Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suci Nugraha
Abstrak :
Kualitas hidup terkait kesehatan merupakan penilaian yang bersifat subyektif. Persepsi pasien dalam menilai aspek-aspek kehidupan yang terdampak oleh penyakit dan prosedur perawatan yang dijalani ini dipengaruhi oleh budaya dimana pasien hidup. Pada masyarakat yang kehidupannya dipengaruhi agama, penilaian pasien ini diprediksi dipengaruhi oleh agama yang dianutnya. Model kualitas hidup terkait kesehatan yang memasukan unsur budaya belum menjelaskan mekanisme hubungan agama terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pasien SLE yang hidup dalam konteks budaya Indonesia. Untuk mengenali dan menjelaskan mekanisme pembentukan kualitas hidup ini, perlu ada suatu model teoretis yang dibangun berdasarkan perspektif pasien dan teruji secara empiris. Penelitian ini di laksanakan dengan metode mixed-methods exploratory sequential design. Penelitian terdiri dari 2 tahap, yaitu: tahap penelitian kualitatif dengan metode FGD pada 18 pasien SLE ini dan penelitian cross sectional untuk menguji model teoretis yang dibangun berdasarkan hasil penelitian pertama. Penelitian tahap kedua dilakukan terhadap 328 pasien SLE yang direkrut melalui convenience sampling strategy. Hasil analisis analisis dengan model struktural memperlihatkan bahwa model teoretis yang terdiri dari variabel religiusitas, spiritual support dan depresi sebagai pembentuk kualitas hidup terkait kesehatan psien SLE sesuai dengan data empirik. ......Health-related quality of life is a subjective appraisal. The patient's perception to about effect of disease and its treatment procedures to their life are influenced by the culture in which the patient lives. In a religious society, such as Indonesia, this appraisal is affected by the religion they adhere to. The health-related quality of life model that incorporates cultural aspects has not yet explained the relationship mechanism between religion and health-related quality of life of patients with SLE who live in Indonesian culture. To identify and explain this mechanism, it is necessary to have a theoretical model that is built based on patient’s perspective and tested empirically. This research was conducted using a mixed-exploratory sequential design method. The study consisted of 2 stages, namely: a qualitative research phase using the FGD method on 18 patients with SLE and a cross-sectional study to test the theoretical model that was built based on the results of the first study. The second phase of the study was conducted on 328 SLE patients who were recruited through a convenience sampling strategy. The analysis by the structural model suggested that the theoretical model consisting of religiosity, spiritual support, and depression variables as determinants of health-related quality of life on patients with SLE was consistent (fit) with the empirical data.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Taganing Kurniati
Abstrak :
Penelitian ini menggunakan pendekatan sequential exploratory mixed methods, diawali dengan studi kualitatif fenomenologi pada remaja Jawa (N=8). Hasilnya adalah: (1) Rukun dipahami sebagai kerja sama dan tolong menolong, yang diusahakan dengan mencegah atau menutupi konflik, dengan cara menahan diri dan menjaga perilaku sesuai dengan tata krama Jawa; (2) Pemaafan pada remaja Jawa bukan hanya decisional forgiveness untuk rekonsiliasi, tetapi juga emotional forgiveness untuk kedamaian dalam diri. Pada tahap koneksi, skala Nilai Rukun dikembangkan dan model teori pemaafan ditinjau berdasarkan hasil penelitian kualitatif. Studi kuantitatif berikutnya (N=281) menunjukkan bahwa model persamaan struktural pemaafan pada remaja Jawa mempunyai kecocokan dengan data empiris.
The present research is a sequential exploratory mixed methods study, started with qualitative phenomenological study on Javanese adolescents (N=8). The results has shown that: (1) Harmonious living is an action to cooperate and help each other, that maintained by preventing or covering conflicts through forbearing and applying Javanese manner; (2) Forgiveness in Javanese collectivistic adolescents is not only the decisional forgiveness for reconciliation, but also emotional forgiveness to reach intrapersonal peacefulness. Harmonious Value Scale was developed and forgiveness theoretical model was reviewed according to qualitative study results in the connecting stage. The following quantitative study (N=281) has shown that the structural equation model of forgiveness fit with data.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1434
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Kristinawati
Abstrak :
Disertasi ini bertujuan menampilkan gambaran trait callous unemotional CU pada narapidana pria pelaku pembunuhan secara lebih jelas dan rinci. Trait callous unemotional merupakan trait dengan ciri kurangnya rasa bersalah atau penyesalan, kejam, ketiadaan empati, afek miskin deficient , dan tidak mengekspresikan perasaan atau menunjukkan emosi pada orang lain kecuali secara dangkal atau saat digunakan untuk mendapatkan keuntungan. Subjek penelitian ini adalah 14 orang narapidana pria pelaku pembunuhan berusia 14-25 tahun, delapan orang di antaranya pelaku pembunuhan berencana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan bertumpu pada data wawancara mendalam.Penelitian ini menemukan pelaku pembunuhan berencana cenderung memiliki trait CU dibandingkan pelaku pembunuhan tidak berencana. Diketahui bahwa yang membedakan kuat lemahnya trait CU adalah onset dan intensitas tindakan kekerasan pada masa sebelumnya. Trait callous unemotional terjadi pada individu dengan onset sejarah agresi usia dini dan menunjukkan peningkatan agresi dari waktu ke waktu. Faktor lain yang berkontribusi dalam trait CU adalah relasi emosional, lemahnya penanaman norma keluarga, relasi dengan teman sebaya pro agresi, serta perilaku berisiko misal konsumsi alkohol, perilaku seksual berisiko . Meskipun pelaku pembunuhan cenderung menampilkan trait CU, sebagian pelaku khususnya pelaku pembunuhan tidak berencana menampilkan dominansi trait unemotional dengan trait callous yang tidak menonjol.
This dissertation aims to present a more detailed description of callous unemotional CU trait in male convicting murders. Callous unemotional trait is characterized by the lack of guilt or remorse, callous-lack of empathy, deficient affection the absence of expression of feelings to others except in ways that seem shallow or superficial or when they are used for gain . The subjects of this study are 14 male convicts of murders ranged from 14-25 years old, eight of whom are the perpetrators of premeditated murder. The research method used in this research is case study by relying mostly on the in-depth interview data.The study found the perpetrators of premeditated murder tends to have clear CU traits compared to non-planned murder perpetrators. It is found that what distinguishes the weakness or the strength of the CU trait is not the age of the perpetrator but the onset and intensity of the past acts of violence. Callous unemotional trait occurs in individuals with an onset of early aggression history and show an increased aggression over time. Other factors contributing to CU trait are emotional relationships, weak family socialization on norms, relationships with peers who have pro-aggression values, and risky behaviors eg. alcohol consumption, risky sexual behavior . While perpetrators of murders tend to display the CU trait, some of the perpetrators, especially the perpetrators of the unplanned murders, show callous-unemotional trait with low dominance on callousness.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
D2500
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Suciyana Sriyanto
Abstrak :
Dua studi kuantitatif dilakukan dalam konteks konflik yang terjadi selama proses Pemilihan Gubernur 2017 di Jakarta. Data studi 1 dikumpulkan dari 442 sampel dan data studi 2 dikumpulkan dari 421 sampel, yang dipilih dengan menggunakan teknik accidental sampling. Sampel dipilih dari warga Jakarta yang menggunakan hak pilih mereka dan mengidentifikasi bahwa mereka sebagai anggota kelompok yang terlibat dalam konflik yang terjadi selama pemilihan Gubernur Jakarta 2017. Studi 1 dilakukan untuk menjelaskan bagaimana emosi berbasis kelompok seperti harapan, rasa benci, rasa bersalah, rasa malu, dan rasa marah dapat memprediksi kesiapsediaan untuk berekonsiliasi dalam konflik antarkelompok. Studi 2 dilakukan untuk membuktikan bahwa emosi berbasis kelompok seperti harapan, rasa benci, rasa bersalah, rasa malu, dan rasa marah dapat memprediksi kesiapsediaan untuk berekonsiliasi lebih baik daripada variabel bukan emosi seperti trust, identifikasi kelompok, dan out-group blame. Data dianalisis dengan menggunakan teknik Structural Equation Modeling untuk membangun teori model terintegrasi dan menguji hipotesis penelitian. Hasil studi 1 menunjukkan bahwa harapan, rasa benci, rasa marah, dan rasa bersalah dapat memprediksi kesiapsediaan untuk berekonsiliasi, sementara hasil studi 2 menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara harapan, rasa benci, rasa bersalah terhadap kesiapsediaan untuk berekonsiliasi Temuan dalam penelitian ini mendukung asumsi bahwa harapan, rasa bersalah dan trust memiliki pengaruh poositif terhadap kesiapsediaan untuk berekonsiliasi, sementara rasa benci dan out-group blame mengakibatkan berkurangnya tingkat kesiapsediaan untuk berekonsiliasi dengan kelompok lawan. Di antara semua variabel yang diuji, studi-studi ini memberikan bukti rasa bersalah terhadap out-group merupakan prediktor terkuat pada kesiapsediaan untuk berekonsiliasi antar-kelompok yang terlibat konflik PILKADA Jakarta 2017. Hasil penelitian ini juga memberikan bukti bahwa emosi berbasis kelompok dapat memprediksi kesiapsediaan untuk berekonsiliasi lebih baik dibandingkan variabel bukan emosi seperti out-group blame dan group identification. ......Two quantitative studies were conducted within the context of conflict which occurred during Jakarta's 2017 Governor Election process. The first study aimed to gain explanation whether group-based emotion including hope, anger, hatred, shame and guilt could predicts willingness to reconcile. The second study was conducted to answer wheter group-based emotions could predicts more significantly than non-emotional variables such as trust, group identification, and out-group blame. In the first study, the data were collected using accidental sampling from 442 Jakarta residents, who use their voting rights and identified that they were part of the groups that involved in conflicts that occurred during Jakarta's 2017 Governor elections. The data for second study were collected from 421 sample within the same manner  The data were analyzed using Structural Equation Modeling techniques to build the integrated model theory and test the research hypothesis. The result from first study revealed that hope, hatred, anger and guilt could predicts willingness to reconcile, while in the second study shows hope, hatred, guilt, trust and out-group blame could predicts willingness to reconcile. The findings support the notion that hope, trust, and guilt have a positive impact to the willingness to reconcile, while hatred, anger and out-group blame resulting in participants reducing the willingness to reconcile with opposing candidate's supporting group. These studies also gave evidence that guilt was the strongest predictor of willingness to reconcile in the inter-group conflict in the Jakarta 2017 regional elections. The results of the latest study provide evidence that group-based emotions could predict participant's willingness to engage in post-conflict reconciliation better than non-emotional variables such as trust and out-group blame.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
D2628
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library