higher verbal intelligence quotient (IQ) (p=0.002; CI 95% 5.8-24.6) and full scale IQ (p=0.003; CI 95% 4.7-21.3). Child report PedsQLTM showed lower quality of life in late correction group.
Conclusions : Tetralogy of Fallot patients who undergo early correction have higher IQ and better health-related quality of life compared to late correction group. The age of early complete repair (< 3 years) needs to be disseminated.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>