Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179272 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putricaya Windiarti
"Kehamilan yang tidak diinginkan sebagai akibat dari seks pranikah yang dilakukan oleh remaja wanita umumnya berakhir pada aborsi. Kehamilan tersebut merupakan stresor yang mengancam kesejahteraan mereka dan menjadikan aborsi satu-satunya solusi untuk menghindari risiko dan tanggung jawab sosial, finansial, dan psikologis yang ada apabila kehamilan tersebut dilanjutkan. Akan tetapi, aborsi sendiri merupakan stresor besar bagi mereka, disebabkan adanya risiko komplikasi medis dan penghujatan sosial karena stigma sosial dan ilegalitas aborsi di Indonesia.
Penelitian kualitatif ini mengungkapkan bahwa derajat stress yang dialami oleh partisipan remaja wanita yang melakukan aborsi adalah moderate stress dan cara mereka menghadapi stres akibat aborsi adalah emotion-focused coping yang merupakan cara terbaik dalam menghadapi stresor yang tidak dapat dimodifikasi. Lain halnya dalam menghadapi stres akibat kehamilan, segala tindakan mereka mengarah kepada problem-focused coping yang pada dasarnya berusaha mengubah atau mengeliminasi stresor, dalam kasus ini, kehamilan. Kesimpulannya, partisipan penelitian ini menunjukkan penyesuaian diri yang baik terhadap aborsi dan juga dalam hidup setelahnya.

Unwanted pregnancies resulted from premarital sex amongst female adolescence generally ended in abortion. Since the pregnancies became a stressor to them that threatens their well-beings, it makes abortion an only solution to avoid social, financial, and psychological risks and responsibilities they will have to endure by sustaining their pregnancies. However, abortion itself is a great stressor to them, owing to the fact that it has risks of medical complications and social condemnation to them, since abortion is illegal and also a social stigma in Indonesia.
This qualitative research shows that the stress level experienced by the participants that had abortions is somewhat moderate and the way they cope with the stress caused by abortion is emotion-focused coping which is the best way to cope with unalterable stressors. On the contrary, in dealing with the stress caused by unwanted pregnancies, all their actions lead to problem-focused coping, which essentially tries to modify or in this case, eliminate stressor, the pregnancy itself. In conclusion, the participants of this research showed good adjustments to the abortion, and to their lives after it."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Alvonciani
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara religious coping dan resiliensi pada remaja yang mengalami stres. Resiliensi adalah kualitas-kualitas dalam diri individu yang memampukannya untuk melalui situasi sulit. Keterlibatan religi dalam coping disebut dengan religious coping yang dapat berpola positive religious coping PRC dan negative religious coping NRC. Peneliti menyusun alat ukur resiliensi secara khusus untuk penelitian ini dengan menggunakan karakteristik resiliensi dari Earvolino-Ramirez 2007 ditambah dua karakteristik resiliensi dari Wagnild dan Young 1993. Religious coping diukur menggunakan Brief RCOPE yang dikembangkan oleh Pargament, Smith, Koenig, dan Perez 1998. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan melibatkan 128 remaja berusia 18-24 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara PRC dan resiliensi, namun tidak ditemukan hubungan antara NRC dan resiliensi. Ditemukan pula perbedaan yang signifikan antara skor PRC dan NRC laki-laki dan perempuan. Implikasi dari penelitian ini penting untuk didiskusikan dan dapat dimanfaatkan untuk ranah konseling remaja.

This study aims to understand the relationship between religious coping and resilience in adolescents with stress. Resilience is qualities within individual that enable them to go through difficult situation. Religious involvement in coping is called religious coping, which have two patterns, positive religious coping PRC and negative religous coping NRC. Researcher specifically constructed resilience measurement for this study using resilience characteristics from Earvolino Ramirez 2007 added with two characteristics from Wagnild and Young 1993. Religious coping is measured using Brief RCOPE which is developed by Pargament, Smith, Koenig, and Perez 1998. This study use quantitave method and involve 128 adolescent from 18 to 24 years. Results show that PRC and resilience relate significantly positive but no relationship between NRC and resilience. In addition, there is significant difference in PRC and NRC scores between male and female. This study has important implication to be discussed and can be used in adolescent counseling.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S68128
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Eva Latifa Fauzia
"Remaja sering kali menghadapi tekanan besar, baik dari lingkungan sosial maupun tuntutan akademik, yang dapat berdampak pada tingkat stres dan citra tubuh mereka. Di tengah tantangan ini, kemampuan untuk mengelola stres melalui dukungan interpersonal atau yang dikenal sebagai dyadic coping diyakini dapat memainkan peran kunci dalam kesejahteraan mental mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara Dyadic Coping dengan Tingkat stres dan Citra Tubuh pada Remaja. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan purposive sampling, yang melibatkan 202 responden remaja berusia 15-17 tahun di Kota Depok. Penelitian ini menggunakan tiga jenis kuesioner, yaitu Dyadic Coping Inventory (DCI), Perceived Stress Scale (PSS-10), Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire-Appearance Scale (MBSRQ-AS). Hasil menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan antara dyadic coping dengan tingkat stres remaja (p > 0,05), ditemukan adanya hubungan signifikan antara dyadic coping dengan citra tubuh remaja (p < 0,05). Temuan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan intervensi yang berfokus pada peningkatan keterampilan dyadic coping untuk mendukung kesehatan mental remaja dan citra tubuh yang positif.

Adolescents often face significant pressures, both from social environments and academic demands, which can impact their stress levels and body image. Amid these challenges, the ability to manage stress through interpersonal support, known as dyadic coping, is believed to play a key role in their mental well-being. This study aims to identify the relationship between Dyadic Coping, Stress Levels, and Body Image in Adolescents. The study employs a cross-sectional design with purposive sampling, involving 202 adolescent respondents aged 15-17 years in Depok City. This research utilizes three types of questionnaires: Dyadic Coping Inventory (DCI) and Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire-Appearance Scale (MBSRQ-AS). The results show no significant relationship between dyadic coping and adolescent stress levels (p > 0.05), while a significant relationship between dyadic coping and adolescent body image was found (p < 0.05). These findings are expected to contribute to the development of interventions focused on enhancing dyadic coping skills to support adolescent mental health and positive body image."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Arista Akbar
"Orang tua dengan anak tunaganda memiliki peran dan tugas yang lebih berat dibandingkan orang tua dengan anak normal. Mereka harus menerima realita memiliki anak tunaganda, mereka harus bisa membela hak anaknya dan masih banyak lagi peran yang berpotensi menjadi sumber stres untuk orang tua. Bagaimana orang tua berespon terhadap kondisi yang sulit tersebut menjadi penentu berhasil atau tidaknya anak berkembang secara maksimal. Penelitian ini berusaha untuk melihat gambaran stres dan juga stretegi coping orang tua dengan anak tunaganda. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dimana pengambilan datanya dilakukan dengan metode wawancara. Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah tiga orang tua yang memiliki anak tunaganda yang berdomisili di Jakarta. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa sumber stres yang ada dalam setiap diri subyek dan juga mereka anggap paling berat berkaitan dengan kondisi anak mereka yang menyandang tunaganda. Setiap subyek mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya terutama berkaitan dengan hal kemandirian. Dari berbagai sumber stres yang mereka alami, cara coping yang paling banyak digunakan adalah planful problem-solving yang merupakan bagian dari problem-focused coping.

Parents with multiple disabilities children have more responsibility for their children than other parents whose children are normal. As parents, They must have to face the reality, they must fight about their children's rights and many other tasks that potentially become some stressors for the parents. How parents react with any difficult conditions will give a big influence for their children to be able to grow up. This research tried to see the description of stress and coping strategy of parents with multiple disabilities children. This research use qualitative method with interviewing method to take the data . Participants whose involved in this research were three parents with multiple disabilities children in Jakarta. The result of this research, was found that the most difficult stressor for parents are about their children?s condition. Participant have worried about the future of their children, especially about their independency. From all stressors have been around, the most coping strategy that has been used was planful problem-solving. This coping strategy is a part of problem-focused coping.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khafidah Kumala Sari
"Futterman dan Jones (1998) mengatakan bahwa banyak wanita mengeluhkan depresi tengah baya pada gaat perimenopause yang disebabkan oleh penuninan dan fluktuasi tingkat hormon dan perub^an tengah baya lainnya. Gejala-gejala perimenopause yang disebabkan adanya perubahan-perubahan dan fluktuasi tingkat hormon ovari tersebut antara lain adalah mood swings, kecemasan, irritability, mudah meneteskan air mata, menurunnya kemampuan untuk mengingat, hot flush, dll. Seorang wanita yang mengalami gejala-gejala di atas dan menganggap gejala-gejala tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya atau mengancam serta menimbulkan perasaan terganggu dan tidak nyaman, tentunya akan termotivasi atau berbuat sesuatu untuk mengatasi efek yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause tersebut. Hal inilah yang tercakup dalam coping. Masalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku coping yang digunakan wanita untuk mengatasi stress yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause.
Penelitian ini juga ingin mengungkapkan apakah ada perbedaan dalam jenis coping yang digunakan antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija untuk mengatasi stress yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause. Wanita yang bekeija diharapkan lebih banyak menggunakan problem focused coping. Selain itu penelitian ini juga ingin mengungkapkan perilaku coping apakah yang dirasakan paling efektif baik bagi wanita yang bekeija maupun yang tidak bekeija. Alat yang digunakan untuk melihat gejala-gejala perimenopause dibuat berdasarkan hasil elisitasi dan daftar gejala oleh Futterman & Jones dan Warga. Pilihan jawaban yang tersedia adalah ya dan tidak. Sedangkan untuk mengukur tingkat stress yang ditimbulkan oleh gejala digunakan skala l-7.Alat yang digunakan untuk mengukur perilaku coping adalah COPE inventory yang dikembangkan oleh Carver dan Scheier (1989). Alat ini terdiri dari 53 item yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu problem focused coping, emotion focused coping dan perilaku coping tidak adaptif. Pilihan jawaban yang disediakan adalah ya dan tidak. Sedangkan untuk mengukur efektifitas coping. digunakan skala 1 sampai 7.
Subjek dalam penelitian ini adalah wanita bekerja dan yang tidak bekeija, yang berusia 45-55 tahun, yang sedang berada pada masa perimenopause. Jumlah subjek yang bekeija sebanyak 30 orang dan yang tidak bekerja beijumlah 32 orang. Untuk melihat gambaran perilaku coping dan efektifitas perilaku coping tersebut digunakan teknik statistik untuk mendapatkan rata-rata {mean). Sedangkan untuk melihat apakah ada perbedaan antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija dalam penggunaan jenis coping digunakan rumus t-test. Uji reliabilitas dan analisis item dari alat coping menggunakan koefisien Cronbach alpha dan metode konsistensi internal dan. Dengan Koefisien Cronbach Alpha yang dihasilkan, maka dapat dikatakan reliabilitas coping ini sedang cenderung tinggi.
Dari hasil perhitungan rata-rata diketahui bahwa jenis emotion focused coping adalah jenis coping yang paling banyak digunakan baik pada wanita bekeija maupun yang tidak bekeija. Jenis coping yang dirasakan paling efektif adalah emotion focused coping. Dari hasil perhitungan t-test yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada perbedaan yang secara statistik signifikan ddam skor emotion focused coping antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija, yang mana wanita yang tidak bekeija memiliki skor yang lebih besar. Hal ini berarti wanita yang tidak bekeija lebih banyak menggunakan jenis emotion focused coping dibandingkan dengan yang bekeija. Dari hasil perhitungan t-test yang dilakukan juga diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang secara statistik signifikan dalam skor problem focused coping dan perilaku coping tidak adaptif antara wanita bekeija dan yanng tidak bekerja."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Rakhmawati
"ABSTRAK
Darah adalah jaringan tubuh yang sangat vital bagi kehidupan. Hampir seluruh tubuh manusia dialiri oleh darah melalui pembuluh darah. Kehilangan darah dalam jumlah yang cukup banyak dapat membahayakan jiwa seseorang. Kehilangan darah dapat dipicu bila terjadi luka pada tubuh seseorang. Untuk mencegah kehilangan darah dalam jumlah banyak, tubuh memiliki faktor pembeku darah yang membantu dalam proses pembekuan darah. Kekurangan faktor pembeku darah dalam tubuh dapat mengakibatkan penderitanya mengalami perdarahan terus menerus. Kelainan darah seperti ini dikenal dengan hemofilia. Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik yang sering di temui di Indonesia, selain thalassemia dan sindroma down (Femina, No.35/XXX, 2002). Satu-satunya pengobatan yang dapat dijalani penderita hemofilia adalah dengan melakukan transfusi plasma (darah) seumur hidup.
Penderita hemofilia sebagian besar adalah laki-laki. Berbagai aktivitas fisik yang berat dan memicu terjadinya perdarahan sebaiknya dihindari oleh penderita hemofilia. Penyakit hemofilia ini membuat penderitanya merasa dibatasi aktivitas fisiknya. Keterbatasan fisik ini dapat menimbulkan stres pada penderitanya. Selain itu menurut Kelley (1999) di masyarakat terdapat anggapan bahwa penderita adalah seseorang yang rapuh. Sedangkan menurut Parsons (dalam Sarwono, 1997) pada umumnya kepribadian yang diharapkan dari laki-laki berdasarkan norma baku yang berlaku dimana pun adalah dominan, mandiri, kompetitif, dan asertif. Didukung oleh penelitian Lerner, Orlos, dan Knapp (dalam Atwater, 1983) yang menyebutkan bahwa pria lebih cenderung menekankan kompetensi fisik atau apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka agar dapat memberikan dampak yang bermakna bagi lingkungan. Anggapan masyarakat dan keterbatasan fisik yang dimiliki ini tentunya dapat mengganggu perasaan penderita hemofilia.
Selain masalah keterbatasan fisik, masalah lain yang mungkin mengganggu penderita hemofilia adalah pengobatan yang harus dijalaninya seumur hidup. Selain itu berbagai masalah juga akan muncul seperti memenuhi tuntutan tugas perkembangan dewasa muda, seperti mandiri, mencari keija, dan menikah serta membentuk keluarga. Berbagai masalah yang dihadapi penderita hemofllia, terutama penderita hemofilia usia dewasa dapat menimbulkan tekanan bagi mereka. Bila tekanan tersebut melebihi kemampuan yang dimiliki individu, maka menurut Lazarus (1976) individu tersebut dapat mengalami stres. Salah satu usaha coping stres yang dapat dilakukan adalah mencari dukungan sosial.
Dukungan sosial dapat berbentuk dukungan emosional, harga diri, instrumental, informasi, dan dukungan jaringan. Dukungan sosial dapat diterima seseorang dari keluarga, teman dekat, tenaga profesional, maupun dari organisasi dimana individu itu tergabung. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran stres, coping, dan dukungan sosial pada penderita hemofilia dalam menghadapi penyakit hemofilia yang diderita seumur hidup ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah reaksi awal ketika ketiga penderita didiagnosis memiliki penyakit hemofilia adalah menerima. Masalahmasalah yang dihadapi ketiga penderita adalah masalah biaya, pekerjaan, dan berkeluarga. Ketika responden mengatasi masalah-masalah tersebut secara berbeda-beda, tergantung pada sumber daya yang dimilikinya. Ada responden yang mengatasinya dengan strategi problem-focused coping atau dengan emotion focused coping. Ketiga responden mengatasi masalah biaya dengan strategi problem focused coping. Masalah pekeijaan oleh responden NO dan AF diatasi dengan strategi problem focused coping. Sedangkan responden AG mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Untuk masalah berkeluarga ketiga responden mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Bentuk dukungan yang diharapkan oleh penderita hemofilia adalah dukungan instrumental, harga diri, dukungan informasi dan emosional. Dukungan tersebut diharapkan diterima dari keluarga, teman, tenaga medis dan pemerintah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Novia Ujiaryani
"Pekerja anak dapat dikatakan telah menjadi masalah sosial yang serius, yang dihadapi tidak hanya oleh Indonesia saja, tapi juga banyak negara lainnya di dunia, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk mengatasi masalah ini.
Hasil dari beberapa studi menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja anak tersebut mengandung risiko fisik dan psikologis yang dapat merugikan perkembangan mereka Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran stres pada pekerja anak perempuan dan perilaku coping para pekeija anak perempuan tersebut untuk mengatasi stres yang mereka hadapi. Oleh karena stres dan perilaku coping merupakan sesuatu yang bersifat individual, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengambilan sampel kasus tipikal. Dengan demikian, kasus yang diambil adalah kasus yang dianggap mewakili kelompok normal dari fenomena yang diteliti. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan selama wawancara berlansung, data kontrol, alat perekam, dan alat tulis.
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa keempat subyek dalam penelitian ini mengalami stres. Sedangkan reaksi yang timbul dan taraf yang dirasakan berbeda-beda Demikian pula perilaku caping yang ditampilkan.
Disarankan untuk meneliti kembali para pekerja anak dengan usia, latar belakang pekerjaan, dan jenis kelamin yang berbeda Sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih baik menganai stres dan perilaku coping mereka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3203
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachel Satyawati Yusuf
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran stres dan strategi koping pada ibu bekerja yang memiliki anak diasuh oleh asisten rumah tangga. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif sederhana. Sampel yang diteliti adalah ibu bekerja yang mempunyai anak diasuh asisten rumah tangga di Kelurahan Pondok Cina. Jumlah sampel yang diteliti adalah 88 ibu dan dipilih dengan teknik purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak diasuh asisten rumah tangga berada pada tingkat stres sedang.Dari hasil penelitian sumber stres menunjukkan, bahwa sumber stres tekanan internal lebih besar dibandingkan sumber stres tekanan eksternal. Untuk hasil strategi koping, problem focused coping lebih banyak digunakan dibandingkan dengan emotion focused coping.

The aim of the study was to look at the picture of stress and coping strategies on working mothers who have children cared for by household assistant. The study design used is simple descriptive.The samples studied were working mothers who have children taken care of by an assistant housekeeping in the Kelurahan Pondok Cina. The number of samples studied were 88 mothers and selected by purposive sampling technique.
Results showed that mothers of children cared for household assistants are at moderate stress levels. From the results of the study indicate a source of stress, sources of stress that the internal pressure is greater than external pressure source of stress. For the coping strategies, problem focused coping is more widely used than emotion focused coping.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S55138
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanti Apriyanti
"Talasemia merupakan penyakit hemolitik herediter yang bisa menyebabkan masalah psikososial, emosional dan perilaku terutama pada remaja. Terapi kelompok terapeutik merupakan kegiatan kelompok untuk mengatasi masalah perkembangan remaja, membantu mengatasi stres, emosi, akibat penyakit fisik, krisis tumbuh kembang atau penyesuaian. Manajemen stres guided imagery merupakan salah satu cara pengelolaan stres dengan memanfaatkan potensi diri sebagai sumber efektif untuk mengatur emosi serta mengatasi masalah. Tujuan penelitian ini adalah menilai pengaruh terapi kelompok terapeutik remaja dan manajemen stres guided imagery terhadap tingkat stres, koping, resiliensi dan konsep diri remaja talasemia. Desain penelitian menggunakan quasi eksperimental pre-post with control group. Tehnik pengambilan sample menggunakan purposive sampling, Hasil penelitian menunjukan bahwa remaja talasemia kelompok intervensi mengalami perubahan yakni penurunan tingkat stres, perubahan strategi koping, peningkatan resiliensi dan peningkatan konsep diri dibandingkan kelompok kontrol setelah pemberian terapi kelompok terapeutik dan manajemen stres guided imagery (p value < 0.05). Terapi kelompok terapeutik dan manajemen stres guided imagery berpengaruh terhadap tingkat stres, koping, resiliensi dan konsep diri remaja talasemia. Terapi kelompok terapeutik remaja dapat dijadikan rujukan terapi, dalam pencegahan munculnya masalah psikososial pada remaja talasemia sehingga tugas perkembangan dapat dicapai secara optimal.

Thalassemia is a hereditary hemolytic disease that can cause psychosocial, emotional and behavioral problems, especially in adolescents. Therapeutic group therapy is a group activity to overcome adolescent development problems, help overcome stress, emotions, due to physical illness, growth and development crises or adjustments. Guided imagery stress management is one way of managing stress by utilizing one's potential as an effective source for regulating emotions and overcoming problems. The purpose of this study was to assess the effect of adolescent therapeutic group therapy and stress management guided imagery on stress levels, coping, resilience and self-concept of thalassemia adolescents. The study design used quasi-experimental pre- post with control group. The results showed that the intervention group thalassemia adolescents experienced changes namely decreased stress levels, changes in coping strategies, increased resilience and increased self- concept compared to the control group after therapeutic group therapy and guided imagery stress management (p value < 0.05). Therapeutic group therapy and guided imagery stress management affect stress levels, coping, resilience and self-concept of thalassemia adolescents. Adolescent therapeutic group therapy can be used as a therapeutic reference, in the prevention of the emergence of psychosocial problems in thalassemia adolescents so that developmental tasks can be achieved optimally."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>