Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217307 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Gressy S. Cornelia
"ABSTRAK
Masa kanak-kanak awal merupakan salah satu periode penting dalam perkembangan seorang anak, dimana pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak pada masa ini akan mempengaruhi tumbuh kembangnya dikemudian hari. Salah satu perubahan besar yang terjadi pada masa ini adalah meluasnya lingkungan sosial anak, yang ditandai dengan mulainya anak melakukan hubungan sosial dengan teman sebayanya (Sroufe dkk, 1996). Pengalaman awal dalam berhubungan dengan teman sebaya ini merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan sosial anak usia prasekolah. Adanya kesulitan-kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya pada masa ini akan memperbesar kemungkinan munculnya masalahmasalah tingkah laku, emosional, dan akademik pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya. Pentingnya hubungan dengan teman sebaya pada masa kanak-kanak awal memberi implikasi akan pentingnya membina hubungan yang positif dengan teman sebaya pada masa ini. Namun tidak semua anak dapat membina hubungan yang positif. Adanya perbedaan kemampuan untuk membina hubungan yang positif dengan teman sebaya menunjukkan derajat kompetensi sosial yang dimiliki masingmasing anak. Dengan demikian kompetensi sosial memegang peranan penting bagi keberhasilan seorang anak dalam membina hubungan dengan teman sebaya pada masa prasekolah. Sroufe dkk (1996) mengatakan anak-anak yang memiliki kompetensi sosial yang baik (socia/ly competent) - yang seringkah disebut sebagai anak-anak yang disukai oleh teman sebayanya - adalah mereka yang mampu memulai interaksi dan memberikan respon kepada teman sebaya dengan perasaan yang positif, mereka yang tertarik pada hubungan dengan teman sebaya dan mereka yang sangat dihargai oleh teman sebaya, mereka yang dapat berperan sebagai pemimpin sekaligus pengikut, dan mereka yang mampu mempertahankan saling memberi dan menerima dalam interaksi dengan teman sebaya akan dinilai oleh guru dan observer lain sebagai anak yang memiliki kompetensi sosial (yang baik) (Vaughn dan Waters, 1980 dalam Sroufe, 1996). Dengan perkataan lain anak yang memiliki kompetensi sosial yang baik adalah mereka yang memiliki ketrampilan-ketrampilan sosial tertentu, yang memungkinkannya memperoleh penerimaan dari teman sebayanya. Namun tidak semua anak prasekolah memiliki kompetensi sosial yang baik. Hasil-hasil penelitian menunjukkan hubungan atau interaksi antara orangtua dengan anak yang terlihat jelas dalam gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua kepada anak memberi pengaruh yang signifikan terhadap hubungan anak dengan teman sebayanya.
Dalam penelitian ini ingin digali mengenai karakteristik anak yang memiliki kompetensi sosial yang buruk. Kompetensi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini memfokuskan pada tiga tugas sosial, yakni saat anak memulai interaksi dengan teman sebayanya yang meliputi dua situasi; saat anak memulai interaksi pada awalawal masuk sekolah dan saat memulai interaksi dengan sekelompok temannya yang sedang melakukan aktivitas bersama, saat anak memelihara hubungan dengan teman sebayanya; dan saat anak mengalami konflik dengan temannya. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam akan hal ini, peneliti juga menggali informasi mengenai gaya pengasuhan orangtuanya. Mengingat dalam masyarakat kita ibu masih memegang peranan yang besar dalam pengasuhan anak, maka gaya pengasuhan orangtua yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gaya pengasuhan yang diterapkan ibu saat berinteraksi dengan anaknya sehari-hari. Gaya pengasuhan ini terlihat dari perilaku conlrol/imcontrol dan responsive/uwesponsive yang ditampilkan ibu saat berinteraksi dengan anaknya sehari-hari.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam (/'// depth interview) dan observasi. Wawancara dilakukan terhadap dua orang ibu dari anak yang memiliki kompetensi sosial buruk dan gurunya. Sementara observasi dilakukan terhadap sikap dan perilaku anak di sekolah. Pemilihan subyek dilakukan dengan pendekatan purposif dimana sampel diambil berdasarkan kriteria tertentu yang sudah ditetapkan oleh peneliti.
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa anak yang memiliki kompetensi sosial buruk umumnya menampilkan perilaku agresif, baik agresif fisik maupun agresif verbal, saat berinteraksi dengan teman-temannya di sekolah. Hal ini membuat mereka cenderung mengalami penolakan dari teman-temannya. Perilaku lain yang membuat mereka mengalami penolakan dari teman-temannya adalah perilaku egois (seperti tidak/kurang mau berbagi dengan temannya, selalu ingin berkuasa/mendominasi temannya, kurang mampu mengontrol dirinya termasuk keinginannya); tidak/kurang mampu menampilkan perilaku prososial dalam hal ini empati (kurang menghargai keberadaan temannya, iri hati); kurang terampil dalam perilaku keijasama (cenderung ingin menjadi pemimpin dan tidak mau menjadi pengikut saat aktivitas kelompok, kurang menghargai pendapat/keinginan temannya).
Sementara gaya pengasuhan yang diterapkan ibu dalam penelitian ini bervariasi, yakni satu subyek menerapkan gaya pengasuhan otoritarian, yang ditandai oleh adanya perpaduan antara perilaku respomive dan control yang rendah. Sementara subyek yang lain menerapkan gaya pengasuhan otoritarian, yang ditandai oleh adanya perilaku control yang ketat tanpa disertai perilaku responsive. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa gaya pengasuhan ibu bukanlah satusatunya faktor yang dominan memberi kontribusi bagi perkembangan kompetensi sosial anak. Beberapa faktor lain yang turut memberi kontribusi bagi perkembangan kompetensi sosial adalah karakter anak itu sendiri dan lingkungan dimana anak itu diasuh."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handayani Putri Nugroho
"ABSTRAK
Perilaku prososial sangat penting untuk dimiliki anak karena keberadaaan
perilaku ini menentukan hubungan sosial dan kualitas perkembangan sosial
anak. Salah satu perilaku prososial yang perlu dimiliki adalah kerjasama
(cooperation). Anak-anak biasanya secara spontan dapat bekerjasama mulai
dari umur 3-3 tahun. Namu semakin mereka dewasa, perilaku ini seringkali
terinferensi dengan keinginan untuk menang dalam kompetisi sehingga
perilkau kerjasama ditinggalka (Madsen, 1979 dalam Dworetzky, 1990).
Tempat Penitipan Anak (day-care/TPA) adalah salah satu bentuk alternatif
pengasuhan anak untuk mereka yang kedua orang tuanya mencari nafkah.
Peneliti bertujuan untuk melihat prevalensi perilaku kerjasama dalam
situasi kompetitif dan kompetitif pada anak-anak yang diasuh di TPA untuk
menjawab pertanyaan apakah anak-anak TPA ini belum dapat bekerja sama
atau sudah dapat, namun terinterferensi dengan kompetisi.
Eksperimen disusun dengan membagi anak ke dalam triads berdasarkan
sosiometri dan preferensi warna. Sosiometri anak ditentukan dengan
menggunakan Peer Rating Scales (Asher, 1979 dalam Rao & Stewart, 1999).
Kemudian secara random tiap kelompok ditentukan menjadi kelompok
kompetitif dan non-kompetitif. Tiap anak dalam triads diberikan 2 buah
krayon yang warnanya berbeda dan mereka diinstruksikan untuk menggambar
dengan menggunakan lebih dari dua warna. Dalam situasi kompetitif,
dijanjikan hadiah bagi satu oran pemenang.
Seluruh sesi direkam dengan handycam dan di-rate untuk di
klasifikasikan menjadi 5 ranah interaksi: kerjasama aktif (dua anak berinisiatif
bekerjasama), kerjasama pasif (anak saling tukar-menukar krayon tanpa
didahului negosiasi apapun)., Other Oriented Pasif/Self-Oriented Aktif (salah
satu anak mengambil krayon milik temannya tanpa meminjamkan kepada
temannya tersebut), Other Oriented Aktif/Self-Oriented Pasif (salah satu anak
meminjamkan krayonnya kepada temannya tanpa diminta dan tanpa
meminta/mengharapkan untuk dapat meminjam juga) dan Apatis (menolak
untuk meminjamkan/meminjam pada anak lain).
Data penelitian dihitung dengan Fisher Exact's Test. Hasil dari penelitian
adalah dari kelima ranah interaksi ini, hanya perilaku kerjasama aktif yang
muncul lebih banyak secara siginifikan dalam situasi non-kompetitif
dibandingkan dengan situasi kompetitif."
1999
S2735
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Indah Istiqomah
"Social withdrawal pada masa kanak-kanak merupakan faktor resiko munculnya masalah social emosional di kemudian hari. Anak dengan social withdrawal pada umumnya memiliki keterampilan social yang kurang. Penelitian ini memiliki desain single case dan menerapkan bentuk intervensi social skills training (SST) dengan pendekatan multimodal. Program ini meliputi behavioral social skills training, self-instructional, social problem solving, serta pengurangan masalah penghambat. Partisipan penelitian adalah anak perempuan berusia sembilan tahun. Sesi terapi dilakukan sebanyak sepuluh kali selama lebih kurang 60 - 90 menit setiap sesinya.
Hasil dari terapi ini adalah SST efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial anak. Melalui observasi langsung, terlihat adanya peningkatan frekuensi dan performansi anak dalam menampilkan perilaku sosialnya. Anak dapat menampilkan perilaku menyapa, bertanya, bergabung, mengajak bergabung, dan menyelesaikan masalah dengan baik Berkaitan dengan masalah social withdrawal juga mengalami penurunan. Hal ini terlihat terutama dari penurunan skor pada skala withdrawn dari alat ukur Child Behavior Checklist (CBCL).

It has long been argued that social withdrawal in early childhood is a risk factor for later socio-emotional difficulties. Social withdrawal children usually have social skill deficits. This research uses a single case design and applies the multi-method social skills training (SST) intervention in order to enhance social skills. The components of the program include behavioral social skills training, self-instructional training, social problem solving, and reduction competing/inhibiting problem. Participant of this research is a nine-year old girl with social withdrawal. Therapy is conducted through 10 sessions, 60-90 minutes each session.
This study showed that SST is an effective therapy to increase the child’s social skills. Child has shown improvement in frequency and performance of some target behaviors (greeting, asking for information, joining in, invite to join in, and problem solving). This study also found decreasing of social withdrawal symptoms that can be seen from reducing score withdrawn from the Child Behavior Checklist (CBCL).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T34934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafika Mauldina
"Penelitian ini mengenai peran guru pembimbing khusus (GPK) dalam mengembangkan interaksi sosial anak autis di Sekolah Inklusi yang dibahas dari disipilin ilmu kesejahteraan sosial. Umumnya, anak autis memiliki kesulitan untuk melakukan interaksi sosial. Beberapa penelitian terdahulu mengemukakan bahwa interaksi sosial penting untuk dikembangkan pada anak berkebutuhan khusus, khususnya pada anak autis. GPK merupakan salah satu significant other yang membersamai perkembangan anak autis di sekolah. Lebih lanjut, GPK memiliki peran signifikan dalam mengembangkan pola interaksi sosial anak autis, khususnya di sekolah inklusi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran GPK dalam mengembangkan pola interaksi anak autis di suatu sekolah inklusi yaitu Sekolah Semut-Semut The Natural School. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Data penelitian didapatkan melalui depth interview bersama 5 narasumber di Sekolah Semut-Semut The Natural School, yaitu 3 GPK, 1 guru kelas, dan 1 guru bidang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa GPK memiliki peran penting dalam mengembangkan interaksi sosial. Peran yang diberikan oleh GPK adalah membimbing anak autis dengan antusias, meningkatkan kepercayaan diri anak autis di sekolah, membimbing dalam kegiatan serta mengingatkan jika salah, sehingga anak autis dapat berinteraksi dan dapat mengikuti pembelajaran menjadi lebih baik. Selain itu, GPK juga melakukan penyelarasan murid autis dengan murid regular di sekolah dengan cara memotivasi anak autis untuk aktif berinteraksi, memberikan edukasi untuk menerima semua teman, melakukan penanganan jika anak tantrum.

This study discusses the role of special guidance teachers (GPK) in developing autistic children's social interactions in the School of Inclusion discussed from the discipline of social welfare. Generally, autistic children have difficulty in social interaction. Some previous studies suggested that social interaction is important for development in children with special needs, especially in autistic children. The GPK is one of the significant others that brings together the development of autistic children in schools. Furthermore, GPK has a significant role in developing patterns of autistic children's social interaction, especially in inclusion schools. The study aims to describe the role of GPK in developing patterns of autistic child interaction in an inclusion school, the Ant-Semut School of The Natural School. This study uses a qualitative approach and a descriptive research type. The research data were obtained through a depth interview with 5 sources at Ant-Semut School The Natural School, namely 3 GPK, 1 class teacher, and 1 field teacher. The results of this study show that GPK plays an important role in developing social interactions. The role given by the GPK is to guide autistic children enthusiastically, increase the confidence of autistic children in school, guide in activities and remind them that they are wrong, so that autistic children can interact and be able to follow learning for the better. In addition, the GPK also harmonizes autistic students with regular students at school by motivating autistic children to actively interact, providing education to accept all friends, handling if children are tantrums."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dam Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winny Suryania
"Social withdrawal pada anak merupakan faktor risiko dari gangguan psikologis yang dapat berkembang dikemudian hari, misalnya kecemasan dan depresi. Anak dengan social withdrawal pada umumnya memiliki keterampilan sosial yang kurang dan perlu mempelajari cara membina hubungan yang baik dengan orang lain. Oleh karena itu, anak diberikan intervensi social skill training (SST), yang nantinya dapat berkontribusi terhadap keterampilan sosial anak secara umum dan menurunkan social withdrawal. Tesis ini memiliki desain single case dan partisipan penelitian adalah anak laki-laki berusia sepuluh tahun dengan social withdrawal. Sesi terapi dilakukan sebanyak sebelas kali selama kurang lebih 60-90 menit setiap sesinya. Tujuan dari intervensi ini untuk melihat efektifitas social skill training dalam menurunkan social withdrawal pada anak usia sekolah. Hasil dari terapi ini adalah SST efektif untuk menurunkan social withdrawal pada anak sekolah, yang terlihat dari penurunan skor pada skala social withdrawal pada Child Behavior Checklist (CBCL).

Social withdrawal in children is a risk factor of psychological disorder that can develop in the future, such as anxiety and depression. Children with social withdrawal generally have less social skills and need to learn how to build good relationships with others. Therefore, the child is given intervention social skills training ( SST ), which can contribute to a child's social skills in general and decrease social withdrawal. This thesis has a single-case design and study participants were boys aged ten years with social withdrawal. Therapy sessions conducted as many as eleven times for about 60-90 minutes each session. The purpose of this intervention to see the effectiveness of social skills training in reducing social withdrawal in children of school age. The results of this therapy is effective for lowering SST social withdrawal at school children, as seen from the decrease in social withdrawal scale scores on the Child Behavior Checklist (CBCL)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T39288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Gustina
"Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan penggunaan lagu oleh anakanak dalam identitas dan peranannya sebagai murid di Sekolah Musik Faasto, Rawamangun - Jakarta Timur, saat melakukan interaksi antar-murid di dalam komuniti sosial tersebut. Murid-murid sekolah musik ini dipandang sebagai individuindividu yang memiliki kebudayaan tersendiri sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik mereka.
Kajian ini merupakan studi kasus. Fokus kajian adalah Iagu-lagu yang digunakan oleh murid-murid dalam interaksi yang terjadi. Untuk memahami fokus kajian, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penekanan pada pengamatan dan pengamatan terlibat. Dengan pendekatan ini, saya berusaha untuk mengkaji obyek-obyek kajian, yaitu murid-murid dalam setting yang ada. Pendekatan kualitatif ini juga melibatkan pendekatan interpretif/naturalistik, yang merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk menginterpretasi gejala-gejala yang berkaitan dengan makna-makna yang diberikan oleh obyek kajian terhadap lagu-lagu yang digunakan.
Perrnasalahan yang dikemukakan dalam kajian ini memperlihatkan bahwa lagu yang digunakan oleh murid-murid dalam interaksi antar-murid, baik secara horisontal maupun vertikal, berfungsi sebagai simbol bagi identitas. Tindakan muridmurid dalam menggunakan lagu dipandang sebagai tindakan simbolik. Sebagai tindakan simbolik, seorang murid memberi makna-makna pada lagu-lagu yang digunakan dalam interaksi untuk memenuhi kebutuhan dalam memperoleh identitasnya (the self) yang berbeda dari murid yang lain (the other)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica, Jessica
"Beberapa hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara strategi pengasuhan dan parenting self-efficacy pada orangtua dengan anak usia kanak-kanak madya di benua Amerika. Adanya perbedaan budaya Amerika dan Asia membuat peneliti akan melakukan penelitian serupa di benua Asia, khususnya di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara strategi pengasuhan dan parenting self-efficacy pada orangtua dengan anak usia kanak-kanak madya. Partisipan penelitian adalah 302 orangtua pada rentang usia 25-45 tahun, yang memiliki anak usia kanak-kanak madya (5-12 tahun). Parenting self-efficacy adalah estimasi orangtua terhadap kompetensinya dalam menjalankan peran sebagai orangtua atau persepsi orangtua terhadap kemampuannya dalam memberikan pengaruh yang positif pada tingkah laku dan perkembangan anak (Coleman & Karraker, 2000), dan strategi pengasuhan adalah berbagai bentuk tingkah laku orangtua untuk mengarahkan dan memengaruhi perilaku anak (Laforce, 2004). Teknik statistik yang digunakan adalah teknik korelasi Pearson. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara strategi pengasuhan dan parenting self-efficacy, dengan nilai koefisien korelasi r = + 0.221, p < 0.01, one-tailed, yang diukur oleh 36 aitem Self-efficacy for Parenting Task Index (SEPTI) dan 59 aitem Parenting Strategies Questionnaire (PSQ) ? refined version. Hasil tersebut berarti semakin tinggi strategi pengasuhan yang dimiliki orangtua, maka semakin tinggi pula tingkat parenting self-efficacy pada orangtua. Implikasi dari penelitian ini akan didiskusikan selanjutnya.

Researches have shown the relationship between parenting strategies and parenting self-efficacy among parents with middle childhood children in America. Culture differences between America and Asia brings this study to find the relationship between parenting strategies and parenting self-efficacy in Asia, especially in Indonesia. The purpose of this study was to find the relationship between parenting strategies and parenting self-efficacy among parents with middle childhood children. Participants in this study were 302 parents in age range from 25 to 45, who have child at middle childhood age (5-12 years old). Parenting self-efficacy is parents? estimation of their competences in parenting or parents? perception of their ability to provide positive influence in child behavior and child development (Coleman & Karraker, 2000), and parenting strategies are various forms of parents? behavior to direct and affect child?s behavior (Laforce, 2004). Statistical techniques that used in this study was Pearson correlation. The result of this study indicate that there is a positive and significant relationship between parenting strategies and parenting self-efficacy in parents with child at middle childhood age, with coefficient correlation r = + 0.221, p < 0.01, one-tailed, as measured by 36 items of Self-efficacy for Parenting Task Index (SEPTI) and 59 aitems of Parenting Strategies Questionnaire (PSQ) - refined version. This result shows the higher parents parenting strategies, then the higher level of parenting self efficacy in parents. Implication of this study are discussed."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63680
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanti Apriliana
"Kanak-kanak merupakan populasi yang rentan terhadap masalah gizi yaitu stunting. Stunting berdampak buruk bagi perkembangan kanak-kanak. Faktor-faktor penyebab stunting diantaranya pola asuh nutrisi, pola asuh ibu dan depresi ibu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting dan perkembangan pada kanak-kanak. Desain penelitian menggunakan deskriptif korelatif dengan teknik quota sampling secara online. Responden berjumlah 140 ibu dengan kanak-kanak di Indonesia. Data diambil menggunakan kuesioner data demografi, pola asuh nutrisi kanak-kanak, pola asuh ibu, Edinburgh Postpartum Depression Scale, dan Beck Depression Inventory II. Hasil menunjukkan bahwa kanak-kanak stunting sebanyak 26,4% dan 73,6% tidak stunting. Pola asuh nutrisi dan depresi kehamilan ibu berhubungan bermakna dengan kejadian stunting kanak-kanak, sedangkan pola asuh ibu berhubungan bermakna dengan perkembangan kanak-kanak. Hasil penelitian dapat menjadi dasar mengembangkan promosi kesehatan jiwa terkait depresi ibu dan program preventif melalui pola asuh nutrisi serta kuratif dan rehabilitatif bagi kanak-kanak stunting.

Toddlers is a population that is vulnerable to nutritional problem is stunting. Stunting to have negativ effect for toddlers development. The factors that cause stunting in children include child nutrition parenting, maternal parenting and depression. This study aims to determine the factors associated with stunting and development in toddlers. The research design used descriptive correlative with online quota sampling technique. Respondents was 140 mothers with toddlers in Indonesia. Data were taken using questionnaires are demographic data, nutritional parenting for children, maternal parenting, the Edinburgh Postpartum Depression Scale, and the Beck Depression Inventory II. The results shows that toddlers who were stunted were 26.4% and 73.6% were not stunted. Nutrition parenting patterns and maternal pregnancy depression had a significant relationship with the incidence of toddlers stunting, while maternal parenting had a significant relationship with toddlers development. The results of this study are expected to be the basis for developing mental health promotion related to maternal depression and preventive programs through nutritional care then as curative and rehabilitative programs for stunting toddlers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Hapsari
"Autisma merupakan gangguan perkembangan yang kompleks dan berat, yang ditandai dengan gejala-gejala tertentu yang muncul sebelum usia tiga tahun. Gejalagejala yang diperlihatkan oleh penyandang autisma berupa defisit pada perkembangan bahasa, pada interaksi sosial, dan adanya perilaku-perilaku repetitif. Kelainan ini menyebabkan penyandang autisma mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain dan berhubungan dengan dunia luar. Anak penyandang autism memiliki hambatan yang nyata dalam interaksi sosial. Ketrampilan sosial anak penyandang autisma dapat ditingkatkan melalui interaksi yang intensif dengan saudara sekandung.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai peran saudara sekandung terhadap perkembangan interaksi sosial anak autis. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai alat pengumpul data utama serta observasi sebagai alat pengumpul data penunjang. Subyek penelitian adalah keluarga yang memiliki anak penyandang autisma yang berusia prasekolah dan memiliki saudara sekandung dengan jarak usia dekat. Yang menjadi subyek untuk diwawancara adalah ibu dan saudara sekandung anak autis.
Berdasarkan hasil penelitian ternyata peran saudara sekandung cukup besar dalam meningkatkan interaksi sosial. Namun peran saudara sekandung ini ditentukan sekali oleh peran ibu dalam melibatkan saudara sekandung dan adiknya yang autis. Ditemukan ibu dengan disiplin yang tinggi dan memberikan tanggung jawab yang cukup besar bagi saudara sekandung untuk selalu berinteraksi dengan adiknya maka interaksi keduanya menjadi cukup intensif dan terlihat peningkatan interaksi sosial yang signifikan dari anak penyandang autisma. Namun ibu yang memiliki kontrol yang lemah terhadap hubungan antar saudara sekandung, ditemukan interaksi keduanya sangat sedikit, dan ini memiliki pengaruh terhadap perkembangan interaksi sosial anak penyandang autisma yang tetap minim tanpa peningkatan. Namun faktor -faktor seperti: jarak usia, perilaku dan taraf kemampuan anak penyandang autisma, sikap dan perasaan saudara sekandung terhadap perlakuan khusus kepada anak penyandang autisma, konteks keluarga secara keseluruhan berkontribusi dalam menentukan peran saudara sekandung tersebut.
Ditemukan juga dalam penelitian bahwa saudara sekandung tidak hanya berperan pada bidang interaksi sosial anak autis tetapi juga turut membantu terapi adiknya yang berupa kemandirian dalam bidang bina diri, kemampuan akademis serta terapi okupasi. Ini berhubungan dengan subyek anak autis yang berusia prasekolah dan sedang melakukan terapi intensif sehingga ibu sering memberikan tugas kepada saudara sekandung yang berhubungan dengan membantu terapi.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan observasi sebagai metode utama kedua sehingga dapat diperoleh gambaran peran saudara sekandung dalam kesehariannya secara utuh. Dalam pemilihan subyek penelitian juga bisa saudara sekandung dan anak autis yang berusia remaja. Selain itu mungkin penting untuk mendapatkan informasi yang memadai mengenai kehidupan perkawinan keluarga yang diteliti sehingga didapatkan gambaran dalam lingkungan keluarga seperti apa saudara sekandung ini berada. Selain itu sebaiknya penelitian yang akan datang dapat memfokuskan kepada keluarga yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S2851
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Kartawijaya
"Menurut studi dari Litbangkes tahun 1978, prevalensi penyakit yang menyangkut fungsi gigi dan mulut masih tinggi (80 %), dan sejak Pelita III masalah ini sudah merupakan salah satu masalah kesehatan nasional yang perlu ditangani secara intensif. Seringkali terjadinya penyakit gigi dan mulut ini juga disebabkan oleh faktor sehari-hari yang tidak disadari oleh masyarakat bahwa faktor-faktor ini cukup besar pula pengaruhnya untuk terjadinya penyakit karies gigi baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Pencegahan yang dilakukan sedini mungkin terutama sejak gigi sulung mulai erupsi diharapkan dapat mengurangi terjadinya penyakit gigi dan mulut. Karena gigi ini bisa mulai mengalami kerusakan sejak ia mulai tumbuh di dalam gusi atau mulai berada di dalam mulut, dan kerusakan ini merupakan proses patologis yang bersifa: irreversible. Kerusakan pada gigi sulung yang berkelanjutan akan mempunyai akibat tidak baik bagi pertumbuhan gigi tetapnya.
Di Indonesia, penelitian mengenai penyakit karies gigi sulung masih sangat sedikit, dan sampai saat ini Indonesia belum mempunyai indikator karies gigi sulung dan kebersihan mulut anak-anak.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai angka prevalensi karies dan hubungan faktor-faktor kebiasaan makan makanan kariogenik, tindakan menyikat gigi dari anak dan pengetahuan Ibu dan Anak dengan derajat kebersihan mulut dan terjadinya karies. Penelitian ini dilakukan dalam lingkup kecil setempat yaitu pada Taman Kanak-kanak kelas B Regina Pacis, agar dengan penelitian ini dapat diperoleh suatu hasil yang akurat pula untuk pemikiran pengadaan UKGS yang terprogram, serta mendukung perencanaan intervensi pada masa yang akan datang.
Penelitian ini merupakan survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Seluruh anak TK kelas B ini merupakan subyek penelitian, dan diambil datanya melalui pemeriksaan gigi dan mulut langsung pada anak-anak dan wawancara dengan Ibu dari anak-anak tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan cukup tingginya prevalensi karies gigi anak-anak T.K. Kelas B Regina Pacis yaitu 88.8 % dengan rata-rata def-t 8.44 dan indeks kebersihan mulut rata-rata buruk (2.4). Dan diperolehnya kenyataan dengan pengujian secara statistik bahwa adanya pengaruh kebiasaan makan makanan kariogenis yaitu jenis snack dan frekuensi snack yang dimakan anak, dan pengetahuan Ibu terhadap indeks kebersihan mulut, dan adanya pengaruh indeks kebersihan mulut terhadap indeks karies gigi. Dari faktor-faktor yang diteliti, maka faktor frekuensi snack yang dimakan anak yang merupakan faktor yang paling dominan di antara faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi indeks kebersihan mulut dan penyakit karies gigi.
Untuk mencegah resiko terjadinya karies gigi sulung pada anak-anak T.K. ini perlu dilakukan upaya peningkatan kebersihan mulut dengan diadakan suatu program usaha kesehatan gigi sekolah yang terencana dan terkoordinir oleh petugas medis di sekolah Regina Pacis."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>