Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hilda Zainal
Abstrak :
Penyakit Demam Berdarah Dengue ( DBD) adalah penyakit menular yang sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian pada banyak orang. Pada tahun 1997 Incidence Rate ( IR ) DBD Indonesia 15,28 orang per 100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate ( CFR ) 2,9%. Di Kota Bekasi IR penyakit DBD 38 orang per 100.000 penduduk dengan CFR tertinggi 3,2%.
Tujuan penelitian ini adalah diperolehnya informasi mengenai faktor yang berhubungan dengan efekntitas Pengorganisasian PSN-DBD di Kota Bekasi, khususnya faktor Perencanaan, Koordinasi, Pelaksanaan Kegiatan Dana, Tenaga dan Pembinaan. Rancangan penelitian dengan kwantitatif melalui Cross Sectional. Pengamatan dilakukan pada 50 desa / kelurahan di Kota Bekasi dengan responden pembina wilayah desa / kelurahan dengan quesioner yang telah diuji validitas dan reabilitasnya.
Analisis yang digunakan Univariat, Bivariat dan Multivariat dengan uji statistik Chi-Square, Regresi logistik dan Odds Ratio. Hasil penelitian univariat dari variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut 1 Angka Bebas Jentik ( ABI ) yang sudah melaksanakan dengan baik 50% dan yang tidak baik 50%. Dari enam ( 6 ) variabel penelitian yang dilaksanakan dengan baik adalah perencanaan 30%, koordinasi 76%, pelaksanaan kegiatan 88%, ketersediaan dana 68%, ketersediaan tenaga 60% dan pembinaan 32%.
Hasil analisis bivariat menlmjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan efektifitas PSN-DBD yaitu Angka Bebas Jentik( ABJ) adalah faktor koordinasi, pelaksanaan kegiatan, tenaga dan pembinaan Nilai Continuity Corection lebih kecil dari nilai p value 0,005 dan Phi & Cramers mendekati satu ( 1 ). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang berhubungan seberapa besar memberi kontribusi terhadap terjadinya ABJ yang baik yaitu koordinasi 8,84 kali, pelaksanaan kegiatan 1,05 kali, ketersediaan tenaga 21,49 kali dan pembinaan 9,74 kali.
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling dominan berhubungan adalah ketersediaan tenaga, yaitu sebesar 21,49 dapat memberi kontribusi terhadap terjadinya ABJ yang baik. Saran yang diajukan pada penelitian ini adalah perlunya pembinaan yang efektif pemberdayaan masyarakat dan untuk peningkatan mutu penanggulangan DBD perlu dilaksanakan Mobilisasi Sosial Improvement melalui "Pengembangan Kesadaran Tim / Kelompok Kerja DBD". Selain itu perlu penelitian selanjutnya di Kota Bekasi mengenai faktor yang belum diteliti yaitu faktor cuaca / alam, sosial ekonomi, sosial budaya serta kepadatan dan mobilitas penduduk.

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is one of the communiable diseases that frequently causes epidemic and death. In 1997, Incident Rate (IR) of DHF in Indonesia is 15-28 per 100,000 populations with Case Fatality Rate (CFR) 2.9%. In Bekasi, IR of DHF is 38 per 100,000 populations with the highest CFR, which is 3.2%.
The objective of the research is to get information about any factors related to the effectivity of organizing the lairs of mosquitoes elimination-DHF in Bekasi, especially about planning, coordinating, implementing of activities one through Cross Seccional. The observations were held in 50 villages/districts in Bekasi with questioners which its validity and reliability have been tested before through districts cultivators as the respondents.
The analysis used are Univariate, Bivariate, Multivariate with Chi-square, Odds Ratio and Logistic Regression as the statistic tesL The result of Univariate research from dependent variable and independent variable is: Free Larva Rate (ABI) of the districts where the research well done are 50% whereas the unwell done are also 50%. The Six research variables which is well done are planning 30%, coordinating 76%, implementing of activities 88%, liinding 68%, personnel 60%, and founding 32%. The result of Bivariate analysis indicates that factors related to effectivity of lairs of mosquitoes elimination-D1-IF that is Free Larva Rate (FLR), are coordinating, implementing of activities, personnel and founding. The Continuity Correction Value is smaller than b value which 0.005 and Phi & Cramers is close to one (1).
The result of Multivariate analysis indicates the related factors that can give much contribution to the idea] Free Larva Rate, which are coordinating 8.84, implementing of activities 1,05, personnel 21.49, founding 9-74.
From the result above, can conclude that the most dominant factor related is the available of personnel, which 21.49 can contribute to the ideal Free Larva Rate. Suggestions we submitted to the research are the necessity of effective founding, making efficient use of society and the necessity of mobilizing a Social Improvement through ?DHF Work Team Realization Development? to increase the quality of DHF coping. Besides that, it is necessary to do further research in Bekasi about factors that have not been examined which are weather /nature, economic social, culture, population density and mobility.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Trisia
Abstrak :
Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) merupakan unsur pendukung pelaksanaan tugas Kementerian Kesehatan di bidang pembiayaan dan jaminan kesehatan. Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, suatu organisasi perlu didukung dengan struktur organisasi yang mencerminkan sasaran dan strategi organisasi. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan melakukan penelusuran literatur dan wawancara ahli untuk mencari dan memberikan pandangan mengenai peran, tugas, dan fungsi PPJK agar dapat mendukung pembangunan kesehatan secara nasional melalui upaya pembiayaan kesehatan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi penataan struktur organisasi PPJK yang sesuai dengan perubahan lingkungan strategis, baik internal maupun eksternal.

Center For Health Financing And Social Health Insurance (PPJK) is a supporting element for the implementation of the duties of the Ministry of Health in health financing and insurance sectors. To be able to perform its duties and functions optimally, an organization needs to be supported with an organization structure that reflects its goals and strategies. This is a qualitative research with sourcing of literature and interviewing the experts to search and obtain their views in the roles, duties, and functions of PPJK which is supporting the development of national health programs through the health financing. At the end, this research is expected to provide input for the organizational structure of PPJK that align with the environtmental strategic changing, in both internally and externally.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rico Kurniawan
Abstrak :
[ABSTRAK
Pendahuluan: Pekerja penyamakan kulit berpotensi terpajan oleh berbagai polutan pencemar udara, salah satunya kromium. Terhirupnya polutan kromium dapat mempengaruhi kesehatan seperti sesak nafas, batuk, penurunan fungsi paru, hingga kanker paru. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan pajaran konsentrasi kromium di tempat kerja dengan gangguan fungsi paru. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional terhadap 61 orang pekerja penyamakan kulit di Sukaregang Kabupaten Garut. Kapasitas vital paksa (FVC) dan volume ekpirasi paksa satu detik (FEV1) diukur menggunakan spirometri Datospris mod 120 Sibelmed. Kromium total di tempat kerja diukur menggunakan low volume sampler dan dianalisis menggunakan atomic absorbtion spectrofotometry (AAS). Hasil: konsentrasi kromium total di tempat kerja berkisar antara 3.94-11.79 μg/m3. Kondisi fungsi paru pekera penyamakan kulit sebagaian besar masih besar masih dalam keadaan normal (FEV1/FVC>75%). Analisis multivariat menunjukkan bahwa masa kerja dan pajanan debu kromium meningkatkan risiko tejadinya fungsi paru pada pekerja, (p 0.024) dengan 95% CI (0.086-0.830). Kesimpulan: setelah dikontrol dengan masa kerja, pekerja yang terpajan kromium lebih besar, berisiko terkena gangguan fungsi paru.

ABSTRACT
Background: tannery workers have been potentially exposed to various air pollutants, such as chromium. Exposed by chromium can affect health status, such as shortness of breath, cough, decreased lung function, and lung cancer. Objective: to determine the relationship of chromium exposure in the workplace and worker?s pulmonary dysfunction. Method: this study used a cross-sectional design on 61 people working at tanneries in Sukaregang, Garut district. Lung function was measured by spirometry. Low volume of sample was used to measure the chromium in the air and analyzed using atomic absorbtion spectrofotometry (AAS). Result: the concentration of total chromium in the workplace ranged from 3.94-11.79 μg/m3, while most of worker?s pulmonary function still in normal condition. Multivariate analysis showed that length of exposure and chromium concentration increases the risk of pulmonary dysfunction in tannery workers, (p 0.024 95% CI 0.068-0.830). Conclusion: control by lenght of exposure showed tannery worker who expose to higher concentration of chromium, have more risk to get pulmonary dysfunction.;Background: tannery workers have been potentially exposed to various air pollutants, such as chromium. Exposed by chromium can affect health status, such as shortness of breath, cough, decreased lung function, and lung cancer. Objective: to determine the relationship of chromium exposure in the workplace and worker?s pulmonary dysfunction. Method: this study used a cross-sectional design on 61 people working at tanneries in Sukaregang, Garut district. Lung function was measured by spirometry. Low volume of sample was used to measure the chromium in the air and analyzed using atomic absorbtion spectrofotometry (AAS). Result: the concentration of total chromium in the workplace ranged from 3.94-11.79 μg/m3, while most of worker?s pulmonary function still in normal condition. Multivariate analysis showed that length of exposure and chromium concentration increases the risk of pulmonary dysfunction in tannery workers, (p 0.024 95% CI 0.068-0.830). Conclusion: control by lenght of exposure showed tannery worker who expose to higher concentration of chromium, have more risk to get pulmonary dysfunction., Background: tannery workers have been potentially exposed to various air pollutants, such as chromium. Exposed by chromium can affect health status, such as shortness of breath, cough, decreased lung function, and lung cancer. Objective: to determine the relationship of chromium exposure in the workplace and worker’s pulmonary dysfunction. Method: this study used a cross-sectional design on 61 people working at tanneries in Sukaregang, Garut district. Lung function was measured by spirometry. Low volume of sample was used to measure the chromium in the air and analyzed using atomic absorbtion spectrofotometry (AAS). Result: the concentration of total chromium in the workplace ranged from 3.94-11.79 μg/m3, while most of worker’s pulmonary function still in normal condition. Multivariate analysis showed that length of exposure and chromium concentration increases the risk of pulmonary dysfunction in tannery workers, (p 0.024 95% CI 0.068-0.830). Conclusion: control by lenght of exposure showed tannery worker who expose to higher concentration of chromium, have more risk to get pulmonary dysfunction.]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haditya Leorahmadi Mukri
Abstrak :
[ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang pengembangan sistem informasi surveilans Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang dikonfirmasi oleh laboratorium
dengan berbasis Web. Hal ini dilatarbelakangi saat ini pemberantasan penyakit
menular merupakan suatu hal penting yang harus didukung dengan sarana yang
sesuai. Untuk itu suatu negara harus mengembangkan, memperkuat, dan
memelihara kemampuan untuk mendeteksi, menilai dan melaporkan kejadian
penyakit menular. Sistem surveilans dengan berbasis Web dan terintegrasi dapat
mendukung dan memperkuat kegiatan surveilans PD3I yang ada sekarang.
Penelitian ini mengenali permasalahan dengan pendekatan sistem. Rancangannya
adalah riset operasional. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam,
observasi dan telaah dokumen dilanjutkan dengan analisis konten. Hasil penelitian
menemukan terputus informasi di dalam hirarki pelaporan yang berjalan saat ini
sehingga tidak tepat waktu untuk sampai di pusat. Sistem pelaporan berjenjang
memakan waktu lama. Pengembangan sistem informasi yang terintegrasi yang saat
ini berupa prototype harus terus dikembangkan dan perlunya komitmen dari semua
pihak dapat memperbaiki surveilans PD3I dengan konfirmasi lab sehingga
penanganan kasus dapat dilakukan segera dan mencegah penyebaran penyakit.

ABSTRACT
This thesis discusses about developing surveillance information system on Vaccine
Preventable Diseases (VPD) which are confirmed by laboratory examination and
which are web based. Its background is that controlling communicable diseases is
in important issue that has to be supported with appropriate structures. Therefore, a
country should develop, strengthen, and maintain its capacity to detect, asses and
report communicable disease events. An integrated web based surveillance system
can support and strengthen the existing VPD surveillance activities.
This research recognizes problems with a system approach. Its design is operational
research. Data are collected through deep interview, observation and document
review, which are continued with content analysis. Research results show that there
is an information gap at the report hierarchy in the existing system, so that data
reach the central level not in timely manner. Cascade reporting system takes a long
time. Developing integrated information system as prototype and strong
commitment from related parties can improve VPD surveillance with lab
confirmation, so that case management can be performed immediately and further
spread of the disease can be prevented., This thesis discusses about developing surveillance information system on Vaccine
Preventable Diseases (VPD) which are confirmed by laboratory examination and
which are web based. Its background is that controlling communicable diseases is
in important issue that has to be supported with appropriate structures. Therefore, a
country should develop, strengthen, and maintain its capacity to detect, asses and
report communicable disease events. An integrated web based surveillance system
can support and strengthen the existing VPD surveillance activities.
This research recognizes problems with a system approach. Its design is operational
research. Data are collected through deep interview, observation and document
review, which are continued with content analysis. Research results show that there
is an information gap at the report hierarchy in the existing system, so that data
reach the central level not in timely manner. Cascade reporting system takes a long
time. Developing integrated information system as prototype and strong
commitment from related parties can improve VPD surveillance with lab
confirmation, so that case management can be performed immediately and further
spread of the disease can be prevented.]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Yulianti
Abstrak :
Campak merupakan pcnyakit yang sanngat menular dan sebagai penyebab utama kcmatian anak di negara berkumbang termasuk Indonesia. Imunisasi campak di Indonesia telah berhasil dilaksanakan dengan baik. Namun kenyataannya masih
banyak ditemukan kasus campak dibeberapa daerah. Salah satu fhklor yang diduga menjadi penycbabnya adalah daya guna vaksin yang tidak maksimal dikarenakan sistcm rantai vaksin yang sangat nncncnwkan untuk pcngamanan mulu valcsin tidak
berfungsi clengall baik atau para pemgns inumisasi tidak melakukan pcnanganan vzlksin sesuai dengan yang tclah dilentukan. Bcrdasarkan atas kcnyataan ini, dilakukan penelilian mengcnai faktor-faktor yang berhubungan dcngan kepaluhan petugas imunisasi tcrhadap Standar Proscdur Operasional imunisasi dalam penanganan vaksin campak di Kabupaten Kebumen pada tahun 2009, yang terdiri
atas bcbcrapa variabel, antara lain: pendidikan, pelatihan, Jama kerja, pengelahuan, sikap, motivasi, imbalan, persepsi kepcmimpinan, supervisi dan sarana. Penclilian
menggunakan pcndekatan kuantitatiii dilakukan secara cross sectional dcngan sampel seluruh total pnpulasi sebanynk 69 responden, scrta menggunakan data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara. I-lasil peneliiian
mcnunjukkan responden yang memiliki kepatuhan adalah sebanyak 42 responden (6O,9%). Selanjutnya variabel indcpenden yang mcmiliki hubungan yang bermakna sccara statistik dcngan kepatuhan petugas, antara Iain: pendidikan, pengetahuan,
imbalan dan sarana. Adapnn faktor yang paling dominan bcrhungan dcngan kepaluhan petugas adalah pcngelahuan dan sarana. l`|`lilSiI`|g'l1`|flSil'1g didapntkan nilai
OR scbcsar 5,|95 dan 5,2872

Measles is one of infectious disease which is primary cause of death among
children in developing countries, including Indonesia. Measles immunization
program in Indonesia has been done well enough, but there are still many cases of
measles found in several areas. One of suspected factors is vaeci|1e’s efficiency is not
optimum caused by the chain system of vaccine which is important aspect in
vaccine’s quality was not well functioned or vaccine ofdcer did not administered
vaccine as procedures. Based on this facts, this study objective is to lind out factors
which related to vaccine ofticer’s obedient to standard operating procedure of
immunization on administrating measles vaccine in District of Kebumen year of
2009. Variables of this study are education, training, work duration, knowledge,
attitude, motivation, fee, leadership perception, supervision and facility. This study is
quantitative approach using the cross sectional method with from total population
which are 69 respondents also taken primary data by observation and interview. The
result of this study shows that 42 respondents (60,9%) have obedience. The
independent variables which have statisticaliy signilicant related to ofiicer’s obedient
are education, knowledge, fee and facility. 'I`he dominant factors which related to
officers obedient are knowledge and facility, with OR are 5,l95 and 5,287
respectively.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T34373
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Rochmiatun
Abstrak :
Hingga pertengahan abad XX terdapat perbedaan kategori ulama (ulama birokrat/ulama penghulu dan ulama non-penghulu/ulama bebas) di Palembang. Hal ini bermula dari proses birokratisasi agama, ketika sistem kekuasaan merasa berkewajiban untuk memberikan pelayanan keagamaan atau ketika kekuasaan melihat agama harus dikendalikan. Sementara itu, sejak dekade kedua abad XX banyak terjadi konflik antara ulama-ulama bebas maupun ulama birokrat Palembang yakni antara ulama bebas yang berorientasi Islam tradisionalis dan ulama bebas yang berorientasi Islam modernis. Di sisi lain, bersamaan dengan bangkitnya gerakan Islam modernis di Palembang, pada awal abad XX, berdatangan juga para ulama tradisionais lainnya yang bermukim di Mekkah. Ulama-ulama yang berfaham Islam tradisionalis ini diantaranya mulai melakukan upaya gerakan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam yakni dengan mendirikan lembaga berupa "Madrasah". Upaya pendirian lembaga pendidikan dengan sistem madrasah ini menunjukkan bahwa adanya unsur "pembaharuan" yang kemudian menegaskan perbedaannya dengan sistem pendidikan Islam tradisional.
Kajian ini mengungkap kontinuitas tradisi keilmuan dalam bentuk penulisan karya-karya keagamaan serta pengajaran agama yang dilakukan oleh ulama bebas dan ulama birokrat setelah Kesultanan Palembang dihapus, serta peran ulama bebas dan ulama birokrat di Karesidenan Palembang di tengah wacana adanya gerakan pembaharuan Islam dan gerakan nasionalisme. Dalam perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Palembang, ulama bebas dapat dikatakan sebagai agent of change yakni tokoh yang mampu membawa perubahan sosial sebab terbukti mempunyai kemampuan yang enabling bagi lingkungannya. Sedangkan ulama birokrat dipandang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat atau tidak berperan sebagai agent of change, hal ini disebabkan ulama birokrat dibatasi oleh salah satu perannya yakni sebagai pejabat pemerintah kolonial yang harus loyal terhadap aturan-aturan.

Until the mid-twentieth century, the categories of ulama were differentiated into two types: bureaucratic ulama/ulama penghulu (headman ulama) and independent ulama in Palembang. These differences have resulted from the process of bureaucraticization of religion, when the power system feels obliged to provide religious services or when the power considers that religion must be strongly controlled. On the one hand, since the second decade of the twentieth century, the conflicts between independent Muslim ulama with their orientation on traditionalist perspectives and those with modernist perspectives took place. On the other hand, along with the rise of the Modernist movement in Palembang, in the early twentieth century, the other traditionalist scholars who lived in Mecca also took part in these movements. Scholars with traditionalist Islam perspectives partly initiated their efforts of renewal movement in the field of Islamic education by establishing the institution in the form of 'Madrasah'. This effort of establishment of educational institutions with the madrasah system demonstrates the element 'renewal' which then confirms the difference with the traditional Islamic educational system.
This study reveals the continuity of the tradition of knowledge in the form of writing works of religious matters as well as religious instructions conducted by independent scholars and bureaucratic ulama after the Palembang Sultanate had been removed, and the role of independent ulamas and bureaucraticic ulamas at the residency of Palembang in the middle of the discourse of Islamic reform movements and the nationalist movements. In the changes that occur in people of Palembang, the independent scholars can be regarded as the agent of change who is capable of bringing about social changes because it has proved to have the enabling capabilities for the environment. Meanwhile, the bureaucratic clerics are considered not to have the ability to make changes in the society, or they do not act as agent of change due to the fact that bureaucratic ulama are constrained by one of their role as the colonial government officials who should be loyal to the rules.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D2157
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Ketut Netri
Abstrak :
Jitsugaku adalah cara berfikir pragmatis orang Jepang. Menurut Minamoto pemikiran inilah yang mendasari modernisasi Jepang bermula dari zaman Edo, Meiji, dan zaman setelah Perang Dunia ke dua sampai sekarang. Keberadaan Jepang dengan ke majuan ekonomi seperti yang terlihat sekarang ini bukanlah merupakan hal yang secara tiba-tiba muncul di dalam masyarakat Jepang, melainkan sudah ada sejak zaman Kinsei atau pra modern. Menurut Minamoto, pemikiran ala Jepang ini bersumber pada ajaran Konfusianisme yang banyak berorientasi pada kenyataan hidup yang senantiasa mengejar keuntungan. Dikatakan pula, bahwa Jitsugaku atau pemikiran pragmatis Jepang bersifat yuyoosei, yakni pemikiran atau pandangan yang bermanfaat langsung, pada saat itu. Jitsugaku bukan merupakan pemikiran yang konstan, melainkan pemikiran yang selalu bergerak mengikuti zaman, masyarakat, dan pandangan-pandangan nilai yang berlaku. Jitsugaku yang dianut oleh orang Jepang sekarang banyak mengambil paham dari seorang tokoh pendidikan Jepang yang terkenal di zaman Meiji, yaitu Fukuzawa Yukichi yang berkiblat pada pemikiran Barat. Sejak zaman Meiji (1867) paham pragmatis Barat banyak masuk ke Jepang. Tetapi Jitsugaku Jepang tidak identik dengan pragmatisme Barat karena bagaimanapun juga masing-masing negara telah memiliki latar belakang tradisi yang berbeda-beda. Jitsugaku lebih mementingkan faktor empirikal atau pengalaman daripada faktor transendental atau paham di luar pengalaman manusia.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bangoen Widodo
Abstrak :
Skripsi Kannon Shinko di Jepang membahas tentang kepercayaan terhadap Dewi Kannon, atau yang di Indonesia dikenal dengan nama Lokeswara (Sansk.: Avalokitesvara) dan Kuan im. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan gambaran tentang kehidupan beragama dari Kepercayaan yang paling banyak dianut orang Jepang sampai saat ini. Melalui pembahasan tentang Kepercayaan terhadap Dewi Kannon ini, penulis berusaha untuk menarik suatu Kesimpulan tentang gambaran Allah, agama, dan beragama orang Jepang.
Kannon adalah salah satu bodhisatva yang dikenal dalam agama Buddha Mahayana. Secara umum bodhisatva adalah seorang yang rela meninggalkan nirvana yang sudah didapatkan, untuk menolong orang lain mencapai nirvana tersebut. Secara literal Kannon mengandung arti Memandang dan Mendengar, tetapi jika berdasar pada sifat-sifat yang dimilikinya, Kannon adalah Tuhan Semesta Alam. Mitos-mitos tentangnya menceriterakan bahwa Kannon berasal dari seorang putri raja yang sejak Kecil bercita-cita untuk hidup sebagai paderi Buddha, yang untuk keinginannya ini ia rela meninggalkan hak-hak dan kehidupannya sebagai putri raja, hidup sebagai samana (pertapa) dan rela berkorban bagi orang lain.
Ikonografi Kannon muncul pada sekitar abad III SM di daerah Gandhara atau Peshawar, Pakistan yang merupakan salah satu pusat Buddha Mahayana dalam sejarah penyebarannya dari Mathura, India. Kannon Shinko sendiri muncul sebagai kepercayaan pada sekitar abad pertama Masehi, berbarengan dengan puncak perkembangan agama Buddha Mahayana. Dari Gandhara Kannon Shinko kembali Ke India, menyebar Ke Tibet, Cina, Korea, dan Jepang.
Ikon Kannon pada mulanya berbentuk seorang wanita yang memegang suihin (kendi air), namun ada juga bentuk utama yang lainnya, yaitu sebagai seorang pangeran yang berjubah penuh permata, bermahkota, memegang teratai atau/dan suibin, serta di puncak kepalanya terdapat kebutsu (bentuk Buddha).
Di Jepang ikon Kannon ditemukan pertama Kal i di Kuil Horyuji. Dari Kenyataan ini dapat dipastikan bahwa Kannon Shinko masuk Ke Jepang pada sekitar abad Vll.
Pada jaman Heian (737-806) dengan munculnya dua sekte besar, yaitu Shingon dan Tendai, Kannon Shinko berkembang menjadi Roku Kannon Shinko atau Kepercayaan terhadap Enam Kannon, yang menjadi salah satu Karakteristik Kannon Shinko di Jepang.
Di Jepang Kannon Shinko berfungsi sebagai pelindung keselamatan raga dan Jiwa, serta sebagai tempat memohon segala sesuatu. Kannon Shinko yang muncul dari agama dunia yang sakral-religius, yakni agama Buddha, berkembang menjadi suatu kepercayaan yang berstruktur shomin Shinko dan menjadi Kepercayaan yang profan-magis. Kenyataan ini muncul Karena Kannon Shinko mengisi dan memberi jawab atas adanya sifat jominsei yang ditinggalkan dan ditekan oleh agama Buddha.
Di Jepang, Kannon Shinko yang mempunyai karaKteristik dalam bentuk-bentuK Roku Kannon Shinko, Maria Kannon Shinko, Mizuko Kannon Shinko, dan Kyodai Kannon Shinko menjadi energi dan menghidupkan agama Buddha Jepang. Orang Jepang yang dalam beragama secara praktis terwujud dari hubungan-hubungannya dengan hotoke-hotoke semacam Kannon, JIZO, dan Fudomyoo, menciptakan suatu pola beragama yang berorientasi dari kehidupan sehari-hari dan untuk kehidupan sekarang yang tampak dalam istilah Tekigi-Shusha-Sentaku yang berarti, dalam polytheisme orang Jepang mengkoleksi hotoke-hotoke tersebut dan memilihnya sesuai dengan kebutuhan dan Kecocokan dengan masalah yang dihadapinya.
Dalam Kannon Shinko Kannon yang pada mulanya merupakan bodhisatva atau makhluk suci dalam agama Buddha yang bersifat polymorphic, menimbulkan afeksi pada umat Buddha yang merubah fungsinya menjadi Tuhan yang Maha Kuasa dan Penuh Kasih.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S13502
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zani Yustina
Abstrak :
Iryono Iitsutae atau tradisi pengobatan rakyat yang terdapat pada masyarakat Jepang terwujud dalam bentuk berbagai pepatah dan cara-cara pengobatan tradisional. Tradisi ini yang sering dianggap sebagai pengobatan bentuk meishin atau takhyul ternyata didalam kenyataan benar-benar berfungsi dalam pengobatan penyakit, pencegahan maupun perawatan. Sedangkan pepatah dan berbagai macam ungkapan diantaranya berperan sebagai sarana pendidikan moral atau etika didalam kehidupan mereka.
Dari sudut ilmu pengetahuan kedokteran modern tradisi ini seakan-akan diartikan sebagai irasional sebaliknya ilmu pengetahuan kedokteran berdasarkan logika atau pemikiran rasional. Hal ini menimbulkan tanda tanya dan keraguan apakah penerapan tradisi ini dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan kerugian dan berbahaya. Keraguan terhadap eksistensi cara pengobatan tersebut menjadi motivasi dari himpunan ibu-ibu di Propinsi Miyagi untuk mengumpulkan berbagai macam tradisi lisan yang berhubungan dengan cara pengobatan dan berbagai petuah tentang cars hidup sehat tradisional.
Dari 1.044 buah cara dan pepatah tersebut dibagi dalam bidang-bidang kedokteran untuk dianalisa secara ilmiah dan diberi pendapat, dengan cara menggolongkan kedalam kategori-kategori tertentu. Pendapat para ahli tersebut ternyata menunjukkan sebagian besar tradisi pengobatan tersebut dapat diakui oleh ilmu kedokteran atau dianggap berdasarkan pemikiran yang logis/rasional. Sedangkan penelaahan terhadap bentuk meishin (takhyul) yang terdapat dalam tradisi ini menunjukan prosentase kurang dari l5% dari jumlah keseluruhan pepatah tersebut.
Kepercayaan terhadap hal-hal yang magis atau takhyul nyatanya tetap ditemui dalam masyarakat yang telah maju ilmu pengetahuannya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S13912
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ausaf Ali Atiyyah
Abstrak :
Penelitian ini mencoba melihat bagaimana sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menerapkan realisme sosialis kedalam cerita-cerita pendek yang mereka publikasikan di koran Harian Rakyat untuk memahami definisi realisme sosialis menurut Lekra. Penelitian ini dilakukan menggunakan Metode Sejarah. Dari penelitian ini terbukti bahwa realisme sosialis Lekra, sebagaimana yang tercermin dalam cerpen-cerpen yang terbit di Harian Rakyat, bukan merupakan sebuah panduan estetika melainkan pedoman berkarya dan bersikap. Selain itu, motif penerbitan karya mengacu pada kepentingan dan resolusi yang diusung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

This research attempts to observe how Peoples Culture Institute (Lekra) implemented socialist realism into their short stories published in Harian Rakyat newspaper from 1950 until 1965 to see Lekra’s definition on socialist realism. This research is based on the Historical Method. It was assumed that Lekra’s view on Socialist Realism is not as an aesthetic measurement but an artistic attitude. Lekra’s Short Stories theme is generally based on PKI’s resolution and guidelines.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>