Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Deviana Putri Sadikin
"Latar belakang: Petugas kesehatan terdampak kesejahteraannya akibat pandemi COVID-19, padahal tuntutan pekerjaan meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial (DKJPS) petugas kesehatan pada gelombang kedua pandemi COVID-19 di Indonesia.
Metode: Penelitian deskriptif menggunakan data sekunder dari Survei Kebutuhan DKJPS Petugas Kesehatan di Indonesia pada Gelombang Kedua Pandemi COVID-19. Survei dilakukan tahun 2021, menargetkan petugas kesehatan di berbagai tingkatan pelayanan kesehatan untuk berpartisipasi secara sukarela. Data yang lengkap dianalisis untuk melihat proporsi karakteristik responden serta kebutuhan DKJPS-nya.
Hasil: Terdapat 577 responden yang dianalisis. Median usia responden 36 tahun (18-78 tahun), lama kerja 10 tahun (0-40 tahun), mayoritas perempuan, perawat, pendidikan terakhir D3/setara, bekerja di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut di Pulau Jawa, berdomisili di non ibu kota propinsi. Kebutuhan tertinggi adalah kejelasan etik dalam manajemen wabah yaitu perlindungan untuk petugas di fasilitas kesehatan (89,1%); informasi dan edukasi terkait standar manajemen kasus dan terduga COVID-19 serta transparansi dan penyediaan informasi yang spesifik (87,3%); pemeriksaan kesehatan bagi keluarga petugas (83,4%); menyampaikan keluhan pada profesional kesehatan (81,1%); dan layanan kesehatan jiwa berupa konseling (52,5%).
Kesimpulan: Kebutuhan petugas berupa kejelasan etik, informasi standar baru dalam bertugas, pemeriksaan dan akses ke layanan kesehatan. Konseling juga dibutuhkan oleh petugas selama masa pandemi.

Background: The COVID-19 pandemic has an impact on the mental health and psychosocial of health workers. These problems can cause the performance of health services to decline if not handled properly. Therefore, an assessment of the need for mental health and psychosocial support (MHPS) is needed, especially for health workers in the second wave of the pandemic in Indonesia.
Methods: A cross-sectional design study from a survey conducted from July 2021 to May 2022. 577 selected subjects were discussed for their demographic description and MHPS needs.
Results: The demographic characteristics were the median age of 36 years and 10 years of work, women, nurses, D3/equivalent, working on the island Java, non-provincial capital, Third Level Health Service Facility. The highest needs for ethical clarity in outbreak management are protection (89.1%); information and education related to standard management of cases and suspected COVID-19 as well as transparency and provision of specific information (87.3%); health checks for family (83.4%); submit complaints to health professionals (81.1%); mental health services of counseling (52.5%).
Conclusion: Health workers in the second wave of the pandemic still have a high need for MHPS. However, the need for mental health services is much lower than other aspects of needs.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firli Marcelia
"Peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja telah berimplikasi pada peningkatan dual-earner couple di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan di negara lain, seperti Australia dan Amerika, menemukan bahwa dual-earner couple berisiko mengalami berbagai tekanan yang dapat membuat mereka mengalami marital burnout lebih tinggi dibandingkan dengan single-earner couple. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan marital burnout antara dual-earner couple dengan single-earner couple, dan perbandingan suami atau istri dari dual-earner couple dengan suami atau istri dari single-earner couple, serta perbandingan marital burnout antara suami dan istri dari dual-earner couple. Terdapat 382 responden yang terdiri atas 191 suami, dan 191 istri yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dual-earner couple memiliki marital burnout yang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan single-earner couple, suami dari dual-earner couple memiliki marital burnout yang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan suami dari single-earner couple; dan istri dari dual-earner couple memiliki marital burnout yang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan istri dari single-earner couple. Hal ini dapat disebabkan oleh karakteristik dari responden dan faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Increase in women rsquo s labor force participation has been implicated in the increase in dual earner couple in Indonesia. Several studies conducted in other countries, such as Australia and America, found that dual earner couple at risk of developing a variety of pressures that can make them experience higher marital burnout than single earner couple. This research is aimed to compare the marital burnout among dual earner couple with a single earner couple, and a comparison of the husband or wife of a dual earner couple with the husband or wife of a single earner couple, as well as marital burnout comparison between a husband and wife from dual earner couple. There were 382 respondents consisted of 191 husbands and 191 wives who participated in this study. The results of this study indicate that marital burnout in dual earner couple was not higher than single earner couple, marital burnout in husband in dual earner couple is not higher than husband in single earner couple and marital burnout in wife in dual earner couple was not higher than wife in single earner couple. This could be due to the characteristics of participants and other factors that may affect the results of this study.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S66067
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Levi
"Latar Belakang
Gangguan jiwa, terutama di Indonesia, memerlukan perhatian khusus karena tingginya angka pasien rawat inap dengan kondisi seperti skizofrenia, depresi, dan bipolar. Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM), sebagai pusat rujukan, menghadapi tingkat readmisi yang signifikan, mendorong perlunya pemahaman mendalam mengenai profil risiko pasien untuk meningkatkan manajemen dan layanan kesehatan jiwa di Indonesia.
Metode
Penelitian menggunakan data rekam medis pasien dewasa dengan skizofrenia, bipolar, atau depresi mayor yang mengalami readmisi dalam 30 hari setelah pulang dari perawatan di RSCM pada tahun 2022. Metode analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk menganalisis data sekunder tersebut menggunakan SPSS, dengan presentasi data dalam bentuk tabel dan naratif.
Hasil
Dari 258 pasien psikiatri, 19 (7,34%) mengalami readmisi dalam 30 hari pasca pulang. Profil risiko pasien meliputi rentang usia 19-40 tahun, mayoritas perempuan (63.2%), pendidikan tinggi (89.5%), tidak menikah (78.9%), tidak bekerja (78.9%), dan tinggal di perkotaan (100%). Mayoritas menderita skizofrenia (52.6%), tidak memiliki komorbid (73%), menggunakan BPJS (84.2%), tinggal bersama keluarga (89.5%), dan sebelumnya dirawat 1-5 kali (63.2%). Pasca pulang, sebagian tidak patuh dalam pengobatan (57.9%), memiliki upaya bunuh diri (84.2%), dan menggunakan rawat jalan psikiatri (94.7%).
Kesimpulan
Readmisi 30 hari pasca pulang di RSCM tahun 2022 masih tergolong tinggi jika dibandingkan data secara global, tetapi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan data RSCM tahun 2018. Profil risiko pasien dari aspek sosiodemografi, klinis, serta pasca pulang tetap harus diperhatikan untuk dapat mengurangi angka readmisi serta meningkatkan kualitas pelayanan psikiatri di RSCM.

Introduction
Mental disorders, particularly in Indonesia, demand special attention due to the high number of inpatients with conditions like schizophrenia, depression, and bipolar disorder. Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM), as a referral center, faces significant readmission rates, underscoring the need for a deep understanding of patient risk profiles to enhance mental healthcare management and services in Indonesia.
Method
The study utilized secondary data from adult patients diagnosed with schizophrenia, bipolar disorder, or major depression who experienced readmission within 30 days after discharge from RSCM in 2022. Quantitative descriptive analysis through SPSS was employed to analyze the data, presented in tabular and narrative forms.
Results
Out of 258 psychiatric patients, 19 (7.34%) experienced readmission within 30 days post-discharge. Patient risk profiles included an age range of 19-40 years, mostly females (63.2%), higher education levels (89.5%), unmarried (78.9%), unemployed (78.9%), and residing in urban areas (100%). Majority were diagnosed with schizophrenia (52.6%), had no comorbidities (73%), utilized BPJS (84.2%), lived with family (89.5%), and had been previously hospitalized 1-5 times (63.2%). Post-discharge, some were non-adherent to treatment (57.9%), exhibited suicidal tendencies (84.2%), and utilized outpatient psychiatric care (94.7%).
Conclusion
Thirty-day readmission at RSCM in 2022 remains relatively high compared to global data, but has seen a decrease when compared to RSCM data in 2018. Patient risk profiles in terms of sociodemographic, clinical, and post-discharge aspects must continue to be considered to reduce readmission rates and enhance the quality of psychiatric care at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Adysti Marsha Octarina
"Perawatan pasien dengan gangguan jiwa melibatkan pemberian regimen psikofarmaka, terapi, dan perawatan di rumah sakit. Meskipun demikian, tingkat readmisi pasien psikiatri tinggi, dengan risiko yang bervariasi, termasuk perubahan regimen psikofarmaka. Studi ini mengeksplorasi hubungan antara perubahan regimen psikofarmaka dan tingkat readmisi pasien psikiatri di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dengan hasil proporsi readmisi sebesar 23,5%, pasien yang kembali didominasi oleh kelompok usia 18-29 tahun (78,8%), perempuan (66,7%), dan yang berdomisili di Jakarta (66,7%). Skizofrenia dan gangguan afektif adalah diagnosis multiaksial yang umum. Perubahan regimen psikofarmaka, termasuk dosis (61,1%), merk (55,5%), dan jenis obat (30,5%), menunjukkan olanzapin sebagai obat yang paling umum diberikan (13,3%). Analisis statistik menunjukkan hubungan signifikan antara perubahan regimen psikofarmaka dan readmisi, dengan nilai uji chi sebesar 0,003 dan OR 3,560. Temuan ini konsisten dengan proporsi readmisi pada studi sebelumnya. Kesimpulannya, perubahan regimen psikofarmaka dapat meningkatkan risiko readmisi tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa perubahan regimen tersebut. Penemuan ini memberikan wawasan penting untuk memperbaiki strategi perawatan psikiatri dan mengurangi tingkat readmisi.

The treatment of patients with mental disorders involves a combination of psychopharmacological regimens, therapy, and hospital-based care. However, readmission rates for psychiatric patients remain elevated, with various factors contributing to this phenomenon, including changes in psychotropic medication regimens. This study explores the relationship between changes in psychopharmaceutical regimens and the readmission rate of psychiatric patients at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). With the result, readmission proportion of 23.5%, returning patients were dominated by the 18-29 year age group (78.8%), women (66.7%), and those who lived in Jakarta (66.7%). Schizophrenia and affective disorders are common multiaxial diagnoses. Changes in psychopharmaceutical regimen, including dose (61.1%), brand (55.5%), and type of drug (30.5%), showed olanzapine as the most commonly prescribed drug (13.3%). Statistical analysis showed a significant relationship between changes in psychopharmaceutical regimen and readmission, with a chi test value of 0.003 and OR 3.560. These findings are consistent with the proportion of readmissions in previous studies. In conclusion, a change in psychopharmaceutical regimen can increase the risk of readmission three times higher compared to patients without a change in regimen. These findings provide important insights for improving psychiatric treatment strategies and reducing readmission rates."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Ellenzy
"Kemajuan teknologi medis dan informasi mengenai terapi antiretroviral (ART) menyebabkan pasien HIV memiliki angka harapan hidup yang meningkat. Di sisi lain, angka harapan hidup yang meningkat ini juga perlu diselaraskan dengan kualitas hidup yang baik. Pada populasi pasien HIV terdapat risiko mengalami gangguan neurokognitif sehingga berdampak terhadap kualitas hidupnya. Penelitian ini bermaksud untuk mengidentifikasi faktor yang memengaruhi penurunan fungsi kognitif yang terdapat pada pasien HIV/AIDS di Pokdisus RSCM. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dari Mei 2022 hingga Desember 2023. Sampel penelitian adalah pasien HIV/AIDS dewasa di Pokdisus RSCM. Sebanyak 121 subjek terpilih berdasarkan simple random sampling. Analisis regresi linear dilakukan untuk menilai faktor risiko gangguan fungsi kognitif. Dari 121 subjek, mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki, dengan rerata usia 40,25 (SD ± 8,42). Prevalensi gangguan kognitif pada pasien dewasa dengan HIV/AIDS di Pokdisus RSCM yakni sebesar 55,4% dengan faktor risiko yang berhubungan memengaruhi rerata skor MOCA-INA yakni faktor durasi inisiasi terapi, yakni satu tahun keterlambatan inisiasi pengobatan ART dapat menurunkan skor MOCA-INA sebesar -0,3 poin. Temuan lainnya yakni kondisi meningitis secara signifikan memengaruhi gangguan kognitif pada HIV. Dari hasil analisis multivariat, meningitis menurunkan skor MOCA-INA sebesar 2,629 poin. Program untuk penapisan gangguan kogntif dapat dilakukan pada pasien HIV secara berkala.

The advancement of medical technology and information regarding antiretroviral therapy (ART) have led to an increased life expectancy among HIV patients. This improved life expectancy needs to be aligned with a good quality of life. In the population of HIV patients, there is a risk of experiencing neurocognitive disorders that can impact the patients' quality of life. This research aims to identify factors influencing the decline in cognitive function in HIV/AIDS patients at the Pokdisus RSCM. The study was conducted with a cross-sectional design from May 2022 to December 2023. The research sample was adult HIV/AIDS patients at Pokdisus RSCM. Out of 121 subjects, the majority of respondents were male, with a mean age of 40.25 (SD ± 8.42). The prevalence of cognitive impairment in adult patients with HIV/AIDS at Pokdisus RSCM was 55.4%, associated risk factors affecting the mean MOCA-INA score, such as the duration of treatment initiation. A one-year delay in initiating ART treatment could decrease the MOCA-INA score by 0.3 points. Another finding is meningitis significantly influences the presence of cognitive impairment. From the multivariate analysis, meningitis can decrease the MOCA-INA score by 2.629 points. Screening programs for cognitive impairment can be periodically conducted in HIV patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kamila Najma Azhlima
"Latar Belakang
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental paling berat yang menimbulkan resiko jangka panjang. Tatalaksana yang komprehensif dikembangkan dalam panduan praktik klinis (PPK) yang ditetapkan oleh berbagai institusi, termasuk RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Namun, melihat rendahnya angka remisi, implementasi PPK di RSCM patut dipertanyakan. Penelitian ini akan mengevaluasi kesesuaian pelayanan berdasarkan PPK dalam pengobatan orang dengan skizofrenia (ODS) di RSCM.
Metode
Studi ini akan dilakukan dengan metode cross-sectional, observasional retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis ODS di bangsal psikiatri dewasa di RSCM. Data tersebut akan diintegrasikan ke dalam formulir penilaian kesesuaian pelayanan berdasarkan PPK dan dianalisis dengan mixed method.
Hasil
Terdapat 52 (20.16%) ODS dirawat inap dari 258 pasien di bangsal jiwa dewasa RSCM di 2022. Dari 38 subjek, 23 (60.5%) pasien berada di kisaran umur 18-29, 29 (76.3%) adalah laki-laki, 33 (86.8%) belum menikah, 38 (100%) menggunakan BPJS/JKN untuk pembiayaan, 24 (63.2%) komorbid dengan kelainan dari axis III, 28 (73.7%) tidak patuh dengan pengobatan, dan 2 (5.3%) mengalami readmisi dalam 30 hari setelah pulang dari perawatan. Setelah mengevaluasi kepatuhan manajemen terhadap PPK, ditemukan 37 (97.4%) memiliki ketaatan penuh, sedangkan 1 (2.6%) ketaatan parsial. Namun, di antara 37 yang taat penuh, hanya 30 (81,1%) yang mencapai ketiga kriteria target luaran. Kesimpulan
Pelayanan skizofrenia di bangsal jiwa dewasa RSCM memiliki ketaatan kepada PPK dengan baik, di mana hampir semua pasien ditangani dengan kepatuhan penuh.

Introduction
Schizophrenia is amongst the most severe mental disorders which poses a long-term up to a lifetime risk. Comprehensive management strategies were established in clinical practice guidelines (CPG) by institutions, including RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. However, with the low rate of remissions, the implementation of CPG in RSCM is questioned. This research will evaluate the guideline adherence in the management for people with schizophrenia (PWS) in RSCM.
Method
An observational, retrospective cross-sectional study will be conducted using the secondary data from medical records of PWS in the adult psychiatric units in RSCM. The data will be integrated into an evaluation form of guideline adherence and analysed in mixed methods.
Result
There are 52 (20.16%) hospitalised PWS out of 258 patients in the RSCM adult psychiatric unit in 2022. Out of 38 subjects, 23 (60.5%) patients were in the age range of 18-29, 29 (76.3%) were males, 33 (86.8%) were not married, 38 (100%) were aided by BPJS/JKN for their hospitalisation fee, 24 (63.2%) had comorbidities from axis III, 28 (73.7%) were not compliant to medication, and 2 (5.3%) experienced readmission within 30 days after discharge. After evaluating the adherence of their management to CPG, we found 37 (97.4%) were in full adherence, while 1 (2.6%) is partially adherence. However, among the 37 that were in full adherence, only 30 (81.1%) achieved all three criteria of the target outcome.
Conclusion
The schizophrenia management in the RSCM adult psychiatric unit was in good adherence to the CPG, wherein almost all patients were managed in full adherence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamila Najma Azhlima
"Latar Belakang
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental paling berat yang menimbulkan resiko jangka panjang. Tatalaksana yang komprehensif dikembangkan dalam panduan praktik klinis (PPK) yang ditetapkan oleh berbagai institusi, termasuk RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Namun, melihat rendahnya angka remisi, implementasi PPK di RSCM patut dipertanyakan. Penelitian ini akan mengevaluasi kesesuaian pelayanan berdasarkan PPK dalam pengobatan orang dengan skizofrenia (ODS) di RSCM.
Metode
Studi ini akan dilakukan dengan metode cross-sectional, observasional retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis ODS di bangsal psikiatri dewasa di RSCM. Data tersebut akan diintegrasikan ke dalam formulir penilaian kesesuaian pelayanan berdasarkan PPK dan dianalisis dengan mixed method.
Hasil
Terdapat 52 (20.16%) ODS dirawat inap dari 258 pasien di bangsal jiwa dewasa RSCM di 2022. Dari 38 subjek, 23 (60.5%) pasien berada di kisaran umur 18-29, 29 (76.3%) adalah laki-laki, 33 (86.8%) belum menikah, 38 (100%) menggunakan BPJS/JKN untuk pembiayaan, 24 (63.2%) komorbid dengan kelainan dari axis III, 28 (73.7%) tidak patuh dengan pengobatan, dan 2 (5.3%) mengalami readmisi dalam 30 hari setelah pulang dari perawatan. Setelah mengevaluasi kepatuhan manajemen terhadap PPK, ditemukan 37 (97.4%) memiliki ketaatan penuh, sedangkan 1 (2.6%) ketaatan parsial. Namun, di antara 37 yang taat penuh, hanya 30 (81,1%) yang mencapai ketiga kriteria target luaran. Kesimpulan
Pelayanan skizofrenia di bangsal jiwa dewasa RSCM memiliki ketaatan kepada PPK dengan baik, di mana hampir semua pasien ditangani dengan kepatuhan penuh.

Introduction
Schizophrenia is amongst the most severe mental disorders which poses a long-term up to a lifetime risk. Comprehensive management strategies were established in clinical practice guidelines (CPG) by institutions, including RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. However, with the low rate of remissions, the implementation of CPG in RSCM is questioned. This research will evaluate the guideline adherence in the management for people with schizophrenia (PWS) in RSCM.
Method
An observational, retrospective cross-sectional study will be conducted using the secondary data from medical records of PWS in the adult psychiatric units in RSCM. The data will be integrated into an evaluation form of guideline adherence and analysed in mixed methods.
Result
There are 52 (20.16%) hospitalised PWS out of 258 patients in the RSCM adult psychiatric unit in 2022. Out of 38 subjects, 23 (60.5%) patients were in the age range of 18-29, 29 (76.3%) were males, 33 (86.8%) were not married, 38 (100%) were aided by BPJS/JKN for their hospitalisation fee, 24 (63.2%) had comorbidities from axis III, 28 (73.7%) were not compliant to medication, and 2 (5.3%) experienced readmission within 30 days after discharge. After evaluating the adherence of their management to CPG, we found 37 (97.4%) were in full adherence, while 1 (2.6%) is partially adherence. However, among the 37 that were in full adherence, only 30 (81.1%) achieved all three criteria of the target outcome.
Conclusion
The schizophrenia management in the RSCM adult psychiatric unit was in good adherence to the CPG, wherein almost all patients were managed in full adherence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Atmaja
"Latar Belakang: Bunuh diri merupakan perilaku disengaja untuk mengakhiri hidup, dengan satu kasus terlaksana setiap 20 percobaan. Sebanyak 90%-nya memiliki gangguan psikiatri, salah satunya skizofrenia. Tingkat bunuh diri pada orang dengan skizofrenia (ODS) dilaporkan 4–13%. Faktor risiko bunuh diri melibatkan distres subjektif, gangguan kognitif, dan distorsi sosial, yang dipengaruhi oleh masalah struktur dan fungsi otak. Gangguan kognitif pada ODS, seperti memori kerja dan pengambilan keputusan, berpotensi meningkatkan risiko bunuh diri. Penelitian ini bermaksud mencari hubungan fungsi kognitif, pengambilan keputusan, faktor obat, serta faktor yang memengaruhi lainnya dengan gagasan bunuh diri pada ODS yang belum banyak diteliti.
Metode: Desain penelitian ini adalah kasus kontrol dalam rentang waktu Oktober 2023 hingga April 2024. Sampel penelitian adalah orang dengan diagnosis skizofrenia atau skizoafektif dalam fase remisi yang ada di Poliklinik Jiwa dan bangsal rawat inap RSUPN Cipto Mangunkusumo, kantor pusat Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), dan bangsal rawat inap RSJ dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Besar sampel dari penelitian ini ada 49 dengan gagasan bunuh diri dan 49 tanpa gagasan bunuh diri. Penilaian kemampuan pengambilan keputusan menggunakan instrumen IOWA Gambling Task (IGT). Instrumen yang digunakan untuk menilai kecepatan pemrosesan, memori kerja, dan fungsi eksekutif adalah symbol coding, digit sequencing task, dan Tower of London. Perceived stress scale (PSS) digunakan untuk menilai distres subjektif. Data lain dinilai dengan kuesioner demografik. Analisis bivariat dan multivariat dengan regresi logistik digunakan untuk menilai faktor risiko dari gagasan bunuh diri pada ODS.
Hasil: Dari 98 subjek, didapatkan adanya hubungan antara umur dengan gagasan bunuh diri pada ODS (p=0,008). Didapatkan ada hubungan antara jenis kelamin dengan gagasan bunuh diri (p=0,008; OR=3,24; IK95% 1,42 – 7,41). Didapatkan ada hubungan antara memori kerja dengan gagasan bunuh diri (p=<0,001). Hasil fungsi eksekutif A dan B ditemukan berhubungan dengan gagasan bunuh diri (p=0,028 dan p=0,047). Didapatkan ada hubungan antara distres subjektif dengan gagasan bunuh diri (p=<0,001). Pada analisis multivariat dengan regresi logistik, didapatkan ada hubungan yang bermakna antara umur (B=-1,44; p=0,020; aOR=0,24; IK95%=0,07 – 0,80), status pernikahan (B=-1,37; p=0,03; aOR=0,26; IK95%=0,07 – 0,90), memori kerja (B=2,33; p=0,043; aOR=10,23; IK95%=1,07 – 97,61), dan distres subjektif (B=2,41; p=<0,001; aOR=11,17; IK95%=3,46 – 36,06) dengan gagasan bunuh diri.
Simpulan: Terdapat hubungan antara umur, status pernikahan, memori kerja, dan distres subjektif terhadap gagasan bunuh diri pada ODS. Dengan mengetahui faktor risiko ini, intervensi dengan faktor terkait dapat dilakukan.

Background: Suicide is a deliberate act to end one’s life, with one completed case occurring for every 20 attempts. Approximately 90% of suicide survivors have psychiatric disorders, one of them is schizophrenia. Suicide rates among people with schizophrenia (PwS) are reported to range from 4% to 13%. Suicide risk factors include subjective distress, cognitive impairments, and social distortions, influenced by structural and functional brain issues. Cognitive impairments in PwS, such as working memory and decision-making, may increase suicide risk. This study aims to examine the relationship between cognitive function, decision-making, medications, and other influencing factors on suicidal ideation in PwS, which has not been widely studied.
Methods: This case-control study was conducted from October 2023 to April 2024. The sample consisted of individuals diagnosed with schizophrenia or schizoaffective disorder in remission condition, recruited from the Psychiatry Outpatient Clinic and inpatient wards of RSUPN Cipto Mangunkusumo, the central office of the Indonesian Schizophrenia Care Community (KPSI), and the inpatient wards of RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. The sample included 49 individuals with suicidal ideation and 49 without. Decision-making ability was assessed using the Iowa Gambling Task (IGT). Cognitive functions such as processing speed, working memory, and executive function were evaluated using Symbol Coding, Digit Sequencing Task, and Tower of London tests, respectively. Subjective distress was measured using the Perceived Stress Scale (PSS). Additional data were collected using demographic questionnaires. Bivariate and multivariate analyses using logistic regression were performed to assess the risk factors for suicidal ideation in PwS.
Results: Among 98 subjects, age was significantly associated with suicidal ideation in PwS (p=0.008). Gender was also associated (p=0.008; OR=3.24; 95% CI=1.42–7.41). Working memory showed a significant relationship with suicidal ideation (p<0.001). Executive function tasks A and B were associated with suicidal ideation (p=0.028 and p=0.047, respectively). Subjective distress was significantly linked to suicidal ideation (p<0.001). Multivariate logistic regression analysis revealed significant associations between age (B=-1.44; p=0.020; aOR=0.24; 95% CI=0.07–0.80), marital status (B=-1.37; p=0.03; aOR=0.26; 95% CI=0.07–0.90), working memory (B=2.33; p=0.043; aOR=10.23; 95% CI=1.07–97.61), and subjective distress (B=2.41; p<0.001; aOR=11.17; 95% CI=3.46–36.06) with suicidal ideation.
Conclusion: Age, marital status, working memory, and subjective distress are associated with suicidal ideation in PwS. Understanding these risk factors may facilitate targeted interventions to mitigate suicide risk.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charissa Lazarus
"Narsisisme berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan seperti relasi, perilaku serta psikopatologi. Kepribadian narsisistik merupakan kondisi multidimensi dan didapatkan dua jenis narsisisme yaitu narsisisme grandiosa dan narsisime rentan. Sayangnya, kriteria Salah satu alat yang dapat menilai dua jenis narsisisme ini adalah The Five-Factor Narcissism Inventory-Short Form. Studi ini dilakukan untuk menilai kesahihan dan kehandalan instrumen FFNI-SF versi Indonesia. Penerjemahan dilakukan oleh dua orang penerjemah bersertifikasi. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner secara daring dengan sampel penelitian 220 orang dewasa di Indonesia yang mengisi kuesioner dan 60 di antaranya dilakukan penilaian SCID-II. Data dianalisis dengan uji content validity index (CVI) untuk validitas isi, exploratory factor analysis (EFA) dan confirmatory factor analysis (CFA) untuk validitas konstruk, uji korelasi untuk validitas konkuren serta uji konsistensi internal dengan metode Cronbach alpha untuk uji reliabilitas. Validitas isi mendapatkan nilai rerata I-CVI, dan S-CVI sebesar 0,88. Pada EFA didapatkan 2 faktor, narsisisme grandiosa dan rentan. Pada CFA didapatkan model 15 subskala dengan goodness of fit yang baik. Pada uji korelasi skor FFNI-SF dengan SCID-II/PQ NPD didapatkan r = 0.74. Konsistensi internal baik dengan alpha-cronbach 0,904. Instrumen FFNI-SF versi bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai ciri kepribadian narsisistik pada orang dewasa dan dapat digunakan untuk pengembangan penelitian lanjutan maupun pemeriksaan klinis.

Narcissism is associated with various aspects of life such as relationships, behavior, and psychopathology. Narcissistic personality is multidimensional, and two types of narcissism are identified: grandiose narcissism and vulnerable narcissism. The Five- Factor Narcissism Inventory-Short Form (FFNI-SF) can assess these two types of narcissism. This study was conducted to assess the validity and reliability of the FFNI- SF instrument in the Indonesian version. The FFNI– SF was independently translated by two certified translators. Data collection was conducted through online questionnaire with a sample of 220 adults in Indonesia, and among them, 60 underwent SCID-II assessments. Data were analyzed using the content validity index (CVI) for content validity, exploratory factor analysis (EFA) and confirmatory factor analysis (CFA) for construct validity, correlation tests for concurrent validity, and internal consistency tests using Cronbach's alpha method for reliability. Content validity show an average I-CVI and S- CVI of 0.88. EFA revealed 2 factors: grandiose narcissism and vulnerable narcissism. CFA confirmed a 15-subscale model with a good goodness of fit. The correlation test between FFNI-SF scores and SCID-II/PQ NPD yielded r = 0.74. Internal consistency was good with Cronbach's alpha of 0.904. The FFNI-SF instrument in the Indonesian version is valid and reliable for assessing narcissistic personality traits in adults and can be used for further research development and clinical examinations."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naurah Rahma Madina
"Latar Belakang
Gangguan kepribadian ambang (GKA) berhubungan dengan masalah interpersonal, ketidakstabilan emosi, masalah citra diri, dan impulsif dengan risiko tinggi perilaku bunuh diri. Saat ini, masih kekurangan data prevalensi GKA di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini akan memberikan data pasien GKA di RSCM dan mengevaluasi kepatuhan penatalaksanaan GKA terhadap Panduan Praktik Klinis (PPK).
Metode
Penelitian ini akan berbentuk studi deskriptif retrospektif potong-lintang dan dilakukan menggunakan data sekunder berupa rekam medis yang didapat dari klinik psikiatri pasien dewasa RSCM. Evaluasi akan ditinjau dengan menggunakan formulir kepatuhan PPK yang dikembangkan oleh RSCM dan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Hasil
Sebagian besar pasien GKA yang dirawat di rumah sakit berada dalam kelompok usia 18 hingga 29 tahun, yaitu 88,9% dari total sampel. Sebagian besar pasien GKA yang dirawat di RSCM adalah perempuan sebanyak 91,7% (33 dari 36) pasien. Sebagian besar pasien memiliki gangguan bipolar (69,4%) sebagai diagnosis Axis 1, atau gangguan depresi (27,8%). Sebanyak 94,5% pasien mendapatkan antipsikotik atipikal. Semua pasien (100%) dalam penelitian ini menunjukkan ketaatan yang lengkap terhadap parameter struktural dan proses, yaitu mengikuti lebih dari 80% aspek yang diuraikan dalam PPK. Namun, hanya 24 pasien (66,7%) yang memenuhi kriteria respons yang baik, termasuk skor risiko bunuh diri rendah dan tidak terjadi insiden.
Kesimpulan
Sebagian besar pasien GKA yang dirawat di RSCM adalah perempuan dewasa muda. Terdapat tingkat kepatuhan tinggi terhadap PPK pada pasien GKA rawat inap RSCM.

Introduction
Borderline personality disorder (BPD) is associated with interpersonal problems, emotional instability, self-image issues, and impulsivity with a high risk of suicidal behavior. There are no BPD prevalence data in Indonesia. Therefore, this research will provide data of BPD patients in RSCM and evaluate the adherence of the managements according to Clinical Practice Guideline (CPG).
Method
This will be a cross-sectional retrospective descriptive study and conducted using secondary data from database of department of psychiatry in RSCM. The evaluation will utilize the CPG’s adherence form and analyzed in quantitative and qualitative methods. Result
The majority of hospitalized BPD patients were in the age group of 18 to 29 years around 88.9% of the total sample. The population of hospitalized BPD patients mostly are females that accounts for 91.7% (33 of 36) of the patients. There are patients diagnosed with bipolar disorder (69.4%) and depressive disorder (27.8%). Most of BPD patients (94.5%) were administered atypical antipsychotics. All 36 patients (100%) in the study shows complete adherence to the structural and process parameters by following more than 80% of the aspects in the CPG. Despite the high level of adherence to the CPG, only 24 patients (66.7%) fulfilled good outcome criteria, including low suicide risk score and no incident.
Conclusion
Most of hospitalized BPD patients were young females. High level of adherence to the CPG was observed among hospitalized BPD patients in RSCM. Further study should identify the risk factors associated with poor treatment response.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library