Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dedi Kurnia
Abstrak :
ABSTRAK
Penulisan skripsi ini berdasarkan penelitian kepustakaan. Metode pendekatan yang cliqunakan adalah metode instrinsik dan ekstrinsik. Sete1ah bab Pendahuluan berturut-turut dipaparkan konstelasi sosial politik yang melatarbelakangi roman diikuti oleh pembahasan atas tokoh-tokoh dalam roman. Selanjutnya dipaparkan pembentukan kepribadian tokoh utama dilanjutkan dengan pembahasan tentang dialektika antara kenyataan dan satire dalam penyajian kepribadian tokoh utama diakhiri dengan kesimpulan.

Roman Der Untertan dalam bentuknya sebagai satire ternyata mengandung makna yang dalam tentang kepribadian manusia. Melalui skripsi ini saya bertujuan memberikan cerminan, sekaligus mengajak pembaca untuk senantiasa mengoreksi kepribadian diri sendiri.
1990
S14616
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wijayani
Abstrak :
ABSTRAK
Para penulis feminis melalui tulisan-tulisannya berusaha mcngungkapkan ketidakpuasannya akan pembagian peran yang diberikan patriarki karena membatasi perempuan untuk berkcmbang. Usaha ini sudah dirintis penulis Austria, Ingeborg Bachmann dengan karya-karyanya jauh sebelum ide Fraueirbemegmrzg dan Feminisme muncul. Dengan karya-karya cerpennya yang mengambil perempuan sebagai tokoh utama, Bachmann berusaha mcngungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran perempuan yang tersubordinasi dan termarjinalkan dalam dunia yang dikuasai laki-laki ini. Oleh karena semangat pembebasan kaum perempuan inilah saya menganalisis salah satu karya Ingeborg Bachmann: Ein Schritl mach Gomorrlla dengan tujuan menggali proses pencarian identitas baru bagi perempuan. Skripsi ini menemukan empat poin utama dari cerpen 1si~r Schnll nen.b Gomm-ha, yaitu: 1. bagaimana pengalaman Charlotte sebagai perempuan yang hidup bersama laki-laki dalam konteks budaya patriarki, 2. bagaimana pengalaman Charlotte bersama perempuan terutama Mara sehingga ia tergoda untuk hidup bersama, 3. bagaimana bahasa yang telah sangat disalahgunakan untuk membuat pembagian peran dan memberi stereotip masyarakat, berusaha dihancurkan agar diciptakan sebuah identitas perempuan yang baru, 4. Proses pencarian identitas baru yang dilakukannya Charlotte karena keinginannya untuk hidup di dunia utopinya tanpa bahasa laki-laki, tanpa bahasa perempuan, tanpa ukuran, tanpa ikatan yang menentukan.

Dengan membedah poin-poin di atas kesimpulan scderhana dari skripsi ini adalah Charlotte sebagai seorang perempuan tidak puas atas pembagian peran dan fungsi perempuan dalam masyarakat budaya patriarki sehingga ia mengalami ketidakadilan karena perempuan dirnarjinalkan, dianggap sebagai obeyek yang harus menerima saja perlakuan apa pun yang diberikan laki-laki.

Cerpen ini mengangkat kembali cerita dongeng dan mitos lama yang merefleksikan proses pencarian identitas baru perempuan. Walaupun demikian belum dapat dengan jelas dikatakan seperti apa ciri identitas perempuan yang baru. Walaupun demikian belum dapat dengan jelas dikatakan seperti apa identitas perempuan yang baru, maka perempuan masih harus melangkah menyusuri jalan menuju Gomora.
2001
S14761
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Najid
Abstrak :
ABSTRAK Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah kenyataan budaya. Paparan tersebut menunjukkan bahwa sastra tidak berangkat dari ketiadaan budaya. Sastra adalah hasil budaya yang di dalamnya jelas terepresentasikan nilai-nilai budaya. Pada tahun 1990-an terbit beberapa novel. Beberapa ciri yang dapat dicermati dalam novel periode ini ialah dominasi pengarang "mapan", kecenderungan novel bersifat dokurnentatif, memuat persoalan sosial, dan menonjolkan warna daerah. Novel yang menonjolkan warna daerah memiliki ciri: ditulis oleh budayawan, ditulis oleh pengarang yang hidup dan akrab dengan budaya daerah, serta novel tersebut mengangkat kehidupan masyarakat suatu daerah. Ada tiga kecenderungan tema pada karya sastra tahun 1990-an. Kecenderungan tersebut ialah sastra modern mengungkap realisme sosial, sastra modern sebagai media protes sosial, dan sastra modern sebagai sarana pengungkap nilai-nilai budaya. Pada tahun ini, Umar Kayam lah yang taat asas dengan budaya Jawa dalam karya-karyanya. Berdasar atas kenyataan tersebut novel Para Priyayi dipilih sebagai objek penelitian. Topik penelitian yang akan dikemukakan adalah perubahan kebudayaan Jawa. Pengaitan antara perubahan kebudayaan Jawa dalam novel didasarkan atas wawancara dengan Matra, Kayam mengatakan, "Says ingin menulis roman, sekaligus saya ingin mengembangkan pemikiran saya tentang kebudayaan kita. Saya dalam tahun-tahun mendatang ini, ingin menggeluti masalah-masalah ini. Dalam pikiran akademis, misalnya, says ingin menjajaki kemungkinan-kemungkinan yang bisa dijangkau sosiolog, dalam memahami kecenderungan kebudayaan kita. Memperhatikan apa yang diutarakan Umar Kayam tersebut dapat diduga bahwa novel Para Priyayi adalah hasil pengembangan pemikiran pengarang tentang kebudayaan Jawa. Sedangkan pengembangan pemikiran diperkirakan menunjukkan perubahan yang dilakukan pengarang dalam mengusulkan hal Baru tentang kebudayaan Jawa. Masalah yang dapat dirumuskan ialah bagaimanakah kebudayaan Jawa dalam novel Para Priyayi? dan bagaimana kah mobilitas dan pembatasan kebudayaan Jawa dalam novel Para Priyayi? Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka teori new historicism yang dikemukakan oleh Stephen Greenblatt yang memandang kebudayaan sebagai suatu sistem yang memobilisasi dan sekaligus membatasi segala gerak dan pemikiran anggota masyarakat. Seni dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam transformasi budaya Seni (baca: sastra) adalah bentuk yang memungkinkan sebuah improvisasi, pengalaman, dan pertukaran tetap bertahan dan berkelanjutan. Tindakan pemobilisasian dan pembatasan suatu kebudayaan seperti ini tidak terjadi secara acak dan arbitrer tetapi lebih sebagai tindakan pertukaran yang akhirnya menjadi sebuah "jaringan negosiasi" yang kompleks dan utuh. Seorang pengarang sangat mungkin melakukan tindakan evaluatif atau kritis atas objek budaya yang ditulisnya. Tindakan tersebut dapat berupa pemasukan ide-ide pembaharuan dalam budaya tersebut. Upaya seperti ini oleh Greenblatt dipandang sebagai mobilitas suatu kebudayaan. Karena pengarang terikat oleh norma kebudayaan tersebut, maka pastilah ia juga melakukan pembatasan atas upaya mobilitas tersebut. Keberhasilan seorang pengarang dalam menuangkan ide pembaharuan atas kebudayaan dalam karyanya amat bergantung pada keberhasilan negosiasi tersebut. Kebudayaan Jawa dalam novel Para Priyayi masih tetap menunjukkan bahwa kehidupan rohani tetap sebagai sesuatu yang penting. Permasalahan wayang sebagai kehidupan rohani masyarakat Jawa tidak ditemukan adanya perubahan. Wayang tetap dianggap sebagai cerita yang mengiaskan perilaku dan watak manusia, cermin identitas manusia Jawa, simbol yang menerangkan keberadaan manusia, ajaran batin dan ajaran lahir, sarana berintrospeksi, melakukan Iangkah evaluatif atas kejadian yang dialami, dan sebagai pendewasaan berpikir manusia. Pujangga keraton dan karyanya yang banyak dijadikan panutan dan banyak dipelajari oleh masyarakat Jawa adalah serat Wulangreh dari Pakubuwana IV serta serat Wedhatama dan Tripama karya Mangku Negara IV. Hal lain yang juga ditunjukkan oleh unsur kebudayaan Jawa selain wayang dan ajaran pujangga keraton ialah pepatah. Dalam persoalan religi, perubahan yang ditunjukkan adalah adanya gesekan yang kuat antara agama islam dan kristen yang ditunjukkan dengan keinginan salah satu tokoh untuk menikahi tokoh lain yang berbeda agama. Sedangkan laku rohani masyarakat Jawa, seperti upacara selamatan maupun bertapa tetap disebutkan sebagai aktivitas masyarakat Jawa yang merangkum hampir seluruh sendi kehidupan. Mobilitas dan pembatasan kebudayaan Jawa dalam novel ditunjukkan pada unsur fisik; struktur sosial terutama pergaulan dalam keluarga priyayi, pergaulan dengan masyarakat biasa, dan kedudukan wanita; dan pengertian priyayi. Sedangkan keberadaan dua strata sosial, yaitu priyayi dan masyarakat biasa, tidak berubah. Mobilitas yang ditunjukkan dalam hal ini adalah adanya perkembangan pemikiran dalam persoalan pergaulan masyarakat priyayi, hubungan priyayi dengan masyarakat biasa, dan kedudukan wanita. Dalam pergaulan masyarakat priyayi ditunjukkan adanya pemikiran baru tentang pemilihan pasangan hidup secara pribadi yang dipertentangkan dengan budaya perjodohan serta suasana dialogis dalam keluarga priyayi. Hubungan dengan masyarakat biasa digambarkan dengan diperbolehkannya anak priyayi bergaul dengan anak masyarakat biasa. la diperbolehkan bermain bebas walaupun masih berada di dalam lingkungan rumah sendiri. Sedangkan persoalan kedudukan wanita ditunjukkan dengan keinginan kesederajatan antara suami dan istri dalam keluarga priyayi. Kebaruan pemikiran yang ditawarkan dalam novel Para Priyayi lebih dipumpunkan pada pergeseran pemaknaan priyayi. Priyayi dalam novel Para Priyayi lebih ditekankan pada optimalisasi peran priyayi bagi masyarakat terutama wong cilik dan peran priyayi bagi kesejahteraan keluarga dan kehidupannya. Apabila mobilitas dan pembatasan alas kebudayaan tersebut dipandang sebagai sebuah sistem negosiasi maka dapat disebutkan bahwa ada hal panting dan utama yang berhasil dinegosiasikan pada kebudayaan Jawa dalam novel Para Priyayi. Keberhasilan tersebut tampak pada upaya pendefinisian kembali kata priyayi serta relevansi kata tersebut dalam perkembangan selanjutnya. Gila semua ini dikaitkan dengan kedudukan Umar Kayam sebagai seseorang yang ahli dalam negosiasi maka dapat dikatakan bahwa Umar Kayam adalah seorang negosiator yang berhasil dalam menawarkan konsep priyayi pada kebudayaan Jawa.
ABSTRACT Literary work is the mirror of social living. It is the crystallization of both living values as well as experiences. Literature depicts life, and life is cultural reality. This tells us that work of literature leaves not from the cultural nugatory. Instead, it has become the cultural manifestation where cultural values clearly represented. Several novels has published during the 1990's with some distinctive features, i.e. the domination of certain 'established' writers; tendency towards clocumentative works; and illustration of social issues which illustrative of nation or nationality. The novels intensify regional or traditional tones left within these characteristics: mostly been or being written by cultural experts, or by writers who live or get accustomed to the given tradition of that given region, and works portray the life of the given community within that region. Darma in Huda says that three thematic preferences found in 90's works, i.e. modern literature is used to expose social realism, utter social criticism, disclose cultural values. Judged by the work and its author, Umar Kayam is one who keeps practicing the rules and profundities of Javanese culture within his works, Among them - Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Musim Gugur Kembafi di Connecticut, Sri Sumarah, Bawuk, and Para Priyayi-or others, to mention a few: Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, and Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih - may show how obediently he adheres himself to reveal Javanese traditional customs. Based on this, and by keeping in mind that it is only Para Priyayi that becomes his latest work-the first novel published in 1992 by Pustaka Utama Graffiti-the novel is used as the thesis' object. Thus, the research topic is Javanese culture in which its spiritual living and social structure brought into the main focus. Spiritual living is an idea, the most basic mental attitude possessed by anyone or society along with the belief of 'supra-natural force' above all human. As social structure is then, social order within Javanese society, specifically between nobles and commoners, together with the configuring foundation that governs individual relationship within society which becomes the basic principles for individual manner. The idea of connecting Javanese culture and Kayam's work based on his very saying as interviewed with Matra magazine, in which says he, "I want to write a roman, and at the same time, expand my thinking on our culture. By these coming years, I want to deal with these matters. Academically thinking for instance, I look forward to fore-checking any possibilities sociologists can carry through in comprehending our cultural tendency. It is assumed then, judging from what Kayam has said, that the novel 'Para Priyayi is the author's achievement in expanding his own thinking on Javanese culture. Hence, such expansion may also be assumed later as able to exhibit any transformation the author's been being done in proposing different concerns towards Javanese culture. Based on that research's background as well as considering that the depiction of Javanese culture in Para Priyayi novel is a direct representation of Javanese culture within society, problems of the research can be proposed as follows: How Javanese culture represented within Para Priyayi novel? And how mobility and constraint formed within that given novel? Theory used is Stephen Greenblatt' new historicism, which sees culture not as material products of given society, but as a system which, for once, mobilizing and constraining behavior as well as creative idea of its member. By this, Greenblatt shifts the meaning of culture once from `material product' towards 'ideological system' as it means more as both internalization and manifestation of praxis of values or norms in the society. Art is an important agent in cultural transformation. As culture functions as a structure that governs, warrants, and limits in the same time, so art (literary work) becomes the only form of manifestation that makes possible any kind of improvisation, experience, and exchange-as basic requirements for cultural norms or values of certain society to continue existing and perpetuating, Such act of mobilizing and constraining happens not randomly or arbitrarily, in fact, more as exchanging act that leads to a complex whole of 'network of negotiation'. This means that a writer is highly possible to commit any evaluative or critical acts towards cultural object which he's written. Those acts may then be a insertion of reformative ideas within the given culture. Greenblatt sees such labors as cultural mobilization. Yet, as writers are bound up with that very norms of that given culture, he must have been doing constraints towards mobilization he performs. This all, in turn, creates 'negotiation network'. Writers are experts in mastering negotiation of cultural norms as well as manipulating language as culture's biggest creative and collective product. This shows that the success of a writer in putting reformative ideas within the culture in his work depends entirely on the success of that negotiation. This makes works of writers become structural model of accumulation; transformation; representation, and communication praxis of societal life. Such theory is combined with Eagleton's sociologic methods, i.e, realist approach which considers literature is highly conditioned by social reality, And Grebstein's that states literature as unique force of material factor that becomes collective cultural tendencies. Literary forms and contents then, evince sociological development as well as changing in cultural attitudes or patterns. The revealing of Javanese culture in the novel uses sociological method by incorporating Wellek's sociology of literary work, Swingewood's accenting documentative aspect of literature, and Damono's proposing text as material study. Javanese culture in Para Priyayi novel still argues the importance of spiritual living. Wayang (puppet show) as reflection of Javanese spiritual living shifts not from its heretofore context. It still fables human attitudes and behaviors, mirrors Javanese identities, symbolizes human existence, teaches spiritual and physical dogmas, and used as introspective device in performing evaluative steps towards what has been by gone and maturing human way of thinking as well. Pakubuwana IV's Wulangreh verses (serat) and Mangku Negara IV's Wedhatarna and Tripama verses are both Keraton's (Javanese (=palace) poets and verses whose teachings used as exemplary model and contemplated by many Javanese people. Other element has also been exhibited in Javanese culture, besides wayang and keraton poets teachings, is wise-word. In religious plane, the changing shown is intense friction between Islam and Christianity in which depicted by one of the characters' will to marry another comes from different religion. While Javanese spiritual act, such as selamatan (thanksgiving) ceremony or hermitage (tapa) conduct still being defined as activities that sum up almost whole of Javanese complex living structures. Mobility and constraint of Javanese culture in the novel are shown in the element of social structure especially within the relationship between the two strata, i.e. interconnection of nobility and common people and among the nobility themselves. Whilst, the existence of the two strata, nobility and common, is maintained. In detail, the mobility and constraint in the novel shown as follows: In social structure, nobility and commoners (wont a/1 k) continue being the characteristic of Javanese social structure. The mobility shown is the expanding thinking on the relationship between the two. Nobility's kindred allowed to hang around with commoners'. He can play freely though still within his own foreground. Other fashionable thinking mobilizes changing is a trial to modify system of match-making. Although changing in relationship between Javanese social structure does exist and get manifested as ideas towards alternative and fashionable thinking, in fact, restriction also shown as constraint. Nobility's kindred may not play outside houses. Home foreground, by the very fact, is the outermost he can be. In contrast, peasant's kindred can play wherever with friends outside houses. Besides, commoners are still subject to nobility's rules as calling names and using language strata (krama). Hanging with peasant's or other subclasses still considered precarious towards evil or ruthless attitude. Not before finally though, that it no more becomes perilous. Traditional culture in match-making opposed with fashionable one. It seems that the new idea seeks another alternative to open. Here, the tradition of match-making gets mobilized. Regretfully, the idea is being constrained as well. At last, old tradition wins and revives, i.e. match-making is determined though unsatisfactorily. Newness on idea proposed in Para Priyayi novel concentrates more on shifting the meaning of nobility. Nobility within Para Priyayi novel highlights the roles of nobility towards commoners and towards his own life and family welfare. If cultural mobility and constraint seen as a negotiating system, so remark can be made that there is important matter successfully negotiated with Javanese culture in Para Priyayi novel. This is apparent in redefining the word `nobility' along with its relevance towards any further development. Reconnect this with Umar Kayam's position as expert in cultural negotiation, be that as it may that Kayam is a successful negotiator in proposing new concept of nobility within the Javanese social structure.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T4941
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafri K.,
Abstrak :
Tujuan tesis ini adalah untuk menunjukkan bagaimana kedua novel merespon secara kritis sistem patriarki dan kondisi poskolonial melalui sikap dingin tokoh-tokoh perempuan. Tesis ini menunjukkan bagaimana teks merespons hubungan kekuasaan antara kelompok dominan kulit putih terhadap pendatang dan Dunia Ketiga yakni Haiti dan Chicano; serta gambaran permasalahan perempuan oleh kedua pengarang tersebut dalam Lucy dan Delia's Song. Dengan prespektif feminis dan poskolonial, tesis menunjukkan bahwa keberadaan perempuan digambarkan dalam dua jenis penindasan yakni penindasan perempuan oleh kaum laki-laki dan penindasan perempuan kulit berwarna oleh kaum mayoritas kulit putih. Penindasan perempuan merupakan warisan sistem patriarki yang berasal dari negeri perempuan yang mengalami penindasan. Penindasan perempuan sebagai warisan patriarki sering digambarkan melalui hubungan ibu dan anak perempuan dalam proses yang unik. Penindasan kaum kulit berwarna yang berasal dari Dunia Ketiga digambarkan melalui hubungan antara kaum kulit putih dengan perempuan pendatang dad Chicano. Perempuan pendatang ini didiamkan oleh sistem patriarki dan kondisi poskolonial. Dalam hal ini posisi mereka sebagai objek. Akan tetapi, posisi itu berubah kemudian. Mereka mendiamkan diri sebagai wujud pemberontakan hati mereka dalam menentang sistem patriarki dan dominasi kekuasan kelompok masyarakat kulit putih. Jadi posisi mereka sebagai subjek. Sikap diam mereka sebagai resistensi terhadap "penjajahan" perempuan karena pada hakekatnya ada dua jenis "penjajahan" dalam kedua karya (Lucy dan Delia's Song) tersebut yakni penjajahan terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki dan penjajahan oleh kelompok mayoritas kulit putih terhadap kaum pendatang dan Dunia Ketiga. Ketidakmauan kaum laki-laki dalam memahami perasaan kaum perempuan sebagai permasalahan yang dominan dalam kedua karya tersebut pada hakekatnya disebabkam oleh kecenderungan kaum laki-laki dalam menguasai kaum perempuan karena kaum laki-laki sering merasa kedudukan mereka lebih tinggi dari kedudukan perempuan.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T8997
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Rosah Maria
Abstrak :
ABSTRAK
Housekeeping dan The Accidental Tourist adalah dua novel yang ditulis oleh dua penulis Anglo-Amerika. Kedua pengarang menyajikan tema individualisme di Amerika tahun 1980 berdasarkan perspektif kelompok mayoritas.

Kedua karya memuat pertentangan antara individualisme dan komunitas, yang kemudian dimenangkan oleh individualisme. Komunitas dalam kedua karya ini begitu menekankan nilai-nilai komunal yang menyebabkan tekanan bagi individu sehingga individu memberontak terhadap nilai-nilai mapan tersebut.

Kedua novel menawarkan sebuah gaya hidup alternatif yang disebut drifting. Drifting merupakan salah satu wujud dan individualisme dan menjadi sebuah gaya hidup alternatif bagi masyarakat Amerika tahun 1980-an, yang menolak budaya mapan. Orang yang mempunyai gaya hidup tersebut, tidak tergantung pada materi (uang) dan masa depan, biasanya memilih hidup dalam kemiskinan (simple, natural way of living).

Tesis ini membahas drifting yang berkaitan dengan bentuk drifting dan proses perobahan meunju realisasi gaya hidup drifting itu sendiri. Dalam pembahasan selanjutnya, drifting dikaitkan dengan konsep Ulf Hannerz yang berhubungan dengan pandangan "lokal" dan "tidak lokal" (cosmopolitan). Ditemukan bahwa di dalam tesis ird, drifting itu bukan hanya kebebasan individu untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa rencana sebelumnya, tetapi juga merupakan perubahan cara pandang seseorang terhadap dunia.
ABSTRACT
Housekeeping and The Accidental Tourist are two novels written by the two, so-called Anglo-American writers. The two authors present the issue of individualism in the American 1980s seen from the perspective of majority group.

The two works convey a conflict between individualism and community, but then, it is the individualism to be the priority. Community in the two works is so much to oppress the communal values that bring about the individual's oppression leading to the individual's rebellion against that established values.

The two novels offer the notion of an alternative lifestyle, the so-called drifting_ Drifting as an individual's freedom manisfestation becomes the American's alternative lifestyle in the 1980s that refuses to accept the established culture of White Anglo Saxon Protestant. One who adopts this kind of lifestyle does not depend on the material (money) and the future, usually chooses to live in poverty (simple, natural way of living).

This thesis discusses drifting in each novel dealing with the form and the process towards the drifting life realization itself. In its tracing, drifting is related to Ulf Hannerz's concept of "local" and "unlocal." (cosmopolitan) views. It's found that in this thesis, drifting is not just the individual freedom to move from one place to another without any plans and destinies, but the change of individual's way of view towards the world as well.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Nursamsiah Danardono
Abstrak :
Puisi adalah salah satu jenis sastra di samping prosa dan drama. Pada mulanya, puisi merupakan alat untuk menyatakan segala sesuatu yang patut diketahui oleh manusia, misalnya mantra-mantra, asal-usul para dewa atau nenek moyang, cara-cara bercocok tanam, hidup bermasyarakat, dan seterusnya. Dengan demikian puisi merupakan suatu teknik ingatan lisan. Tetapi di dalam perjalanan sejarah manusia, puisi mengalami perkembangan. Untuk alasan-alasan yang jauh melampaui kegunaan puisi sebagaimana telah disebutkan di atas, para penyair menjadikan alat tadi esensi dari suatu kreasi. Puisi pada umumnya dapat dikatakan sebagai pemakaian bahasa secara khusus. Pemakaian bahasa secara khusus ini bertujuan untuk menyatakan atau nensugestikan sesuatu melalui irama, rima, citraan, dan lain-lain. Keanekaragaman bentuk dan fungsi pemakaian bahasa tersebut menimbulkan kesulitan di dalam mendefinisikan puisi. Paul Claudel (1868-1955), seorang penyair dan penulis drama Perancis, berpendapat bahwa puisi merupakan suatu komposisi yang memberi nilai tambah pada kebahagiaan manusia sebagaimana yang dikatakannya berikut ini: La poesie est composition et c'est grace A la composition qu'elle procure A I'oreille et au coeur de I'auditeur le plaisir qui lui est propre. Ce plaisir nett en effet du rapprochement, du contact, et de I'amalgame, par le moyen de seas canfie a la vibration, d'idthes appartenant aux ordres les plus divers, qui naus procure le sentiment dune extention heureuse, penetrante et Presque divine, de nos pouvairs. Puisi adalah komposisi. Komposisi ini memindahkan emosi yang terkandung di dalamnya kepada pendengar melalui telinga dan kalbunya. Emosi ini memang lahir dari kedekatan, kontak, dan pembauran, melalui pancaindera yang peka terhadap getaran, melalui gagasan-gagasan yang berasal dari tatanan-tatanan yang sangat berbeda. Sarana tersebut memberikan kepada kita suatu rasa perluasan dari kemampuan--kemampuan kita, rasa perluasan yang membahagiakan, merasuk, dan hampir bersifat Illahi. Mengenai Janis sastra ini, Lamartine (1790-1869) salah seorang penyair besar romantik Perancis, mengatakan: "La poesie sera de la raison chantee, voila sa destine pour longtemps; eIle sera philosophique, religieuse, politique, sociale, comme les epoques que le genre humain va traverser; elle sera intime surtout, personnelle, meditative et grave: non plus un }eu de I'esprit, un caprice melodieux de la pensee leg&re et superficielle, mais I'echa profond, reel, sincere, des plus hautes conceptions de I'int!Iligence, des plus mysterieuses impressions de I'gme." Puisi akan merupakan akal budi yang disenandungkan, itulah pembawaan puisi untuk waktu yang lama; puisi akan bersifat filsafat, agama, politik, sosial, seperti zaman-zaman yang akan dilalui oleh umat manusia; puisi terutama akan bersifat intim, pribadi, meditatif dan serius; puisi bukan lagi merupakan suatu permainan jiwa, suatu tingkah musikal dari pikiran yang ringan dan dangkal, akan tetapi gema yang dalam, nyata dan tulus dari kesan-kesan jiwa yang paling misterius?.
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesdanina Damly
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini meneliti Buku Cerita Bergambar (BCB) anak di RFJ tahun 1970-1990 dilihat dari segi pedagogis dan sosial politis masyarakatnya. Buku-buku yang dipilih yaitu yang mendapat hadiah tahunan dan nominasi Deutscher Jugendbuch--preis (DJP) antara tahun 1970 sampai 1990 dan berjumlah 38 buah.

Penelaahan dalam tesis dilihat dari metode kritik ideologi (dalam perkembangan terakhir teori ini desebut Teori Kritis) yang dikembangkan oleh Malta Dahrendorf. Kritik tersebut berasal dari teori Wissenssoziologie. Teori ini berasal dari Sosiologi Sastra yang terbagi atas dua aliran yaitu aliran Marxistis dan Wissenssoziologi. Karl Mannheim dari aliran Wissenssoziologie berpendapat bahwa suatu konsep akan muncul sebagai ide/ gagasan jika diamati dari dalam dan sebagai ideologi sejauh ia diamati dari luar.

Tujuan kritik ideologi/ teori kritis adalah membuat suatu teks transparan yang berarti bahwa minat, tujuan pengarang harus dibuat menjadi jelas.

Dengan demikian kritik ideologi/ teori kritis berupaya untuk membuka tabir ideologi (ide, gagasan) dalam suatu teks, harus menerangkan motivasi dan penyebab adanya ideologi tersebut.

Harus pula diterangkan mengapa suatu ide dianggap wajar atau tabu.

Untuk mengetahui penyebab dan motivasi tersebut dan untuk lebih mengerti sastra anak dan remaja (SAR) tahun 1970-an maka harus diketahui latar belakang politik dan sosial budaya RFJ tahun 60-an sampai 90-an.

Demonstrasi mahasiswa pada tahun 70-an sangat berperan bagi kesusteraan anak dan remaja pada kurun waktu itu. Bersamaan dengan itu filsafat Kritische Theorie(Teori Kritis) dari aliran Frankfurter Schule yang dikembangkan oleh Horkheimer dan Adorno yang lebih dikenal sebagai aliran Neue Linke (aliran Kiri Baru ) atau Dialektik.

Bertitik tolak dari perdebatan antara golongan Dialektik dan Positivismus (para ahli psikologi sosial) mengenai pendidikan, pada tahun 70-an timbullah dua aliran dalam Kesusasteraan Anak dan Remaja yaitu : 1) aliran yang politis-revolusioner atau disebut juga aliran sosiologis-marxistis dan 2) aliran antiotoriter atau aliran reformeris-emansipatoris.

Da1am tesis ini juga diuraikan apa yang dimaksud dengan buku cerita bergambar (BCB), pembagian jenis (genre), sedikit sejarah perkembangannya, penilaian dan fungsi SAR yang sering berbeda-beda menurut kebutuhan jaman (umpamanya fungsi dan tujuan BCB dalam zaman Nazi berbeda dengan BCB sesudah perang dunia kedua)

Analisis BCB secara tematis dan kritik ideologis terhadap 38 karya--karya pilihan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :

1) 35% dari BCB yang diteliti dapat dikategorikan ke dalam BCB yang baik menurut kriteria Dahrendorf, Haas dan Freund. Termasuk ke dalam golongan ini yaitu BCB yang termasuk butir 5.2, 5.3 dan 5.4 dalam tesis.

2) 65% dari BCB yang diteliti adalah BCB yang mempunyai misi dari suatu golongan tertentu dengan ide-ide, gagasan, tujuan-tujuan tertentu, tidak murni untuk anak, melainkan lebih sesuai untuk konsumsi orang dewasa, karena sukar ditangkap daya pikir anak 3-8 tahun. Dengan kata lain BCB tersebut dipolitisasi atau dimanipulasi demi kepentingan kelompok tertentu. Termasuk ke dalam golongan ini yaitu butir-butir 5.1, 5.5, 5.6 dan 5.7.

Akan tetapi pada akhirnya BCB anak tak mungkin luput dari suatu ide, gagasan maupun ideologi tertentu, karena seperti kata Kluckhohn yang dikutip oleh Mussen, seorang ahli psikologi anak, adalah bahwa setiap masyarakat akan mendidik generasi mudanya menurut apa yang diinginkan oleh lingkungannya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai warisan leluhurnya berupa adat sopan santun, ajaran hidup, pengetahuan, kebudayaan dan cara berpikir masyarakat tersebut.

Selain itu Malta Dahrendorf menyatakan bahwa pemikiran atau cara berpikir seseorang tak dapat dihindari dari sifat ideologis, karena orang itu tak dapat berdiri di luar perdebatan politis, sebab ia harus mengambil sikap.

Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam BCB di RFJ yang mendapat hadiah DJP antara tahun 1970 sampai 1990 ini terdapat kritik terhadap teknologi modern, beserta dampaknya. Teknologi yang telah menghasilkan masyarakat industri membawa dilema yaitu kesejahteraan dan sekaligus malapetaka.

Jalan keluar satu-satunya adalah menyadarkan generasi muda akan hal itu dan berupaya mengurangi dampak buruk teknologi seringan mungkin. Para pengarang melakukan tugas mereka dengan menulis BCB untuk anak umur 3-8 tahun, karena pendidikan harus di mulai sedini mungkin, walaupun dalam penelitian ini terbukti bahwa 65% BCB yang diberi penghargaan yang bergengsi di RFJ itu dikategorikan sebagai buku yang lebih cocok untuk orang dewasa.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Y.B. Agung Prasaja
Abstrak :
Colonialism had interfered the life of human being over the world since the early of nineteen century. It had great influences in the post colonialism era, the era in which elites of the former colonized nation behave and think as their former colonizer. Consequently while the behavior and thought were implemented in the society, there would be various questions addressed to them. People in the postcolonial nation often considered the pattern of governance in a new society as a new practicing imperialism. This research envisage the phenomenon depicted in novel A Grain of Wheat and Weep Not, Child written by Ngugi Wa Thiong'O. He is a Kenyan writer. Most of his works are dealing with situation created by postcolonial society that often imitated colonialist's thought, behavior, and mentality. The situation of society as well as the people after colonialism era is degraded. Each of them attempts to set their inner life free from situation, but it does not succeed due to the chaotic circumstances in the society. Problematic character is a representation of individual in society, therefore the prominent discussion in this research is dealing with the degraded society in the works that affected such demoniacal character.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Tuntun
Abstrak :
Indonesian phenomenon in the Australian literary works is considered to be important and interesting to discuss. Blanche d'Alpuget's Monkeys in the Dark as one of the Australia-Asia novels raises how Australian encountering Indonesia in the 1960s. This research is focused on how characters, settings, point of view and tone of narration of the novel work and form the representation of Indonesia. It showed that Indonesia is represented as a nation with its stereotype people, strange place and other degrading nature. The view of Indonesia is negative and a "significant other". This representation has something to do with Australian colonial discourse and with what Edward said terms, in the context of the East-West relationship, colonial discourse, image making and system of representations.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Maria Sriwulan Astuti Suradja
Abstrak :
LATAR BELAKANG
Roman remaja berjudul Gute Nacht Zuckerpuppchen karya Heidi Glade Hassenmuller *) ini adalah sebuah roman remaja yang menarik, karena roman remaja ini membicarakan sebuah tema yang masih tabu, yaitu pemerkosaan seksual anak perempuan. Di semua negara, pemerkosaan merupakan hal yang bertentangan dengan berbagai moral seperti moral agama, moral seksualitas dan moral sosial kemasyarakatan.

Jika sebuah karya sastra mampu mendobrak sebuah tabu besar yang ada dalam masyarakat, maka dua pertanyaan besar akan muncul dalam ilmu susastra. Pertanyaan pertama adalah menyangkut unsur estetis yang seolah-olah berada di belakang kepentingan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, hubungan antara unsur estetis dan kepentingan sosial harus disejajarkan.Pertanyaan kedua adalah bagaimana sebuah tema baru yang masih tabu dalam masyarakat dapat direalisasikan dalam sebuah karya seni.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>