Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yosy Faradila
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa angkutan kereta api barang. Skripsi ini mengangkat tiga permasalahan yaitu kebijakan PPN atas penyerahan jasa angkut kereta api barang yang berlaku di Indonesia, implikasi dari diterbitkannya PMK No. 80 Tahun 2012, dan alternatif kebijakan PPN dalam rangka mendorong perkembangan industri perkeretaapian Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, berdasarkan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan dalam teknik pengumpulan data melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari tahun 1983 kebijakan PPN atas penyerahan jasa angkut kereta api barang mengalami perubahan-perubahan. Masalah muncul ketika tahun 2006, di mana terjadi ketidaksetaraan perlakuan PPN antara jasa angkut kereta api dengan jasa angkut menggunakan angkutan di jalan. Untuk menyempurnakan kebijakan jasa angkutan umum akhirnya pemerintah mengeluarkan PMK No. 80 Tahun 2012. Dengan dikeluarkannya PMK No. 80 Tahun 2012 diharapkan dapat mengingkatkan daya saing transportasi nasional dan menurunkan biaya logistik.
This thesis discusses the policy of the Value Added Tax (VAT) on transport services of freight trains. This thesis is raising three issues namely VAT policy on the delivery of transport services of freight trains which applies in Indonesia, the implications of Peraturan Menteri Keuangan No. 80 of 2012 and the policy alternatives in order to encourage the development of the rail industry of Indonesia. Methods his study used a qualitative approach, with descriptive object and the techniques of data collection through field studies and literature studies. The results showed that from 1983 the VAT policy on the transfer of freight freight trains experienced changes. The problem arises when the year 2006, where there is inequality between the VAT treatments of freight by rail freight transport on road use. To improve public transport services policies the government has issued a Peraturan Menteri Keuangan No. 80 of 2012. With the release of Peraturan Menteri Keuangan No. 80 of 2012is expected to enhances competitiveness of national transport and reduce logistics costs.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Rustadi
Abstrak :
Maraknya penyalahgunaan faktur pajak saat ini merupakan indikasi lemahnya administrasi perpajakan di Indonesia. Penyalahgunaan faktur pajak (Faktur Pajak Fiktif) hanya dapat dideteksi setelah kerugian terjadi, hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika administratur perpajakan dapat mendeteksinya sejak awal. Peningkatan pengawasan sejak awal atau sebelum kerusakan terjadi menurut Goran Normann dapat dilakukan sejak Wajib Pajak melakukan pendaftaran (registration). Di Indonesia hal ini telah dilakukan dengan cara verifikasi lapangan dalam prosedur pemberian atau registrasi Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP), tetapi dilakukan dan diadministrasikan secara lokal oleh masing-masing kantor pelayanan pajak. Secara nasional tidak ada kontrol lebih lanjut, padahal dalam beberapa kasus kelompok pengusaha nakal hanya dapat diketahui di tingkat nasional bukan lokal. Penentuan tingkat resiko terhadap Wajib Pajak nakal dapat dilakukan sejak awal (pro-active activity) yaitu mulai dari saat Wajib Pajak melakukan pendaftaran dengan menentukan kriteria-kriteria tertentu yang sangat sederhana. Saat ini seluruh SPT Masa PPN yang menunjukan lebih bayar dan memohon restitusi diperiksa lebih dahulu sebelum dilakukan assessment. Pemeriksaan terhadap seluruh SPT tersebut merupakan pemborosan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, karena belum tentu SPT yang menyatakan lebih bayar dan memohon restitusi merupakan SPT yang beresiko tinggi (high risk) terhadap fraud. Terlebih lagi, kebijakan tersebut telah menimbulkan beban berat baik bagi fiskus dalam menghadapi besarnya beban pemeriksaan maupun bagi PKP dengan terhambatnya cash inflow dana restitusi sebagai salah satu modal kerja. Hal lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah terbukti bahwa kebijakan tersebut tidak secara efektif dapat mengurangi tingkat penyelundupan pajak yang tetap marak terjadi. Untuk mengurangi beban pemeriksaan dan terhambatnya cash inflow, maka khusus terhadap WP dengan kriteria tertentu (WP Patuh), atas SPT Masa PPN lebih bayar restitusi yang disampaikannya, Direktur Jenderal Pajak sesuai pasal 17C Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat melakukan pembayaran pendahuluan atas kelebihan pembayaran pajak tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap Wajib Pajak dengan kriteria tertentu. Dalam prakteknya jumlah WP patuh yang ada masih sangat terbatas sehingga hanya sedikit beban pemeriksaan yang dapat dikurangi dibandingkan dengan jumlah beban pemeriksaan yang ada. Kendalanya terletak pada kesulitan memenuhi syarat kriteria WP Patuh khususnya bagi WP yang laporan keuangannya tidak diaudit serta adanya sanksi administrasi 100 % dibalik fasilitas ini bila ternyata restitusi timbul tidak sesuai dengan aturan. Metode penelitian yang digunakan dalam thesis ini adalah metode deskriptif analisis, dengan menganalisis kondisi saat ini di DJP dan membandingkannya dengan model lain yang telah berjalan. Dilanjutkan dengan melakukan studi kepustakaan, mempelajari peraturan perpajakan dan laporan. Dari hasil analisis penelitian, prosedural pengukuhan PKP belum berjalan sesuai dengan prosedural pengukuhan PKP di negara benchmark. Hal ini berakibat pada tidak terdeteksinya peluang-peluang terjadinya penyelundupan PPN. Sesungguhnya sejak awal pengukuhan PKP DJP sudah harus dapat menganalisis tingkat kemampuan calon PKP'dalam menjalankan kewajiban sebagai PKP sehingga kemungkinan pelanggaran PPN dapat lebih diawasi. Dari hasil penelitian juga diperoleh kesimpulan bahwa proses pemilihan SPT PPN untuk diperiksa berjalan tidak terarah. Hal ini justru mengakibatkan pengawasan penerimaan Negara menjadi tidak terkoordinir dengan baik. Semestinya tidak semua SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar diperiksa terlebih dahulu. Dengan penentuan resiko (risk assessment) yang tepat, pemeriksaan terhadap seluruh SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar dapat dihindari. Dengan begitu sumber daya yang ada dapat dihemat dan dapat dialihkan untuk konsentrasi ke fungsi pengawasan yang lain. Sebagai basil analisis perbandingan prosedur pemilihan SPT PPN yang akan diperiksa antara DJP dengan negara yang dijadikan Benchmark (Kanada) penulis menyusnn model pemilihan SPT PPN yang akan diperiksa dengan memperhatikan arah modernisasi administrasi pelayanan pajak yang sedang dijalankan oleh DJP. Model yang penulis uraikan ini diharapkan dapat menjadi masukan guna perbaikan yang lebih baik.
Recent misuse of tax invoice in the country indicate the weaknesses of tax administration it self. The misuse of tax invoice (fake tax invoice) can only be detected when amount of loss has happened, it actually could be avoided if the tax officers can detected from the beginning of the registration. Tax evaluation can be done since the beginning of registration way before the damage is done, referring to Goran Normann tax evaluation can be done as early as the tax payers registering them self for tax payers numbers. We have adopted it in Indonesia, by doing on field verification for the procedure of giving or registering tax payer number for VAT (NPPKP), it is being done and administrated locally by each tax office. Nationally there is no further controlled for these matters, in addition to that for some cases groups of bad businessman can only be detected nationally not locally. Determining the risk level for the bad tax payers can be done from the beginning (pro-active activity) and that is being done since the tax payers registered them self by putting them into certain simple criteria. Nowadays all the tax returns for VAT that figures excess in their payment for VAT and applying for tax refund has to undergo the audit before the refund can be paid. The audit that is being done for all the tax return is a waste of human resource and other resources as well, because not all the tax returns that figures excess in payment for VAT tax and applying for tax refund contain high risk to fraud. More over, this procedure has become burden for both tax officers and tax payers, officers has to deal with so many audits and tax payers will face cash inflow problem as tax refund is one of working capital for their company. Other things that should be put in to consideration are that audit does not effectively reduce the number of tax evasion which widely practices in the business. In reducing the burden of audit for officers and cash inflow problem for tax payers, the obliged tax payers (WP Patuh) on certain criteria that claims excess for their tax returns for VAT and applied tax refund, Director General of Taxes referring to phase 17C UU KUP, can initialised payment on the excess reported in the tax returns without undergoing audit for the obliged tax payers on certain criteria. In fact the number of obliged tax payers is very limited compared to all tax payers registered, due to this factor the amount of audit work load is not lessen in significant amount. The real obstacle for this procedure is fulfilling the requirement to become obliged tax payers, especially for the tax payers which its financial report has not been audited; in addition there is 100% administration sanction under this facility if tax refund proved not according by law. The research methods used in this thesis is descriptive analyses which analysed recent condition in DGT compared to other on going model. Followed by literacy research, examine rule of conduct on taxation and tax payer reports. From the research analysis, the procedure in attaining tax payers VAT numbers has not been the same as the procedure in benchmark country. Frauds in VAT are the consequences as a result for these matters. From the beginning of the registration on VAT tax number, DGT must have analysed the capability of the tax payers to fulfil their duty as a VAT tax payers in order to lessen the probability of tax frauds and it is easier for DGT to control. From result of research we can also conclude that the sorting of VAT tax returns to be audited is not in the right direction. This matters resulted in national income is not most favourable condition and harder to coordinates. Ideally not all VAT tax returns which claim excess shall be audited upfront. By determining the right risk assessment, the audit procedure for all VAT tax returns excess in payment can be avoided. By doing so, we can efficiently use human resources in DGT and we can concentrate more on other controlling aspect. As a result to this analyses in association on VAT tax returns in Indonesia and the benchmark country (Canada) in selecting VAT tax returns, the writer compile selection of VAT tax return models which are going to be audited, in accordance to modernized tax service administration direction DGT has undergone. The writer hopes this model can give contribution in modernizing tax office.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunas Hariyulianto
Abstrak :
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tujuan (Destination Principle) yaitu suatu prinsip pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa oleh negara tempat pemanfaatan atau konsumsi barang dan jasa tersebut. Berdasarkan prinsip ini, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi di dalam Daerah Pabean, sedangkan atas konsumsi barang dan jasa yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Atas dasar prinsip tujuan (Destination Principle) ini, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ini dilakukan melalui metode Zero Rate, yaitu atas ekspor Barang Kena Pajak ditentukan sebagai penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% ini telah membuat ekspor Barang Kena Pajak menjadi bebas dad pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut. Berbeda halnya dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai hanya mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dengan tarif 10%, tanpa adanya ketentuan iebih lanjut yang mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai da!am hal Jasa Kena Pajak tersebut dimanfaatkan di luar Daerah Pabean (Ekspor Jasa). Dengan demikian, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mengenakan tarif yang sama sebesar 10% atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean baik untuk dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean maupun di luar Daerah Pabean. Analisis yang dilakukan berdasarkan studi kepustakaan, penelaahan dokumen dan hasil wawancara diperoleh kesimpulan bahwa Ketentuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% atas ekspor Jasa Kena Pajak tidak sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai antara lain prinsip tujuan (Destination Principle) yang dianut oleh Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dan Teori Bukan Faktor Harga (VAT is not a cost price factor). Berdasarkan prinsip tujuan, atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan di luar Daerah Pabean seharusnya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai seharusnya tidak dikenakan atas ekspor. Sedangkan teori yang ketiga menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai bukanlah faktor penentu harga atau tidak masuk ke dalam harga barang atau jasa yang diserahkan. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak, dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode yaitu Exemption dan Zero Rate. Berdasarkan konsep teori dan metode yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan sistem Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax), metode yang sebaiknya digunakan adalah Zero Rate, yaitu pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dengan tarif 0%. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate (tarif 0%) ini, akan membuat ekspor Jasa Kena Pajak menjadi bebas dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax) diharapkan akan dapat meningkatkan daya saing harga dari produk-produk jasa yang diekspor oleh Pengusaha Indonesia. Hal ini tentunya akan Iebih menciptakan iklim dunia usaha jasa di Indonesia yang lebih kondusil. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate juga dilakukan dalam rangka harmonisasi perpajakan demi terciptanya perdagangan internasional yang fair dan netral. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis permasalahan dalam tesis ini adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dalam peraturan perundang-undangan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia belum sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, disarankan agar dilakukan perubahan ketentuan dalam Undangundang Pajak Pertambahan Nilai yang mengatur mengenai penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean untuk dimanfaatkan di luar daerah pabean (ekspor Jasa Kena Pajak) sehingga sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai.
The Indonesian VAT Prevailing Law follows a Destination Principle in imposing Value Added Tax. Under this Destination Principle, VAT is imposed on goods and services consumed in the taxing jurisdiction, regardless of where they are produce. VAT is imposed on imports for consumption in the state, and VAT is rebated on exports to be consumed elsewhere. Fiscal frontiers must be maintained to ensure that exports are fully rebated for the VAT paid in the exporter's domestic market and where the VAT rates appropriate to the importer's home market can be applied. Based on The Destination Principle, VAT is not imposed on goods consumed outside the taxing jurisdiction (Exports of goods). This Exception of VAT Levy, done with Zero Rate Method. Zero Rate means that the trader is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT, On the other hand, a trader liable to the zero rate is liable to an actual rate of VAT, with just happens to be zero; therefore, such a zero-rated trader is wholly a part of the VAT system and makes a full return for VAT in the normal way. However, when this trader applies the tax rate to his sales, it ends up as a zero VAT liability but from this he can deduct the entire VAT liability on his inputs, generating a repayment of tax from the government. In this way, the zero-rated trader reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys the good free of VAT. Different matter with VAT levy on exports of services. Indonesian VAT Laws imposed on every transfer of taxable services in taxing jurisdiction with rate of 10%, regardless of where they are consumes. Therefore, 10% VAT is imposed on export of taxable services. Analysis that has been done based on study of literature books and interview, conclude that 10% VAT levy on export of taxable services is not appropriate with Theory of VAT, among other things, Destination Principle, Neutrality Theory and VAT is not a cost-price factor Theory. According to this principle and the theory, VAT should not impose on services that consumed outside the taxing jurisdiction (Export of services). Exception of VAT levy on export of services can use exemption or zero rate. According to VAT Theory and method used in countries that used VAT System, the method should be used is zero rate. Using Zero Rate means that the exporter of services is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT. The exporter of services can reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys services free of VAT. Using zero rate in export of services will increase price competitiveness of service products that exported by Indonesian producer. Further, this matter will create the conducive condition for business of services in Indonesia. Based on analysis of the case in this examination, conclude that imposing Value Added Tax on export of services according to the prevailing law is not appropriate with theory of VAT. Further, suggested that the government should amendment prevailing law in particular that regulate about imposing Value Added Tax on export of services.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoni Rombe
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan sektor industri yang sangat pesat membutuhkan energi yang sangat besar. Hal ini menyebabkan harga minyak dunia terus naik. Oleh karena itu, pemerintah menghimbau dunia usaha untuk menggunakan batubara sebagai sumber energi. Penggunaan batubara sebagai sumber energi sangat tepat karena Indonesia memiliki cadangan batubara yang besar. Selain itu harga produksi batubara tentunya lebih rendah daripada harga minyak. Himbauan pemerintah untuk menggunakan batubara ini juga karena penggunaan batubara dalam negeri yang sangat kecil. Batubara yang digunakan dalam negeri hanya mencapai sekitar 20% sampai dengan 30% dari total batubara yang diproduksi setiap tahunnya. Permintaan batubara sebagai sumber energi terutama oleh konsumen luar negeri terus meningkat. Permintaan yang tinggi tersebut memacu harga batubara terus naik sampai USD 48,31 per ton. Hal ini menyebabkan kontraktor pertambangan batubara memaksimalkan produksi. Produksi batubara yang dilakukan secara besar-besaran oleh kontraktor pertambangan batubara tentunya membutuhkan suatu peraturan dan undang-undang agar kegiatan operasional berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah memperlakukan kontrak karya dengan kontraktor pertambangan batubara sebagai lex spesialis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para investor dibidang pertambangan batubara. Selain kontrak karya, pemerintah juga menerbitkan undang – undang dan peraturan pemerintah yang dapat mendukung kegiatan pertambangan. Namun salah satu peraturan pemerintah justru dianggap sebagai hambatan bagi perkembangan dunia usaha pertambangan batubara. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 mengubah status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara dari Barang Kena Pajak menjadi bukan Barang Kena Pajak. Status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak menyebabkan kontraktor pertambangan batubara tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak sehingga tidak dapat melakukan restitusi atas kelebihan Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dan tidak dapat dimintakan restitusi ini menjadi beban bagi kontraktor pertambangan batubara yang akan menaikkan harga pokok produksi batubara. Kenaikan harga pokok produksi tentunya akan mempengaruhi besarnya harga jual batubara. Perubahan status batubara menjadi bukan Barang Kena Pajak membawa masalah tersendiri bagi kontraktor pertambangan batubara generasi I. Dalam kontrak karya dinyatakan bahwa pajak baru yang tidak diatur dalam kontrak karya akan dimintakan pengembaliannya kepada pemerintah. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai yang tidak diatur dalam kontrak karya dianggap sebagai suatu pajak baru yang dapat dimintakan pengembaliannya. Dalam praktek, kontraktor pertambangan batubara generasi I meminta pajak baru tersebut melalui restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Pajak baru yang tidak dapat dimintakan restitusi tersebut menyebabkan kontraktor pertambangan batubara melalui Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 ke Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Agung diterbitkan Surat No. 2/Td.TUN/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 perihal Permohonan Pertimbangan Hukum yang ditujukan kepada Direktur Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia. Surat tersebut menyatakan bahwa PP No. 144 Tahun 2000 batal demi hukum. Namun karena surat tersebut sifatnya hanya sebatas pertimbangan hukum (legal opinion) dan bukan merupakan Putusan Mahkamah Agung yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk dilaksanakan maka oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.15/2004 tanggal 30 Juni 2004 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tetap berlaku. Kontraktor pertambangan batubara tidak menyetujui Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 dengan alasan bahwa batubara yang belum diproses menjadi briket batubara seharusnya menjadi Barang Kena Pajak karena sesungguhnya telah melalui suatu proses berupa pemecahan, pencucian, dan pencampuran yang memberikan nilai tambah bagi batubara tersebut. Oleh karena itu, kontraktor pertambangan batubara terus mendesak pemerintah untuk mengubah status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai Barang Kena Pajak dan memberikan restitusi Pajak Pertambahan Nilai kepada mereka. Perseteruan antara pemerintah dan kontraktor pertambangan batubara mengenai penetapan batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak perlu dikaji lebih dalam untuk mengetahui bahwa apakah benar batubara yang belum diproses menjadi briket batubara belum mengalami suatu proses sehingga dikategorikan sebagai barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya dan belum dapat dijadikan sebagai Barang Kena Pajak. Selanjutnya perlu dikaji pula, berapa jumlah restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang tidak diterima oleh kontraktor pertambangan batubara dengan adanya perubahan status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak. Metode analisa yang digunakan untuk menganalisa apakah batubara yang belum diproses menjadi briket batubara telah mengalami proses atau tidak, maka digunakan metode deskriptif developmental. Sedangkan untuk menghitung jumlah restitusi yang seharusnya dibayarkan oleh pemerintah kepada kontraktor pertambangan batubara maka digunakan PT. ABC sebagai benchmark dengan data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Berdasarkan analisa yang dilakukan maka diketahui bahwa batubara yang belum diproses menjadi briket batubara telah mengalami suatu proses yakni pemecahan, pencucian, dan pencampuran sehingga seharusnya menjadi Barang Kena Pajak karena tidak memenuhi kriteria sebagai barang hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya. Berdasarkan analisa juga diketahui bahwa jumlah restitusi yang tidak dibayarkan oleh pemerintah karena perubahan status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak untuk tahun 2001 sampai dengan 2007 adalah sebesar Rp. 5.706.740.773.684,- dan untuk tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar Rp. 4.895.425.655.831,-
2007
T24514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhian Adhetiya Safitra
Abstrak :
50 tahun yang lalu PPN tidak dikenal kecuali di Prancis, namun kini mayoritas negara di dunia menggunakan PPN menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Bagi Indonesia, PPN merupakan sumber penerimaan negara terbesar setelah Pajak Penghasilan. Namun, penerimaan PPN di Indonesia diduga tidak efisien dan efektif karena rendahnya kepatuhan pajak, berbagai kebijakan telah dilakukan sejak tahun 1985, awal PPN diterapkan di Indonesia, hingga kebijakan terbaru yang melibatkan Teknologi Informasi, sayangnya kepatuhan administratif tetap tidak sesuai harapan. Penelitian ini meneliti faktor eksternal yang terdiri beberapa aktivitas pengawasan yang dilakukan otoritas pajak serta faktor internal yang ada pada diri pembayar pajak yang mempengaruhi kepatuhan adminisratif atau formal. Dengan data panel seluruh PKP di Indonesia di rentang waktu 2013 hingga 2017 ditemukan hasil yang menarik, bahwa tidak semua kebijakan peningkatan kepatuhan yang dilakukan otoritas pajak meningkatkan kepatuhan pajak. ......50 years ago the VAT was unknown except in France, but now the majority of countries in the world use VAT to be one source of state revenue. For Indonesia, VAT is the largest source of state revenues after Income Tax. However, VAT revenues in Indonesia are allegedly inefficient and effective due to low tax compliance. Various policies have been implemented since 1985, when the initial VAT is applied in Indonesia, and to the latest policy involving Information Technology, unfortunately administrative compliance remains untrue. This study examines external factors consisting of several supervisory activities conducted by the tax authorities and internal factors that exist in tax payers affecting administrative compliance. With panel data of all taxpayer that registered in VAT system in the period 2013 to 2017, we found interesting results, that not all tax compliance policy in Indonesia can increase tax compliance.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T51625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri Rosano Arrachman
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara tarif Value Added Tax (VAT) dan penerimaan antar negara di dunia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ordinary Least Square (OLS) dengan model efek tetap menggunakan sampel unbalanced data panel 128 negara periode 1970-2016. Hasilnya, penelitian ini mengkonfirmasi teori kurva Laffer bahwa bahwa tarif VAT memiliki hubungan U-Shaped terbalik terhadap penerimaan. Dengan mengeksplorasi lebih lanjut dampak informality terhadap tarif maksimal VAT, maka ditemukan bahwa besarnya informality akan mengurangi fleksibilitas pemerintah untuk meningkatkan tarif VAT.
ABSTRACT
This research aim to look at the relationship between Value Added Tax (VAT) rate and revenue among countries in the world. Research methods used in this research is the Ordinary Least Square (OLS) with a fixed effect model using a sample of unbalanced panel data 128 countires of period 1970-2016. The result of this study shows that VAT rate has a reversed U-shaped relationship to VAT revenues, confirming the Laffer Curve theory. Exploring further on the effect of informality to maximum VAT rate, we found that higher informality will reduce government flexibility in its effort to increase VAT rate.
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adimas Annas Purnomo
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi prosedur dan sistem restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) yang terjadi di dalam PT PP Presisi Tbk. Metode penelitian yang digunakan adalah desain penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif deskriptif, menggunakan data dari wawancara terstruktur dan dokumentasi internal PT PP Presisi. Analisis data dilakukan dengan metode analisis konten dan tinjauan literatur utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep dan pengertian mengenai PPN serta prosedur restitusi PPN, serta konsep evaluasi restitusi PPN. Berdasarkan hasil penelitian, sistem dan prosedur restitusi PPN yang telah dan sedang berlangsung di PT PP Presisi dinilai sudah cukup memenuhi kriteria evaluasi, terutama dalam hal efisiensi waktu dan proses pencairan dana restitusi PPN. Namun, terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan, antara lain terlalu banyak tahap verifikasi, hambatan dalam proses dokumentasi dan komunikasi, serta kurang tertibnya beberapa vendor terkait. Penelitian ini memberikan gambaran yang cukup komprehensif mengenai evaluasi manajemen restitusi pajak PPN di PT PP Presisi. Rekomendasi dapat diberikan kepada perusahaan untuk melakukan perbaikan dalam hal pengurangan tahap verifikasi yang berlebihan, peningkatan efisiensi dalam proses dokumentasi dan komunikasi, serta penertiban terhadap vendor terkait guna meningkatkan kinerja manajemen restitusi pajak PPN secara keseluruhan. ......This research analyses and evaluates the value-added tax (VAT) refund procedures and systems within PT PP Presisi Tbk. The research method used is a descriptive qualitative case study design, utilizing data from structured interviews and internal documentation of PT PP Presisi. Data analysis was conducted using the content analysis method, and the primary literature review utilized in this study consisted of the concepts and definitions related to Value Added Tax (VAT) and the procedures for VAT restitution, along with the idea of evaluating VAT restitution. Based on the research discoveries, the VAT refund system and policies that have been implemented and are currently in progress at PT PP Presisi are considered to sufficiently meet the evaluation criteria, particularly regarding time efficiency and VAT refund reimbursements. However, there are several things to note, such as; excessive verification stages, documentation and communication obstacles, and non-compliant related vendors. This research comprehensively overviews PT PP Presisi's VAT refund management evaluation. Improvement recommendations to improve the overall performance of VAT refund management, such as reducing excessive verification stages, enhancing efficiency in the documentation and communication process, and organizing the related vendors, can be considered further for implementation.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Purwanti
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raga Inanta Anwar
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumangger, Lewi Evander Christ
Abstrak :
Batubara adalah komoditas yang krusial dalam pemenuhan kebutuhan energi Indonesia. Statusnya sebagai Barang Tidak Kena Pajak berubah sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sehingga menghapus batubara dari daftar barang tidak kena PPN. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan evaluasi terkait implementasi kebijakan ini yang sudah berlangsung 2 tahun. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif dimana pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan studi literatur. Fokus penelitian ini adalah mengevaluasi Kebijakan PPN atas penyerahan batubara berdasarkan teori evaluasi kebijakan Dunn. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga dimensi yang terpenuhi dalam kebijakan PPN atas penyerahan batubara yaitu perataan, responsivitas, dan ketepatan. Dimensi yang tidak terpenuhi dalam kebijakan PPN atas penyerahan batubara yaitu efektivitas dan efisiensi. Kebijakan PPN atas penyerahan batubara perlu diperbaiki agar bisa mencapai tujuan awal kebijakan ini bisa tercapai. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan negosiasi antara pemerintah dengan perusahaan batubara untuk mengamandemen kontrak yang berlaku agar otomatis mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, perlu dilakukan perencanaan matang untuk mempersiapkan potensi restitusi di masa depan. ......Coal is a crucial commodity in meeting Indonesia's energy needs. Its status as Non-Taxable Goods has changed since the promulgation of Law Number 11 Year 2020 of Cipta Kerja, thereby removing coal from the list of non-VAT subject goods. The purpose of this study is to evaluate the implementation of this policy which has been going on for 2 years. The research was carried out using a qualitative approach with a descriptive research type where data collection was carried out by in-depth interviews and literature studies. The focus of this research is to evaluate the VAT policy on coal delivery based on Dunn's policy evaluation theory. The results of the study show that there are three dimensions that are fulfilled in the VAT policy on coal delivery, namely equity, responsiveness, and accuracy. The dimensions that are not fulfilled in the VAT policy on the delivery of coal are effectiveness and efficiency. The VAT policy on the delivery of coal needs to be improved in order to achieve the initial objectives of this policy. The way that can be done is by negotiating between the government and coal companies to amend the applicable contract so that it automatically complies with statutory provisions. In addition, careful planning is necessary to prepare for potential restitution in the future.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>