Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salma Nabilah
Abstrak :
Skripsi ini membahas terkait dengan Terapi Physiolates, terapi yang menggabungkan fisioterapi dengan pendekatan Pilates dan sebaliknya. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terapi Physiolates secara konseptual sah dalam lingkup fisioterapi, terutama jika diterapkan dengan fokus pada penggunaan modalitas Pilates sebagai bagian dari upaya rehabilitasi atau peningkatan kesehatan dalam fisioterapi. Perlindungan hukum bagi fisioterapis dan instruktur non-fisioterapis berkaitan erat dengan lisensi dan status profesi, hal tersebut penting untuk instruktur Physiolates perhatikan untuk mengurangi ketidakpastian dan memberikan perlindungan dalam memberikan layanan kesehatan. Penyelenggaraan Terapi Physiolates di lingkungan klinik menuntut kepatuhan pada regulasi kesehatan dan standar pelayanan yang ditingkatkan, memastikan penggunaan yang tepat sesuai standar keilmuan. Ikatan Fisioterapi Indonesia memegang peran penting dalam mengawasi, membimbing, dan memastikan kualifikasi yang sesuai, sambil tetap terbuka terhadap pengembangan ilmiah lebih lanjut. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Terapi Physiolates, yang kini sedang menjadi tren dan populer di masyarakat Indonesia yang membawa dampak positif yang besar, namun memerlukan arahan yang tepat dan kesesuaian dengan regulasi untuk menjaga manfaatnya yang optimal, sehingga penerapannya berada dalam koridor standar keilmuan dan etika profesi yang tepat. ......This thesis discusses Physiolates Therapy, a therapy that combines physiotherapy with the Pilates approach and vice versa. The research method used is doctrinal with qualitative method. The results show that Physiolates Therapy is conceptually legitimate within the scope of physiotherapy, especially if applied with a focus on the use of Pilates modalities as part of rehabilitation or health improvement efforts in physiotherapy. Legal protection for physiotherapists and non-physiotherapist instructors is closely related to licensing and professional status, it is important for Physiolates instructors to be aware of it in order to reduce uncertainty and provide protection in providing health services. The implementation of Physiolates Therapy in a clinical environment demands compliance with health regulations and enhanced service standards, ensuring proper use according to scientific standards. Ikatan Fisioterapi Indonesia plays an important role in supervising, guiding and ensuring appropriate qualifications, while remaining open to further scientific development. The results of this study conclude that Physiolates Therapy, which is now trending and popular in Indonesian society that brings great positive impacts, requires proper direction and compliance with regulations to maintain its optimal benefits, so that its application is within the corridors of proper scientific standards and professional ethics.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinurat, Maria Ekklesia
Abstrak :
Kompensasi merupakan hak yang wajib diterima oleh pekerja saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, hal tersebut sering kali diabaikan oleh pemberi kerja dengan berbagai alasan, salah satunya PHK dengan alasan efisiensi yang diakibatkan menurunnya stabilitas keuangan perusahaan. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa PHK dengan alasan efisiensi hanya dapat dilakukan apabila perusahaan akan tutup secara permanen,namun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 pengaturan tentang efisiensi telah berubah, dimana bertujuan untuk memberikan fleksibilitas lebih kepada pengusaha dalam mengelola PHK dengan alasan efisiensi. Pasca perubahan, tekananan ekonomi dan perubahan strategis sering menjadi justifikasi untuk melakukan PHK dan mengakibatkan ketidaksetaraan kedudukan pengusaha dan pekerja. Akan tetapi, penting untuk diperhatikan tindakan PHK dengan alasan efisiensi harus melalui pembuktian yang transparan dan objektif. Hal tersebut berimplikasi pada dilanggarnya hak pekerja yang salah satunya dalam hal kompensasi. Atas dasar tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal dengan menganalisis menggunakan data hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis dan menelaah regulasi ketenagakerjaan terkait PHK secara khusus dengan alasan efisiensi.Simpulan dari penelitian ini, PHK dengan alasan efisiensi karena kerugian menjadi alasan yang tidak dilarang. Penelitian bertujuan untuk memahami perubahan regulasi dan dampaknya terhadap hak-hak pekerja, serta menganalisis bagaimana pengaturan kompensasi terhadap kepentingan pekerja yang terkena PHK. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk perbaikan regulasi dan pelaksanaan yang lebih adil bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi pekerja di Indonesia yang di PHK dengan alasan efisiensi. ......Compensation is a right that workers must receive when a Termination of Employment (PHK) occurs. However, this is often ignored by employers for various reasons, one of which is efficiency due to the decline in the company's financial stability. Previously, the Employment Law stated that layoffs for efficiency reasons could only be carried out if the company was about to close permanently. However, through Government Regulation Number 35 of 2021, regulations regarding efficiency have changed, which aims to provide more flexibility to employers in managing layoffs. After change, economic pressure, market competition, or strategic changes often become justifications for layoffs and result in unequal positions of employers and workers. This has implications for violating workers' rights, one of which is in terms of compensation. On this basis, this research uses a doctrinal approach by analyzing primary, secondary and tertiary legal sources. This research focuses on analyzing and reviewing labor regulations related to layoffs specifically for efficiency reasons due to company losses. The research aims to understand regulatory changes and their impact on workers' rights, as well as analyze how compensation arrangements affect the interests of workers affected by layoffs. It is hoped that this research can provide recommendations for improving regulations and fairer implementation for both parties. Thus, this research makes an important contribution in efforts to improve welfare and justice for workers in Indonesia who are laid off for efficiency reasons.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Daniela
Abstrak :
Dalam beberapa tahun terakhir, perawatan yang ditawarkan oleh klinik estetika seperti injeksi DNA salmon semakin populer. Bahan DNA salmon diklaim memiliki fungsi anti-aging dengan membuat kulit lebih kencang dan mengatasi hiperpigmentasi di kulit. Dokter dalam hal ini berperan penting sebagai pihak pemberi layanan di klinik estetika. Injeksi DNA salmon yang merupakan pelayanan estetika medis awamnya dinilai hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis dermatologi dan venereologi. Sebab, dokter spesialis dermatologi dan venereologi menempuh pendidikan spesialis tambahan. Kurikulum pendidikannya juga mencakup metode seperti subsisi, elevasi, microneedling yang biasa digunakan dalam estetika medis. Meskipun begitu, dokter umum juga dapat menangani permasalahan kulit. Ketika menempuh pendidikan dokter, dokter umum juga diwajibkan menguasai kurikulum kulit. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, tidak terdapat batasan bagi dokter umum dalam konteks pelayanan injeksi DNA salmon. Sedangkan bagi dokter spesialis dermatologi dan venereologi, terdapat Standar Kompetensi Dokter Dermatologi dan Venereologi Indonesia dengan area kompetensi yang lebih rinci yang berpengaruh ke kewenangan dokter spesialis dermatologi dan venereologi sebagai pemilik sertifikat kompetensi spesialis. Dalam peraturan perundang- undangan belum diatur secara jelas mengenai batasan kewenangan antara dokter umum dan dokter spesialis dalam pelayanan estetika medis. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian ini akan membahas mengenai kompetensi dan kewenangan yang dimiliki dokter dalam pelayanan injeksi DNA salmon. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kewenangan dokter umum dan spesialis masih bersinggungan ketika dihadapkan pada pelayanan estetika medis seperti injeksi DNA salmon. Batasan kompetensi dan kewenangan dokter dalam pelayanan estetika medis yang buram ini dapat dihindari dengan diaturnya mengenai estetika medis secara khusus. ......In recent years, treatments offered by aesthetic clinics such as salmon DNA injections have become increasingly popular. The salmon DNA ingredient is claimed to have an anti-aging function by making the skin firmer and overcoming hyperpigmentation in the skin. The doctor in this case plays an important role as the service provider at the aesthetic clinic. Salmon DNA injection, which is a lay medical aesthetic service, is considered to only be performed by dermatologists. This is because dermatologists undergo additional specialist education. The education curriculum also includes methods such as subsection, elevation, microneedling which are commonly used in medical aesthetics. However, general practitioners can also treat skin problems. During their medical education, general practitioners are also required to master the skin curriculum. Based on the Indonesian Doctors Competency Standards, there are no restrictions for general practitioners in the context of salmon DNA injection services. As for dermatologists, there are Indonesian Dermatology and Venereology Physician Competency Standards with more detailed competency areas that affect the authority of dermatology and venereology specialists as owners of specialist competency certificates. The legislation has not clearly regulated the limits of authority between general practitioners and specialists in medical aesthetic services. By using the normative juridical research method, this research will discuss the competence and authority of doctors in salmon DNA injection services. From this research, it is found that the authority of general practitioners and dermatologists still intersect when faced with medical aesthetic services such as salmon DNA injection. The blurred boundaries of competence and authority of doctors in medical aesthetics services can be avoided by regulating medical aesthetics specifically.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Zahra Jamboree
Abstrak :
Kesehatan jiwa merupakan keadaan di mana seseorang perkembangan emosional dan intelektual yang mencakup kapasitas untuk belajar dan petumbuhan kognitif. Apabila kesehatan jiwa tidak dijaga dengan baik, seseorang dapat menjadi rentan terhadap gangguan jiwa yang berpotensi menghambat kemampuan mereka dalam melaksanakan kegiatan mereka sehari-hari dan mempengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Gangguan jiwa yang paling umum dialami seseorang adalah depresi dan gangguan kecemasan yang dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya lingkungan kerja. Sebagai upaya dalam mencegah permasalahan ini dari mempengaruhi kesehatan jiwa seorang pekerja atau setidaknya membantu mereka mengatasinya, perusahaan dapat menyediakan layanan konseling berupa Employee Assistance Program (“EAP”), yakni suatu layanan konseling dan konsultasi yang berfokus pada pencegahan dan/atau penyelesaian masalah pribadi yang dialami oleh pekerja. Layanan inti yang ditawarkan oleh EAP umumnya meliputi penilaian profesional, rujukan, dan konseling jangka pendek. Proses implementasi ini memicu pertanyaan terkait bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja dengan depresi dan/atau gangguan kecemasan di Indonesia, bagaimana pelayanan kesehatan terhadap pekerja dengan depresi dan/atau gangguan kecemasan di Indonesia, serta cara EAP dapat membantu meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap pekerja dengan depresi dan/atau gangguan kecemasan di Indonesia. Dengan EAP, pekerja menjadi lebih mudah dalam mengakses langkah pertama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan untuk kesehatan jiwanya.  ......Mental health is the state in which a person’s emotional and intellectual development includes the capacity for learning and cognitive growth. If mental health is not well maintained, a person can become vulnerable to mental disorders which have the potential to hamper their ability to carry out their daily activities and affect their overall quality of life. The most common mental disorders a person can suffer from are depression and anxiety that can be caused by many factors, including the person’swork environment. As a way to prevent these issues from affecting a worker’s mental health or help them manage it, companies can provide counseling services in the form of an Employee Assistance Program (“EAP”), a counseling and consultation service that focuses on preventing and resolving personal problems experienced by workers. The core services offered by EAP are professional assessments, referrals, and short-term counseling. The implementation process of this program brings forward the question of how the legal protection for workers with depression and/or anxiety is in Indonesia, how healthcare for workers with depression and/or anxiety is in Indonesia, and how EAP can assist in improving the healthcare provided for workers with depression and/or anxiety in Indonesia. With EAP, it becomes easier for workers to access the first step in getting healthcare for their mental health.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Ascencio Widayat
Abstrak :
Skripsi ini memuat pembahasan mengenai peraturan terkait tanggung jawab hukum pelayanan kesehatan primer dalam memberikan pelayanan gawat darurat. Bentuk penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dengan metode analisis data kualitatif. Penelitian ini dikaitkan dengan pengaturan mengenai pelayanan gawat darurat dan pelayanan kesehatan primer yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No. 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa pelayanan gawat darurat menjadi suatu kewajiban yang tidak boleh ditolak oleh pelayanan kesehatan primer di Indonesia sebagai bentuk perlindungan hak atas pemeliharaan kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Bupati/Wali Kota bertanggung jawab atas kelalaian atau penyimpangan dalam pelayanan kegawatdaruratan yang menyebabkan kerugian pada pasien sebagai bentuk penerapan vicarious liability dan doktrin “respondent superior”. Hasil penelitian ini menyarankan agar pemerintah daerah dan instansi-instansi terkait melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelayanan kesehatan primer secara rutin untuk mencegah penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan kegawatdaruratan. ......This thesis discusses regulations related to the legal liability of primary health care in providing emergency care. The form of this thesis research is normative juridical with qualitative data analysis methods. This thesis is based on laws and regulations regarding emergency care and primary health care found in Law No. 36 of 2009 about Health, Ministerial Regulation of the Health Ministry No. 47 of 2018 about Emergency Care and Ministerial Regulation of the Health Ministry No. 19 of 2016 on Integrated Emergency Response System. The study shows that emergency services are an obligation that cannot be denied by primary health care in Indonesia as a form of protection of the right to health care. Heads of District/City Health Offices and Regents/Mayors are responsible for the negligence or irregularities in emergency care that cause harm to patients as the implementation of vicarious liability and the "respondent superior" doctrine. This study suggests that local governments and related agencies carry out supervision and guidance on primary health care on a regular basis to prevent irregularities in the implementation of emergency services.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Raihan
Abstrak :
Suntik filler merupakan salah satu perawatan kecantikan non bedah yang memasukkan sejenis cairan atau zat ke dalam kulit dengan menggunakan jarum dan bertujuan untuk menyamarkan akibat penuaan atau mempercantik penampilan seseorang. Pemulihan tindakan suntik filler tidak memerlukan waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan bedah plastik estetika, membuat lonjakan terhadap penggunaan suntik filler oleh berbagai kalangan terus meningkat setiap tahunnya. Pastinya tindakan ini memiliki risiko dan komplikasi yang mungkin saja dapat terjadi. Maraknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh dokter akibat tidak adanya pemberian persetujuan tindakan kedokteran dalam melakukan tindakan medis perlu dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu, setiap tindakan kedokteran harus memberikan persetujuan tindakan kedokteran dengan terlebih dahulu dokter menjelaskan kepada pasiennya secara rinci dan lengkap, karena persetujuan tindakan medis termasuk ke dalam bagian etik profesi kedokteran. Hal ini bertujuan mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh dokter sebagaimana penelitian ini yang tidak memberikan persetujuan tindakan medis secara tertulis dalam memberikan tindakan suntik filler berdasarkan Putusan Nomor 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan bahan data sekunder sebagai pendukung. Data ini diperoleh dari studi dokumen maupun wawancara yang dilakukan dengan narasumber. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pemberian persetujuan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dengan melakukan suntik filler untuk kecantikan belum diterapkan secara maksimal sesuai dengan hukum kesehatan. ......Filler injections are one of the non-surgical beauty treatments that involve injecting a substance or fluid into the skin using a needle, with the aim of minimizing signs of aging or enhancing a person's appearance. As opposed to aesthetic plastic surgery, filler injections have a shorter recovery period, which has resulted in an annual rise in the number of individuals who use them. However, it is important to acknowledge that such procedures carry risks and potential complications. The prevalence of violations committed by doctors due to the lack of informed consent in medical procedures needs to be further discussed. Therefore, it is necessary for every medical procedure to obtain the patient's informed consent, wherein the doctor provides a detailed and comprehensive explanation beforehand, as obtaining informed consent is an ethical requirement in the medical profession. This is aimed at preventing violations committed by doctors, such as the case discussed in this research, where written informed consent was not obtained for administering filler injections based on Court Decision Number 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. This research employs a normative juridical approach with secondary data as supporting evidence. The data was obtained from document studies and interviews conducted with pertinent sources, and it was then analyzed using qualitative analysis methods. Based on the findings of this research, it is evident that the practice of obtaining informed consent from patients for filler injections in aesthetic procedures has not been maximally implemented in accordance with health laws.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madeleine Sebastian Effendy
Abstrak :
Skripsi ini meneliti mengenai pengaturan terkait dengan inseminasi donor sebagai suatu tindakan reproduksi berbantu di Indonesia dan Negara Bagian Indianapolis, Amerika Serikat. Secara khusus, skripsi ini juga akan meneliti mengenai tanggung jawab hukum dari dokter terhadap suatu tindakan reproduksi berbantu apabila terjadi suatu pelanggaran di mana seorang dokter memasukkan spermanya sendiri dalam tindakan reproduksi berbantu tanpa persetujuan pasien hingga menghasilkan kurang lebih 90 orang anak, seperti yang dilakukan oleh Dokter Donald Cline di Negara Bagian Indianapolis. Kasus Dokter Donald Cline merupakan salah satu kasus reproduksi berbantu yang cukup terkenal mengingat beliau merupakan salah satu dokter fertilitas terbaik di Indiana pada masanya. Akan tetapi, para korban dari Cline menganggap bahwa pertanggungjawaban hukum yang dilakukan oleh Cline tidak setimpal dengan perbuatannya, dan hal ini didasari oleh adanya suatu kekosongan hukum di Negara Bagian Indianapolis saat itu. Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipologi preskriptif. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apabila terjadi suatu kasus dimana seorang dokter memasukkan spermanya sendiri dalam tindakan reproduksi berbantu tanpa persetujuan pasien, bagaimanakah pertanggungjawaban hukum atas hal tersebut. Selain itu, permasalahan dalam skripsi ini juga bagaimana kasus Donald Cline jika dilihat dari sudut pandang hukum Indonesia, sebagai bentuk pencegahan apabila hal serupa terjadi di Indonesia. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah jika kasus Donald Cline terjadi di Indonesia, sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, dokter dapat dimintakan pertanggungjawaban secara administratif, perdata, dan pidana. ......This thesis examines the regulation related to donor insemination as an act of assisted reproduction in Indonesia and Indianapolis, United States. In particular, this thesis will also examine the legal responsibility of a doctor for an act of assisted reproduction if there is a violation where a doctor inserts his own sperm in an act of assisted reproduction without the patient's consent and produce approximately 90 children, as done by Doctor Donald Cline in Indianapolis. The case of Doctor Donald Cline is one of the most famous fertility fraud cases considering he was one of the best fertility doctors in Indiana during his time. However, the victims of Cline considered that the legal liability of Cline was not commensurate with his actions, and this was based on the nonexistence of a legal basis to judge Cline in at that time. In conducting the research, the researcher used doctrinal research method with prescriptive typology. The problem in this thesis is if there is a case where a doctor inserts his own sperm in assisted reproduction without the patient's consent, how is the legal liability for this. In addition, the problem in this thesis is also how the Donald Cline case if seen from the perspective of Indonesian law, as a form of prevention if something similar happens in Indonesia. The conclusion of the problem is that if the Donald Cline case occurs in Indonesia, in accordance with the current law in Indonesia, doctors can be held liable administratively, civilly, and criminally.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Izzat Alwi Alaydrus
Abstrak :
Skripsi ini menganalisis implementasi telemedicine dan regulatory sandbox di Indonesia berdasarkan Kepmenkes 1280/2023, UU 17/2023, dan Permenkes 20/2019, serta di Singapura berdasarkan Health Care Services Act (HCSA) dan National Telemedicine Guidelines (NTG). Skripsi ini disusun dengan metode penelitian doktrinal dengan tipe penelitian deskriptif-preskriptif, mengkaji telemedicine dan regulatory sandbox dengan membandingkan konsep, regulasi, dan isu hukum di Indonesia dan Singapura. Dalam hal ini, Singapura menggunakan sistem lisensi untuk telemedicine dibawah HCSA dengan NTG yang digunakan sebagai pedoman khusus. Sebelum sistem lisensi digunakan, Singapura menyelenggarakan regulatory sandbox LEAP hingga 2021, guna menyesuaikan HCSA dengan perkembangan teknologi kesehatan. Di Indonesia, telemedicine belum mempunyai pengaturan secara khusus. Meskipun sudah berkembang cukup baik melalui aplikasi berbasis smartphone yang diselenggarakan oleh health-tech company, hal ini belum sesuai dengan standar perangkat telemedicine. Kepmenkes 1280/2023 hanya mengakomodir telemedicine yang diselenggarakan melalui aplikasi berbasis smartphone, yang mana belum mendukung standarisasi telemedicine. Oleh karena itu, disarankan kepada Kementerian Kesehatan untuk mempercepat penyusunan regulasi yang sesuai dengan standar telemedicine melalui regulatory sandbox yang juga melibatkan pemangku kepentingan lain. ......This thesis analyzes the implementation of telemedicine and regulatory sandboxes in Indonesia based on Kepmenkes 1280/2023, UU 17/2023, and Permenkes 20/2019, as well as in Singapore based on the Health Care Services Act (HCSA) and National Telemedicine Guidelines (NTG). The research employs a doctrinal methodology with a descriptive-prescriptive approach, examining telemedicine and regulatory sandboxes by comparing concepts, regulations, and legal issues in Indonesia and Singapore. In this context, Singapore uses a licensing system for telemedicine under the HCSA with NTG as specific guidelines. Before the licensing system was implemented, Singapore conducted the LEAP regulatory sandbox until 2021 to adapt the HCSA to health technology developments. In Indonesia, telemedicine does not yet have specific regulations. Although it has developed quite well through smartphone-based applications run by health-tech companies, this does not meet telemedicine equipment standards. Kepmenkes 1280/2023 only accommodates telemedicine conducted through smartphone applications, which does not support telemedicine standardization. Therefore, it is recommended that the Ministry of Health expedite the formulation of regulations that meet telemedicine standards through regulatory sandboxes involving other stakeholders.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halomoan, Reynhart Henry
Abstrak :
Skripsi ini menganalisis tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng. Skripsi ini disusun dengan metode penelitian doktrinal dengan tipe penelitian deskriptif-preskriptif, menelaah melalui perspektif hukum tentang tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng. Skripsi ini secara komprehensif membedah bagaimana seharusnya tanggung jawab hukum dokter selaku pelaku tindakan medis dan rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan apabila terjadi kegagalan tindakan medis. Dalam kasus ini, dokter dan rumah sakit merupakan dua subjek hukum utama yang bertanggung jawab dalam kegagalan tindakan anestesi yang dialami oleh Penggugat. Penggugat mengalami kelumpuhan permanen setelah dilaksanakannya tindakan anestesi oleh dokter spesialis anestesi. Dalam kasus ini, dokter telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam memintakan informed consent kepada Penggugat, tetapi tindakan dokter dalam tindakan anestesi dan anamnesis bukan merupakan perbuatan melawan hukum karena telah sesuai dengan pedoman. Lebih lanjut, rumah sakit dalam kasus ini telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak memberikan isi rekam medis kepada Penggugat dan lalai dalam menjaga kualitas peralatan medis yang digunakan. Oleh karena itu, disarankan kepada dokter dan rumah sakit sebagai untuk dapat memahami hak, kewajiban, serta tanggung jawab yang dimiliki demi memaksimalkan pelayanan kesehatan dan meminimalisasi risiko. ......This thesis analyzes the responsibilities of doctors and hospitals in Court Decision Number 1324/Pdt.G/2021/PN Tng. The thesis employs a doctrinal research method with a descriptive-prescriptive type of research, examining the legal perspectives on the responsibilities of doctors and hospitals in the said court decision. This thesis comprehensively dissects how the legal responsibilities of doctors as medical practitioners and hospitals as healthcare service providers should be addressed in the event of medical procedure failures. In this case, both the doctor and the hospital are the primary legal subjects responsible for the failure of the anesthesia procedure experienced by the Plaintiff. The Plaintiff suffered permanent paralysis following an anesthesia procedure performed by an anesthesiologist. In this case, the doctor committed an unlawful act by failing to obtain informed consent from the Plaintiff; however, the doctor's actions during the anesthesia and anamnesis procedures were not unlawful as they adhered to established guidelines. Furthermore, the hospital committed an unlawful act by failing to provide the Plaintiff with the medical records and by neglecting the maintenance of the medical equipment used. Therefore, it is recommended that doctors and hospitals understand their rights, obligations, and responsibilities to maximize healthcare services and minimize risks.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Rasya Nadhine
Abstrak :
Tulisan ini menganalisis perbandingan pengaturan terkait rokok dalam Undang-Undang Kesehatan dari masa ke masa beserta peraturan-peraturan pelaksananya. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Fokus utama penelitian ini adalah untuk memahami regulasi mengenai rokok yang berkembang serta implikasi dari setiap perubahan tersebut terhadap kesehatan masyarakat dan industri tembakau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai rokok di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan mengatur zat adiktif secara umum tanpa menyebutkan rokok secara spesifik. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memperkenalkan aturan yang lebih spesifik mengenai rokok, termasuk pembatasan pada iklan, promosi, dan kawasan bebas rokok. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memperluas cakupan regulasi dengan memasukkan rokok elektronik dan memperkenalkan aturan-aturan baru. Setiap perubahan regulasi membawa implikasi penting baik untuk kesehatan masyarakat, maupun bagi industri tembakau. Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa regulasi mengenai rokok di Indonesia telah berkembang menuju pendekatan yang lebih komprehensif dan berfokus pada kesehatan masyarakat. Meskipun demikian, tantangan dalam penegakan dan pengawasan tetap ada, terutama dalam menghadapi perkembangan baru seperti rokok elektronik. Upaya lebih lanjut diperlukan untuk menyeimbangkan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi pada industri tembakau. ......This thesis analyzes how the comparison of smoking-related regulations in the Health Act from time to time along with its implementing regulations. This paper is prepared using the doctrinal method. The focus of this study is to understand how the regulation of smoking has developed and the implications of any changes to public health and the tobacco industry. The results show that the regulation of smoking in Indonesia has undergone significant development. Law No. 23 of 1992 on Health regulates addictive substances in general without mentioning cigarettes specifically. Law No. 36 of 2009 on Health introduced more specific regulations on smoking, including restrictions on advertising, promotion, and smoke-free areas. Law No. 17 of 2023 on Health expanded the scope of regulation to include electronic cigarettes and introduced new rules. Each regulatory change has important implications for both public health and the tobacco industry. Overall, this study concludes that smoking regulation in Indonesia has evolved towards a more comprehensive and public health-focused approach. Nonetheless, challenges in enforcement and supervision remain, especially in the face of new developments such as electronic cigarettes. Further efforts are needed to strike a balance between health protection and economic impact on the tobacco industry.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>