Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Theresia Dhearine Pratiwi
"Talasemia beta mayor merupakan suatu penyakit darah yang ditandai dengan tidak ada atau menurunnya produksi rantai protein beta dalam globulin yang mengakibatkan anemia mikrositik dengan derajat keparahan yang bervariasi. Perawatan untuk penderita talasemia beta mayor adalah dengan melakukan transfusi darah secara rutin. Kondisi gingivitis kerap kali juga ditemukan pada anak talasemia beta mayor. Adanya produksi sIgA saliva merupakan suatu tanda aktifnya respons imun humoral dalam rongga mulut.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kadar sIgA saliva pada penderita gingivitis antara anak talasemia beta mayor dan anak normal. Subjek penelitian sebanyak 32 anak dengan gingivitis moderat berusia 5-8 tahun, 16 anak penderita talasemia beta mayor dan 16 anak normal. Sampel saliva yang diambil diukur kadar sIgA salivanya dengan menggunakan metode ELISA.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna antara kadar sIgA saliva anak talasemia beta mayor dan anak normal dengan hasil rerata pada anak talasemia beta mayor 186.136 ± 92.342 μg/mL dan anak normal 111.541 ± 71.000 μg/mL. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kadar sIgA saliva penderita gingivitis antara anak talasemia beta mayor dan anak normal.

Thalassemia beta major is a blood disorder that is characterized by a decrease or absence of beta protein chain production in globulins, which caused various degree of microcytic anemia. People with thalassemia beta major require scheduled blood transfusion as treatment. Gingivitis is a common oral finding, especially in children with the disorder. The production of salivary IgA (sIgA) is a sign of active humoral immune response in the oral cavity.
The purpose of this research is to analyze the difference of salivary IgA between thalassemia beta major children and normal children, both having gingivitis. Thirty-two children aged 5-8 years old with moderate gingivitis were taken as subjects, consisting of 16 thalassemia beta major children and 16 normal children. The level of salivary IgA was measured with ELISA method.
The result showed a significant difference of salivary IgA levels between thalassemia beta major children (186.136 ± 92.342 μg/mL) and normal children (111.541 ± 71.000 μg/mL). In conclusion there is a significant difference of salivary IgA levels in thalassemia beta major children with gingivitis and normal children with gingivitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Messya Rachmani
"Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat stres anak Autisme dengan intervensi Modul Pedagogi Visual dan Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ yang diukur dari kadar kortisol saliva. Desain penelitian berupa eksperimental klinis dan laboratoris dengan mengukur kadar kortisol saliva sebelum dan sesudah intervensi. Subjek terdiri dari 20 anak usia 6-10 tahun yang telah didiagnosis Autisme oleh dokter spesialis anak atau psikiater, tidak terdapat riwayat penyakit sistemik, tidak terdapat gangguan pada penglihatan dan pendengaran, dapat mengikuti instruksi sederhana, serta belum pernah ke dokter gigi. Subjek dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok Modul Pedagogi Visual ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ dan Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’. Saliva diambil pada saat sebelum dan sesudah intervensi kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengukur perbedaan kadar kortisol saliva. Hasil analisis tingkat stres anak autisme yang diukur dari kadar kortisol saliva menggunakan Uji Mann Whitney-U menunjukkan nilai median kadar kortisol saliva anak autisme pada kelompok intervensi Modul Pedagogi Visual ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ sebesar 0,0005 μg/mL dan nilai median kadar kortisol saliva kelompok intervensi Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ sebesar 0,0010 μg/mL. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p > 0,050) dalam tingkat stres anak autisme yang diukur dari kadar kortisol saliva pada kelompok intervensi Modul Pedagogi Visual dan Video Modeling 'Berkunjung ke Dokter Gigi'. Hal ini menandakan efektivitas Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ untuk menurunkan tingkat stres anak autisme pada saat perawatan gigi sama dengan Modul Pedagogi Visual ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ yang diukur dari kadar kortisol saliva .

The aim of this study was to determine the differences of the Visual Pedagogy Module and Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ intervention method in reducing stress levels in autism children measured by salivary cortisol levels during dental treatment. The study design was clinical and laboratory experimental by measuring salivary cortisol levels before and after the intervention. Subjects consisted of 20 children aged 6-10 years who had been diagnosed with Autism by a pediatrician or psychiatrist, had no history of systemic disease, had no impairment of vision and hearing, could follow simple instructions, and had never been to a dentist. They were divided into two groups based on the type of intervention: Visual Pedagogy Module ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ and Video Modeling ‘Berkunjung
ke Dokter Gigi’. Saliva was collected from the children before and after the interventions and analyzed in the laboratory to measure the differences of salivary cortisol concentration. The Mann-Whitney test was used to analyze salivary concentration differences in two intervention groups. The median values in the two intervention groups were 0,0005 and 0,0010 μg/mL. The stress levels measured by salivary cortisol levels showed that both Visual Pedagogy Module and Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ proven to be effective in decreasing the level of stress among the children with autism. No significant statistical difference in the delta values was observed between the two groups (p >.050). Both Visual Pedagogy Module and Video Modeling ‘Berkunjung ke Dokter Gigi’ are equally effective in reducing stress levels in children with autism measured by salivary cortisol levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Aulia Ainani
"Latar Belakang: Kecemasan dental merupakan suatu perasaan negatif yang tidak beralasan saat berkunjung ke dokter gigi untuk melakukan perawatan gigi. Kecemasan dental ini dapat menjadi hambatan bagi pasien anak maupun dewasa dalam melakukan perawatan gigi. Pengalaman buruk dental seperti rasa sakit saat perawatan, sikap tim dokter gigi yang kurang ramah, serta adanya rasa malu yang timbul akibat kondisi gigi geligi dapat menjadi faktor yang menimbulkan kecemasan dental. Pengalaman dental tersebut dapat terjadi pada masa anak-anak, remaja, dan dewasa. Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan kecemasan dental dengan pengalaman dental sebelumnya, salah satunya telah dibuktikan bahwa tidak adanya hubungan antara kecemasan dental dan pengalaman dental.
Tujuan: Menganalisis hubungan kecemasan dental saat ini dan pengalaman dental pada anak yang pernah berkunjung ke dokter gigi.
Metode: Data diambil secara daring dengan studi potong lintang pada siswa/i Bimbingan Belajar Nurul Fikri di seluruh wilayah DKI Jakarta menggunakan alat ukur berupa kuesioner CFSS-DS (Children’s Fear Survey Schedule-Dental Subscale) yang telah dimodifikasi urutannya dengan total subjek berjumlah 82 orang. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat menggunakan SPSS.
Hasil:  Persentase terbesar tingkat kecemasan dental tinggi terdapat pada pencabutan gigi atau ekstraksi gigi sebesar 15,52% dan berdasarkan Uji Chi-square terlihat terdapat hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05) antara kecemasan dental saat ini dan jenis perawatan dental yang pernah dilakukan.
Kesimpulan: Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan yang tidak bermakna pada hubungan antara kecemasan dental saat ini dan pengalaman dental pada siswa/i Bimbingan Belajar Nurul Fikri di seluruh wilayah DKI Jakarta.

Background: Dental anxiety is an unreasonable negative feeling when visiting the dentist for dental treatment. Dental anxiety can be an obstacle for pediatric and adult patients in performing dental care. Bad dental experiences such as pain during treatment, the unfriendly attitude of the dental team, and the embarrassment that arises due to the condition of the teeth can be factors that cause dental anxiety. These dental experiences can occur in childhood, adolescence, and adulthood. Many studies have been conducted on the correlation between dental anxiety and previous dental experiences, one of which has proven that there is no correlation between dental anxiety and dental experience.
Objective: To analyze the correlation between current dental anxiety and dental experience in children who have visited the dentist.
Methods: Data were collected online by cross-sectional study on Nurul Fikri Tutoring students throughout DKI Jakarta using a measuring instrument in the form of a CFSS-DS (Children's Fear Survey Schedule – Dental Subscale) questionnaire which has been modified in order with a total of 82 subjects. Data analysis was performed by univariate and bivariate analysis using SPSS.
Results: The largest percentage of high dental anxiety levels was found in tooth extraction by 15.52% and based on Chi-square tests, it was seen that there was a non-significant correlation (p > 0.05) between current dental anxiety and types of dental treatment ever performed.
Conclusion: In this study, it was found that there was a non-significant correlation between current dental anxiety and dental experience in Nurul Fikri Tutoring students throughout DKI Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Marissa Kartika Anthrasita
"Di negara berkembang, khususnya di Indonesia, penyakit gigi dan mulut masih tergolong tinggi yaitu tercatat diderita oleh 90% penduduk Indonesia dan sebagian besar adalah masalah karies gigi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kejadian karies pada anak usia 72-144 bulan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi cross-sectional secara total sampling. Pengambilan data dilakukan melalui pemeriksaan klinis terhadap siswa siswi SD Tarsisius Vireta Yayasan Bunda Hati Kudus, Tangerang yang dilaksanakan dari bulan September ? November 2006. Jumlah sampel sebanyak 875 anak, yang terdiri dari 418 laki-laki (47,8%) dan 457 perempuan (52,2%). Sampel dibagi ke dalam tiga kelompok usia yaitu, kelompok usia 72-95 bulan, kelompok usia 96-119 bulan, dan kelompok usia 120-144 bulan. Hasil penelitian menunjukkan 86% anak menderita karies, dengan rerata nilai indeks def-t/DMF-T sebesar 5,11. Hasil analisis dengan uji-t menunjukkan bahwa perbedaan nilai indeks def-t/DMF-T antara laki-laki dan perempuan tidak bermakna (nilai t = 0,572; p = 0,567). Dengan uji-ANOVA memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok usia (F = 53,167; p = 0,00). Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi karies pada anak usia 72-144 bulan di SD Tarsisius Vireta Yayasan Bunda Hati Kudus Tangerang tergolong tinggi dan terdapat perbedaan nilai indeks def-t/DMF-T yang bermakna antar kelompok usia, walaupun perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan tidak bermakna."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adina Novia
"[ABSTRAK
Kecemasan terhadap perawatan gigi merupakan masalah umum yang
mempengaruhi semua usia, terutama anak-anak. Modifikasi modelling dengan
menggunakan positive images merupakan salah satu teknik manajemen perilaku
untuk mengatasi kecemasan. Alpha-amylase dalam saliva atau salivary alphaamylase
(SAA)
merupakan
salah
satu
komponen
dalam
saliva
yang
dapat
menjadi
indikator
stres akut, dalam hal ini yaitu kecemasan. Penelitian ini bertujuan
menganalisis adanya pengaruh positive images ?Berkunjung ke Dokter Gigi?
terhadap kecemasan yang dilihat dari nilai SAA. Sampel saliva didapatkan dari
24 anak sebelum dan setelah intervensi positive images ?Berkunjung ke Dokter
Gigi?. Nilai SAA seluruh sampel diukur menggunakan metode pati-iodium. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat pengaruh positive images ?Berkunjung ke Dokter Gigi? terhadap kecemasan anak usia 7 tahun dengan melihat adanya perbedaan nilai SAA. (p=0,001).ABSTRACT Dental anxiety is a common problem that affects all ages, especially children. Modelling modifications by using positive images is one of behavior management techniques to overcome anxiety. Salivary alpha-amylase (SAA) is one of the components in the saliva which can be an indicator of acute stress, namely anxiety. The purpose of this study is to investigate the effect of positive images ?Visit to the Dentist? towards anxiety that measured from the SAA levels. Saliva samples collected from 24 children before and after positive images ?Visit to the Dentist? intervention. SAA levels of all subjects were measured using starchiodine method. The result showed that SAA levels differ significantly before and after positive images ?Visit to the Dentist? intervention on 7 years-old-child anxiety. (p=0,001).;Dental anxiety is a common problem that affects all ages, especially children. Modelling modifications by using positive images is one of behavior management techniques to overcome anxiety. Salivary alpha-amylase (SAA) is one of the components in the saliva which can be an indicator of acute stress, namely anxiety. The purpose of this study is to investigate the effect of positive images ?Visit to the Dentist? towards anxiety that measured from the SAA levels. Saliva samples collected from 24 children before and after positive images ?Visit to the Dentist? intervention. SAA levels of all subjects were measured using starchiodine method. The result showed that SAA levels differ significantly before and after positive images ?Visit to the Dentist? intervention on 7 years-old-child anxiety. (p=0,001)., Dental anxiety is a common problem that affects all ages, especially children. Modelling modifications by using positive images is one of behavior management techniques to overcome anxiety. Salivary alpha-amylase (SAA) is one of the components in the saliva which can be an indicator of acute stress, namely anxiety. The purpose of this study is to investigate the effect of positive images “Visit to the Dentist” towards anxiety that measured from the SAA levels. Saliva samples collected from 24 children before and after positive images “Visit to the Dentist” intervention. SAA levels of all subjects were measured using starchiodine method. The result showed that SAA levels differ significantly before and after positive images “Visit to the Dentist” intervention on 7 years-old-child anxiety. (p=0,001).]"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edlyn Dwiputri
"Dental black stain adalah diskolorasi eksternal oleh suatu substansi eksogen berpigmentasi gelap dalam bentuk garis atau titik-titik hitam yang sejajar dengan tepi gingiva dan melekat erat pada 1/3 servikal mahkota gigi permukaan labial/bukal, lingual/palatal dan menyebar ke proksimal. Perilaku ibu yang terdiri dari pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu mengenai kesehatan gigi dicurigai mempengaruhi tingkat keparahan dental black stain. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan perilaku ibu mengenai kesehatan gigi dengan tingkat keparahan dental black stain. Subjek penelitian adalah 21 anak dengan dental black stain berusia 4-8 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku ibu dengan tingkat keparahan dental black stain memiliki hubungan tidak bermakna.

Dental black stain is an external discoloration caused by an exogenous substance dark pigmented in the form of a black line or dots and firmly attached on cervical third of crown teeth on labial/buccal, lingual/palatal and spread into proximal. Mother's dental health behaviour that is consist mother's knowledge, attitudes and actions suspected of affecting the severity of dental black stain in children. The aim of this study is to determine the relationship of Mother's dental health behavior with the severity of dental black stain in children's age 4-8 years. Subjects are 21 children aged 4-8 years old with dental black stain. The results showed that there were no significant relation between mother's dental health behavior and the severity of dental black stain."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Cecilia Morinta
"ABSTRACT
Latar Belakang: Ukuran mahkota gigi sulung penting dalam keberhasilan perawatan restorasi dengan mahkota logam dan keberhasilan perawatan ortodonsi preventif. Perbedaan ukuran mahkota gigi sulung anak laki-laki dan perempuan ditunjukkan dalam diferensiasi seksual pada ukuran mahkota gigi dan bentuk gigi. Terdapat keterbatasan data mengenai ukuran mahkota gigi sulung anterior pada anak laki-laki dan anak perempuan dalam populasi Indonesia. Tujuan Penelitian: Mengetahui ukuran mahkota gigi sulung anterior pada kelompok anak laki- laki dan kelompok anak perempuan, dan mengetahui perbedaan diameter mesiodistal, labiopalatal/ labiolingual antara kelompok anak laki-laki dan kelompok anak perempuan di Klinik Gigi Anak RSKGM FKG UI. Metode: Penelitian studi deskriptif-analitik menggunakan model studi pasien anak pada periode gigi sulung. 34 pasang model gigi dengan rincian 17 pasang model gigi laki-laki dan 17 pasang model gigi perempuan untuk menguji perbedaan ukuran mahkota gigi sulung antara sisi kanan dan kiri pada kelompok anak laki-laki dan kelompok anak perempuan. 99 pasang model gigi dengan rincian 35 pasang model gigi laki-laki dan 64 pasang model gigi perempuan untuk menguji perbedaan ukuran mahkota gigi sulung antara laki-laki dan perempuan. Terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara pengukuran mahkota gigi sulung dengan jangka sorong dan software ImageJ (p≥0.05). Terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada ukuran mahkota gigi sulung antara sisi kanan dan kiri pada kelompok anak laki-laki (p≥>0.05). Terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada ukuran mahkota gigi sulung antara sisi kanan dan kiri pada kelompok anak perempuan (p≥0.05). Terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada diameter mesiodistal antara laki-laki dan perempuan (p≥0.05), kecuali pada gigi dc RB (p0.05). Terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada diameter labiopalatal/ labiolingual antara laki-laki dan perempuan (p≥0.05). Data nilai persentil dari diameter mesiodistal dan diameter labiopalatal/ labiolingual gigi anak laki-laki dan perempuan di Klinik Gigi Anak RSKGM FKG UI. Tidak terdapat perbedaan antara sisi kanan dan kiri gigi sulung. Tidak terdapat perbedaan ukuran mahkota gigi sulung antara laki-laki dan perempuan, kecuali pada diameter mesiodistal gigi kaninus bawah. Data persentil 50 ukuran mahkota gigi sulung anak pada penelitian ini dapat menjadi data referensi dalam pembuatan mahkota logam bagi anak dengan kerusakan mahkota parah di Indonesia.

ABSTRACT
Background: Primary crown size are important to achieve successful stainless steel crown restoration and orthodontic preventive. Teeth are part of the human body that showing the marks of sexual dimorphism. The size of primary teeth in the recent Indonesian population has not been studied: The aim of this study to measure primary anterior crown size of male and female patients and to differ mesiodistal, labiopalatal/ labiolingual diameter between male and female from Paediatric Health Care, RSKGM FKG UI. Method: Thirty four pairs model study (17 males, 17 females) used to test different size between right and left side on sexes group. Ninety nine pairs model study (35 males, 64 females) used to test different size between male and female. Result: Theres no significant difference of measurement between digital caliper and software ImageJ (p≥0.05)"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almaulidah Ikaputri Septahapsari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Trauma gigi adalah masalah kesehatan yang perlu ditanggulangi.
Data epidemiologi trauma gigi di Indonesia belum ditemukan. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi trauma gigi permanen anterior pada
anak sekolah dasar. Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan desain
cross sectional yang dilakukan pada 500 anak usia 8-12 tahun. Hasil: Hasil penelitian
menunjukkan bahwa trauma gigi terjadi dua kali lebih sering pada anak laki-laki usia
9 tahun yang melibatkan gigi permanen insisif sentral maksila kanan dan biasanya
terjadi di lingkungan rumah akibat aktivitas fisik.

ABSTRACT
Background: Dental trauma is health problems that have to be solved. Epidemiology
data of dental trauma in Indonesia has not been determined. Aim: The aim of this
reseach was to determine the distribution frequency of traumatic permanent anterior
teeth on elementary school student. Method: The method of this research was
descriptive with cross sectional design, which has been done on 500 children aged 8-
12 years old. Result: Result showed that dental trauma in children is two times more
common in boys aged 9 years, involving the permanent maxillary right central incisor
and usually caused of physical activity around the house."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Natalia Hardjakusumah
"Kunjungan ke dokter gigi dapat menyebabkan rasa tidak nyaman. Hal ini dapat menjadi sumber rasa cemas atau takut pada semua tingkat usia khususnya pada anak. Salah satu cara untuk menurunkan kecemasan tersebut adalah dengan memberikan video training mengenai perawatan gigi yang merupakan modifikasi manajemen perilaku modeling. Indikator dalam mengukur kecemasan anak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kadar alpha amylase dan kalsium saliva. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan video training 'Berkunjung ke Dokter Gigi' dan tingkat kecemasan anak usia 7 tahun. Desain penelitian ini adalah analitik cross-sectional. Sebanyak 23 anak usia 7 tahun diberikan video training 'Berkunjung ke Dokter Gigi' dan dinilai tingkat kecemasan sebelum dan sesudah video training menggunakan indikator kadar alpha amylase dan kalsium saliva. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan video training 'Berkunjung ke Dokter Gigi' dan penurunan tingkat kecemasan anak usia 7 tahun berdasarkan kadar alpha amylase dan kalsium saliva. (p=0,001).

A visit to the dentist can cause discomfort. This can be a source of anxiety or fear at all age levels, especially in children. One way to reduce the anxiety in dental care is to provide video training, which is a modification of modeling behavior management. Indicators in measuring anxiety in this study are the level of salivary alpha amylase and salivary calcium. The purpose is to analyze the correlations of video training 'Visit to the Dentist' and level of anxiety in children aged 7 years old. The study design is analytic cross-sectional. A total of 23 children aged 7 years old given video training "Visit to the Dentist" and assessed the level of anxiety before and after watching the video training using indicators of levels of salivary alpha amylase and salivary calcium. The result is that there is a correlations of video training 'Visit to the Dentist' and reduced level of anxiety in children aged 7 years old based on the levels of salivary alpha amylase and salivary calcium (p=0,001)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Tandean
"Kecemasan anak terhadap perawatan gigi dapat diatasi dengan teknik manajemen perilaku, seperti Tell-Show-Do dan modelling. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan tingkat kecemasan anak berdasarkan status sosial ekonomi setelah diberikan penayangan video ekstraksi. Penelitian ini dilakukan pada 142 anak berusia 6-9 tahun dengan menggunakan kuesioner MCDAS f yang telah dimodifikasi. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada anak dengan status sosial ekonomi tinggi dan rendah sebelum dan setelah diberikan penayangan video ekstraksi, namun pada anak dengan status sosial ekonomi tinggi, perbedaan tersebut tidak bermakna. Selain itu, tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan tingkat kecemasan terhadap perawatan gigi antara anak dengan status sosial ekonomi tinggi dan rendah sebelum dan setelah diberikan penayangan video ekstraksi.

Child dental anxiety can be managed by using behaviour management techniques, such as Tell Show Do and modelling. The purpose of this study was to determine the differences of child dental anxiety level based on social economic status after watching tooth extraction video. This study was conducted on 142 children aged 6 9 years using modified MCDAS f questionnaire. Statistical analysis was performed using Wilcoxon test.
The results showed that there are different dental anxiety levels in children with upper and lower social economic status before and after watching tooth extraction video, but in children with high social economic status, that difference is insignificant. In addition, there are no significant differences in dental anxiety level changes between children with higher and lower social economic status before and after watching tooth extraction video.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>