Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Sulastiwaty
"ABSTRAK
Tujuan
Untuk membandingkan efektivitas intravitreal triamcinolone acetonide (IVTA) dan
Bevacizumab (IVB) dalam mengurangi ketebalan makula sentral (CMT) pada edema
makular diabetik (EMD) tipe kistoid dan difus
Metode
Studi ini adalah sebuah uji klinis acak tersamar tunggal. Sebanyak 24 subyek (28
mata) dengan non-proliferatif diabetic retinopathy (NPDR) yang belum pernah
menerima terapi apapun sebelumnya akan dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan
gambaran OCT, yaitu tipe difus dan kistoid. Subyek dalam setiap kelompok akan
diacak untuk menerima IVTA atau IVB. Evaluasi akan dilakukan pada 1 hari, 1
minggu dan 2 minggu setelah injeksi. Penilaian perubahan ketebalan makula sentral
(KMS) akan dinilai dengan Optical Coherence Tomography (OCT) lagi pada minggu
pertama dan minggu kedua.
Hasil
Penurunan KMS kelompok kistoid setelah injeksi IVTA dan IVB berbeda secara
signifikan dengan p <0,05 pada 1 minggu setelah injeksi (256,14 ± 146.58 vs 20.00 ±
110,00) dan juga 2 minggu setelah injeksi (294,86 ± 154,93 vs 98,71 ± 124,44). Pada
tipe difus, penurunan KMS setelah injeksi IVTA atau IVB tidak berbeda secara
statistik (p> 0,05), namun penurunan tersebut secara klinis kami nilai signifikan
berdasarkan hasil OCT (KMS 1 minggu setelah injeksi adalah 111,57 ± 49,72 vs
32,43 ± 37,23 dan 2 minggu setelah injeksi 135,86 ± 68.42 vs 31.86 ± 35.96)
Kesimpulan
Injeksi intravitreal triamcinolone acetonide merupakan terapi yang lebih tepat untuk
edema makula diabetik tipe kistoid

ABSTRACT
Objectives
To compare the effectiveness of intravitreal Triamcinolone Acetonide (IVTA) and
Bevacizumab (IVB) in reducing central macular thickness (CMT) of diffuse type and
cystoid type diabetic macular edema (DME)
Methods
This is a prospective, single blind, randomized clinical trial. A total of 24 subjects (28
eyes) with non-proliferative diabetic retinopathy who had never received any prior
therapy, was divided into 2 groups based on the description of the Optical Coherence
Tomography (OCT) to differentiate the type of diffuse and cystoid. Subjects in each
group were randomized to receive IVTA or IVB. Follow up was conducted at day 1,
week 1 and week 2 after injection. CMT were reassesed with OCT on follow up week
1 and week 2.
Result
CMT decrease in the cystoid group after IVTA and IVB were significantly different
with p<0.05 (256.14±146.58 vs 20.00±110.00) and also week 2 (294.86±154.93 vs
98.71±124.44). There were no different statistically (p>0.05 ) in CMT decrease
between IVTA and IVB, but the decrease were still clinically significant in our OCT
findings (in week 1 CMT were 111.57±49.72 vs 32.43±37.23 and in week 2 were
135.86 ±68.42 vs 31.86±35.96)
Conclusion
Intravitreal injection of triamcinolone acetonide is more proper therapy for cystoid
type diabetic macular edema."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faresa Hilda
"ABSTRAK
Tujuan tesis ini adalah mengetahui pengaruh laser fotokoagulasi panretinal 532 nm durasi 20 ms dosis tunggal, 100 ms dosis tunggal dan 100 ms-3 sesi terhadap ketebalan makula sentral (KMS). Desain penelitian adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Tiga puluh tiga mata yang memenuhi kriteria inklusi dirandomisasi untuk mendapatkan laser 20 ms dosis tunggal atau 100 ms dosis tunggal atau 100 ms-3 sesi. Keluaran primer adalah KMS yang diukur menggunakan time-domain Optical Coherence Tomography pada baseline, 4 minggu dan 8 minggu pasca laser. Analisis hasil didapatkan rerata ( + SE) KMS baseline kelompok 100 ms, 20 ms dan 100 ms-3 sesi berturut-turut adalah 212,18 + 12,18 µm; 199,18 + 12,18 µm; 215,36 + 12,18 µm. Empat minggu pasca laser, KMS berturut-turut meningkat menjadi 232,09 + 18,63 µm; 206,27 + 18,63 µm; 254,09 + 18,63 µm. Delapan minggu pasca laser, KMS meningkat pada kelompok 100 ms dan 20 ms (237,90 + 17,47 µm; 208,27 + 17,47 µm), namun menurun pada kelompok 100 ms-3sesi (252,36 + 17,47 µm).

ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the effect of panretinal laser photocoagulation 532 nm of 20 ms duration single session (SS), 100 ms SS and 100 ms (3 session) toward central macular thickness (CMT). The study design was a double-blind, randomized controlled clinical trial. Thirty-three subjects who met inclusion criteria were randomized to receive 20 ms SS laser or 100 ms SS or 100 ms (3 session). Primary output was CMT, measured by time-domain Optical Coherence Tomography at baseline, 4 weeks and 8 weeks post-laser. Results showed mean ( + SE) CMT at baseline from 100 ms SS group, 20 ms SS and 100 ms-3 session were 212.18 + 12.18 μm; 199.18 + 12.18 μm; 215.36 + 12.18 μm respectively. Four weeks after laser, CMT was increased to 232.09 + 18.63 μm; 206.27 + 18.63 μm; 254.09 + 18.63 μm respectively. Eight weeks post laser, CMT was increased in 100 ms SS and 20 ms SS (237.90 + 17.47 μm; 208.27 + 17.47 μm), but decreased 100 ms-3session group (252.36 + 17.47 μm).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faresa Hilda
"Tujuan tesis ini adalah mengetahui pengaruh laser fotokoagulasi panretinal 532 nm durasi 20 ms dosis tunggal, 100 ms dosis tunggal dan 100 ms-3 sesi terhadap ketebalan makula sentral (KMS). Desain penelitian adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Tiga puluh tiga mata yang memenuhi kriteria inklusi dirandomisasi untuk mendapatkan laser 20 ms dosis tunggal atau 100 ms dosis tunggal atau 100 ms-3 sesi. Keluaran primer adalah KMS yang diukur menggunakan time-domain Optical Coherence Tomography pada baseline, 4 minggu dan 8 minggu pasca laser. Analisis hasil didapatkan rerata ( + SE) KMS baseline kelompok 100 ms, 20 ms dan 100 ms-3 sesi berturut-turut adalah 212,18 + 12,18 μm; 199,18 + 12,18 μm; 215,36 + 12,18 μm. Empat minggu pasca laser, KMS berturut-turut meningkat menjadi 232,09 + 18,63 μm; 206,27 + 18,63 μm; 254,09 + 18,63 μm. Delapan minggu pasca laser, KMS meningkat pada kelompok 100 ms dan 20 ms (237,90 + 17,47 μm; 208,27 + 17,47 μm), namun menurun pada kelompok 100 ms-3sesi (252,36 + 17,47 μm).

The purpose of this study was to determine the effect of panretinal laser photocoagulation 532 nm of 20 ms duration single session (SS), 100 ms SS and 100 ms (3 session) toward central macular thickness (CMT). The study design was a double-blind, randomized controlled clinical trial. Thirty-three subjects who met inclusion criteria were randomized to receive 20 ms SS laser or 100 ms SS or 100 ms (3 session). Primary output was CMT, measured by time-domain Optical Coherence Tomography at baseline, 4 weeks and 8 weeks post-laser. Results showed mean ( + SE) CMT at baseline from 100 ms SS group, 20 ms SS and 100 ms-3 session were 212.18 + 12.18 μm; 199.18 + 12.18 μm; 215.36 + 12.18 μm respectively. Four weeks after laser, CMT was increased to 232.09 + 18.63 μm; 206.27 + 18.63 μm; 254.09 + 18.63 μm respectively. Eight weeks post laser, CMT was increased in 100 ms SS and 20 ms SS (237.90 + 17.47 μm; 208.27 + 17.47 μm), but decreased 100 ms-3session group (252.36 + 17.47 μm).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salmarezka Dewiputri
"ABSTRAK
Tujuan tesis ini adalah membandingkan pemberian metilprednisolon oral dengan plasebo terhadap insiden dan derajat membran epiretina pasca vitrektomi pars plana pada ablasio retina regmatogen. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Empatpuluh enam mata yang memenuhi kriteria inklusi
dirandomisasi untuk mendapatkan metilprednisolon oral atau plasebo. Keluaran primer adalah insiden dan derajat membran epiretina yang dinilai pada 4 minggu dan 8 minggu pasca vitrektomi dengan menggunakan spectral domain Optical Coherence Tomography. Empat minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 58,8 % pada kelompok plasebo. Delapan minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 56,2 % pada kelompok plasebo. Empat minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 60 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 40 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo didapatkan 60 % derajat 0; 10 % derajat 1; dan 30 % derajat 2. Delapan minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 40 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 60 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo 55,6 % derajat 0; 11,1 % derajat 1; dan 33,3 % derajat 2. Simpulan penelitian ini adalah insiden dan derajat membran epiretina antara kedua kelompok baik pada 4 minggu ataupun 8 minggu tidak berbeda bermakna secara statistik. Insiden membran epiretina pada kelompok metilprednisolon cenderung lebih rendah daripada kelompok plasebo.

ABSTRACT
The purpose of this study was to compare oral methylprednisolone and placebo toward the incidence and severity of epiretinal membrane post pars plana vitrectomy in rhegmatogenous retinal detachment. The study design was double-blind randomized controlled clinical trial. Fourty-six subjects who met inclusion
criteria were randomized to receive oral methylprednisolone and placebo within 14 days. Primary output was incidence and severity of epiretinal membrane,
measured by spectral domain Optical Coherence Tomography at 4 and 8 weeks post vitrectomy. Four weeks after vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 58,8 % in methylprednisolone group and placebo group,
respectively. Eight weeks post vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 56,2 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively.
At 4 weeks the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 60%, 0%, 40% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, in placebo group were 60%, 10%, 30% in grade 0, 1, and 2 respectively. Eight weeks postvitrectomy the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 40%, 0 %, 60% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, at placebo group
were 55,6 %, 11,1 %, and 33,3 % in grade 0, 1, and 2 respectively. In conclusion, there were no significant differences in incidence and severity of epiretinal
membrane at 4 and 8 weeks among 2 groups (p> 0.05). Oral methylprednisolone had a tendency to lower the incidence of epiretinal membrane compared to placebo.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adrina Ferderika Nggie
"Prevalensi dan Karakteristik Faktor Risiko pada Kejadian
Age-related Macular Degeneration diJakarta Timur Jakarta Urban-Eye Health Study
Tujuan: Untuk mengetabui prevalensi dan kontribusi beberapa faktor risiko pada kejadian Agerelated Macular Degeneration di Jakarta Timur.
Metode:
Jakarta Urban-Eye Health Study merupakan penelitian potong lintang berbasis populasi yang menggunakan metode multistage cluster random sampling pada penduduk berusia 40 tahun atau lebih di daerah Jakarta Timur. Semua respondn penelitian dilakukan pemeriksaan di Puskesmas. Diagnosis AMD ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fundus dengan menggunakan foto fundus.
Basil: Dari 1259 responden yang ikut dalam penelittian ini telah dilakukan pemeriksaan foto fundus untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda dari AMD. Prevalensi dry dan weI AMD didapatkan pada 52 orang (4,1%) and 3 orang (0,2%). Prevalensi AMD didapatkan semakin meningkat dengan bertambahnya usia, dimana 3,4% pada kelompok usia 40-49 tabun, 4,8% pada kelompok usia 50-59 tahun, dan 7,4% pada usia ~ 70 yahun.
Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi AMD di Jakarta Timur lebih tinggi dari prevalensi yang didapatkan di daerah Y ogyakarta. Dengan semakin bertambahnya usia, prevalensi AMD juga menjadi semakin meningkat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karamoy, Andrita
"Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian suplemen antioksidan dapat mengurangi pemanjangan waktu pemulihan makula pada juru las dengan pemakaian safety goggle. Design: Uji klinis tersamar ganda kelompok paralel secara randomisasi.
Metode: 44 subyek dibagi menjadi.2 kelompok. Kelompok perlakuan 21 subyek mendapat suplemen vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg dan β-carotene 6 mg selama 2 minggu berturut-turut, sedangkan kelompok kontrol 23 subyek mendapat plasebo. Pengukuran WPM dilakukan sebelum dan sesudah suplementasi baik pada saat sebelum dan sesudah 5 menit bekerja menggunakan safety goggle.
Hasil : Selisih WPM sebelum dan sesudah mendapat suplemen (WPM 2) pada kelompok perlakuan adalah 17,90±5,58 detik, sedangkan kelompok kontrol adalah 23,78±6,64 detik terdapat perbedaan bermakna secara statistik (3WPM 2) antara kedua kelompok penelitian (p<0,05).
Kesimpulan : Pemberian suplemen vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg and β -carotene 6 mg selama 2 minggu berturut-turut pada juru las yang menggunakan safety goggle terbukti dapat mengurangi pemanjangan WPM.

Objective: To evaluate whether assigning antioxidants supplement to welders using safety goggles could influence the prolong recovery time of photostress lest.
Methods: The study is randomized, double-blinded clinical trial. Forty-four male welders were included and divided into two groups and conduct matched pairs based on age and visual acuity. Twenty-one (21) welders for 5 minutes work assigned with antioxidants (subject group), while twenty-three (23) welders for the same duration assigned with placebo (control group) were given supplement for 14 days continuously. The antioxidants contained vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg and β-carotene 6 mg. The study was conducted at the Technical Institute of Welders in Surakarta from December 2004 through January 2005.
Results: The photostress recovery test in subject group produce an improvement (p< 0,05) while in placebo group remains unchanged (p>0,05).
Conclusion: Oral vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg and β -carotene 6 mg are proven to reduce the prolong time of photostress recovery test in welders using safety goggles.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusran
"Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas fotokoagulasi laser 810 nm durasi 20 ms dan 100 ms dalam mencegah progresivitas PDR.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 28 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri atas 14 subyek untuk menjalani fotokoagulasi laser 810 nm. Pada kelompok pertama mendapatkan laser dengan durasi 20 ms dan kelompok kedua dengan durasi 100 ms. Lesi derajat 3 dengan spot sized 200 μm diaplikasikan pada kedua kelompok. Penilaian progresivitas PDR dilakukan setelah 2 bulan pasca laser dengan menggunakan foto fundus 7 posisi. Fluence, power dan tajam penglihatan dibandingkan di antara kelompok.
Hasil: Sebanyak 25 pasien yang mengikuti follow up selama 2 bulan. Proporsi neovaskularisasi yang tidak progresif pada kelompok 20 ms dan 100 ms sebesar 76,9% dan 75,0% (p=1,000). Power yang dibutuhkan dua kali lebih tinggi pada kelompok 20 ms (1000 vs 500 mW; p=0,000). Rerata fluence pada kelompok durasi 20 ms lebih rendah dua kali dibandingkan kelompok durasi 100 ms (15,91 vs 6,36 J/cm2; p=0,000). Perbaikan visus pasca laser pada kelompok 20 ms dan 100 ms sebesar 23,1% dan 33,3 % (p=1,000).
Kesimpulan: Durasi 20 ms memiliki kemampuan mencegah progresivitas neovaskularisasi yang sama dibandingkan dengan durasi 100 ms. Fluence yang dibutuhkan lebih rendah pada durasi 20 ms.

Aim: The aim of this study was to compare the effectiveness of laser photocoagulation 810-nm with 20 ms and 100 ms duration to prevent the progression of proliferative diabetic retinopathy.
Method: This study was prospective double blind randomized clinical trial. Twenty-eight participants who met the inclusion criteria divided into two groups to undergo laser photocoagulation by using 810 nm lasers. One group consisted of fourteen subjects received 100 ms duration and the other received 20 ms duration. Grade 3 burns with a 200 μm spot sized were placed with both modalities. The progression of PDR was evaluated in two months follow up by using seven fields fundus photographs. Fluence, power and visual acuity were compared in this study.
Result: Twenty five subjects completed the two months follow up. Nonprogressive PDR in 100 ms group was 75.0% and in 20 ms was 76.9% (p=1.000). The median power in 20 ms group increased twice than 100 ms group (1000 vs. 500 mW; p=0.000). The median fluence in 20 ms group reduced to one-half of 100 ms group (6.36 vs. 15.91 J/cm2; p=0,000). Improvement of visual acuity in 20 ms and 100 ms was comparable (23,1% vs. 33,3%; p=1,000).
Conclusion: The 20 ms duration showed similar result in preventing the progression of PDR compared to 100 ms duration. The fluence was lower in 20 ms group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Gusti Ayu Ari Raiasih
"Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan desain potong lintang (comparative cross sectional) yang bertujuan untuk menilai dan membandingkan ketebalan lapisan serabut saraf retina/retinal nerve fiber layer (RNFL) peripapil antara kelompok normal dan kelompok glaukoma dengan cup disk ratio (CDR) vertikal 0,4 sampai dengan 0,7 di poliklinik mata Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) kirana. Sebanyak 40 mata kelompok normal dan 34 mata kelompok glaukoma mengikuti pemeriksaan Humphrey field analyzer dan Optical Coherence Tomography (OCT). Kemudian ketebalan RNFL peripapil kelompok normal dan glaukoma dianalisis untuk mendapatkan perbandingan ketebalan RNFL peripapil antara kelompok normal dan glaukoma. Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak ada perbedaan perubahan ketebalan lapisan serabut saraf retina peripapil seiring dengan penambahan CDR vertikal namun secara klinis ketebalan RNFL peripapil pada kelompok glaukoma lebih tipis dibandingkan kelompok normal dengan CDR vertikal yang sama kecuali pada kuadran temporal.

This was a comparative cross-sectional study. The purpose of this study was to assess and compare the peripapillary retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness between the normal and glaucoma eyes with vertical cup disc ratio (CDR) 0.4 to 0.7 in eye clinic Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Kirana. A total of 40 eyes of normal group and 34 eyes of glaucoma following Humphrey field analyzer examination and Optical Coherence Tomography (OCT). Peripapillary RNFL thickness between normal and glaucoma eyes were analysed and compared each other. The result of this study was no difference in changes of peripapillary RNFL along with the progression of vertical CDR but clinically, peripapillary RFNL thickness in glaucoma group is thinner than that of normal group with the same vertical CDR except in temporal quadr.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Farikha
"Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh suplementasi pycnogenol 150 mg perhari selama 8 minggu terhadap amplitudo dan waktu implisit pada gelombang b dan oscillatory potential (OP) ERG skotopik retinopati diabetik nonproliferatif ringan dan sedang.
Metode: Uji klinik acak tersamar. Empat puluh subjek dengan retinopati diabetik nonproliferatif ringan sedang diacak dan dibagi menjadi dua kelompok, 20 subjek mendapat pycnogenol, 20 subjek mendapat pycnogenol. Pengukuran objektif dilakukan sebelum pemberian suplementasi dan 8 minggu setelahnya, yang meliputi amplitudo gel.b, waktu implisit gel.b, amplitudo sum OP, waktu implisit sum OP .
Hasil: Pada kelompok pycnogenol sebelum perlakuan, amp gel.b 397,9±109,6μV, waktu implisit gel.b 48,7 (44,3-68,2) ms, amp sum OP 193,05 (15,2-498,9) μV dan waktu implisit sum OP 126,18± 7,8ms. Setelah 8 minggu pada kelompok pycnogenol, amp gel.b 396,2±115,7 μV, waktu implisit gel.b 47,8 (43,4-58,4)ms, amp sum OP 228,45 (16,3-511,8) μV dan waktu implisit sum OP 126,2 (118,2-137) ms. Pada kelompok plasebo sebelum intervensi, amp gel.b 349± 79 μV, waktu implisit gel.b 48,7 (44,3-68,2) ms, amp sum OP 101,45 (28,3-301,2) μV dan waktu implisit sum OP 130 (121,6-163,5) ms. Setelah 8 minggu pada kelompok plasebo, amp gel.b 334,65±70,3 μV, waktu implisit gel.b 49,15 (44,3 -68,2) ms, amp sum OP 124,9 (51,3-303,8)μV dan waktu implisit sum OP 130 (121,6-163,5) ms. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada semua keluaran.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik parameter amplitudo gel.b, waktu implisit gel.b, amplitudo sum OP, waktu implisit sum OP dari pemberian pycnogenol 150 mg sehari selama 8 minggu pada retinopati diabetik nonproliferatif ringan sedang.

Objective: This study is to evaluate the effect of eight weeks supplementation of 150 mg pycnogenol, to b-wave amplitude, b-wave implicit time, sum Oscillatory Potential (OP) amplitude and sum Oscillatory Potential (OP) implicit time on Electroretinography (ERG) result of mild - moderate nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR) patient, compared to plasebo.
Methods: Randomized clinical trial of 40 mild - moderate NPDR patients, which further equally divided into two groups. The b-wave amplitude (amp), b-wave implicite time (it), sum OP amplitude (amp), sum OP implicit time (it) ERG were evaluated before and after eight weeks pycnogenol supplementation
Results:The ERG results of pycnogenol group before intervention were as follows: b wave amp 397,9±109,6μV, b-wave it 48,7 (44,3-68,2) ms, sum OP amp 193,05 (15,2-498,9) μV and sum OP it 126,18± 7,8ms. After 8 weeks in pycnogenol group, b wave amp 396,2±115,7 μV, b wave it 47,8 (43,4-58,4)ms, sum OP amp 228,45 (16,3-511,8) μV and sum OP it 126,2 (118,2-137) ms. Meanwhile in placebo group before intervention, the b wave amp was 349± 79 μV, b-wave it 48,7 (44,3-68,2) ms, sum OP amp 101,45 (28,3-301,2) μV and sum OP it 130,8±8,4 ms. After 8 weeks in placebo group, b wave amp 334,65±70,3 μV, b-wave it 49,15 (44,3 -68,2) ms, sum OP amp 124,9 (51,3-303,8)μV and sum OP it 130 (121,6-163,5) ms. No statistical significant differences in all outcome
Conclusions: No significant differences in b-wave amplitude, b-wave implicite time, sum OP amplitude and sum OP implicit time ERG after 150 mg pycnogenol supplementation for 8 weeks in mild-moderate NPDR compare with placebo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Rejeki Herdiana
"Tujuan tesis ini adalah untuk mengetahui proporsi, karakteristik, dan faktor risiko retinopati diabetik pada responden diabetes melitus di puskesmas Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Desain penelitian berbasis populasi, studi deskriptif-analitik dengan metode potong lintang. Kriteria inklusi adalah pasien diabetes melitus berusia > 18 tahun yang dilakukan pemeriksaan foto fundus di puskesmas kecamatan Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Dilakukan cluster random sampling dan didapatkan 17 kecamatan intervensi yang dilakukan pemeriksaan foto fundus. Dilakukan consecutive sampling dengan pemberitahuan secara aktif kepada responden. Responden diperiksa foto fundus tanpa dilatasi dan retinopati digrading dengan menggunakan klasifikasi NSC (National Screening Committee). Responden diperiksa tajam penglihatan, tekanan darah, lingkar pinggang, lingkar panggul, pemeriksaan laboratorium, dan dilakukan wawancara terpimpin untuk evaluasi faktor risiko. Jumlah total sampel dari penelitian ini adalah 419 responden dengan proporsi retinopati diabetik adalah 49 responden (11.7%). Pada analisis multivariat, faktor risiko independen untuk DR adalah usia ≥ 60 saat datang (OR 0.46; 95% CI, 0.24-0.89), durasi DM ≥ 5 tahun (OR 1.43; 95% CI, 0.79-2.59), keturunan DM (+) (OR 1.89; 95% CI, 0.98-3.63), GDP ≥ 126mg/dl (OR 2.06; 95% CI, 0.95-4.44), penyakit komplikasi (+) (OR 1.41; 95% CI, 0.78-2.57), gangguan penglihatan ringan (OR 1.81; 95% CI, 0.84-3.88), lingkar pinggang berlebih (OR 0.39; 95% CI, 0.20-0.73). Responden dengan retinopati diabetik cenderung memiliki indeks massa tubuh normal, tanpa obesitas sentral, dengan lingkar pinggang normal. Berdasarkan data yang didapatkan, satu dari 10 responden diabetes melitus di puskesmas Jakarta Timur dan Jakarta Selatan memiliki retinopati diabetik. Faktor risiko independen yang berkaitan dengan retinopati diabetik adalah usia ≥ 60 tahun dan lingkar pinggang berlebih.

The purpose of this study was to describe the proportion, characteristics, and risk factors of diabetic retinopathy in diabetic population at primary health care (PHC) in East Jakarta and South Jakarta. Population-based cross sectional study, analytic ? descriptive. Method: Diabetic individuals > 18 years were screened for diabetic retinopathy with single field nonmydriatil 45o retinal photograph at PHC in East Jakarta and South Jakarta and retinopathy was graded in NSC (National Screening Committee) system. We had cluster random sampling for 34 PHC and 17 were selected and performed retinal photography for DR screening. Consecutive sampling was performed with active announcement for diabetic patients in PHC within the scope of the study. All participants underwent guided interview and examination including uncorrected visual acuity, blood pressure, waist-hip circumference, body mass index, and collection of blood samples. Results : We had 419 diabetic person who participated in this study. The overall proportion of DR was 49 (11.7%). In logistic regression analysis, independent risk factors for DR were age ≥ 60 years (OR 0.46; 95% CI, 0.24-0.89), diabetic duration ≥ 5 years (OR 1.43; 95% CI, 0.792.59), related to diabetes mellitus (OR 1.89; 95% CI, 0.98-3.63), fasting blood glucose ≥ 126mg/dl (OR 2.06; 95% CI, 0.95-4.44), complications of diabetes (OR 1.41; 95% CI, 0.78-2.57), mild visual acuity disturbance (OR 1.81; 95% CI, 0.84-3.88), excessive waist circumference (OR 0.39; 95% CI, 0.20-0.73). Person with DR tend to have normal body mass index, without central obesity, with a normal waist circumference. Conclusion : One in 10 adults with diabetes at PHC in East Jakarta and South Jakarta has diabetic retinopathy. The independent association of DR with established risk factors were age more than or equal to 60 years old and excessive waist circumference."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>