Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196867 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ferdi Trisnomihardja
"PENDAHULUAN
Beberapa konflik yang terjadi di tanah air menyebabkan ribuan orang terpaksa mengungsi dan tinggal di barak-barak. Sebagian orang mampu beradaptasi dengan kondisi ini, namun sebagian lagi tidak mampu beradaptasi dan mengalami gangguan mental. Wanita dan anak-anak merupakan populasi yang rentan terhadap kondisi ini.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran gangguan mental pada anak dan remaja pengungsi yang tinggal di barak dalam jangka waktu 6 tahun.
METODE
Rancangan penelitian berupa deskriptif potong Iintang terhadap 89 anak dan remaja pengungsi berusia 6 - 17 tahun yang tinggal di barak Kecamatan Kairagi selarna 6 tahun. Instrument yang digunakan adalah MINI Kid Screen yang telah diterjemahkan oleh Divisi Psikiatri Anak dan-Remaja FKUIIRSCM.
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan didapatkan sebanyak 25 (28,1%) responden mengalami Jenis gangguan mental yang dialami adalah:
Depresi Mayor, Distimik, Episode (hipo) manik Gangguan Panik, Agorafobia, Fobia Spesifik, Gangguan Stres Pasca Trauma Penyalabgunaan Alkohol GPPH Inatensi, Kombinasi Gangguan Tingkah Laku, Gangguan Sikap Menentang, Gangguan Psikotik
KESIMPULAN
Tinggal di tempat pengungsian, terlebih dalam waktu lama, dapat menimbulkan gangguan mental pada anak dan remaja."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21384
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi Trisnomihardja
"Peristiwa konflik di beberapa daerah di Indonesia dan meningkatnya kejadian bencana alam dalam skala yang besar menimbulkan hilangnya ratusan bahkan ribuan nyawa, belum lagi kerusakan harta benda secara luas, merupakan peristiwa yang traumatik bagi siapa saja. Adanya peristiwa yang sangat traumatik menyebabkan seseorang tidak mampu beradaptasi dengan mekanisme pertahanan yang dalam keadaan normal cukup adaptif, sehingga muncul gejala-gejala psikis akibat kejadian tersebut. Wanita dan anak-anak merupakan populasi yang rentan terhaap pengalaman traumatik tersebut. Perhatian terhadap anak-anak yang mengalami peristiwa traumatik perlu ditingkatkan karena anak dan remaja berada dalam fase perkembangan sehingga setiap gangguan yang terjadi akan mempengaruhi proses perkembangannya. Salah satu peristiwa traumatik yang terjadi di Indonesia adalah konflik antar desa yang kemudian meluas menjadi konflik SARA di Maluku Utara yang terjadi pads bulan September 1999 dan menyebabkan sekitar 35.000 jiwa terpaksa mengungsi ke Sulawesi Utara. Jumlah yang sangat besar ini tentu saja menimbulkan persoalan tersendiri bagi pemerintah daerah setempat maupun bagi para pengungsi tersebut. Sebagian dari mereka ditampung di kantor-kantor pemerintah, yang lain ditampung di lapangan terbuka, dan sebagian lagi ditampung di barak-barak yang kemudian dibangun. Seiring berjalannya waktu, sebagian dari para pengungsi ini mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi namun sebagian besar dari mereka tetap enggan untuk kembali ke daerah asalnya dengan alasan mereka tidak mungkin melupakan peristiwa yang telah mereka alami tersebut. Mereka memilih untuk memulai kehidupan yang baru di Sulawesi Utara. Meskipun demikian ada pula pengungsi ini yang kurang mampu beradaptasi dan mernilih untuk tetap tinggal di barak barak.
Mereka yang kurang mampu beradaptasi dan memilih untuk tetap tinggal di barak ini akan membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan mental emosional penghuninya terutama bagi anakanak dan remaja antara lain karena kondisi dan situasi lingkungan tempat tinggal di barak yang tidak memiliki "privacy", kondisi kesehatan yang kurang memadai, sarana yang kurang memadai, dan tidak ada pekerjaan yang tetap bagi orangtua, kurangnya sarana pendidikan. Meneg Pemberdayaan Perempuan dalam kunjungannya ke berbagai daerah yang dilanda konflik menyatakan bahwa banyak anak di daerah pengungsian yang bukan hanya menghadapi masalah kesehatan fisik dan mental tetapi juga masalah pendidikan termasuk pendidikan moral tidak tertanam kesan dalam diri anak bahwa kekerasan atau konflik adalah hal yang biasa dalam menyelesaikan suatu masalah. Salah satu tempat pengungsian yang ada di propinsi Sulawesi Utara terletak di Kamp Kitawaya, desa Kairagi, Kecamatan Mapanget, Kotamadya Manado. Para pengungsi yang tinggal di sini berasal dari Maluku Utara dan sudah menempati tempat ini sejak bulan Desember 1999. Semua menyatakan tidak berkeinginan untuk kembali ke tempat asal mereka meskipun kondisi kondisi mereka di Kamp ini kurang baik. Peristiwa yang mereka alami pada bulan Desember 1999 dirasakan masih membekas, mereka menyaksikan sendiri bagaimana sanak saudara, kerabat, tetangga mereka dibunuh, bahkan mereka dikejar-kejar hingga ke pelabuhan. Dari atas kapalpun mereka masih dapat menyaksikan para pengungsi yang terluka berebut naik ke atas kapal. Kondisi kehidupan di barak yang kurang baik ini tentu akan mempengaruhi fase-fase perkembangan seorang anak dan remaja, apalagi bila kondisi ini berlangsung bertahun-tahun. Hal ini menarik perhatian dan menimbulkan pertanyaan pada peneliti, bagaimana bila hal ini telah dialami selama 6 (enam) tahun? Adakah gangguan mental dari anak-anak dan remaja pengungsi Maluku yang tinggal di barak selama 6 tahun di Sulawesi Utara?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Nurul Amany
"Kondisi kesehatan mental emosional dan perilaku anak-anak di panti asuhan merupakan hal yang rentan dan harus dipelihara agar anak-anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang berfungsi sosial secara baik. Kajian literatur ini membahas terkait masalah perkembangan mental emosional dan perilaku yang dialami oleh anak-anak yang tinggal di panti asuhan menggunakan metode penulisan tinjauan literatur yang dikemukakan oleh Knopf (2006). Peneliti telah memilih tujuh penelitian terdahulu yang membahas terkait masalah perkembangan mental emosional dan perilaku anak di panti asuhan, diantaranya adalah penelitian milik Sulaiman & Mansoer (2019), Hidayati (2018), Wetarini et. al (2018), Riyadi et. al (2014), Rahmah et. al (2014), Haryanti et. al (2016), dan Kaur et. al (2018). Kajian literatur ini bertujuan untuk menganalisis ketujuh penelitian terdahulu yang sudah terpilih, dan membahas perkembangan mental emosional dan perilaku anak di panti asuhan. Selain itu, peneliti juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi serta membandingkannya dengan anak-anak yang diasuh oleh orang tua kandungnya. Hasil dan kesimpulan dari kajian literatur ini adalah adanya perbedaan dalam perkembangan mental emosional serta perilaku anak-anak yang tinggal di panti asuhan dengan anak yang diasuh oleh orang tua kandungnya, dimana anak-anak yang tinggal di panti asuhan memiliki serangkaian masalah seperti emotional loneliness, depresi, dan juga masalah perilaku. Kajian literatur ini dapat menjadi landasan bagi penelitian empirik, terutama penelitian dalam lingkup perkembangan anak, perkembangan mental emosional dan perilaku, dan juga anak dalam panti asuhan. Selain itu, kajian literatur ini dapat memberikan wawasan tambahan untuk beberapa mata kuliah di Ilmu Kesejahteraan Sosial, diantaranya adalah mata kuliah Tingkah Laku Manusia, Kesehatan Jiwa Berbasis Komunitas, dan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, terutama dalam bidang perkembangan anak dan kesehatan mental emosional dan perilaku anak.

The mental, emotional and behavioural conditions of children in institutionas or orphanages are in a vulnerable state and must be maintained for these children to grow and develop into fully functioning human beings in society. This literature review discusses the problems of mental emotional and behavioral development experienced by children living in institutions using the method of literatur review proposed by Knopf (2006). The author has selected seven previous studies related to the problems of mental emotional development and behavior of children in institutions, which includes the research of Sulaiman & Mansoer (2019), Hidayati (2018), Wetarini et. al (2018), Riyadi et. al (2014), Rahmah et. al (2014), Haryanti et. al (2016), and Kaur et. al (2018). This literature review aims to analyze the seven previous studies that have been selected and discuss the mental emotional and behavior development of children in institutions. In addition, the author also discusses the influencing factors and compares them with children who are raised by their biological parents. The results and conclusions of this literature review are differences in mental emotional development and behavior of children living in institutions with children being cared for by their biological parents, where children living in institutions have a series of problems such as emotional loneliness, depression, as well as behavioral problems. This literature review can be the basis for empirical research, especially research in the scope of child development, mental emotional development and behavior, as well as children in institutions. Furthermore, this literature review can provide additional insights for several courses in Social Welfare Sciences, including courses on Human Behavior, Community-Based Mental Health, and Child Welfare and Protection, especially in the field of child development and mental health, as well as children’s mental emotional and behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putrie Kusuma Wardhani
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara peer attachment dan mental health pada anak jalanan usia remaja. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur peer attachment yaitu bagian peer attachment dari Inventory of Parent and Peer Attachmnet Revised (IPPA-R) yang dikembangkan oleh Armsden dan Greenberg (2009), sedangkan mental health diukur dengan Mental Health Continuum Short Form (MHC-SF) yang dikembangkan oleh Keyes (2002). Penelitian ini melibatkan 60 anak jalanan dengan rentang usia 12 hingga 18 tahun yang ditemui peneliti di Jakarta, Depok, dan Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara peer attachment dan mental health pada anak jalanan usia remaja (r = +0,423, n = 60, p < 0,01, one tailed). Dengan demikian, semakin tinggi peer attachment yang dimiliki anak jalanan usia remaja, semakin tinggi pula mental health yang dimilikinya.

ABSTRACT
This research was conducted to investigate the relationship between peer attachment and mental health of adolescent street children. The instrument that was used to measure peer attachment was peer attachment part of Inventory of Parent and Peer Attachment Revised (IPPA-R) developed by Armsden and Greenberg (2009), while mental health was measured by Mental Health Continuum Short Form (MHC-SF) developed by Keyes (2002). This study involved 60 street children with age of 12 until 18 years old in Jakarta, Depok, and Bogor area. The result showed that peer attachment and mental health has a significant positive correlation (r = +0,423, n = 60, p < 0,01, one tailed). Therefore, the higher peer attachment a street children has, the higher his mental health.
"
2015
S60777
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Kartika
"Studi terdahulu menunjukkan remaja cenderung memiliki intensi yang rendah untuk mencari bantuan profesional sekalipun berisiko mengalami masalah kesehatan mental. Karakteristik unik perkembangan remaja dan konteks budaya juga menjadikan penelitian tentang faktor yang mendukung intensi mencari bantuan pada remaja di Indonesia penting untuk dieksplorasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sikap terkait mencari bantuan sebagai mediator dalam hubungan antara distress disclosure dan intensi remaja untuk mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional setelah mengontrol usia, jenis kelamin, dan pengalaman konseling sebelumnya. Sebanyak 254 remaja di Indonesia (M = 15.31 tahun) mengisi kuesioner secara daring, yakni Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Distress Disclosure Index (DDI), dan Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). Hasil studi menemukan bahwa sikap memediasi secara penuh hubungan antara distress disclosure dan intensi remaja mencari bantuan sekalipun usia, jenis kelamin, dan pengalaman konseling sudah dikontrol (ab = .0783, 95%, BCa CI [0.0030, 0.1666]). Semakin tinggi distress disclosure, maka sikap remaja terkait mencari bantuan semakin positif. Sikap positif ini yang akan meningkatkan intensi remaja mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional. Temuan ini mengindikasikan pentingnya mempertimbangkan distress disclosure dan sikap terkait mencari bantuan dalam upaya meningkatkan intensi remaja di Indonesia untuk mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional.

Previous studies have shown that adolescents' intention to seek professional help tends to be low though they are at risk of having mental health problems. The uniqueness of adolescent development and the cultural context also make research about facilitating factors in Indonesian adolescents’ help seeking intention important to be explored. The current study aimed to investigate the role of mental help seeking attitude as a mediator between distress disclosure and adolescents’ intention to seek mental health professional help after controlling ages, gender, and previous counseling experiences. A total of 254 Indonesian adolescents (M = 15.31 years) filled out online questionnaires consisting of the Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Distress Disclosure Index (DDI), and Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). The result found that attitude fully mediated the relationship between distress disclosure and adolescents' help seeking intention even after controlling the ages, gender, and counseling experiences (ab = .0783, 95%, BCa CI [0.0030, 0.1666]). The higher the distress disclosure, the more positive the help seeking attitude. The more positive attitude, the higher adolescents’ intention to seek help. The results indicate that to increase Indonesian adolescent’s intention to seek professional help, distress disclosure and mental help seeking attitude have to be considered."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Ranti Rachmi
"Interaksi orang tua adalah salah satu prediktor perkembangan Theory of Mind (ToM), yaitu sebuah kemampuan sosial kognitif yang penting bagi kehidupan sosial anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran interaksi ayah, khususnya Mental State Language (MSL), terhadap perkembangan ToM pada anak usia 5 – 7 tahun. MSL diukur dengan inventori Mental State Language Ayah yang diadaptasi dari Maternal Mental State Input Inventory milik Peterson dan Slaughter (2003), dan ToM anak diukur dengan ToM Scale milik Wellman dan Liu (2004), Peterson et al., (2012), serta Perner dan Wimmer (1985). 120 pasangan ayah dan anak dari SES menengah ke atas menjadi bagian dari penelitian ini. Kontras dengan penelitian sebelumnya, studi ini menemukan bahwa MSL Ayah tidak berperan terhadap perkembangan ToM anak usia 5-7 tahun. Studi ini juga menemukan urutan perkembangan ToM yang berbeda, berupa Diverse Desire, Hidden Emotion, Sarcasm, Diverse Belief, Knowledge Access, False Belief, dan 2nd Order ToM.

Parental Interaction is one of the strong predictors of Children’s Theory of Mind Development, a social cognitive skill that affects children’s social life. This study invastigates whether father’s Mental State Language (MSL) has a role toward children’s ToM in age 5 to 7 years old. Father’s MSL measured by MSL Inventory which is adapted from Maternal Mental State Input Inventory (MMSI) (Peterson & Slaughter, 2003), and children’s ToM measured by ToM Scale (Wellman & Liu, 2004; Peterson et al., 2012; Perner & Wimmer 1985). 120 pairs of father and child from middle to high SES participated in this study. Contrast with the preliminary studies, this study suggests that fathers MSL have no role toward ToM in children 5 to 7 years old. This study also found that the childrens ToM developmental order differs from other studies, in the following order: Diverse Desire, Hidden Emotion, Sarcasm, Diverse Belief, Knowledge Access, False Belief, and 2nd Order ToM."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangunsong, Purnianti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1976
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Purbaning Tyas
"Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan dari kesehatan mental ibu terhadap kejadian stunting pada balita di Indonesia yang berkaitan dengan karakteristik ibu, anak, serta rumah tangga berdasarkan kelompok usia balita. Dalam penelitian ini menggunakan data longitudinal dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2007 dan tahun 2014 dengan metode Regresi Logistik Biner (logit). Kesehatan mental ibu diukur menggunakan instrumen CESD-10. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kelompok balita usia 0-59 bulan dan 24-59 bulan, peningkatan total skor CESD-10 berhubungan dengan kejadian stunting pada balita setelah dikontrol dengan seluruh karakteristik. Sementara pada kelompok balita usia 0-23 bulan, peningkatan total skor CESD-10 tidak berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Tinggi ibu, durasi menyusui, usia anak, berat lahir, dan lokasi tempat tinggal berhubungan dengan kejadian stunting di semua kelompok usia. Pendidikan ibu dan kuintil pengeluaran berhubungan dengan kejadian stunting di kelompok usia 0-59 bulan dan 24-59 bulan. Sementara terdapat dua variabel yang hanya berhubungan dengan kejadian stunting di satu kelompok usia balita saja, yaitu usia ibu (kelompok balita 0-59 bulan) dan kondisi sanitasi (kelompok balita 24-59 bulan).

This study aims to study the association of maternal mental health to stunting in children under five years old in Indonesia, which is related to the characteristics of mothers, children, and households based on the age group of children under five years old. This study uses longitudinal data from the Indonesian Family Life Survey (IFLS) in 2007 and 2014 with the Logistic Regression method. Maternal mental health was measured using the CESD-10 instrument. The results showed that in the children's age group of 0-59 months and 24-59 months, an increase in the total CESD-10 score associated with stunting in children after being controlled by all the characteristics. In age 0-23 months, the increase in the total score of CESD-10 was not associated with stunting. Maternal height, duration of breastfeeding, child age, birth weight, and location of residence were associated with stunting in all age groups. Maternal education and expenditure quintiles were associated with stunting in the 0-59 months and 24-59 months age groups. Meanwhile, two variables only relate to the incidence of stunting in one age group of children under five, namely maternal age (0-59 months of children under five) and sanitary conditions (24-59 months of children under five)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcheli Fitria
"Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu apakah ada peranan dari psychological well being dan collective efficacy terhadap respon bystander dalam kejadian bullying di SMA. Sebagai tambahan, penelitian ini juga melakukan perbandingan pada dua dimensi collective efficacy untuk mengetahui dimensi mana yang paling berperan terhadap respon bystander. Partisipan penelitian ini adalah 229 siswa dari SMA dan SMK di Depok.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa psychological well being dan collective efficacy mempunyai peranan yang signifikan terhadap respon bystander sebagai defender. Sedangkan, pada respon bystander sebagai reinforcer dan outsider tidak ditemukan peranan yang signifikan. Pada dua dimensi collective efficacy, keduanya mempunyai peranan yang signifikan terhadap respon bystander sebagai defender, dengan peranan yang lebih besar berasal dari dimensi informal social control.

This study was conducted to find out whether there is a role of psychological well being and collective efficacy to bystander response in the event of bullying in high school. In addition, this study also did a comparison on the two dimensions of collective efficacy to determine which dimensions are most responsible bystander response. Participants of this study were 229 students from high schools and vocational schools in Depok.
The results of this study indicate that psychological well being and collective efficacy has a significant role as a defender of the bystander response. Meanwhile, the bystander response as reinforcer and an outsider can not find a significant role. In the two-dimensional collective efficacy, both have a significant role as a defender of the bystander response, with a greater role comes from the informal social control dimension.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56516
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Papayungan, Diana
"Latar Belakang : Asma adalah merupakan penyakit kronis saluran napas yang dipandang sebagai penyakit psikosomatik yang klasik, oleh karena dianggap bahwa faktor psikologis ikut berperan tidak hanya pada onset timbulnya penyakit tetapi juga dalam penentuan perjalanan penyakit. Asma dianggap juga sebagai reaksi fisik terhadap stres yang kemudian disertai dengan terjadinya perubahan-perubahan morfologik jaringan dan ditandai oleh peningkatan respon dari jalan napas terhadap berbagai stimuli (alergen dan non alergen), dan bermanifestasi sebagai penyempitan jalan napas yang menyeluruh (difus) yang dapat berubah beratnya balk secara spontan maupun dengan pengobatan. Adanya penyakit kronis seperti asma selain berdampak pada perkembangan anak juga dapat menyebabkan anak berisiko mengalarni berbagai masalah emosi, periIaku, dan sosial. Dikatakan bahwa anak asma 2.5 kali lebih banyak mengalami problem emosi dan perilaku dibanding anak yang sehat.
Metode : Menggunakan desain cross sectional dan alat ukur CBCL untuk menskrining problem emosi dan perilaku pada anak usia 6-18 tahun yang menderita asma.
Hasil : Proporsi total problem emosi dan perilaku pada anak asma sebesar 39%. Proporsi tertinggi diantara narrow syndrom adalah keluhan somatik sebesar 34% dan diatara broad syndrom yang tertinggi adalah intemalisasi sebesar 70%. Kelompok umur yang terbesar mengalami problem emosi dan perilaku adalah 6-12 tahun, laki-laki lebih tinggi dari perempuan, sedang menurut urutan anak yang tertinggi adalah anak sulung. Usia onset, yang terbanyak mengalami problem emosi dan perilaku yakni pada usia 6-10 tahun, dan diperoleh hubungan yang bermakna antara usia onset dan problem pikiran (p102 bulan(> 8,5 tahun) didapatkan hubungan yang bermakna dengan problem atensi, dan pada lama sakit > 90 bulan(> 7,5 tahun) didapatkan hubungan yang bermakna dengan perilaku delikuen.

Background
Asthma is a respiratory chronic illness regarded as classic psychosomatic illness since psychological factor entails not only in onset?s cause of illness but also in determination of illness route itself. Asthma is also considered as a physical response to stress which is followed by tissues morphologic alteration and indicated by the increase of breathing s route response to any stimulant, thus manifested as whole breathing?s route constriction which mass can change either spontaneously or by treatment.
A part from children's development chronic illness can also endanger children with the risk of emotional, behavior and social problems. It is said that asthmatic children suffer from emotional and behavior problems 2.5 limes greater than normally children.
Methods
Using cross sectional design and CRCL measurement equipment by means of emotional and behavior problems screening or asthmatic children aged 6-18 years old
Result and Discussion
Asthmatic children are emotional and behavior problems total proportion is 39 %. The highest proportion among narrow band syndrome is somatic complaint, which is as much as 34 % and the highest among broad band syndrome is internalization, which is as 70 %. The group which suffers most from emotional and behavior problems is 6-12 years of age group. Boys suffer more than girls. And firstborn suffers the most. Onset age which suffers from behavior problems the most is 6-10 years of age group. It is obtained a significant relation between onset age and mind problem (p < 0.05). There are two illness duration cut rates that have significant relation with the occurrence of emotional and behavior problems, they are >102 months (>8.5 years) illness period, from which a significant relation with attention problem obtained, and > 90 months(> 7.5 years) illness period, from which a significant relation with deliquency behavior obtained
Conclusion
Proportion of emotional and behavior problems of asthmatic children aged 6-18 years is 39 %. There is a significant relation between illness onset age and mind problem. There is a significant relation between illness period > 8.5 years and attention problem. For >7.5 years illness period, there is a significant relation with delinquency behavior.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>