Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 204407 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arini Soetomo
"Lama hari rawat (LHR) prabedah merupakan bagian dari lama hari rawat (LHR) secara keseluruhan. Berhubung lama hari rawat merupakan saiah satu unsur dari indikator efisiensi rumah sakit, maka memanjangnya LHR prabedah akan ikut menurunkan penampilan rumah sakit dan hal ini merupakan masalah bagi administrator rumah sakit. Dari hasil pengamatan sebelumnya diketahui bahwa LHR prabedah berencana (murni dan setengah murni) di IRNA-RSCM cukup tinggi yaitu 15 hari dengan SD = 7,17 hari. Memanjangnya LHR prabedah ini bisa disebabkan berbaqai macam faktor antara lain manajemen penerimaan pasien yang kurang baik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai manajemen penerimaan pasien dan hubungan nya dengan LHR prabedah berencana.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan pengumpulan data primer berupa kwesioner dan data sekunder dengan pengamatan prospektif. Untuk penelitian ini digunakan 8 unit analisis yang berada di IRNA RSCM. Dari pengumpulan data primer didapatkan gambaran mengenai koordinasi dan seleksi penerimaan pasien prabedah dalam manajemen penerimaan pasien. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis persen dan uji Multiserial Correlation.
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di Instalasi Rawat Nginap A (IRNA) rata-rata LHR prabedah berencana murni masih cukup tinggi. Namun hanya sebagian kecil responden yang menyadari adanya masalah ini. Demikian juga pentingnya pengaturan sensus pasien untuk pengendalian LHR prabedah, baru disadari oleh sebagian kecil responden. Pada pengujlan hipotesis terbukti bahwa semakin baik koordinasi dalam manajemen penerimaan pasien semakin rendah LHR prabedah berencana murni dan semakin baik seleksi penerimaan pasien bedah berencana murni semakin rendah LHR prabedahnya. Selanjutnya dalam saran dikemukakan untuk mengatasi masalah tersebuh perlu perbaikan dan pengembangan sistem informasi yang ada. Telah dikemukakan juga mengenai model arus informasi untuk keperluan manajemen penerlmaan pasien di IRNA. One day care surgery dimasukkan sebagai salah satu usulan untuk mengurangi kebutuhan rawat nginap."
Depok: Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kecenderungan meningkatnya penyakit degeneratif dan penyakit kronis seperti
kanker, stroke, diabetes dan HIV/AIDS terus bertambah. Umumnya penyakit-
penyakit tersebut berakhir dengan kondisi terminal karena sulit disembuhkan dan
memerlukan perawatan paliatif (Depkes, 006).
Angka kejadian kanker diperkirakan 100 kasus per 100.000 orang pertatwun
Stroke di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo rata-rata 1000 orang pertahun
sedangkan kasus Diabetes Militus tahun 2005 terjadi 250.000 orang daIam
setahun (Depkes 2006). Penyakit HIV menurut WHO untuk negara yang belum
merata melakukan tes HIV secara sukarela (seperti Indonesia) maka setiap
kasus HIV positif yang terdeteksi artinya ada 100 orang yang belum terdeteksi
(Nunuk dan Ririn, 2000).
Penyakit-penyakit di atas membutuhkan perawatan yang kompleks apabila
sudah sampai pada kondisi terminal. Umumnya klien dengan kondisi terminal
dirawat di rumah, sehingga setiap anggota keluarga akan bertanya tentang apa
dan bagaimana efek penyakit tersebut pada klien (Crisp dan Taylor, 2001).
Pengetahuan dasar yang dimiliki perawat untuk memberikan asuhan klien
dengan penyakit terminal di rumah penting disusun agar perawat dapat
melaksanakan asuhan secara optimal."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth
"Adanya stoma di tubuh klien dapat bersifat sementara atau permanen. Perubahan ini menjadi ancaman body image dan konsep diri yang dapat sebagai stressor karena mengancam integritas klien. Stressor menimbulkan berbagai respon psikologis seperti cemas dan depresi. Respon psikologis yang dirasakan klien juga mempunyai dampak pada anggota keluarga dan orang yang berarti.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak psikologis pada pasangan klien dengan ostomy. Penelitian dilakukan di IRNA A lantai III, IV dan V RSUPN Cipto Mangunkusumo dari tanggal 27 sampai 31 Agustus 2001 dengan metode purposive sampling dan besar sampel 20 orang.
Desain penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan uji statistik tendensi sentral, yaitu : modus, median dau mean.
Hasil analisa dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dampak psikologis pada pasangan klien dengan ostomy adalah cemas ringan dan tidak depresi. Penelitian lebih lanjut mengenai hal ini masih diperlukan. Bagi praktek keperawatan, penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengembangkan model atau bentuk-bentuk perencanaan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan keluarga beradaptasi pada klien dengan ostomy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA4970
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ade Junaidi
"Status indeks masa tubuh pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis menjadi suatu penentuan tingkat morbiditas dan mortalitas. Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dapat mengalami penurunan atau peningkatan indeks masa tubuh. Kami menggunakan metode potong lintang pada studi ini. Penelitian dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di bangsal hemodialisis Subbagian Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM pada bulan Februari 2009. Kemudian diambil data dari status pasien mengenai berat badan kering dan tinggi badan pasien saat pertama kali menjalani hemodialisis dan bulan februari 2009. Berdasarkan perubahan indeks massa tubuh maka data ini dibagi atas 2 kelompok yaitu kelompok dengan peningkatan indeks masa tubuh dan penurunan indeks masa tubuh. Pasien berumur rerata 50,4 ± 13,4 tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita, dan lama menjalani hemodialisis rerata 2.3 tahun (0.3-17.5). Dengan uji Pearson didapatkan korelasi positif yang bermakna antara lama menjalani hemodialisis dengan peningkatan indeks masa tubuh (p<0.001, r = 0.727) maupun penurunan indeks masa tubuh (p<0.001, r = 0.709). Disimpulkan bahwa lama menjalani hemodialisis mempengaruhi peningkatan maupun penurunan indeks massa tubuh pasien hemodialisis.

Status of body mass index on chronic kidney disease patients who undergo hemodialysis is a determinant factor for morbidity and mortality. Hemodialysis patients can increase or decrease their body mass indexes. In this study, we used cross sectional method. We selected 108 patients that has already undergone hemodialysis twice a week for at least three months in hemodialysis ward of Cipto Mangunkusumo Hospital in February 2009. Data are taken from dry weight and body height in medical records at the initial hemodialysis and on February 2009. We categorized patients into increased body mass index category and decreased body mass index category. The patients have mean age of 50,4 ± 13,4 years and a mean duration of hemodialysis of 2.3 (0.3-17.5) years, 57% were male and 43% were female. By Pearson analysis, there was significant positive correlation between increased body mass index (p<0.001, r = 0.727) and decreased body mass index (p<0.001, r = 0.709) with hemodialysis duration. It was concluded that duration of hemodialysis significantly influenced body mass index in hemodialysis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Prasetio Nugraha
"Trakeostomi adalah salah satu tindakan pilihan pada kasus obstruksi jalan nafas atas. Blok pleksus servikalis superfisialis bilateral merupakan teknik regional anestesi yang populer untuk tatalaksana nyeri selama dan pasca operasi regio leher, namun jarang dipergunakan pada tindakan trakeostomi. Subtansia P adalah neurotransmitter utama nyeri dan mediator poten inflamasi neurogenik yang menyebabkan aktivasi sel-sel inflamatori, vasodilatasi, dan edema setelah manipuasi pada ujung saraf sensori. Kadar substansia P meningkat pada saat nyeri akut, sehingga juga dapat dianggap berperan sebagai mediator nyeri dan digunakan sebagai penanda kejadian nyeri akut. Metode: Kelompok Blok servikalis superfisialis bilateral: Penyuntikan dilakukan dengan menggunakan Bupivakain 0,25% sebanyak 10-15 ml pada masing-masing sisi. Setelah 20 menit, operasi dapat dilakukan. Kelompok Infiltrasi dilakukan penyuntikan infiltrasi lokal lidokain 2% pada daerah insisi. Pra dan Pasca tindakan trakeostomi, segera dilakukan pengambilan sample darah untuk pemeriksaan kadar Substansia P. Hasil: Jumlah sampel penelitian yang didapatkan adalah 34 sampel, usia 12-80 tahun. Hasil uji satistik variabel skala nyeri insisi menunjukkan nilai p<0,001. Hasil uji Mann-Whitney selisih Substansia P menunjukkan nilai p>0,05 (p=0,692). Simpulan: Blok pleksus servikalis superfisialis bilateral memiliki efektivitas analgesia yang lebih baik dibandingkan dengan infiltrasi lokal lidokain 2% pada tindakan trakeostomi.

Background: Tracheostomy is one of choice for upper airway obstruction management. Bilateral superficial cervical plexus block is a popular technique for pain management during and post neck region surgery, but rarely used in tracheostomy. Subtansia P is a major neurotransmitter of pain and a potential mediator of neurogenic inflammation that causes activation of inflammatory cells, vasodilation, and edema after manipulation of sensory nerve endings. The level of substance P is increased during acute pain, so it can also be considered as a mediator of pain and is used as a marker of acute pain events. Methods: Bilateral superficial cervical block group: Injections were carried out using 10-15 ml Bupivacaine 0.25% on each side. After 20 minutes, surgery can be proced. Infiltration group was injected with 2% lidocaine local infiltration in the incision area. Pre and post tracheostomy, blood samples were taken immediately to check the Substance Level P. Results: The number of research samples obtained was 34 samples, aged 12-80 years. The statistical test results of incision pain scale variable showed p value <0.001. Mann-Whitney test results on the P Substance differences showed a value of p> 0.05 (p = 0.692). Conclusion: Bilateral superficial cervical plexus block has better analgesia effectiveness compared to 2% local lidocaine infiltration in tracheostomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Randhy Fazralimanda
"Latar Belakang. Pneumonia berat masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan dunia. Sistem imun diketahui memiliki peranan penting dalam patogenesis pneumonia, namun tidak banyak studi yang menilai hubungan antara kadar CD4 dan CD8 darah dengan mortalitas akibat pneumonia berat pada pasien dengan status HIV negatif.
Tujuan. Mengetahui data hubungan dan nilai potong kadar CD4 dan CD8 darah dengan angka mortalitas 30 hari pada pasien pneumonia berat di RSCM.
Metode. Penelitian berdesain kohort prospektif yang dilakukan di ruang rawat intensif RSCM periode Juni-Agustus 2020. Keluaran berupa kesintasan 30 hari, nilai titik potong optimal kadar CD4 dan CD8 darah untuk memprediksi mortalitas 30 hari dan risiko kematian. Analisis data menggunakan analisis kesintasan Kaplan-Meier, kurva ROC dan multivariat regresi Cox.
Hasil. Dari 126 subjek, terdapat 1 subjek yang loss to follow up. Mortalitas 30 hari didapatkan 26,4%. Nilai titik potong optimal kadar CD4 darah 406 sel/μL (AUC 0,651, p=0,01, sensitivitas 64%, spesifisitas 61%) dan kadar CD8 darah 263 sel/μL (AUC 0,639, p=0,018, sensitivitas 62%, spesifisitas 58%). Kadar CD4 darah < 406 sel/μL memiliki crude HR 2,696 (IK 95% 1,298-5,603) dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki crude HR 2,133 (IK 95% 1,035-4,392) dengan adjusted HR 2,721 (IK 95% 1,343-5,512). Bila sepsis dan tuberkulosis paru ditambahkan dengan kadar CD4 darah dan CD8 darah, didapatkan nilai AUC 0,752 (p=0,000).
Kesimpulan. Kadar CD4 dan CD8 darah memiliki akurasi yang lemah dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia berat. Kadar CD4 darah < 406 sel/μL dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki risiko mortalitas 30 hari yang lebih tinggi.

Background. Severe pneumonia is a major health problem in Indonesia and the world. The immune system is known to play an important role in the pathogenesis of pneumonia, but few studies have assessed the relationship between blood CD4 and CD8 count and mortality from severe pneumonia in patients with negative HIV status.
Objectives. Knowing the correlation data and the cut-off value of blood CD4 and CD8 count with a 30-days mortality rate in severe pneumonia patients at RSCM.
Methods. This study is a prospective cohort study conducted at RSCM intensive care rooms from June to August 2020. The outputs were 30-days survival rate, optimal cut-off value for blood CD4 and CD8 count to predict 30-days mortality and mortality risk. Data analysis used Kaplan-Meier survival, ROC curves and multivariate Cox regression analysis.
Results. Of the 126 subjects, there was 1 subject who lost to follow up. The 30-days mortality rate was 26.4%. The optimal cut-off value for blood CD4 count was 406 cells/μL (AUC 0.651, p=0.01, sensitivity 64%, specificity 61%), blood CD8 count was 263 cells/μL (AUC 0.639, p=0.018, sensitivity 62%, specificity 58%). CD4 blood count < 406 cells/μL had a crude HR of 2.696 (95% CI 1.298-5.603) and blood CD8 count < 263 cells/μL had a crude HR of 2.133 (95% CI 1.035-4.392) with an adjusted HR of 2.721 (CI 95% 1,343-5,512). If sepsis and pulmonary tuberculosis were added to the blood CD4 and CD8 count, the AUC value was 0.752 (p=0.000).
Conclusion. Blood CD4 and CD8 count had poor accuracy in predicting 30-days mortality in patients with severe pneumonia. The group with blood CD4 count < 406 cells/μL and blood CD8 count < 263 cells/μL had a higher risk of 30-days mortality.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Hendra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal jantung telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan seringkali diasosiasikan dengan tingginya frekuensi perawatan di rumah sakit dan lama rawat yang panjang. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satupun penelitian yang menggambarkan lama rawat serta profil pasien gagal jantung di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran lama rawat dan mendeskripsikan karakteristik demografis serta karakteristik klinis dari pasien-pasien gagal jantung yang dirawat di RSUPN-CM pada tahun 2012
Metode: Dilakukan suatu studi dengan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien gagal jantung di RSUPN-CM selama tahun 2012. Selanjutnya dilakukan pengolahan data secara deskriptif untuk kemudian ditampilkan.
Hasil: Terkumpul data 331 pasien gagal jantung yang dirawat selama tahun 2012. Median usia adalah 58 tahun, 62,2% di antaranya adalah pria, dan 42,9% menggunakan jaminan sosial Askes/In-Health. Tingkat pendidikan yang terbanyak adalah pendidikan SMU dan sederajat sebanyak 23,9%. Median lama rawat 8 hari didapat dari perhitungan yang dilakukan terhadap semua pasien (NYHA I – IV), namun pada mereka yang dirawat dengan kelas fungsional NYHA III – IV saja, median lama rawatnya 9 hari. Pada awal perawatan, median tekanan darah sistolik 124 mmHg, denyut nadi 90 kali permenit, edema perifer terdapat pada 36,9% pasien, hipertensi 57,1%, diabetes mellitus 33,2%, penyakit jantung iskemik 74,9%, gangguan fungsi ginjal pada 46,2%, penyakit saluran pernafasan akut pada 45,9%, dan skor CCI terbanyak adalah 3.
Kesimpulan: Median lama rawat pasien gagal jantung di RSUPN-CM adalah 8 – 9 hari. Sebagian besar pasien adalah pria, berpendidikan SMU, dan menggunakan jaminan Askes/In-Health dengan median usia 58 tahun.

ABSTRACT
Introduction: Heart failure has become global health issue worldwide, as it has been associated with high rate of readmissions and prolonged hospitalizations. Indonesia has never had any publication describing the profile and length of hospital stay of their heart failure patients. Hence, the aim of this study is to obtain the length of hospital stay and describe the demographic characteristic as well as clinical characteristic of heart failure patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital hospitalized in the year of 2012.
Methods: A cross sectional study was designed using secondary data from heart failure patients’ medical records in Cipto Mangunkusumo General Hospital admitted during 2012. Furthermore, data were calculated and presented thereafter.
Results: Based on the medical records of the year 2012, 331 heart failure patients were included in the study. Median age was 58 years old, 62,2% were men, 42,9% used Askes/In-Health as their social insurance payor, and as many as 23,9% had graduated from senior high school level. Median length of stay was 8 days for all patients, while for patients admitted with NYHA functional class III – IV, the median length of stay was 9 days. When patients were admitted to hospital, median systolic blood pressure was 124 mmHg, pulse 90 beats per minute, peripheral edema was shown in 36,9% of patients, hypertension in 57,1%, diabetes mellitus in 33,2%, ischemic heart disease in 74,9%, renal impairment in 46,2%, acute respiratory conditions in 45,9% of patients, and the most frequent CCI score was 3.
Conclusions: Median length of stay for heart failure patients in Cipto Mangunkusumo GH is 8 – 9 days. Most patients were men, senior high school graduate, and used Askes/In-Health as their social insurance, with median age 58 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musdalifah
"Keselamatan pasien menjadi penting karena masih tingginya angka KTD di rumah sakit secara global maupun nasional. Di RSUD Sele Be Solu pada tahun 2011,dari 1.560 pasien rawat inap penyakit dalam yang dilakukan pemasangan infus sebanyak 1,9% mengalami phlebitis. Di ruang rawat inap anak RSUD Sele Be solu, kejadian phlebitis setelah pemasangan infus kurang dari 3 hari ditemukan sebanyak 8 pasien (20%) dari 40 pasien anak dan ada 11 pasien (61,1%) dari 18 pasien anak setelah lebih dari 3 hari pemasangan infus. Selama ini belum pernah dilakukan penilaian budaya keselamatan pasien di Rumah sakit Sele Be Solu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan frekuensi pelaporan KTD dengan budaya keselamatan pasien oleh perawat di RSUD Sele Be Solu. Metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional, populasi adalah seluruh perawat di instalasi rawat inap sebanyak 110 orang. Pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner.
Hasil penelitian ada hubungan antara frekuensi pelaporan KTD dengan feedback dan komunikasi terhadap kesalahan, (p value = 0,018) besarnya hubungan dua kali lebih besar dibandingkan dengan kerjasaman dalam unit. Kesimpulan dari penelitian ini adalah masih rendahnya tingkat pelaporan KTD di RSUD Sele Be Solu Kota Sorong. Saran kepada pihak manajemen agar segera membentuk komite keselamatan pasien di rumah sakit dan menerapkan standar keselamatan pasien sesegera mungkin/

Patient safety become an important issue because adverse events are still in a high level at hospital globally and nationally. In 2011, at Interna ward of Sele Be Solu Sorong hospital, from 1.560 patients which had i.v line attached by nurses, 1,9% patients were had phlebitis. While at the pediatric ward, phlebitis events after i.v line was attached less than three days, 8 patients was found (20%) from 40 patients, and there were 11 patients (61,1%) from 18 children after 3 days of i.v line was attached. The patient safety culture in Sele Be Solu hospital was never been assessed. The purpose is to discover the relationship between adverse events frequency report and patient safety culture by nurses at Sele Be Solu hospital. Quantitative method was used in this study with cross sectional approached, population were all nurses at inward installation, which are 110 people. Data was gathered with questionnaire which had filled by nurses.
The result is there are relationship between adverse events report frequency activity with feedback and communication to the false (p value=0,018) and the relationship are double amounts higher than teamwork in the unit. Conclusion is the report activity of adverse event at Sele Be Solu hospital Sorong is low. Suggest to the hospital management is to form patient safety committee at hospital and set the patient safety standard procedure immediately."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Bagus Ropyanto
"Fase rehabilitasi merupakan fase kemampuan fungsional berada pada tahap paling rendah dibandingkan fase lain. Pemulihan fungsi fisik menjadi prioritas dilihat dari status fungsional. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status fungsional pada paska ORIF fraktur ekstremitas bawah.
Desain penelitian adalah cross-sectional dengan 35 responden dan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Variabel independen adalah usia, lama hari rawat, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, motivasi, fall-efficacy, dan dukungan keluarga sementara variabel dependen adalah status fungsional. Uji ANOVA digunakan untuk data kategorik serta korelasi pearson dan spearman rho untuk data numerik.
Hasil penelitian menunjukan fall-efficacy (r = -0,490 dan nilai p=0,003) merupakan faktor yang berhubungan. Model multivariat memiliki nilai p=0,015 dan jenis fraktur, nyeri, dan fall-efficacy mampu menjelaskan 28,2 % status fungsional dengan nyeri sebagai faktor yang paling besar untuk memprediksi status fungsional setelah dikontrol fall-efficacy dan jenis fraktur. Penelitian ini merekomendasikan melakukan latihan meningkatkan status fungsional terintegrasi manajemen nyeri dan fall-efficacy.

Rehabilitation phase is a phase of functional ability at the stage of the lowest compared to other phases. Recovery of physical function is a priority from functional status. Conducted research on the functional status as the basis for the restorative care. The research aimed to identify factors associated with functional status post ORIF fracture in the lower extremities.
The study design was a crosssectional with 35 respondents and collecting data using questionnaires. Independent variables were age, length of day care, type of fracture, pain, fatigue, motivation, fall-efficacy, and family support; as the dependent variable was functional status. ANOVA test used for categorical data and Pearson correlation and spearman rho for numerical data.
The results show the fall-efficacy (r = - 0.490 and p-value = 0.003) is related factors. Multivariat model have p value=0,015 and type of fracture, pain, and fall-efficacy explained 28,2 % functional status variable with pain as the biggest factor for predicting functional status after controlled fall-efficacy and type of fracture. This research recommended for exercises improved functional status integrated pain and fallefficacy managemen."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Lufiyani
"Kejadian disfagia ditemukan lebih dari 50 persen pada pasien stroke di fase akut. Penangan disfagia sering kali tertunda dan berdampak pada ketidakadekuatan pemenuhan kebutuhan dasar seperti dehidrasi bahkan malnutrisi. Selain itu, Pasien stroke dengan disfagia rentan mengalami pneumonitis aspirasi. Sehingga penganan yang cepat difase akut sangat dibutuhkan. Tujuan dari karya tulis ini untuk menganalisis pemberian latihan menelan dengan metode sucking lollipop. Metode yang dilakukan diawali dengan skrining disfagia menggunakan format Massey Bedside Swallowing Screen (MBS) dan penentuan derajat keparahan disfagia dengan The Dysphagia Outcome and Severity Scale (DOSS). Kemudian dilakukan latihan menelan sebanyak sehari satu kali sebelum makan siang dengan durasi 10 menit. Selama tiga hari berturut-turut dilakukan penilaian kekuatan sucking lollipop dengan format Candy Sucking Test (CST). Hasil studi kasus ini ditemukan adanya peningkatan fungsi oral yaitu pergerakan lidah. Penilaian pada hari keempat MBS negatif dan DOSS menjadi normal diet skala 7. Selain itu, tidak terdapat aspirasi saat dilakukan pemberian makan secara bertahap dan pernyataan secara verbal makanan yang tersangkut di tenggorokan, serta tidak ditemukan demam. Untuk itu, pemberian lollipop mampu menjadi salah satu intervensi yang dapat perawat gunakan untuk mempercepat pengembalian kemampuan menelan pada pasien stroke di fase akut.

The incidence of dysphagia is found to be more than 50 percent in stroke patients in the acute phase. Handlers of dysphagia are often delayed and have an impact on the inability to fulfill basic needs such as dehydration and even malnutrition. In addition, stroke patients with susceptible dysphagia experienced aspiration pneumonitis. So fast-paced acute feeding is needed. The purpose of this paper is to analyse the giving of exercises swallowing with the method of sucking lollipop. The methods initiated by screening were dysphagia using the Massey Bedside Swallowing Screen (MBS) and determining the severity of dysphagia with The dysphagia Outcome and Severity Scale (DOSS). Then, practice swallowing as much as a day once before lunch with a duration of 10 minutes. For three consecutive days conducted an assessment of the power sucking lollipop in the format of Candy Sucking Test (CST). The results of this case study found that an increase in oral function was tongue movement. Assessment on the fourth day of MBS is negative and DOSS become a normal diet scale 7. In addition, there are no aspiration during gradual feeding and verbal statements of food stuck in the throat, and no fever is found. For that, giving Lollipop is capable of being one of the interventions that nurses can use to accelerate the return of swallowing ability in stroke patients in the acute phase.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>