Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 224590 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cicilia Wijawati
"Early Childhood Caries (ECC) adalah penyakit multifaktorial yang terdiri dari faktor etiologi, faktor demografi (usia, sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu) dan faktor perilaku (konsumsi makanan kariogenik, kebiasaan menyikat gigi, indeks plak, keluhan sakit gigi, dan kontrol ke dokter gigi). Penelitian ini mengguakan desain Cross Sectional dengan Uji Chi-Square. Hasil uji tersebut menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara usia, sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu, konsumsi makanan kariogenik, indeks plak, keluhan sakit gigi, dan kontrol ke dokter gigi terhadap ECC dengan (p<0,05). Akan tetapi, dalam penelitian ini hanya kebiasaan menyikat gigi yang tidak berhubungan bermakna dengan ECC (p>0,05).

Early Childhood Caries (ECC) is a multifactorial disease which factors are etiology factors, demographic factors (age, socioeconomic , mothers‟ level of education), and behavior factors (cariogenic diet, tooth brushing habit, plaque index, toothache complaints and dental visit). Cross sectional study with statiscal analysis using Chi- square showed that ages, socio-economic, mother‟s level of education, cariogenic diet, plaque index, dental visit, and toothache complaints have correlation with ECC (p<0,05). However, there are no correlation between tooth brushing habit with ECC (p>0,05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febriana Setiawati
"Latar belakang: ECC adalah masalah kesehatan penting di Indonesia. Prevalensi dan keparahan usia dibawah tiga tahun meningkat, pencegahan harus dilakukan saat gigi erupsi. Gigi sulung berperan dalam proses tumbuh kembang anak, pemeliharaannya melibatkan peran ibu, antara lain pada pola pemberian ASI. Tujuan: Diketahuinya hubungan pola pemberian ASI dan berbagai faktor risiko kejadian ECC dan ditemukannya model pencegahan yang sesuai di DKI Jakarta. Metode: Cross-sectional pada 424 anak usia 6-24 bulan, wawancara, pemeriksaan klinis dan laboratorium.Hasil:Faktor prediktor ECC:plak, usia anak, cara pemberian, lama kontak ASI, dan kapasitas buffer saliva. Kesimpulan: Model menjelaskan 52,5% variasi ECC dengan akurasi prediksi 82%. Dihasilkan soft ware dan kartu sebagai alat bantu pencegahan ECC.
Background: ECC is an important health problem in Indonesia. Under 3-yr-old prevalence and severity tend to increase, prevention must start since teeth eruption. Primary teeth plays role in the child development, oral care mainly involves the mother?s role, among others, breastfeeding pattern. Purpose: To determine relationship between breastfeeding patterns and ECC risk factors to find a prevention model in Jakarta. Methods: Cross-sectional study on 424 children aged 6-24 months, interviews, clinical and laboratory examinations. Result: ECC predictor factors: dental plaque, age, breastfeeding pattern, salivary buffer capacity. Summary:Model explained 52.5% variation in ECC with 82% accuracy prediction. Soft ware and card were developed as prevention model."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
D1301
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilah Dzikriya Rahman
"

Latar belakang: Early Childhood Caries (ECC) atau karies anak usia dini masih merupakan masalah kesehatan yang serius terutama di kalangan anak-anak. Streptococcus mutans diketahui sebagai penyebab utama dari ECC. Sementara bakteri lain seperti jamur, yaitu, Candida albicans, dianggap terlibat dalam proses perkembangan ECC. Resistensi atau kerentanan terhadap karies juga dipercaya dapat berkorelasi secara signifikan dengan perubahan komponen protein saliva. Beberapa mikroorganisme oral dan protein saliva tersebut dapat berfungsi sebagai biomarker untuk memprediksi risiko dan prognosis karies. Tujuan: Mengetahui kuantitas dari antigen Streptococcus mutans serotype c dan Candida albicans pada saliva pasien ECC serta menganalisis hubungan keduanya yang dikaitkan dengan OHI-S dan skor dmf-t. Metode: S. mutans serotype c dan Candida albicans yang diisolasi dari sampel saliva pasien ECC dan caries free diuji menggunakan Indirect ELISA untuk memperoleh kuantitas antigen S. mutans serotype c dan Candida albicans, yang selanjutnya dikorelasikan dengan OHI-S dan skor dmf-t pasien ECC dan caries free. Hasil: Kuantitas antigen S. mutans serotype c dan Candida albicans paling tinggi ditemukan pada pasien caries-free. Kuantitas antigen S. mutans serotype c paling tinggi ditemukan pada pasien dengan OHI-S sangat baik, sebaliknya pada Candida albicans kuantitas paling tinggi ditemukan pada pasien dengan OHI-S sedang. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kuantitas antigen S. mutans serotype c dan Candida albicans pada pasien ECC dan caries-free. Secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara kuantitas antigen Candida albicans pada kelompok OHI-S baik dan sedang, namun tidak pada antigen S. mutans serotype c. Pada pasien ECC dan caries free, antigen S. mutans serotype c dan Candida albicans memiliki arah dan bentuk korelasi yang positif. Kesimpulan: Peningkatan kuantitas antigen Streptococcus mutans serotype c dan Candida albicans tidak mencerminkan kondisi mulut pasien ECC maupun caries free. Peningkatan kuantitas antigen Streptococcus mutans serotype c dan Candida albicans dapat mencerminkan kondisi OHI-S pasien. Streptococcus mutans serotype c dan Candida albicans pada pasien ECC berkorelasi sementara pada pasien caries-free tidak.

 


Background: Early Childhood Caries (ECC) or early childhood caries is still considered as serious health problem, especially among children. Streptococcus mutans is known as a major cause of ECC. While other bacteria such as fungi, that is, Candida albicans, are considered to be involved in the ECC progression. Resistance or susceptibility to caries is also believed to be significantly correlated with changes in salivary protein components. Some of these oral microorganisms and salivary proteins can be functioned as biomarkers to predict caries risk and prognosis. Objective: To determine the quantity of Streptococcus mutans serotype c and Candida albicans antigens in the saliva of ECC patients and analyze the relationship between the two antigens and associated with OHI-S and dmf-t scores. Methods: S. mutans serotype c and Candida albicans were isolated from saliva samples of ECC and caries free patients were tested using Indirect ELISA to obtain the quantity of S. mutans serotype c and Candida albicans antigen, which were correlated further with OHI-S and dmf-t scores of ECC and caries free patients. Results: The highest quantity of S. mutans serotype c and Candida albicans antigens was found in caries-free patients. The highest quantity of S. mutans serotype c antigen was found in patients with very good OHI-S, whereas the highest quantity of Candida albicans was found in patients with moderate OHI-S. There was no statistically significant difference between the quantity of S. mutans serotype c antigens and Candida albicans in ECC and caries-free patients. There is a significant difference statistically between the quantity of Candida albicans antigen in the good and moderate OHI-S group, but not in the S. mutans serotype antigen c. In patients with ECC and caries free, S. mutans serotype c antigens and Candida albicans have a positive direction and form of correlation. Conclusion: Increasing the quantity of Streptococcus mutans serotype c and Candida albicans antigens did not reflect the oral condition of ECC or caries free patients. The increase in the quantity of Streptococcus mutans serotype c and Candida albicans can reflect the patient's OHI-S condition. Streptococcus mutans serotype c and Candida albicans in ECC patients correlated but in caries-free patients they did not correlate.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Assyifa Fauzia
"Latar belakang: Karies merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang umum terjadi, termasuk pada anak-anak di Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi karies gigi pada anak adalah pola pemberian makan, yaitu ASI dan PASI.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara pola pemberian makan dengan Early Childhood Caries ECC pada anak usia 3-5 tahun di Kelurahan Grogol Utara, Kebayoran Lama.
Metode: Desain cross-sectional secara analitik observasional. Metode pengambilan sampel adalah dengan convenience sampling. Data pola pemberian makan dan perilaku membersihkan gigi diambil melalui wawancara dengan ibu subjek oleh pewawancara yang telah dikalibrasi. Pemeriksaan karies gigi anak dengan menggunakan indeks defs dan pemeriksaan indeks plak dilakukan oleh dua orang dokter gigi yang telah dikalibrasi.
Hasil: Prevalensi karies gigi sulung pada 165 anak adalah sebesar 83. Terdapat perbedaan bermakna antara pemberian kolostrum p=0,017, ASI eksklusif p=0,028, frekuensi ASI p=0,001, dan lama kontak gigi dengan ASI p=0,049 terhadap skor karies gigi sulung anterior. Tidak ada variabel ASI yang menunjukkan perbedaan bermakna terhadap karies gigi sulung posterior p ge;0,05. Usia awal diberikannya PASI menunjukkan perbedaan bermakna terhadap karies gigi sulung anterior dan posterior p=0,001; p=0,041. Terdapat perbedaan bermakna antara jenis makanan atau minuman setelah gigi erupsi p=0,020 dan frekuensi susu formula p=0,005 dengan karies gigi sulung anterior. Frekuensi MP-ASI tidak menunjukkan perbedaan bermakna dengan karies gigi sulung anterior dan posterior p=0,963; p=0,591.
Kesimpulan: Pola pemberian makan anak yang meningkatkan skor karies gigi sulung anterior maupun posterior adalah usia awal diberikannya PASI, yaitu sebelum usia 6 bulan.

Background: Caries is one of the most common oral problems, including in children in Indonesia. One of the factors that influence the occurrence of caries is child's feeding methods, like breastfeeding and complementary feeding.
Aim: To obtain information about the relationship between child's feeding method and early childhood caries in children aged 3 5 years old.
Method: Analytic observational with cross sectional design. The sampling method is convenience sampling. The data of child's feeding method and oral hygiene behavior was obtained through interviewing the mother. Caries examination was done using defs assessment.
Result: The prevalence of ECC in 165 children is 83. There are significant differences between colostrum p 0,017, exclusive breastfeeding p 0,028, breastfeeding frequency p 0,001, and length of contact time between teeth and breastfeeding milk p 0,049 with anterior primary teeth caries. None of the breastfeeding methods has significant difference with posterior primary teeth caries p ge 0,05. Age of initiation of complementary feeding has a significant difference with anterior and posterior primary teeth caries p 0,001 p 0,041. There are significant differences between the type of complementary food after first tooth eruption p 0,020 and frequency of infant formula p 0,005 with anterior primary teeth caries. Frequency of complementary feeding has no significant difference with anterior and posterior primary teeth caries p 0,963 p 0,591.
Conclusion: Child's feeding method which increases early childhood caries'score in both anterior and posterior teeth is the age of initiation of complementary feeding, which is before six months old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winanda Annisa Maulitasari
"Latar Belakang: Early Childhood Caries (ECC) merupakan salah satu penyakit kronis
multifaktorial yang sering terjadi pada anak usia pra sekolah. Data penelitian
mengatakan sebanyak 65% anak usia 3-5 tahun mengalami ECC dan pada sebuah
penelitian di Jakarta tahun 2016 menunjukkan indeks def-t sebesar 7,5 pada anak usia 5
tahun sedangkan pada penelitian yang dilakukan di Bandung pada tahun 2017
didapatkan indeks def-t sebesar 7,04. Berdasarkan RISKESDAS tahun 2018, sebanyak
81,5% anak mengalami karies dengan indeks def-t sebesar 6,2 pada anak usia 3-4 tahun
dan indeks def-t sebesar 8,1 pada anak usia 5 tahun. Dalam terjadinya ECC, salah satu
faktor yang berperan dalam proteksi dari terjadinya karies gigi adalah saliva yang di
dalamnya terkandung protein saliva seperti lysozyme yang berperan dalam mekanisme
proteksi rongga mulut dari bakteri Gram-positif. Pada beberapa penelitian, kadar
lysozyme saliva berhubungan dengan skor def-t. Tujuan: Menganalisis perbedaan kadar
lysozyme saliva pada anak ECC dan bebas karies usia 3-5 tahun serta berdasarkan
tingkat karies. Metode Penelitian: Penelitian merupakan potong lintang analitik secara
laboratorik. Subjek penelitian adalah 14 anak ECC dan 14 anak bebas karies usia 3-5
tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel whole saliva tanpa stimulasi
dikumpulkan dari subjek penelitian kemudian dilakukan pengukuran kadar lysozyme
dengan uji ELISA teknik sandwich. Hasil: Kadar lysozyme saliva pada anak ECC lebih
tinggi daripada kelompok anak bebas karies serta kadar lysozyme saliva pada anak
dengan tingkat karies tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak dengan
tingkat karies rendah, secara statistik dinyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna
antara kadar lysozyme saliva anak ECC dan bebas karies usia 3-5 tahun (p < 0,05).
Kesimpulan: Kadar lysozyme saliva lebih tinggi pada anak ECC dibandingkan dengan
bebas karies usia 3-5 tahun dan peningkatan kadar lysozyme saliva terjadi pada anak
dengan tingkat karies tinggi.

Background: Early Childhood Caries (ECC) is one of common chronic multifactorial
diseases affecting preschool children. Previous study showed 65% of children aged 3-5
years experience ECC and a research in Jakarta in 2016 showed def-t index of children
aged 5 years was 7.5. According to research in Bandung in 2017 showed def-t index
was 7.04. Based on Basic Health Research in Indonesia (RISKESDAS) in 2018, 81.5%
of children experienced caries with def-t index 6.2 in children aged 3-4 years and 8.1 in
children aged 5 years. In the occurrence of ECC, one of the factors that play role in the
protection of dental caries is saliva, which contains salivary protein such as lysozyme
that play a role in the mechanism of protecting oral cavity from Gram-positive bacteria.
In several studies, salivary lysozyme levels were associated with def-t score. Objective:
To analyze differences in salivary lysozyme levels in ECC and caries-free children aged
3-5 years and based on caries levels. Methods: This study is a laboratory analytical
cross-sectional study. Subjects were 14 ECC children and 14 caries-free children aged
3-5 years that in line with the inclusion criteria. Unstimulated whole saliva were
collected from subjects. Salivary lysozyme levels were measured by ELISA sandwich
method. Results: Salivary lysozyme levels in ECC children was higher than in cariesfree
and salivary lysozyme levels in children with high caries level higher than in
children with low caries level, it was statistically stated that there was a significant
differences between the levels of lysozyme in children with ECC and caries-free
children aged 3-5 years (p < 0.05). Conclusion: Salivary lysozyme levels were higher in
ECC children compared to caries-free children aged 3-5 years and increased levels of
salivary lysozyme occurred in children with high caries level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Greta Putri Arini
"Karies gigi adalah salah satu penyakit menular kronis yang paling
umum pada anak-anak usia prasekolah. Bentuk agresif karies gigi pada gigi sulung anak
di bawah, sampai dengan usia 71 bulan disebut dengan Early Childhood Caries (ECC).
Indonesia melaporkan prevalensi dan keparahan ECC yang tinggi hingga mencapai angka
90%. DKI Jakarta memiliki prevalensi sebesar 81,2%. Faktor risiko utama ECC yaitu
host (gigi dan saliva), mikroorganisme kariogenik, dan karbohidrat (substrat).
Mikroorganisme kariogenik yang berperan yaitu Streptococcus mutans. Penelitian di
Jakarta pada anak usia 3-5 tahun yang memiliki karies, menunjukkan bahwa serotipe f
merupakan jenis yang paling banyak di temukan (85,5%), diikuti dengan serotipe c
(74,2%), serotipe e (22,6%) dan serotipe d (19,4%). Penelitian lainnya di Jakarta
menemukan bahwa kombinasi serotipe c dan f lebih tinggi pada anak yang memiliki
karies. Streptococcus mutans serotipe c dan f berperan dalam patogenesis karies gigi, hal
tersebut sesuai dengan tingginya tingkat karies gigi di Indonesia. Salah satu faktor host
yaitu saliva, merupakan cairan tubuh yang kompleks yang terdiri dari unsur-unsur
organik dan anorganik yang penting untuk kesehatan rongga mulut. Komposisi protein
saliva seperti Lactoferrin sangat penting karena memiliki kemampuan antibakteri serta
berperan dalam sistem imun bawaan dan adaptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis kadar Lactoferrin saliva antara anak Early Childhood Caries (ECC) dan
bebas karies pada usia 3-5 tahun. Metode penelitian: Desain penelitian ini adalah potong
lintang analitik secara laboratorik. Penelitian ini dilakukan pada 14 anak dengan ECC
dan 14 anak bebas karies. Saliva didapat dari seluruh subjek dan kadar LF diukur
menggunakan metode ELISA sandwich. Hasil: Analisis data menggunakan uji Mann
Whitney U menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kadar Lactoferrin anak
ECC dan anak bebas karies dengan nilai p=0,006 (p<0,05). Kesimpulan: Kadar
Lactoferrin saliva anak Early Childhood Caries (ECC) lebih tinggi dari anak bebas karies
yang menunjukkan bahwa Lactoferrin dapat menjadi indikator peningkatan risiko Early
Childhood Caries (ECC).
Backgrounds: Dental caries is one of the most common chronic infectious diseases in
preschool children. The aggressive form of dental caries in the primary teeth of children
under and up to the age of 71 months is called Early Childhood Caries (ECC). Indonesia
reports a high prevalence and severity of ECC (90%). DKI Jakarta has a prevalence
81.2%. The main risk factors for ECC are hosts (teeth and saliva), cariogenic
microorganisms, and carbohydrates (substrates). The cariogenic microorganisms that
play a role are Streptococcus mutans. Research in Jakarta on children aged 3-5 years who
had caries, showed that serotype f was the most common type (85.5%), followed by
serotype c (74.2%), serotype e (22.6%) and serotype d (19.4%). Another study in Jakarta
found that the combination of serotypes c and f was higher in children with caries.
Streptococcus mutans serotypes c and f play a role in the pathogenesis of dental caries,
which is consistent with the high level of dental caries in Indonesia. One of host factor,
saliva, is a complex body fluid consist of organic and inorganic elements that are
important for oral health. Salivary protein such as Lactoferrin is very important because
it has antibacterial ability and plays an important role in innate and adaptive immune
system. The purpose of this study is to analyze Lactoferrin levels between Early
Childhood Caries (ECC) and caries-free children aged 3-5 years. Methods: The design
of this study is cross-sectional analytical laboratory. This study was conducted on 14
children with ECC and 14 caries-free children. Saliva were taken from all subjects and the
Lactoferrin levels were measured using ELISA sandwich method. Results: Data analysis
using the Mann Whitney U test showed that there were significant differences between
the levels of salivary Lactoferrin in children with ECC and caries-free children with pvalue
0,006 (p<0,05). Conclusion: Salivary Lactoferrin levels in Early Childhood
Caries (ECC) were higher than caries-free children which indicate that Lactoferrin can
be an indicator of an increased risk of Early Childhood Caries (ECC)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faradina Siti Zahra
"ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mengetahui efektifitas SDF dalam menghambat
aktivitas karies gigi sulung serta melihat hubungan keadaan intraoral dengan
keefektifitasan SDF dalam menghambat aktivitas karies gigi sulung pada anak. 115
anak karies dentin aktif pada anak 2,5-6 tahun diaplikasikan SDF, selanjutnya
dievaluasi setelah 3 dan 10 bulan dan keadaan intraoral diperiksa. Evaluasi setelah 10
bulan menunjukkan 69,7% permukaan karies aktif menjadi terhenti. Uji statistik
menunjukkan karies aktif yang diaplikasikan SDF memiliki peluang 9.9 kali menjadi
terhenti setelah 3 bulan, dan 6.4 kali setelah 10 bulan. Serta terdapat korelasi negatif
bermakna secara statistik antara pulpitis dan skor pufa dengan keberhasilan
intervensi SDF.

ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the effectiveness of SDF in
inhibiting dental caries activity on primary teeth and find the relationship between
intraoral situation with effectiveness of SDF in inhibiting childhood caries activity.
115 children 2,5-6 years were applicated SDF on teeth that have active dentin caries,
and then evaluated after 3 and 10 months. Intraoral state was examined. Evaluation
after 10 months showed 69.7% surface active caries to be arrested. The statistical test
showed that the active caries applied SDF have chance 9.9 times becoming arrested
after 3 months, and 6.4 times after 10 months. There is a negative correlation
statistical significance of pulpitis and PUFA index with SDF intervention success."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
An Nisaa Nur Citra Dien
"Kerjasama ayah dan ibu sebagai orangtua memiliki peran penting dalam memberikan stimulus yang optimal terhadap perkembangan anak. Namun, dalam kultur patriaki di Indonesia, seringkali terdapat pandangan yang memisahkan peran ayah dan ibu dalam pengasuhan. Ayah cenderung hanya berperan sebagai pencari nafkah, sementara tugas-tugas domestik termasuk pengasuhan anak lebih sering diberikan pada perempuan. Padahal, dalam berbagai penelitian keterlibatan ayah memiliki dampak positif tehadap perkembangan anak. Kondisi ini memicu peneliti untuk membuat intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak khususnya usia 3- 5 tahun. Program intervensi yang dilakukan adalah pelatihan fathering dengan metode participatory training dan mengacu pada teori three-steps change model yang dikemukakan oleh Lewin. Penelitian ini merupakan penelitian quasi-exeperimental dengan desain penelitian pretest-posttest nonequivalent group design. Pretest akan dilakukan sebelum pelatihan dimulai, sedangkan posttest dilakukan langsung setelah selesai pelatihan dan seminggu setelah pelatihan. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan pelatihan fathering terhadap peningkatan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia 3- 5 tahun ditunjukkan dengan nilai uji signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05). Hasil intervensi ini dapat digunakan untuk mengembangakan modul pelatihan sejenis selanjutnya.

Collaboration between father and mother as parents has an important role in providing optimal stimulus for child development. However, in a patriarchal culture like in Indonesia, there is often a view that separates the role of father and mother in caring children. Fathers tend to only act as breadwinners, while domestic tasks including child care are more often given to women. In various studies, father involvement has a positive impact on children's development. This condition triggered researcher to make interventions aimed at increasing father involvement in parenting children especially those aged 3- 5 years. The intervention program carried out was fathering training with participatory training methods and referring to the three-step change model proposed by Lewin. This research is a quasi- experimental research with a pretest- posttest nonequivalent group design research design. The pretest will be conducted before the training begins, while the posttest will be conducted immediately after the training is finished and a week after the training. The conclusion of the results of this study is that there is a significant effect of fathering training on increasing father involvement in the care of children aged 3- 5 years indicated by a significance test value of 0,000 (<0.05). The results of this intervention can be used to develop the next type of training module."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T52519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhekti Setya Ningrum
"Anak usia dini perlu mendapat asupan nutrisi yang baik dan adekuat untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Salah satu upaya pemenuhan asupan nutrisi adalah melalui sarapan. Kebiasaan sarapan yang ditanamkan sejak anak dalam usia dini dapat mendukung pola pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Penelitian ini bertujuan menggambarkan kebiasaan sarapan pada anak usia dini yang berada di Pendidikan Anak Usia Dini Kelurahan Cijantung, Jakarta Timur. Desain penelitian ini adalah deskriptive dengan menggunakan sampel anak usia dini yang berada di Pendidikan Anak Usia Dini Cijantung Jakarta Timur dan berusia 3-5 tahun. Responden berjumlah 103 anak yang dipilih dengan teknik stratified random sampling. Instrumen yang digunakan adalah instrumen untuk menggambarkan kebiasaan sarapan pada anak usia dini yang dikembangkan sendiri. Hasil penelitian ini menggambarkan sebagian besar responden memiliki frekuensi sarapan 6-7 kali dalam seminggu, 62,1% responden menyatakan malas untuk sarapan, dan 82,5% waktu sarapan pada saat sebelum berangkat sekolah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya yang memiliki fokus kebiasaan sarapan anak usia dini.

Children in early childhood phase need a good and adequate intake of nutrition to support their growth and development. One way to fulfill the intake of nutrition is by giving them breakfast. Breakfast habits that is planted since early childhood phase can support the next pattern of children's growth and development. This study aimed to describe the breakfast habits of children in early childhood phase in Early Childhood Education at Cijantung District, East Jakarta. The design of this study was simple descriptive research design. The sample was children in early childhood phase in Early Childhood Education at Cijantung district East Jakarta whose aged 3 until 5 years old. The respondents used were chosen by stratified random sampling technique, were 103 in number. Instrument which developed by researcher was used to describe breakfast habits of early childhood. The result of this study showed that the majority respondents had breakfast 6-7 times in a week, 62,1% respondent did not have breakfast because of feeling lazy, and 82,5% respondent had breakfast before go to school. The result of this study can be used as a reference for the next study focusing on breakfast habits of children in early childhood phase.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S57574
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melani Rakhmi Mantu
"ABSTRAK
Latar belakang: Penting bagi orangtua untuk mengetahui apakah anaknya telah memiliki kesiapan dan kematangan masuk sekolah. Di Indonesia belum ada alat skrining yang mudah dan efisien untuk menilai kesiapan bersekolah seorang anak bagi dokter anak. Brigance Early Screen III merupakan alat skrining untuk mendeteksi gangguan perkembangan sekaligus menilai kesiapan memasuki dunia pendidikan  anak usia 3-5 tahun  yang terstandarisasi dan mudah digunakan ,tetapi belum diuji kesahihan interna dan keandalanya dalam bahasa Indonesia.
Tujuan: Menguji kesahihan interna dan keandalan kuesioner BRIGANCE Early Screen III bahasa Indonesia sebagai alat penapisan keterlambatan perkembangan dan kesiapan awal bersekolah anak usia 3-5 tahun
Metode: Penelitian potong lintang  pada 3 kelompok umur (3,4 dan 5 tahun) di Kelurahan Tanah Tinggi, Johar baru, Jakarta Pusat. Penelitian dibagi 2 tahap,  pertama (Januari-Februari 2019) merupakan adaptasi transkultural  dari bahasa Inggris ke Indonesia. Tahap kedua (Mei-Juni 2019) merupakan uji kesahihan dan keandalan kuesioner BRIGANCE  bahasa Indonesia dengan minimal 30 anak setiap kelompok umur, menggunakan metode consecutive non-random sampling. Uji kesahihan konstruksi dianalisis menggunakan Pearson correlation dan sahih jika nilai rho (r) > 0,3. Uji keandalan dinilai uji konsistensi internal yang dianalisis dengan menggunakan Alpha Cronbach's coefficient dengan nilai Cronbach's Alpha minimum 0,6.
Hasil: Uji kesahihan  interna menunjukkan beberapa butir pertanyaan yang tidak sahih pada kuesioner di semua kelompok usia disebabkan karena homogenitas jawaban, proses transkulturasi budaya dan bahasa serta jumlah subyek yang kurang banyak.  Hasil test dan re-test didapatkan korelasi tiap butir pertanyaan per-domain menunjukkan kesahihan baik dengan nilai r > 0,80. Kuesioner  usia 3 dan 5 tahun  menunjukkan keandalan baik (Cronbachs alpha 0,662 dan 0,712). Sedangkan kuesioner untuk kelompok usia 4 tahun tidak andal  Cronbachs alpha 0,452).
Kesimpulan: Kuesioner Brigance Early Screen III  usia 3 dan 5 tahun  telah teruji sahih dan andal dipergunakan sebagai alat deteksi gangguan  perkembangan dan penilaian awal  kesiapan anak bersekolah. Kuesioner  usia 4 tahun  yang tidak sahih dan tidak  andal  diperlu dilakukan peninjauan ulang periode adaptasi transkultural.

ABSTRACT
Background: It is important for parents to find out whether their child has school readiness In Indonesia there is no easy and efficient screening tool to assess  school readiness used by  pediatrician. Brigance Early Screen III is a screening tool to detect developmental disorders while assessing school  readiness which already standardized and easy-to-use  for children, but has not yet been tested for internal validity and reliability.
Aim: To find out the internal validity and reliability of the Indonesian language BRIGANCE Early Screen III questionnaire as a screening tool for developmental delays and  early assesment school readiness  for children aged 3-5 years.
Methods: A cross-sectional study in 3 age groups (3.4 and 5 years) in Tanah Tinggi, Johar Baru, Central Jakarta. The study was divided into two phases, first phase (January-February 2019) was a transcultural adaptation of English into Indonesian. The second phase  (May-June 2019) was the validity and reliability test of the Indonesian BRIGANCE questionnaire with a minimum of 30 children per age group, using the consecutive non random sampling method. The analyzed test  using Pearson correlation and valid if the value of rho (r) > 0.3. Reliability tests were assessed for internal consistency tests analyzed using Alpha Cronbach's coefficient with  minimum 0.6.
Results: The internal validity test  showed some  non valid questions in all off those groups. This can be due to the homogeneity of the answers, process of transculturation of culture and language, and insufficiency  number of subjects. Reliability of the Indonesian language Brigance Early Screen III questionnaire at ages 3 and 5 showed good reliability (Cronbachs alpha 0.662 and 0.712). Whereas for the age group of 4 years showed poor reliability (Cronbachs alpha 0.452). Correlation of each item per-domain questions generally showed good validity with a value of r> 0.80.
Conclusion: Brigance Early Screen III age 3 and 5 Indonesian language questionnaires proved to be valid and  reliable as a developmental screening  tool and early assessment for   school readiness. The  4-year questionnaire showed poor validity and reliability and need further re-assesment."
2019
T55565
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>