Ditemukan 169017 dokumen yang sesuai dengan query
Wenny Wandasari
"Penelitian ini dirancang untuk mengetahui hubungan antara resiliensi keluarga dan family sense of coherence pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin serta sumbangan komponen family sense of coherence terhadap resiliensi keluarga. Resiliensi keluarga diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Walsh (2012). Family Sense of coherence diukur dengan rnenggunakan instrumen yang dikembangkan Antonovsky dan Sourani (1988). Partisipan penelitian adalah 238 mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin.
Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif dan signifikan antara resiliensi keluarga dan family sense of coherence (r = 0,621, p < 0.01). Komponen comprehensibility pada family sense of coherence memberi sumbangan paling besar terhadap resiliensi keluarga. Di samping itu, dari hasil analisis tambahan diperoleh bahwa resiliensi keluarga dipengaruhi oleh struktur keluarga.
This study was designed to investigate correlation between family resilience and family sense of coherence among college students from poor families and also the contribution of family sense of coherence?s components to family resilience. Family resilience was measured by Walsh?s family resilience instrument (2012) and family sense of coherence was measured by Antonovsky and Sourani's instrument (1988). A sample of 238 college students from poor familiesparticipated in this study.The results show positive and significant correlation between family resilience and family sense of coherence (r = 0,621, p < 0,01). Comprehensibility is the family sense of coherence?s component contributes the most to family resilience. Furthermore, family resilience was influenced by family structure."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Priska Novia Shabhati
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran hubungan antara resiliensi keluarga dan harapan pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. Pengukuran resiliensi keluarga menggunakan alat ukur Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) yang disusun oleh Walsh (personal communication, 1 April, 2012) dan pengukuran harapan menggunakan alat ukur State Hope Scale (SHS) yang disusun oleh Snyder (1994). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 247 mahasiswa S1 Reguler yang berasal dari keluarga miskin.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi keluarga dan harapan pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin (r = 0.388; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, semakin tinggi resiliensi keluarga yang dimiliki suatu keluarga, semakin tinggi harapan yang dimiliki. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 15.1% skor resiliensi keluarga dapat dijelaskan oleh skor harapan. Berdasarkan hasil tersebut, penting dilakukan intervensi pengembangan harapan, sebagai faktor pendorong terbentuknya resiliensi keluarga.
This research was conducted to find the correlation between family resilience and hope among college students from poor families. Family resilience was measured using Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) that originally constructed by Walsh (personal communication, April 1, 2012) and hope was measured using the original version of State Hope Scale (SHS) by Snyder (1994). The participants of this research are 247 college students who come from poor families.The main results of this research show that family resilience positive significantly correlated with hope (r = 0.388; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). That is, the higher family resilience, the higher showing hopes. In addition, the result shows that 15.1% of family resilience score can be explained by the score of hope. Based on these results, it is important to develop hope intervention, as one of protective factor of family resilience."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Amatul Firdausa Nasa
"Keyakinan memengaruhi pemahaman dan reaksi keluarga terhadap kesulitan yang dihadapi dan kemampuan mereka untuk mengatasinya (Patterson, 2002). Salah satu keyakinan yang ada dalam keluarga adalah optimisme (Warter, 2009). Menurut Taylor dkk (2010), optimisme merupakan sumber psikologis bagi keluarga dalam menghadapi kesulitan, terutama keluarga yang menghadapi kemiskinan. Optimisme dipandang sebagai karakteristik yang dapat meningkatkan fungsi resiliensi (Taylor dkk, 2010). Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara resiliensi keluarga dan optimisme pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. Penelitian ini melibatkan sebanyak 247 mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi dengan mengisi kuesioner resiliensi keluarga dan optimisme. Resiliensi keluarga diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Walsh (2012) yaitu Walsh Family Resiliensce-Questionnaire (WFRQ). Sedangkan optimisme diukur dengan menggunakan alat ukur Life Orientation Test-Revised (LOT-R) yang dikembangkan oleh Scheier, Carver dan Bridges (1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi keluarga dan optimisme mempunyai korelasi positif yang signifikan (r = 0.331, p = 0.000). Selain itu, melalui hasil analisis tambahan juga ditemukan perbedaan mean resiliensi keluarga yang signifikan pada struktur keluarga (orangtua lengkap dan orangtua tunggal) dan juga perbedaan mean optimisme yang signifikan pada aspek pekerjaan ibu.
Belief are thougt to impact how family understands and respond to exposure the risk of adversity and ability to protect themselves (Patterson, 2002). Optimism is one of belief in family (Warter, 2009). According to Taylor et al (2010), optimism is a psychological resource for families faced adversity, especially families living in poverty. Optimism is a characteristic that may promote resilient functioning (Taylor dkk, 2010). This research was conducted to investigate the correlation between family resilience and optimism among college students from families living in poverty. This study involved 247 Bidikmisi scholarship students by filling out the questionnaire family resilience and optimism. Family resilience was measured by Walsh Family Resilience-Questionnaire (WFRQ) constructed by Walsh (2012). While optimism was measured by Life Orientation Test-Revised (LOT-R) constructed by Scheier, Carver and Bridges (1994). The results showed that family resilience and optimism has a significant positive correlation (r = 0.331, p = 0.000). In addition, through the results of additional analysis also found that were significant mean differences of family resilience on family structure (two parents and single parents) and also significant mean differences of optimism on maternal occupation aspect."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Vismaia Nur Fitriani
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat kontribusi resiliensi keluarga terhadap kesehatan mental pada remaja yang berasal dari keluarga miskin. Penelitian ini melibatkan sebanyak 104 remaja berusia 12 18 tahun dengan mengisi kuesioner resiliensi keluarga dan kesehatan mental positif. Resiliensi keluarga diukur dengan menggunakan alat ukur Walsh Family Resilience Questionnaire yang dikembangkan oleh Froma Walsh pertama kali pada tahun 1998. Sedangkan kesehatan mental diukur dengan menggunakan Mental Health Continuum Short Form yang diperkenalkan oleh Keyes C L M pada tahun 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi keluarga berpengaruh sebesar 19 2 terhadap kesehatan mental R2 0 192 p 0 000. Pada hasil analisis tambahan ditemukan perbedaan mean resiliensi keluarga yang signifikan pada keterlibatan individu dalam kegiatan.
The aim of this research is to examine the contribution of family resilience toward mental health among adolescent from families living in poverty. This research involved 104 students age 12 ndash 18 and they fill out the questionnaire of family resilience and mental health. Family resilience was measured by Walsh Family Resilience Questionnaire developed by Froma Walsh in 1998 Mental health was measured by Mental Health Continuum Short Form introduced by C L M Keyes in 2002. The result showed that family resilience has an effect of 19 2 on mental health R2 0 192 p 0 000. In additional analysis researcher found that there was a significant mean differences of family resilience and activity involvement."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S58984
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Fira Rahmadina S.
"Penelitian ini dirancang untuk mengetahui hubungan antara keberfungsian keluarga dengan resiliensi keluarga pada mahasiswa baru Universitas Indonesia. Keberfungsian keluarga diukur menggunakan instrumen Family Adaptation and Cohesion Evaluation Scale (FACES II) dan Family Communication Scale (FCS), sedangkan resiliensi keluarga diukur menggunakan instrumen Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ). Terdapat 315 partisipan penelitian yang merupakan mahasiswa baru Universitas Indonesia yang tersebar di 14 fakultas.
Hasil penelitian menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan antara keberfungsian keluarga dan resiliensi keluarga (r = 0,667, p<0,01). Dari ketiga dimensi yang terdapat dalam keberfungsian keluarga, yaitu kohesivitas, fleksibilitas, dan komunikasi, dimensi yang memiliki korelasi paling tinggi adalah komunikasi (r = 0,729, p<0,01). Sebagian besar partisipan memiliki tingkat keberfungsian keluarga dan resiliensi keluarga yang tergolong tinggi dan terdapat perbedaan tingkat resiliensi antara partisipan yang memiliki tingkat keberfungsian tinggi dan rendah.
This study was designed to investigate correlation between family functioning and family resilience among freshmen in University of Indonesia. Family functioning was measured by Family Adaptation and Cohesion Evaluation Scale (FACES II) and Family Communication Scale (FCS), and family resilience was measured by Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ). There were 315 participants from 14 faculties in University of Indonesia participated in this study.The results show significant and positive correlation between family functioning and family resilience (r = 0,667, p<0,01). From three dimentions in family functioning, cohesion, flexibility, and communication, communication has the highest correlation with family functioning (r = 0,729, p<0,01). Most of the participants had the high level of family functioning and family resilience and there were different level of family resilience between participants who had high and low level of family functioning."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S58455
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Anne Ivana Samanhudi
"Resiliensi keluarga menjelaskan mengenai proses keluarga dalam menyelesaikan masalah dan beradaptasi sebagai satu kesatuan yang fungsional. Walsh (2003) membuat suatu model bagi resiliensi keluarga yang di dalamnya dijelaskan mengenai tiga proses kunci yang dianggap berkontribusi terhadap resiliensi keluarga: sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi di dalam keluarga. Penelitian ini ingin melihat pengaruh mindset yang merupakan bagian dari sistem kepercayaan keluarga terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin.
Penelitian dilakukan pada 330 mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi. Terdapat dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Walsh Family Resilience Questionnaire (WRFQ) untuk mengukur resiliensi keluarga, dan Theory of Intelligence Scale (TIS) untuk mengukur mindset. Kesimpulan yang diperoleh adalah tidak terdapat pengaruh mindset yang signifikan terhadap resiliensi keluarga.
Family resilience refers to coping and adaptation processes in the family as a functional unit (Walsh, 2006). There is a model of family resilience based on Walsh (2003) which consists of three key processes: family belief system, organizational pattern, and communication processes. This research aims to know the effect of mindset as part of family belief system, in family resilience of college students with poor family background. Total participant are 330 college students who receive Bidikmisi scholarship. There are two scales used in this research, Walsh Family Resilience Questionnaire (WRFQ) to measure family resilience and Theory of Intelligence Scale (TIS) to measure mindset. This research concludes that there is no significant effect of mindset in family resilience."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S52560
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Siti Rizky Ramdhana
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara kualitas attachment dan psychological well-being pada remaja dari keluarga miskin perkotaan. Attachment dibagi dalam dua kelompok figur yang paling dekat diusia remaja yakni orangtua dan peer. Variabel kualitas attachment pada orangtua dan peer diukur menggunakan The Inventory Parent Peer Attachment (IPPA Revision) yang terdiri dari masing-masing 12 item pada bagian orangtua dan peer yang mencakup dimensi communication, trust dan alienation.
Alat ukur ini telah divalidasi dan diterjemahkan oleh peneliti dari alat ukur asli yang dibuat Armsden dan Greenberg (1987). Variabel lainnya yakni psychological well-being diukur dengan alat ukur self-report yang diadaptasi dari penelitian oleh Putri (2012), yang menggunakan Ryff's Scale of Psychological Well-Being (RPWB) (1989). Penelitian melibatkan 122 partisipan laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama berusia 11-18 tahun dan berasal dari daerah Jabodetabek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kualitas attachment pada orangtua dan peer dengan psychological well-being dimana jika remaja memiliki kualitas attachment yang tinggi maka ia akan memiliki psychological well-being yang tinggi. Namun, dalam penelitian ini ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel lain yang menjadi karakteristik partisipan seperti jenis kelamin, usia, jumlah teman, jumlah saudara kandung dan urutan kelahiran terhadap kualitas attachment dan psychological well-being.
The objective of this research is to investigate the correlation between quality of attachment and psychological well-being among adolescent from poor urban family. Attachment divided into two figure groups that closer to adolescent group, parents and peer. Quality of attachment to parents and peer was measured using used The Inventory Parent Peer Attachment (IPPA Revision) which consist of 12 items each in parents's and peer's part which cover communication, trust and alienation's dimension. This measurement is validated and translated by researcher from the original measurement created by Armsden and Greenberg (1987). Psychological well-being was measured using self-report scale which is adopted by Putri (2012) from Ryff's Scale of Psychological Well-Being (RPWB) (1989). The respondents of this research are 122 male and female adolescents with the same proportion from age 11-18 years old and living in Jabodetabek area. The result of the research shows that quality of attachment to parents and peer with psychological well-being are significantly and positively correlated when adolescents's quality of attachment is high they will have a high score on psychological well-being too. Furthermore, this research found there is no correlation among the others variables which are the characteristics of respondents, sex, age, number of peer, number of siblings, and birth order to quality of attachment and psychological well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45517
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Diptya Ratri Pratiwi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara parentification dan autonomy pada remaja dari keluarga miskin perkotaan. Parentification diukur dengan menggunakan Parentification Inventory (Hooper, 2009) yang telah diadaptasi oleh Fivi Nurwianti. Adapun Autonomy diukur dengan menggunakan Index of Autonomous Functioning (Weinstein, Przybylski, & Ryan, 2012) yang diadaptasi oleh peneliti. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 210 remaja usia 11-20 tahun yang berasal dari keluarga miskin perkotaan di Jabodetabek.
Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parentification dan autonomy pada remaja dari keluarga miskin perkotaan di Jabodetabek (r = 0.158, p < 0.05, two-tailed). Artinya semakin tinggi parentification pada remaja dari keluarga miskin perkotaan di Jabodetabek, maka semakin tinggi juga autonomy pada remaja tersebut.
The aim of this study was to find out the relationship between parentification and autonomy in adolescents from poor urban families. Parentification was measured using Parentification Inventory (Hooper, 2009) which has been adapted by Fivi Nurwianti. Autonomy was measured using the Index of Autonomous Functioning (Weinstein, Przybylski, & Ryan, 2012) that was adapted by the researcher. Respondents in this research were 210 adolescents aged 11-20 years who came from poor urban families in Jabodetabek. The main result of this study indicates that there is a significant positive relationship between parentification and autonomy in adolescents from poor urban families in Jabodetabek (r = 0.158, p < 0.05, two-tailed). It means that when the parentification in adolescents from poor urban families in Jabodetabek are high, the autonomy of the adolescents will be high too."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60459
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Farah Chairunnisya Prasevie
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara parentification dengan empati pada remaja dari keluarga miskin. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Parentification diukur dengan menggunakan Parentification Inventory (PI) yang disusun oleh Hooper (2009) yang telah diterjemahkan dan diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Empati diukur dengan menggunakan Interpersonal Reactivity Index (IRI) yang disusun oleh Davis (1980) yang telah diterjemahkan dan diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Partisipan penelitian ini berjumlah 210 remaja berusia 11-20 tahun yang berasal dari keluarga miskin. Hasil utama penelitian ini didapatkan bahwa parentification berkorelasi secara positif dan signifikan dengan empati, r = 0.171 dengan p < 0.05 (2-tailed). Hasil ini menyatakan bahwa semakin tinggi parentification yang dialami remaja miskin, maka semakin tinggi pula empatinya.
This research was conducted to find the correlation between parentification and empathy in adolescents from poor family. This study used the quantitative approach. Parentification was measured using a Parentification Inventory (PI) which is compiled by Hooper (2009) which has been adapted to the Indonesian context. Empathy was measured using Interpersonnal Reactivity Index (IRI) were compiled by Davis (1980) which has been adapted to the Indonesian context. These participants of this research are 210 adolescents (11-20 years old) from poor family. The main result of this study showed that parentification significantly and positively correlated with empathy, r = 0.171, p < 0.05 (2-tailed). The result of this study stated that the higher level of parentification of one?s own, the higher his/her levels of empathy."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59282
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Aulia Rahma Fadhilah
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran trait kepribadian terhadap hubungan keberfungsian keluarga dengan kesehatan mental pada Individu dari keluarga miskin. Instrumen yang digunakan untuk mengukur keberfungsian keluarga adalah Family Adaptation and Cohesion Evaluation Scale (FACES II) serta Family Communication Scale (FCS). Kesehatan mental diukur dengan instrumen Mental Health Inventory (MHI-5). Trait kepribadian diukur menggunakan instrumen Big Five Inventory-Kurzversion. Partisipan pada penelitian ini sebanyak 155 partisipan yang berusia 19 hingga 25 tahun yang berasal dari keluarga miskin.
Dari hasil analisis menggunakan parallel multiple mediation dengan PROCESS Hayes, didapatkan bahwa trait Neuroticism merupakan mediator yang signifikan untuk hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kesehatan mental pada individu dari keluarga miskin, ab = 0,08, p<0,05; c? = 0,101, p>0,05. Trait Neuroticism mempengaruhi hubungan keberfungsian keluarga dengan kesehatan mental sebesar 34,65%. Akan tetapi, trait Extraversion, Openness to experience, Conscientiousness, dan Agreeableness bukan merupakan variable mediator.
This study aims to examine the role of personality trait in the relationship with the family functioning on the mental health of children from poor families. The instrument used to measure the family functioning is Family Adaptation and Cohesion Evaluation Scale (FACES II) and Family Communication Scale (FCS). Mental health was measured with Mental Health Inventory (MHI-5). Personality trait was measured withBig Five Inventory-Kurzversion. Participants in this study were 155 participants, aged 19 to 25 years old who came from poor families. The analysis using parallel multiple mediation by PROCESS Hayes, found that the trait Neuroticism is a significant mediator of the relationship between family functioning and mental health of children from poor families, ab = 0.08, p <0.05; c '= 0.101, p> 0.05. Trait Neuroticism affect the relationship of family functioning with mental health amounted to 34.65%. However, trait Extraversion, Openness to experience, Conscientiousness, and Agreeableness are not a mediator variable."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S65627
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library