Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tupamahu, Stefan
Abstrak :
Training adalah salah satu sarana yang umum digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan kompetensi pegawainya. Menyelenggarakan training telah sering dilakukan, namun hanya sebagian perusahaan saja yang kemudian juga melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan training-nya. Evaluasi training sebenarnya telah disadari merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar perusahaan dapat meyakini bahwa training yang diselenggarakannya tersebut benar-benar memberikan dampak yang positif bagi peningkatan kinerja pegawai maupun perusahaan secara keseluruhan. Pada tahun 1959, Donald L. Kirkpatrick mengemukakan pendapatnya mengenai evaluasi training yang dikenal sebagai teori The Four Levels, suatu teori yang sangat terkenal dan telah menjadi bahan diskusi selama bertahun-tahun. Teori tersebut pada intinya menyatakan bahwa kegiatan evaluasi training dapat dibagi menjadi empat tingkat/level, yaitu: Level 1 (Reaction), Level 2 (Learning), Level 3 (Behavior), dan Level 4 (Results). Menurut Kirkpatrick, keempat level evaluasi tersebut perlu dilakukan secara lengkap agar efektivitas suatu training dapat diukur secara utuh. Masalahnya, tidak setiap level evaluasi dapat dengan mudah dilakukan. Level 1 dan Level 2 telah sering dilakukan karena relatif mudah, murah, dan dilakukan pada saat training berlangsung, sementara Level 3 dan Level 4 lebih jarang dilakukan antara lain karcna kendala waktu, biaya, dan metode penelitian yang lebih rumit serta dilakukan setelah eks-peserta training kembali ke tempat kerjanya semula. Dalam perkembangan selanjutnya, disadari bahwa efektivitas training perlu diteliti dalam ukuran-ukuran finansial, antara lain dalam bentuk Return on Training Investment (ROTI), agar dapat memberikan informasi yang tegas dan nyata kepada perusahaan mengenai kontribusi training terhadap kinerja perusahaan. Dapat tidaknya RDTI diukur telah menjadi bahan perdebatan para peneliti. Kirkpatrick sendiri berpendapat bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena menurutnya training hanyalah salah sate faktor dari sekian faktor yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang dan bahwa faktor-faktor tersebut sangat sulit untuk diisolasi satu dengan lainnya. Results dari suatu training juga menurutnya sangat sukar untuk diidentifikasi. Sebaliknya, peneliti yang lain tidal( hanya menyatakan bahwa ROTI dapat dihitung namun juga menekankan pentingnya evaluasi training dilakukan hingga tahap perhitungan ROTI. Penelitian yang dilalukan penulis ini bertujuan untuk mengevaluasi training pada Level 3 dan Level 4 serta menghitung ROTI dari training tersebut. Penelitian dilakukan di Bank X, suatu bank milik negara, alas training Selling Retail Bank Services (SRBS) yang telah diselenggarakan bank tersebut selama beberapa tahun terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa training SRBS memiliki performa yang baik pada Level 3 dan Level 4, serta ROTI sebesar 441% yang mengindikasikan bahwa manfaat yang diperoleh dari training tersebut jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraannya.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17351
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puput Oktamianti
Abstrak :
Keperawatan merupakan salah satu profesi di rumah sakit yang memiliki peran yang panting dalam penyelanggaraan layanan kesehatan di rumah sakit. Perawat memiliki waktu kontak yang lebih lama dengan pasien sehingga perawat dapat dianggap memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kepuasan kerja dan motivasi kerja internal perawat merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan oleh pihak manajemen rumah sakit dalam upaya mengelola tenaga perawat sehingga diharapkan perawat mau melaksanakan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dan motivasi kerja internal adalah karakteristik pekerjaan. Ada lima karakteristik pekerjaan yang dapat menunjukkan pengukuran efektivitas pekerjaan yang objektif, yaitu: skill variety, task identity, task significance, autonomy. dan feedback. Karaktcristik pekerjaan mempengaruhi kepuasan kerja dan motivasi kerja internal dengan mcdiasi kondisi psikologi kritis yaitu perasaan keberartian pekerjaan, perasaan tanggung jawab, dan pengetahuan terhadap hasil pekerjaan. Penelitian mengenai "Pengujian Awal Model Karakteristik Pekerjaan Pada Perawat Runlah Sakit di Jakarta" ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat rumah sakit di Jakarta. Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner yang dikembangkan oleh Hackman & Oldman (1980). Kuesioner terdiri dari beberapa subbagian yaitu pertanyaan yang berkailan dengan karakteristik pekerjaan, kondisi psikologi kritis, kepuasan kerja, motivasi kerja internal, dan kepuasan berkembang. Selanjutnya dilakukan analisis data dengan Structural Equation Modeling (SEM). RMSEA model yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar 0.087. Rasio x21df model pada penelitian ini adalah 19,83/11=1,803. Nilai GFI dan CH dalam model penelitian ini adalah 0,97 dan 0,96. Ini menunjukkan model memiliki rt yang baik. Pada penelitian ini diketahui bahwa tingkat variasi skill dan identitas tugas perawat adalah tinggi, keberartian tugas adalah sangat tinggi, serta otonomi dan feedback adalah sedang. Sedangkan untuk kondisi psikologi kritis perawat yaitu tingkat perasaan keberartian pekerjaan pada perawat adalah sangac tinggi, tingkat perasaan tanggung jawab perawat adalah tinggi, dan tingkat pengetahuan terhadap hasil pekerjaan adalah sedang. Tingkat kepuasan kcrja, motivasi internal, dan kepuaan berkembang juga tinggi. Sementara itu nilai MPS perawat dalam penelitian ini adalah 121,99. Ini berarti motivasi potensial pada perawat masih dapat ditingkatkan lagi. Dalam penelitian ini terbukti beberapa hipotesis berkaitan dengan hubungan antara karakteristik pekerjaan dan kondisi psikologi kritis yaitu tingkat keberartian tugas berpcngaruh positif terhadap perasaan keberartian pekerjaan dan feedback berpengaruh positif terhadap pengetahuan terhadap basil pekerjaan. Selain itu, diketahui temuan lainnya yaitu identitas tugas bcrpengaruh positif terhadap pengctahuan basil pekerjaan dan feedback berpcngaruh positif terhadap perasaan keberartian pekerjaan. Ada beberapa hipotesis yang terbukti berkaitan dengan hubungan antara kondisi psikologi kritis dengan outcome yaitu perasaan keberartian pekerjaan berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja, pengetahuan terhadap hasil pekerjaan bcrpengaruh positif terhadap kepuasan kerja, perasaan keberartian pckerjaan berpcngaruh positif terhadap motivasi kerja internal, dan perasaan tanggung jawab berpcngaruh positif terhadap motivasi kerja internal. Ada beberapa temuan berkaitan dengan penelitian ini yaitu keberartian tugas berpengaruh positif terhadap motivasi kerja internal, otonomi berpengaruh positif terhadap kepuasan berkembang, feedback berpengaruh positif tcrhadap kcpuasan berkembang, dan kepuasan berkembang berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka perawat perlu diberi otonomi yang lebih luas lagi. Kesempatan dalam mengidentifikasi seberapa besar dan bagaimana perawatan yang dibutuhkan pasien, siapa yang memberi pelayanan, dan apa saja sumber daya yang dibutuhkan untuk asuhan keperawatan dillarapkan mampu meningkatkan kepuasan dan motivasi keija internal perawat. Selain itu, kualitas feedback bagi perawat juga perlu ditingkatkan. Dalam feedback yang efektif perlu dijelaskan periiaku apa saja yang belum sesuai dengan standar dan bagaimana konsekuensi atau dampak dari perilaku tersebut.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Fitri Astuty
Abstrak :
Di era globalisasi ini, tuntutan bagi sebuah perusahaan adalah dapat beradaptasi terhadap lingkungan bisnis yang terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman agar perusahaan dapat tetap exist di dalam bisnisnya. Peran SDM sangat besar dalam melakukan perubahan ini karena SDM adalah subyek utama yang melakukan perubahan tersebut. Sikap seseorang terhadap perubahan yang terdiri dari sikap afektif, kognitif, dan konatif dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa penelitian mengungkapkan. bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi memiliki peran panting terhadap bagaimana karyawan bersikap terhadap perubahan (Iverson, 1996; Laudan Woodman, 1995; Cordery et a1.,1993; dalam Yousef, 20001). Oleh karena itu penulis ingin mengetahui sejauh mana kepuasan kerja dan komitmen organisasi mempengaruhi sikap karyawan terhadap perubahan organisasi. Penelitian ini rnenggunakan instrumen kuesioner untuk memperoleh data. Sample adalah karyawan PT Bank X yang berada di 2 Kantor Wilayah, satu Kantor Cabang, dan Kantor Layanan di bawahnya yang ada di Jakarta. Kuesioner disebarkan dengan menggunakan nonprobability sampling berupa convenience sampling. Dari 300 kuesioner yang disebarkan hanya diperoleh pengembalian sebanyak 100 kuesioner. Data diolah dengan menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM) dengan program LISREL 8.54 (Joreskog dan Sorbom, 1993). Hasil uji model fit menunjukkan bahwa model yang digunakan belum memenuhi kriteria fit sehingga penulis melakukan modifikasi model yang disarankan oleh output SEM dalam modification indices, yang sesuai dengan teori yang ada. Hasil modifikasi menunjukkan nilai Goodness of Fit Indices (GFI) sebesar 0,93 sedangkan indikator-indikator yang lain sebagaian besar menunjukkan bahwa model telah ft. Dari hasil Path Analysis diketahui bahwa gaji memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen normatif. Apabila seseorang puas dengan gaji yang diperoleh maka ia akan merasakan sebuah kewajiban untuk tetap tinggal di dalam organisasi karena ia merasa berhutang budi kepada perusahaan. Tetapi komitmen tersebut tidak mempengaruhi sikapnya terhadap perubahan organisasi. Kepuasan terhadap rekan kerja juga secara signifikan berpengaruh terhadap komitmen afektif dan kontinuan. Karyawan yang puas dengan rekan kerjanya akan merasakan keterikatan emosional dengan perusahaan karena ia merasa senang dengan rekan kerjanya. Kepuasan terhadap rekan kerja dan atasan (supervise) juga dapat mengikat karyawan untuk tetap berada di perusahaan karena ia takut jika meninggalkan perusahaan tidak akan mendapatkan rekan kerja dan atasan seperti saat ini. Karyawan yang merasakan ikatan emosional terhadap perusahaan, merasa senang dengan keberadaanya di dalam perusahaan akan lebih mudah untuk menerima perubahan organisasi, di mana dukungannya tersebut diwujudkan dalam sikapnya yang menerima perubahan dengan rasa senang dan kemudian mendorongnya untuk berperilaku positif mendukung perubahan organisasi. Sedangkan karyawan yang tetap tinggal di perusahaan hanya semata-mata perhitungan untung rugi akan cenderung sulit untuk menerima perubahan karena ia takut kehilangan manfaat yang selama ini ia terima. Gaji juga berpengaruh negatif terhadap bagaimana karyawan memandang atau berpersepsi terhadap perubahan organisasi hal ini dapat disebabkan ia sudah merasa mapan dengan kondisi yang sekarang dan takut jika perubahan organisasi akan mempengaruhi manfaat-manfaat yang ia terima selama ini. Tetapi, perilaku mereka tetap positif terhadap perubahan. Hal ini dapat disebabkan adanya cognitive dissonance di mana perilaku seseorang berbeda dengan kehendak pribadi seseorang. Seseorang yang puas dengan rekan kerjanya juga akan berpengaruh positif terhadap bagaimana ia memandang perubahan organisasi. Beberapa variabel kepuasan kerja mempengaruhi sikap terhadap perubahan melalui komitmen, misalnya hubungan yang signifikan antara rekan kerja dengan sikap afektif dan sikap konatif melalui komitmen afektif serta hubungan antara rekan kerja dengan sikap konatif melalui komitmen kontinuan. Berdasarkan hasil uji hipotesis di atas hanya komitmen afektif dan kontinuan yang berpengaruh signifikan dengan sikap terhadap perubahan. Karena komitmen kontinuan memiliki hubungan yang negatif dengan sikap karyawan terhadap perubahan organisasi maka diharapkan karyawan memiliki komitmen afektif. Untuk meningkatkan komitmen afektif maka perusahaan perlu meningkatkan dimensi kepuasan kerja karyawan yang berhubungan dengan komitmen afektif terutama kepuasan terhadap rekan kerja, juga dimensi kepuasan terhadap gaji yang berpengaruh secara langsung dan positif dengan sikap terhadap perubahan. Berdasarkan hasil uji hipotesis hanya komitmen afektif dan kontinuan yang berpengaruh signifikan dengan sikap terhadap perubahan. Karena komitmen kontinuan memiliki hubungan yang negatif dengan sikap karyawan terhadap perubahan organisasi, maka diharapkan karyawan memiliki komitmen afektif. Untuk meningkatkan komitmen afektif, perusahaan perlu meningkatkan dimensi kepuasan kerja karyawan yang berhubungan dengan komitmen afektif terutama kepuasan terhadap rekan kerja, juga dimensi kepuasan terhadap gaji yang juga berpengaruh secara langsung dan positif atas sikap terhadap perubahan. Misalnya dengan membuat sistem kompensasi yang adil dan sesuai dengan beban kerja. Adanya temuan bahwa kepuasan terhadap rekan kerja yang paling banyak memiliki pengaruh yang signifikan dengan berbagai dimensi sikap terhadap perubahan baik secara langsung maupun tidak langsung menunjukkan bahwa perusahaan harus dapat terus menciptakan lingkungan kerja yang mendukung tumbuhnya hubungan kerja sama dan ikatan yang baik di antara para karyawannya.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Anindita
Abstrak :
Perusahaan yang bergerak di industri jasa sangat bertumpu pada faktor sumber daya manusia sebagai kekuatan dalam menjalankan usahanya, begitupula dengan perbankan yang dalam usahanya berfokus untuk memberikan pelayanan terbaik bagi nasabah sehingga sumber daya manusia tersebut perlu dikelola sedemikian rupa agar dapat memberikan kontribusi terbaiknya dan berperilaku sesuai dengan harapan perusahaan. Kepuasan kerja merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam meminimalisasi perilaku-perilaku negatif yang mungkin timbul dari pegawai, di antaranya berupa perilaku yang menyimpang dan keinginan untuk berhenti dari perusahaan. Salah satu faktor penentu dari kepuasan kerja seorang pegawai adalah yang berkaitan dengan situasi kerja sehingga stres kerja yang dihadapi pegawai menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan oleh manajemen. Stres kerja dapat diidentifikasi melalui ketidakjelasan peran (role ambiguity), konflik peran (role conflict) dan beban berlebih (role overload). Dengan dikelolanya stres kerja serendah mungkin, diharapkan kepuasan kerja pegawai menjadi tinggi dan pada akhirnya kecenderungan berperilaku negatifnya rendah. Penelitian ini dilakukan pada bagian kredit PT Bank X dengan mengambil sampel sebanyak 250 orang, yang menggunakan tiga jenis kuesioner yaitu role ambiguity dan role conflict oleh Rizzo, House and Lirtzman (1970) sedangkan untuk rnengukur role overload dibuat oleh Baehr, Walsh and Taber (1976). Kuesioner Job Satisfaction oleh Edwin A. Locke yang mengukur 7 dimensi kepuasan kerja serta perilaku menyimpang oleh Michael Zottoli (2003) dan kecenderungan untuk berhenti oleh Rusbult, Farrell, Rogers and Mainous (1988). Nanun hanya sebanyak 154 yang kembali dan dapat diolah lebih lanjut menggunakan Structural Equation Modeling (SEM). Dan 5 (lima) hipotesis yang diajukan, terdapat 3 hubungan yang signifikan yaitu role ambiguity berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja secara keseluruhan, kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap kecenderungan perilaku menyimpang dan keinginan untuk berhenti pegawai pada tingkat kepercayaan yang berbeda. Analisis tambahan mengenai dimensi kepuasan kerja dilakukan hanya untuk memperdalam pembahasan mengenai kepuasan kerja yang dirasakan oleh pegawai. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis menyarankan peran aktif dan atasan/supervisor baik untuk mengelola ketidakjelasan peran yang dihadapi pegawai menjadi sesuatu yang menantang bagi pegawai tersebut. Helpdesk yang sudah ada perlu disosialisasikan dan diaktifkan kembali untuk mengatasi ketidakjelasan khususnya yang terkait dengan kebijakan manajemen. Berkaitan dengan kepuasan kerja, manajemen perlu mendorong terciptanya kondisi kerja dan hubungan antar rekan kerja yang lebih kondusif serta perlu dirancang suatu pola sistem balas jasa yang terintegrasi dengan fungsi-fungsi sumber daya manusia lainnya dengan lebih transparan dan obyektif.
Serviced based company depends on its human resources as the strength to run its business, so does banking industry which focused on delivering the best service for its customers, therefore those human resources need to be managed professionally to enhance their best contributions and maintain their positive behavior toward the company. Job satisfaction is a significant factor which has great effects in minimizing negative behaviors that may occur from the employee, among those are deviant work behavior and intention to quit. One of the work related factor which determines employee's job satisfaction is work stress, therefore it needs extra attention from management. Work stress can be identified through role ambiguity, role conflict and role overload. By keeping work stress level low, employee's job satisfaction hopefully will increase and negative behavior will decrease eventually. This research is conducted in Credit Division of PT Bank X by taking 250 employees as sample, using role ambiguity and role conflict questionnaire by Rizzo, House and Lirtzman (1970), role overload questionnaire by Beehr, Walsh and Taber (1976). Job satisfaction questionnaire by Edwin Locke which measures 7 dimensions of job satisfaction, deviant work behavior questionnaire by Michael Zottoli (2003) and intention to quit questionnaire by Rusbult, Farrell, Rogers and Mainous (1988). However, only 154 out of 250 employees return the questionnaire and therefore only 154 will be processed using Structural Equation Modeling (SEM). Only three of five hypothesis presented have significant relationship, that is role ambiguity positively related to employee's overall job satisfaction, job satisfaction negatively related to employee's deviant work behavior and intention to quit under different level of confidence. Additional analysis on job satisfaction dimensions are given to deepen the analysis of overall job satisfaction itself. Based on the result, the writer suggests active participation from supervisor in managing employee's role ambiguity into challenging job and monitoring employee's workload periodically. This suggestion also requires full support from the management through programs which provide support for the shaf such as comprehensive orientation. Suggestion related to the job satisfaction are management needs to encourage condusive working condition and relationship between colleagues. Compensation plan also needs to integrate with other human resources functions to achieve maximum satisfaction.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18355
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Septiani
Abstrak :
Secara umum motivasi dapat diartikan sebagai konsep perealisasian diri seseorang atau self concept realization. Konsep universal yang juga berlaku pada kehidupan berorganisasi ini ini mencerminkan dorongan seseorang untuk melakukan sesuatu jika orang tersebut hidup dalam suatu cara yang sesuai dengan peran yang dia sukai, dan jika orang tersebut diperlakukan sesuai dengan tingkatan yang lebih dia sukai, serta jika orang tersebut diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan cara yang mencerminkan penghargaan seseorang atas kemampuannya. Setiap organisasi bisnis harus mampu menyusun kerangka yang tepat bagaimana sebaiiknya motivasi itu diberlakukan pada setiap individu yang terlibat di dalamnya. Motivasi menjadi tugas kepemimpinan dimana jajaran pemimpin mengkonseptualisasi dan sekaligus mengimplementasi motivasi untuk seluruh jajaran karyawan, pegawai, dan terhadap SDM yang bertugas. Timbulnya motivasi dari dalam diri karyawan itu sendiri disebabkan oleh banyak hal, dan diantaranya adalah hubungan atasan-bawahan dan iklim komunikasi yang terjadi di perusahaan tersebut. Hubungan atasan-bawahan atau iklim komunikasi yang buruk kerap mempengaruhi persepsi atasan terhadap bawahan, akibatnya hubungan yang tercipta cenderung vertikal dan bawahan hanyalah dipandang sebagai orang suruhan. Dampak jangka panjang yang terjadi adalah produktivitas menurun karena kurang puas terhadap suasana yang ada, karyawan pun jadi malas bekerja karena tak memiliki motivasi lagi, dan pada akhirnya karyawan tersebut keluar atau dikeluarkan dari perusahaan. Jika hubungan supervisor atau leader dengan pars bawahannya tidak tegalin dengan balk dan is tidak dapat menciptakan iklim komunikasi yang baik maka tak menutup kemungkinan ketidakpuasan bawahan yang berhubungan erat dengan motivasi kerja dan akan berdampak pada penurunan produktivitas dan pencapaian tujuan perusahaan. Di sini pula kita dapat melihat apakah meletakkan iklim komunikasi sebagai moderator adalah hal yang tepat guna mendukung terciptanya motivasi intrinsik karyawan. Penelitian ini dilakukan di PT. Unilever Indonesia, Tbk yang berada di Cikarang. Dalam penelitian ini digunakan data primer yang berupa pertanyaan-pertanyaan kuesioner untuk menguji pemodelan yang ada pada PT. Unilever Indonesia. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder untuk mendukung rasionalisasi dari uji pemodelan yang ada dan juga untuk mendukung validitas dan reliabilitas dari kuesioner yang digunakan. Pengambilan sample dilakukan dengan membagikan kuesioner ke beberapa departemen kerja di PT. Unilever-Cikarang. Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan teknik linear regression untuk menentukan hubungan antara variabel bebas (independent variable) dengan variabel terikat (dependent variable). Pengujian model ini pertama-tama dilakukan dengan meregresi motivasi intrinsik (INT) dengan hubungan atasanbawahan (LMX). Hasilnya adalah hubungan atasan-bawahan (LMX) berpengaruh positif terhadap motivasi intrinsik (INT). Artinya, jika hubungan atasan-bawahan (LMX) meningkat, maka motivasi intrinsik (INT karyawan akan meningkat. Penambahan variabel iklim komunikasi (CC) pada langkah dua menunjukkan pengaruh yang positif terhadap motivasi intrinsik, tetapi variabel LMX menjadi tidak signifikan. Hasil regresi dari langkah kedua memperlihatkan bahwa variabel iklim komunikasi (CC) sangat dominan berpengaruh terhadap motivasi intrinsik dari pada variabel hubungan atasan-bawahan (LMX). Regresi ketiga yaitu dengan melctakkan iklim komunikasi (CC) sebagai moderator ternyata mempengaruhi interaksi antara hubungan atasan-bawahan (LMX) dan motivasi intrinsik (INT) karyawan. Hasil regresi menunjukkan bahwa semakin balk iklim komunikasi (CC), maka semakin lemah interaksi positif antara hubungan atasan-bawahan (LMX) dan motivasi intrinsik (INT). Hal ini terjadi karena responden yang dianalisa dalam penelitian ini adalah level supervisor ke bawah, yang mana variasi pekerjaan yang dilakukan bawahan yang dimaksud disini tidak terlalu beragam, jadi intensitas komunikasi yang dilakukan tidak perlu terlalu besar/banyak.
In general motivation can be defined as a self concept realization. This universal concept that also applies in organization reflects one's drive to do something, if a person live in a way that is suitable with the role he/she like, and if a person is treated in a proper level which he/she prefers, and also if a person is treated in a way that respect him/her ability. Every business organization must be able to construct the appropriate framework on how motivation is best be implemented to every individual involved. Motivation becomes the leadership task where the groups of leaders conceptualize and implement it through groups of subordinates and employees. The bloom of motivation from inside of the employee itself is caused by many things, and among them is leader member exchange and communication climate that happen in a particular company. Bad leader member exchange and communication climate often influence perception of superior to subordinate. That will cause the vertical relation and subordinate is considered as a person that always do what he/she's told to do. The long impact is the decreasing productivity because of lack of work satisfaction that trigger no motivation from the employee. In the end the employee will resign or get terminated. If the relationship between supervisor or leader with the subordinates is not good and he/she cannot create good communication climate, there is a possibility that the dissatisfaction of subordinate which tightly connected with work motivation. It will have effect on the decreasing productivity and the failure to achieve company goal. We will also see that putting communication climate as a moderator is a right thing to support the creation of employees' intrinsic motivation. This research takes place in PT. Unilever Indonesia, Tbk, in Cikarang. In this research, primary data from questionaire is used to test the model in PT. Unilever Indonesia. This research also use secondary data to suport the rationale of model testing and to support the validity and reliability of the questionaire used. The sample is taken from several departments in PT. Unilever Indonesia Tbk. - Cikarang. In this research the data is processed with linear regression techniques to determine the relation between independent variable with dependent variable. The first test of the model is to regress intrinsic motivation with leader-member exchange. The result is leader-member exchange have positive influence toward intrinsic motivation. Than means, if leader-member exchange increase then the intrinsic motivation will also increase. The additional of communication climate variable on the second step point out a positive influence towards intrinsic motivation, but leader member exchange variable becomes insignificant. The regression result from the second step shows that communication climate variable has a dominant influence towards intrinsic motivation compared to leader member exchange variable. The third regression where communication climate is put as a moderator shows the influence to interaction of leader member exchange and employee intrinsic motivation. The regression shows that the better communication climate is, the weaker positive interaction between leader member exchange and intrinsic motivation. It happens due to the respondents in this research come from supervisor and below level, whereas the works done by the subordinate are not too various, so the communication intensity that needs to be done is not too heavy/ too much.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18453
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Adrian
Abstrak :
PT. Indosat awalnya bergerak sebagai penyelenggara telekomunikasi internasional (SLI) dengan hak eskslusif (monopoli). Sejalan dengan proses deregulasi sektor industri telekomunikasi, menyebabkan PT. Indosat haruslah membuat diversifikasi sumber-sumber pendapatannya. Diversifikasi dilakukan dengan mendirikan anak perusahaan baru yaitu PT. lndosat Multi Media Mobile (IM3), kemudian dengan mengakusisi PT. Satelindo yang notabene (pada saat itu) adalah juga kompetitor dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi internasional.

Sejalan dengan bergabungnya PT. IM3 dan PT. Satelindo ke dalam Indosat Group terlihat bahwa banyak aspek di dalam perusahaan-perusahaan tersebut yang dapat disinergikan, sehingga pihak manajemen PT. Indosat memutuskan untuk melakukan langkah strategis yaitu dengan melakukan merger vertikal antara PT. Indosat, PT. Satelindo,dan PT. Indosat Multimedia Mobile (IM3).

Proses merger Indosat - Satelindo - IM3 bukanlah proses yang mudah mengingat perbedaan latar belakang masing masing perusahaan yang membentuk perbedaan dalam culture perusahaan dan tentunya value dalam individu-individu di perusahan tersebut.

Proses merger ini akan menimbulkan banyak ketidakpastian dan perubahan yang dapat berdampak terhadap perubahan kepuasan kerja karyawan, oleh karena itu proses pengkomunikasi merger merupakan bagian yang vital dari proses merger itu sendiri. Penulis merasa perlu untuk menganalisis mengenai pengaruh pengkomunikasian merger yang telah dilakukan perusahaan terhadap kepuasan kerja karyawan (Studi kasus merger vertikal Indosat - Satelindo - IM3).

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui survey yang dilakukan kepada lebih 100 responden,data sekunder diperoleh melalui studi literatur (telaah kepustakaan), dan data-data yang didapatkan dari PT. Indosat.

Metode pengumpulan data adalah adalah survey sikap (attitude survey) untuk mengukur masing-masing aspek SDM dengan menggunakan pertanyaan pertanyaan yang relevan. Analisis yang dilakukan penulis yaitu dengan menggunakan perangkat lunak SPSS. Hasil analisis terutama untuk mencari pengaruh merger terhadap perubahan kepuasan kerja sebelum dan sesudah merger, mempelajari apakah faktor latar belakang karyawan mempengaruhi kepuasan kerja, mempelajari efektifitas komunikasi merger yang telah dilakukan perusahaan, dan apakah faktor komunikasi merger mempengaruhi kepuasan kerja karyawan sesudah merger.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13555
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Yumanta
Abstrak :
Perubahan yang dilakukan oleh suatu organisasi dapat berdampak pada kondisi lingkungan kerja anggota organisasi. Dampak ini dapat berasal dan perubahan struktur organisasi atau perubahan pengelolaan tugas dan kewajiban anggota organisasi. Dampak tersebut akan meningkatkan tekanan-tekanan situasi kerja, seperti role ambiguity, role overload dan role conflict. Dan tekanan situasi kerja yang berlebihan diikuti kebimbangan atas perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi komitmen mereka terhadap organisasi (Meyer, John P, Allen, Natalie J, Topolnytsky, Laryssa, 1998). Karya akhir ini bertujuan mengkaji perubahan komitmen pekerja yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan situasi kerja akibat perubahan yang dibuat oleh perusahaan dan menganalisis apakah motivasi internal dan kepuasan komunikasi memiliki efek moderator untuk mengurangi pengaruh tekanan situasi kerja yang dapat mengurangi komitmen pekerja. Manajemen suatu perusahaan perlu menjaga komitmen pekerjanya untuk menjamin perubahan yang dibuatnya dapat berjalan mulus, karena pekerja yang memiliki komitmen tinggi terhadap perusahaan akan selalu memberikan kerja sama yang terbaik untuk membantu perusahaan mencapai target-target bisnisnya (Stum, 2205). Penelitian yang dilakukan oleh Iverson & Buttigieg (1998) mendapatkan bahwa pekerja yang memiliki komitmen terhadap perusahaan lebih dapat diandalkan dalarn menghadapi perubahan-perubahan yang dialami oleh perusahaan dan proses perubahan yang sedang berlangsung sangat bergantung pada besamya komitmen pekerja terhadap perusahaan (Dessler, 1993). Penelitian mengambil tempat di PT, Garuda Maintenance Facility Aero Asia (PT. GMF AA) sebagai sampel penelitian perusahaan yang sedang mengalami proses perubahan dari sebuah Strategic Business Unit (SBU) PT. Garuda Indonesia menjadi sebuah perusahaan yang berdiri sendiri. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pengaruh tekanan situasi kerja dapat mempengaruhi tingkat komitmen pekerja, role ambiguity dan role conflict dapat menurunkan komitmen pekerja tipe continuance commitment dan normative commitment. Dan untuk affective commitment hanya dapat dipengaruhi oleh role ambiguity. Efek moderator motivasi internal hanya dapat mempengaruhi pekerja dengan tipe komitmen continuance commitment. Hasil lain yang didapat dari perhitungan ini adalah motivasi internal merupakan predictor untuk menentukan besarnya komitmen pekerja. Pengujian efek moderator dimensi komunikasi mendapatkan basil bahwa efek moderator tidak terjadi pada semua interaksi dimensi komunikasi dengan tekanan situasi kerja untuk mempengaruhi perubahan komitmen pekerja tipe affective commitment. Untuk tipe continuance commitment, dimensi komunikasi seperti: organizational integration, horizontal communication, organizational perspective, communication climate dan supervisor communication memiliki hasil signifikan dalam pengujian tersebut sebagai moderator dan juga sebagai predictor. Dan untuk tipe normative commitment, diketahui hanya satu dimensi komunikasi yaitu personal feedback yang memiliki efek moderator dalam hubungan tersebut. Tetapi semua dimensi kepuasan komunikasi memiliki nilai signifikan yang eukup sebagai predictor untuk mempengaruhi besamya komitmen. Hasil penelitian ini juga dapat memberikan gambaran mengenai faktor-faktor tekanan situasi kerja apa saja yang dapat mempengaruhi komitmen pekerja, dan seberapa besar efek moderator dari motivasi internal dan dimensi-dimensi kepuasan komunikasi dalam interaksinya dengan tekanan situasi kerja, dapat mengurangi tekanan situasi kerja yang dialami oleh pekerja. Hasil-hasil kajian yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme komunikasi yang ada di dalam perushaan masih kurang balk dengan basil mean di bawah nilai rata-rata untuk beberapa dimensi kepuasan komunikasi dan perlu dibuat Iangkah perbaikan untuk menunjang setiap program perubahan yang dibuat oleh manajemen. Dukungan pekerja terhadap perubahan-perubahan yang ada dapat datang dari pekerja dengan tipe affective commitment yang merupakan persentasi terbesar (68.46%) dari jumlah responden dan perlu dibuat langkah-langkah kompensasi untuk tipe continuance commitment dan normative commitment agar perubahan-perubahan yang dibuat dapat memperoleh dukungan dari mereka sesuai dengan karakteristik tipe-tipe tersebut.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T18196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Wulandari
Abstrak :
Tingginya persaingan di dunia pendidikan ditandai dengan tingginya kompetisi para lulusan perguruan tinggi di pasar kerja dan tuntutan bagi para lulusan untuk mampu mengaplikasikan ilmunya kepada masyarakat, hal ini merupakan tantangan bagi perguruan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan siap bekerja. Bagaimanapun juga, kualitas suatu perguruan tinggi tidak lepas dari kualitas staf perguruan tinggi tersebut terutama kualitas dosen sebagai motor dari proses pengajaran dan pendidikan. Yang menjadi ukuran kualitas dosen dalam penelitian ini adalah suasana akademik yang tercermin dalam sikap dosen terhadap pekerjaannya yaitu dengan mengukur kepuasan kerja dosen serta pengukuran tingkat produktivitas dosen yang diukur dengan intensi mereka untuk mengajar yaitu dengan menghitung kesediaan jumlah pengajaran di kelas dan jumlah bimbingan mahasiswa. Dengan asumsi semakin tinggi tingkat kepuasan kerja dosen, maka semakin tinggi pula tingkat kehadiran dosen dalam memberikan pengajaran dan bimbingan kepada mahasiswa. Pengambilan sampel dilakukan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia secara purposive sampling yang sesuai dengan kriteria sampel penelitian ini. Dari 90 orang yang masuk dalam kriteria sampel, hanya 81 orang yang datanya bisa diolah. Subyek penelitian ini adalah mengetahui seberapa jauh pengaruh kepuasan kerja, yang terdiri dari variabel pekerjaan, gaji, supervisi, promosi, lingkungan kerja dan manajemen organisasi. Ketujuh variabel kepuasan kerja tersebut dihipotesiskan sebagai variabel yang memiliki pengaruh yang positif terhadap intensi untuk mengajar. Pengukuran variabel independen kepuasan kerja dilakukan menggunakan skala sikap Likert sedangkan variabel dependen yaitu intensi untuk mengajar dilakukan dengan mengukur jumlah kesediaan dosen untuk mengajar dan membimbing mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepuasan kerja dosen di FKMUI secara umum adalah relatif merasa tidak puas. Namun untuk variabel kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri adalah kurang reliabel sehingga harus dikeluarkan dari analisis. Model hubungan kepuasan kerja terhadap intensi untuk mengajar magi dosen di FKMUI tidak memiliki pengaruh secara signifikan karena kepuasan kerja hanya mampu menjelaskan kurang dari 5% intensi untuk mengajar. Hanya variabel kepuasan terhadap supervisi yang memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap intensi untuk mengajar, sedangkan kepuasan terhadap rekan kerja memiliki pengaruh yang ncgatil-secara signifikan terhadap intensi untuk mengajar. Atas dasar hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan intensi mengajar dosen di FKMUI, tidak perlu mengkaitkan hal tersebut dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja adalah penting dalam institusi pendidikan, tapi bukan untuk meningkatkan intensi mengajar. Fakultas harus lebih meningkatkan peran dari Kepala Departemen dalam melakukan Cungsi kontrol dalam hat pengajaran. Perlu juga dilakukan pengukuran kincrja individu oleh atasan dan rekan kerja selain penilaian dari rnahasiswa serla pengukuran output kualitas pengajaran yaitu tingkat kepuasan mahasiswa terhadap pengajaran. Untuk penelitian selanjutnya perlu dikaji lebih jauh lagi variabel-variabel apa saja yang dapat mempengaruhi intensi untuk mengajar atau pihak manajemen sendiri perlu mengkaji ulang ukuran-ukuran apa yang tepat dalam mcningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran, intensi mengajar tidak melulu hanya diukur dengan jumlah tapi lebih ke arah pengembangan diri dosen yang bersangkutan.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T18202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heppy Maya Hapsari
Abstrak :
Kepuasan kerja merupakan hal yang panting untuk diperhatikan, karena dengan kepuasan kerja yang tinggi, karyawan dapat memberikan kontribusi optimal bagi perusahaan. Banyak faktor yang digunakan-dalam penelitian sebagai penentu kepuasan kerja, salah satunya adalah empowerment. Daiam konsep empowerment, karyawan diberikan kesempatan dan keleluasaan untuk memberdayakan dirinya sendiri sehingga ia dapat ikut terlibat dalam proses pencapaian keberhasilan perusahaan. Karyawan yang dapat memberdayakan dirinya sendiri dan merasa memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dalam pekerjaannya akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi, atau dengan kata lain, karyawan yang ter-empower akan lebih memiliki kepuasan kerja. Kepuasan kerja yang dimaksud Baru akan muncul jika karyawan benar-benar memiliki kesiapan untuk memberdayakan dirinya sendiri dan memiliki kondisi psikologis yang mendukung, Kondisi psikologis yang mampu membuat karyawan termotivasi untuk memberdayakan dirinya ini dikenal dengan istilah psychological empowerment, dimana kejelasan peranan karyawan dalam perusahaan (role clarity) merupakan salah satu hal yang diduga dapat membuat karyawan memiliki psychological empowerment. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh tiap dimensi psychological empowerment, yang terdiri dari meaning, competence, self determination dan impact terhadap kepuasan kerja karyawan secara umum. Penelitian ini pun menguji pengaruh tiap dimensi role clarity, yang terdiri dari goal clarity dan prdcess clarity, terhadap tiap dimensi psychological empowerment. Sebagian besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di Divisi Teknologi Informasi. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpuIan bahwa dari seluruh dimensi psychological empowerment, hanya dimensi meaning yang memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja, sedangkan dari dimensi role clarity, hanya goal clarity-lah yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja, baik secara langsung maupun melalui meaning. Hal ini menunjukkan bahwa kejelasan sasaran dan rasa keberhasilan dalam pekerjaan dapat rnemberikan kepuasan kerja bagi karyawan. Process clarity tidal: memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan, namun process clarity memiliki pengaruh posiljf terhadap dimensi competence dan impact, yang menunjukkan bahwa kejelasan proses dalam pekerjaan dapat meningkatkan feeling of competence dan feeling of impact yang dimiliki karyawan. Untuk penelitian mendatang, pembahasan mengenai competence dan impact ini dapat dikaitkan dengan employee performance, dimana selanjulnya performance ini dapat dikaitkan dengan customer atau end-user-satisfaction.
One of job satisfaction determinant that has been used in many researches is empowerment. The concept of empowerment is about giving opportunities to employees so that they can be involved in the process of company's success attainment. Employees who can use the opportunities to develop themselves in their work will own high job satisfaction, or equally, empowered employees will have high job satisfaction. This satisfaction will emerge if employees can really use the given opportunities to empower themselves optimally and own the supporting psychological condition to be intrinsically empowered. This psychological condition known as psychological empowerment, and to have this psychological condition, employees shall get clear information about their role in the company. This research examines the relationships between job satisfaction and four dimensions of psychological empowerment (meaning, competence, self determination and impact). This research also examines the relationships between two dimensions of role clarity (goal clarity and process clarity) and all dimensions of psychological empowerment. Tested on a sample of information Technology employees, the result shows that only goal clarity and meaning dimension are positively related to job satisfaction, which means clear goals and high meaningfulness of job will give more satisfaction to employees. Process clarity does not affect job satisfaction, but it has positive relationship to competence and impact dimension, which indicates that clear job processes improves employee's feeling of competence and employee's feeling of impact. For further research, this competence and impact can be related to employee performance, and the improved performance of IT employees can be related to customer or end user satisfaction.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.A.A. Diana Aryani Djlantik
Abstrak :
Karya akhir ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelanggaran kontrak psikologis oleh organisasi terhadap penyimpangan dan perilaku negatif karyawan. Selain itu, juga untuk melihat seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran kontrak psikologis. Kontrak psikologis merupakan kontrak informal tidak tertulis yang terdiri dari ekspektasi karyawan dan atasannya mengenai hubungan kerja yang bersifat timbal balik. Pelanggaran oleh organisasi dapat menyebabkan tindakan negatif dari karyawan yang dapat merugikan organisasi. Untuk hal tersebut dilakukan pengujian hubungan pelanggaran kontrak psikologis sebagai variabel independen dengan penyimpangan perilaku karyawan di tempat kerja (workplace deviant behaviour) dan perilaku negatif karyawan yaitu intention to quit serta neglect of job sebagai variabel dependen. Penelitian tentang keterkaitan pelanggaran kontrak psikologis dengan workplace deviant behaviour telah dilakukan oleh Zottoli pada tahun 2003. Sedangkan keterkaitan pelanggaran kontrak psikologis dengan intention to quit dan neglect of job telah dilakukan oleh Rousseau dan Robinson pada tahun 1996, Weiss dan Rusbult pada tahun 1988. Penelitian-peneitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara pelanggaran kontrak psikologis dengan workplace deviani behaviour, intention to quit dan neglect of job. Penelitian karya akhir ini bersifat cross-sectional dengan mengambil metode sampling non-probability sampling dan tehnik convenience sampling di divisi kredit sebuah bank nasional. Pengumpulan data menggunakan penyebaran kuesioner. Analisa data menggunakan statistik deskriptif untuk melihat pola gambaran data dan metode General Linier Modeling-Multivariat untuk menguji hubungan yang dijadikan hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pelanggaran kontrak psikologis dengan workplace deviant behaviour dan intention to quit. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh faktor-faktor non-organisasi seperti faktor-faktor psikologis (seperti kepribadian seseorang), sosiologis (seperti hubungan pertemanan, hubungan den gan atasan).Hal ini menandakan adanya penyimpangan dan perilaku negatif karyawan dapat tetap terjadi meskipun organisasi telah memenuhi hak-hak karyawannya secara optimal sebagai bentuk timbal balik atas kontribusi karyawan. Hubungan yang signifikan terdapat pada hubungan pelanggaran kontrak psikologis dengan neglect of job. Tingginya perilaku neglect of job menandakan tindakan balasan yang hanya terkait dengan aspek pekerjaan dan yang relatif mudah untuk dilakukan. Hal ini disebabkan perilaku tersebut tidak terlalu ekstrem dibandingkan dengan perilaku negatif lainnya yang dapat diamati langsung oleh lingkungan kerjanya. Hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi. Untuk organisasi, dapat dipertimbangkan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya persepsi karyawan tentang terjadinya pelanggaran kontrak psikologis. Terutama tentang hak-hak yang tidak dipenuhi secara optimal oleh organisasi sehingga timbal persepsi terjadi pelanggaran kontrak psikologis. Pengetahuan akan hal ini diharapkan dapat membantu organisasi dalam mencegah dan menghindari dampak negatif yang berkepanjangan. Untuk para akademisi, basil ini dapat rnenjadi penjelas teoritis mengenai kerangka hubungan ketenaga-kerjaan yang tidak hanya berlaku secara formal raja. Untuk penulis, basil temuan berguna untuk memahami peran konsep kontrak psikologis dalam dunia kerja dan peningkatan kontribusi kinerja.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T18339
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>