Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutasoit, Yonas Immanuel
Abstrak :
Pendahuluan Hidronefrosis kongenital adalah kelainan yang tersering dijumpai pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) antenatal. Prevalensinya 11,5 per 10000 kelahiran hidup. Deteksi dini, diagnosis yang akurat, dan ketepatan penatalaksanaan pascakelahiran sangat berperan dalam mempreservasi fungsi ginjal dan kelangsungan hidup penderita. Meski demikian, prosesproses tersebut merupakan hal yang kompleks karena melibatkan multidisiplin, ketersediaan sarana penunjang, dan kepatuhan untuk: kontrol. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk: mengevaluasi permasalahan diagnostik dan tata laksana hidronefosis kongenital. Metode Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan mengumpulkan data seluruh pasien anak. dengan hidronefrosis kongenital yang datang ke Poliklinik Urologi atau yang dirawat di Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo antara Januari 1999 - Desember 2008 dan Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita antara Januari 2004 - Desember 2008. Penggalian informasi tambahan mengenai riwayat antenatal care (ANC) dilakukan dengan menghubungi orang tua pasien pertelepon. Data diolah dengan SPSS 13.0. Analisis statistik dengan uji Mann-Whitney guna melihat hubungan antara usia terdiagnosis dan fungsi ginjal dan uji Chi-Square untuk: melihat hubungan antara usia terdiagnosis dan angka nefrektomi. Hasil Didapatkan 145 pasien dengan hidronefrosis kongenital dengan median usia 29 bulan (rentang 1-183 bulan), yang terdiri dari 55 perempuan dan 90 laki-laki. Etiologi hidronefrosis kongenital terbanyak adalah obstruksi UPJ (40 pasien ). Pada penelitian ini didapatkan 62 pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Didapatkan 15 dari 145 pasien ( 10,34 %) yang telah didiagnosis antenatal. Dari 63 pasien yang diperoleh informasi tentang riwayat ANC-nya, sebanyak 56 dari 63 pasien ( 88,89%) menjalani ANC dengan dokter spesialis obstetriginekologi. Dari 59 pasien yang dilakukan USG, hanya 26 pasien (44,07%) yang terdeteksi hidronefrosis pada periode antenatal. Terdapat 11 dari 26 pasien yang sudah terdeteksi antenatal, yang baru dibawa kontrol pada usia lebih lanjut. Untuk diagnosis, USG hanya dikerjakan pada 108 pasien (74,5%), VCUG pada 79 pasien (54,5%), dan sidik ginjal pada 26 pasien (17,9010). Hanya 12 pasien (8,27 %) yang menjalani ke-3 pemeriksaan penunjang yang dianjurkan, yaitu USG, VCUG, dan sidik ginjal. Dari 115 pasien yang menjalani penatalaksanaan yang dianjurkan, 95 pasien (82,61 %) menjalani operasi dan 20 pasien (17,39%) ditatalaksana secara konservatif. Terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) pada rerata nilai kreatinin serum antara kelompok anak yang berobat pada usia kurang dari 12 bulan (0,78±0,93mgldl) dan kelompok anak yang berobat lebih dari 12 bulan (1,03±0,88 mgldl). Angka nefrektomi pada kelompok usia < 12 bulan 6,52 % dan pada kelompok usia> 12 bulan 13,13% , namun secara statistik tidak bermakna ( p> 0,05). Hanya 73 dari 115 pasien (63,48%) yang datang untuk follow up. Pemeriksaan urine, USGNCUG, dan fungsi ginjal tidak rutin dikerjakan saatfollow up. Simpulan Penatalaksanaan hidronefrosis kongenital masih memerlukan banyak perbaikan seperti peningkatan kemampuan deteksi antenatal dengan USG, standardisasi modalitas diagnostik yang dipakai (USG, VCUG, dan sidik ginjal) dan komunikasi antara pihak-pihak yang berperan pada tata laksana hidronefrosis kongenital pascakelahiran (dokter spesialis urologi, spesialis anak, spesialis radiologi) serta peningkatan edukasi kepada orang tua pasien dengan hidronefrosis kongenital tentang penyakit anaknya dan pentingnyafollow up. ......Introduction Congenital hydronephrosis is the most common anomaly encountered in antenatal ultrasound examination. Early detection of hydronephrosis has a significant role in postnatal management. Patients diagnosed antenatally should undergo further evaluation with ultrasound, voiding cystourethrogram, and renal scintigraphy. In Indonesia the diagnosis and management of congenital hydronephrosis still deals with so many problems. Objective To evaluate problems in diagnosing and managing congenital hydronephrosis. Methods This study was retrospective. Data was collected from medical records of patients with congenital hydronephrosis which were hospitalized or went to urologic outpatient clinic at Ciptomangunkusumo Hospital from January 1999 to December 2008 and Harapan Kita Maternal and Pediatric Hospital from January 2004 to December 2008. Data was analyzed with SPSS programme version 13.0. Statistical analysis was done to find the relation between age at diagnosis and kidney function (Mann-Whitney test) and between age at diagnosis and nephrectomy rate ( Chi-Square test ). Results There were 145 patients with congenital hydronephrosis with median age 29 months ( 1-183 months). There were 55 females and 90 males. The most common etiologies were UPJ obstruction ( 40 patients), VUR ( 37 patients ), and neurogenic bladder (25 patients). There were 62 patients with renal function deterioration. There were 15 patients who was came to us because they bad been diagnosed antenatally. Of the 145 patients we could collect the antenatal history only from 63 patients. Antenatal care of 56 out of the 63 patients was provided by obstetricians. Antenatal ultrasound was done in only 59 out of 63 patients and only 44,07% (26 patients) with hydronephrosis which was detected antenatally. Eleven out of 26 antenatally diagnosed patients came to our clinic at later age. Three standard studies ( postnatal ultrasound, voiding cystourethrogram, and renal scintigraphy) were done only in 12 out of 145 patients (8,27 %). Ultrasound was only done in 108 patients ( 74,5%), voiding cystourethrogram in 79 patients ( 54,5%), and renal scintigraphy in only 26 ptients ( 17,9%). The suggested management were conducted in 115 patients; operative management in 95 patients (82,61 %) and conservative treatment in 20 patients ( 17,39%). The most common operative procedures were ureteroneocystostomy, pyeloplasty, nephrectomy, and ablation of posterior urethral valve. Mean serum creatinine in below 12 months old group and above 12 months old group was 0,78±0,93mg/dl dan 1,03±O,88 mg/dl respectively( p < 0,05). There was no significant diffrence in nephrectomy rate in both age groups ( p> 0,05). Nephrectomy was performed in 16 patients with the most common indication was grade IV hydronephrosis with thin parenchyme in 11 patients ( 68,75%) and the most common etiologies was UPJ obstruction in 10 patients ( 62,5%). We can only collect follow up data from 73 out of 115 managed patients ( 63,48% ).Urinalysis,ultrasoundlvoiding cystourethrogram, and renal function studies were not routinely conducted during follow up. Conclusion The management of congenital hydronephrosis in Indonesia needs improvements in antenatal care standards, particularly obstetric ultrasound, to improve early detection of congenital hydronephrosis. More education for parents about the imprtance of follow up is needed to be improved, especially for antenatally diagnosed patients. A consensus regarding diagnostic tools used in managing congenital hydronephrosis must be established among urolgists, pediatricians, and radiologists.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2009
T59068
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hazim
Abstrak :
ABSTRAK
Penatalaksanaan striktur esofagus memerlukan aspek medis yang komprehensif untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat dengan terapi non bedah atau terapi bedah. Endoskopi memiliki peranan yang sangat penting pada striktur esofagus yaitu bermanfaat sebagai diagnostik dan terapi. Pilihan penatalaksaan striktur esofagus melalui bantuan endoskopi terdiri dari terapi dilatasi, pemberian kortikosteroid intralesi, pemakaian stents, dan pemandu untuk reseksi tumor. Pemilihan tindakan yang tepat sesuai dengan keadaan klinis pasien kasus per kasus merupakan hal yang penting untuk mencapai target perbaikan striktur pada esofagus, sehingga dapat membantu mengembalikan fungsinya sebagai saluran makanan dan perannya dalam proses menelan.
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Farissa Luthfia
Abstrak :
ABSTRAK
Kardiomiopati hipertrofik merupakan kelainan genetik jantung yang cukup sering terjadi di populasi pasien usia dewasa. Diagnosis dan tatalaksana dari kardiomiopati hingga saat ini menjadi dilema bagi sebagian dokter. Target penatalaksanaan kardiomiopati hipertrofi adalah menatalaksana gejala dan tanda yang pasien alami, mencegah kematian mendadak, serta pemberian edukasi.
Bandung : Interna Publishing (Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam), 2019
CHEST 6:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Indriani Rosep Putri
Abstrak :
Pendahuluan: Kekerasan yang dilakukan pasien dengan gangguan kejiwaan merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan maupun orang di sekitar pasien. Karena itu, kemampuan dan pengetahuan psikiater memberikan tata laksana tindak kekerasan berperan penting dalam mencegah potensi keberbahayaan. Edukasi manajemen kekerasan pasien dengan gangguan jiwa dapat meningkatkan kepercayaan diri dan sikap tenaga kesehatan serta polisi menghadapi kekerasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan edukasi dengan tingkat pengetahuan psikiater menangani kekerasan. Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental analitik dengan metode pretest-posttest yang diujikan pada sampel pada dua waktu berbeda, yaitu sebelum dan sesudah edukasi. Uji analisis bivariat dilakukan menggunakan SPSS 20. Hasil: Hasil analisis menujukan bahwa ada hubungan bermakna antara edukasi dan peningkatan pengetahuan psikiater(p=0.03). Selain itu, ditemukan juga hubungan bermakna pengetahuan awal dengan beberapa data latar belakang psikiater, yaitu jenjang pendidikan tertinggi(0.039) secara negatif, juga materi kurikulum pendidikan spesialis(0.028) dan penilaian diri menangani kasus kekerasan psikis(p=0.025) secara positif. Kesimpulan: Pemberian edukasi berpengaruh untuk meningkatkan pengetahuan psikiater akan tata laksana kekerasan pasien. Dokter spesialis kejiwaan yang mendapatkan materi penanganan kekerasan dalam kurikulum pendidikannya, percaya diri dalam menangani kekerasan psikis, dan belum mendapatkan jenjang pendidikan lanjutan memiliki pengetahuan awal yang lebih baik sebelum edukasi. ......Introduction: Violence in patients with psychiatric disorders is a challange for health workers and those involved with the patient. Thus, psychiatrists comprehension and skill to provide a proper violence management are crucial in preventing further harm. Education of violence management can improve the confidence and attitudes of both health workers and the police in dealing with violence abroad. This study aims to determine the relationship of education with the comprehension level of Indonesian psychiatrists dealing with violence. Methods: This study used an analytical experimental design with a pretest-posttest method, tested on samples before and after education by violence management workshop. The bivariate analysis test was performed using SPSS 20. Results: Analysis showed a significant effect of education in increasing psychiatrists' comprehension at managing violence (p = 0.03). Some additional findings was observed, namely the association between initial knowledge and samples background. Highest level of education (0.039) impacted pretest negatively, while violence management in specialist education curriculum material (0.028) and self-assessment handling cases of psychological violence (p = 0.025) had a positive impact. Conclusion: Education significantly increase psychiatrists comprehension of patients violence management. Psychiatric specialists who were given more material of handling violence in their educational curriculum, more confident in dealing with psychological violence, and have not received postgraduate degree past psychiatric residency have better initial knowledge prior to education.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moekijat
Bandung: Alumni, 1995
651.3 MOE t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Moekijat
Bandung: Mandar Maju, 1989
651.3 MOE t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanah Suzan
Abstrak :
Latar Belakang: Kontak tubuh manusia dengan arus listrik dapat mengakibatkan trauma luka bakar. Pada Pasien luka bakar listrik, derajat keparahan trauma yang dialami pada organ dalam tidak sebanding dengan luka bakar di permukaan tubuh, sehingga dapat dikategorikan sebagai luka bakar berat. Terapi nutrisi merupakan bagian integral dalam tata laksana luka bakar sejak awal resusitasi hingga fase rehabilitasi. Saat ini sudah terdapat rekomendasi untuk tata laksana nutrisi luka bakar berat. Namun, belum terdapat rekomendasi yang spesifik mengenai tata laksana pada luka bakar listrik. Metode: Laporan serial kasus ini menjelaskan empat pasien kasus luka bakar listrik. Pasien mengalami berbagai penyulit yang kemudian mempengaruhi tata laksana nutrisi yang diberikan. Pasien pertama dengan trauma servikal, pasien kedua mengalami AKI dan penurunan fungsi hati, pasien ketiga mengalami syok sepsis, dan pasien keempat mengalami sepsis dan amputasi. Pemberian nutrisi dimulai sesuai dengan kondisi pasien. Target pemberian energi dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict untuk kebutuhan basal, ditambah faktor stres 1,5-2. Protein diberikan 1,5-2 g/kg BB/hari hingga terjadi perbaikan. Karbohidrat dan lemak berturut-turut 60-65% dan <35%. Pemberian nutrisi diutamakan melalui oral dan enteral, sedangkan jalur parenteral hanya digunakan bila diperlukan untuk pemenuhan energi. Mikronutrien yang diberikan berupa multivitamin antioksidan, vitamin B kompleks dan asam folat. Hasil: Tiga pasien mengalami perbaikan klinis, kapasitas fungsional, dan laboratorium hingga diperbolehkan rawat jalan. Lama perawatan ketiga pasien tersebut berturut-turut 17 hari, 60 hari, dan 20 hari. Satu orang pasien meninggal akibat penyulit yang dialaminya yaitu syok sepsis yang menyebabkan gagal multi organ setelah dirawat selama 14 hari. Kesimpulan: Tatalaksana nutrisi yang optimal dan tepat sesuai dengan kondisi klinis pasien dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan luka bakar listrik. ...... Background: Contact to electricity can inflict burn injuries in human. In electrical burn injuries, the damages of the internal organs are not comparable to the burn injuries in the body's surface. Nutrition therapy is an integral part in burn management from the beginning of resuscitation to rehabilitation phase. Currently there have been several recommendations of nutrition management in severe burn injury. However there is still no recommendation that specifically recommend for nutrition management in patients with electrical burn injury. Methods: The serial case report describes four patients with electrical burn injury. All patients had various complications that affected the nutrition management. First patient with cervical trauma, second patient had AKI and decreased liver function, third patient had septic shock, and fourth patient had sepsis and amputation. Nutrition was given individualy according to the patient clinical condition. Target of energy given calculated by Harris-Benedict equation for basal requirement with added stress factor 1,5-2. Protein was given 1,5-2 g/kg BW/day except patient with AKI protein restricted to 0,8-1 g/kg BW/day until improvement of renal function. Carbohydrates and lipids were given 60-65% and <35%, respectively. Oral or enteral nutrition was preferred while parenteral nutrition only given if required to meet the energy requirements. Micronutrients supplementation such as antioxidant vitamins, vitamin B complex, and folic acid were provided to patients. Results: Three patients had the improvement in clinical condition, functional capacity, and laboratory results that allowed them to be discharged and had outpatient treatment. Length of stay of the patients were 17, 60, 20 days respectively. One patient died due to septic shock compilation that lead to multiple organ failure after 14 days of hospitalization. Conclusion: Optimal and appropriate nutrition management adjusted to patient's clinical condition can reduced morbidity and mortality rate in the electrical burn injury patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiskus Samuel Renaldi
Abstrak :
Ketidakpatuhan berobat dalam penyakit diabetes melitus tipe 2 menjadi masalah yang belum dapat dituntaskan sehingga dapat berkontribusi dalam penurunan kualitas hidup seorang pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu rancangan model sebagai solusi terhadap masalah ketidakpatuhan pengobatan pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain studi kualitatif dengan metode fenomenologi. Penelitian dilakukan di Kecamatan Bogor Tengah selama bulan Maret-September 2020 dengan megikutsertakan tiga wilayah Puskesmas, yaitu Puskesmas Merdeka, Belong, dan Sempur. Penelitian ini melibatkan 46 pasien diabetes melitus tipe 2 sebagai informan yang tergabung dalam studi Kohort PTM Balitbangkes RI, 17 tenaga kesehatan, dan 30 kader kesehatan sebagai informan kunci dari Puskesmas setempat. Pengambilan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam dan observasi dengan informan dan diskusi kelompok terarah dengan informan kunci. Hasil penelitian diinterpretasikan dalam bentuk pernyataan masalah teknis yang dianalisis dengan metode tematik dan jaringan sosial. Mayoritas informan yang terlibat dalam penelitian ini berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan rata-rata telah menderita diabetes selama 1-5 tahun. Sementara itu untuk informan kunci telah bekerja rata-rata selama 10 tahun. Dari hasi wawancara didapatkan hasil bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien yaitu intrapersonal, interpersonal, obat, dan lingkungan. Motivasi menjadi masalah utama pada faktor intrapersonal, dan memiliki korelasi dengan faktor-faktor lainnya. Dari sisi interpersonal, kualitas pelayanan kesehatan memberikan pengaruh pada kepatuhan. Efek samping dan penggunaan obat herbal di dalam faktor obat juga diketahui memiliki kontribusi untuk menentukan sikap kepatuhan pada pasien. Dari segi faktor lingkungan, sistem kesehatan akan memberikan pengaruh kepada kepatuhan pasien, terutama dalam penerapan sistem jaminan kesehatan nasional, sistem ekonomi, dan kebijakan kesehatan. Dari beragam hasil yang telah didapatkan, diperoleh suatu model penatalaksanaan ketidakpatuhan pengobatan pada pasien diabetes melitus tipe-2 yang dapat menggali secara personal berbagai permasalahan pada pasien. ......Patient’s poor adherence to treatment in type 2 diabetes mellitus is a problem that has yet to be resolved. This phenomenon will contribute to a decrease in the quality of life of a patient. This study aims to obtain a model design to solve non-adherence in type 2 diabetes mellitus patients by using a qualitative study design with phenomenological methods. The research was conducted in Central Bogor District during March-September 2020 in three Puskesmas areas: Merdeka, Belong, and Sempur. This study involved 46 type 2 diabetes mellitus patients as informants who were members of the non-communicable disease cohort study, 17 health workers, and 30 health cadres as key informants from the local Puskesmas. Data were collected from in-depth interviews and observations with informants and focus group discussions with key informants. The study results were interpreted as a technical problem statement that was analyzed using thematic methods and social networks. The majority of informants involved in this study work as housewives and, on average, have had diabetes for 1-5 years. Meanwhile, key informants have worked for an average of 10 years. The interview results found four factors that influence patient compliance: intrapersonal, interpersonal, drug, and environment. Motivation is a significant problem in intrapersonal factors and correlates with other factors. From an interpersonal perspective, the quality of health services influences compliance. Side effects and the use of herbal medicines in the drug factors are also known to determine the patient's adherence attitude. In terms of environmental factors, the health system will influence patient compliance, especially in applying the national health insurance system, the economic system, and health policies. From the various results obtained, a management model of non-adherence treatment in type 2 diabetes mellitus patients can personally explore various problems in a personal manner.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Primahastuti
Abstrak :
Latar belakang: Kanker kepala dan leher merupakan salah satu kanker yang berisiko tinggi malnutrisi. Pada kanker kepala dan leher stadium lanjut lokal, radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi merupakan terapi pilihan dan berkaitan dengan berbagai efek samping yang berperan dalam penurunan asupan makan dan berefek negatif pada status nutrisi. Tata laksana nutrisi bertujuan untuk mengurangi risiko malnutrisi, mendukung keberhasilan terapi kanker, meningkatkan kualitas hidup, serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Pemberian terapi nutrisi berupa konsultasi individu yang meliputi perhitungan kebutuhan energi, makronutrien, mikronutrien, dan nutrien spesifik, serta pemberian medikamentosa bila diperlukan. Metode: Pasien pada serial kasus ini berjumlah empat orang dengan rentang usia 3055 tahun. Dua dari empat pasien mendapat kombinasi kemoterapi. Hasil skrining keempat pasien dengan malnutrition screening tools (MST) didapatkan skor ≥2. Kebutuhan energi total dihitung menggunakan persamaan Harris-Benedict yang dikalikan dengan faktor stres sebesar 1,4. Pemantauan yang dilakukan berupa anamnesis keluhan subyektif dan analisis asupan, pemeriksaan fisik, antropometri, massa otot skelet, massa lemak, kekuatan genggam tangan, dan hasil laboratorium. Pemantauan dilakukan secara rutin dengan frekuensi satu kali per minggu untuk menilai pencapaian target nutrisi. Hasil: Terapi nutrisi dapat meningkatkan asupan protein dan nutrien spesifik, namun tidak dapat mencegah penurunan BB, massa otot skelet, dan kekuatan genggam tangan pada pasien kanker kepala dan leher stadium lanjut lokal yang menjalani terapi radiasi dengan atau tanpa kemoterapi. Kesimpulan: Tata laksana nutrisi pada pasien kanker kepala dan leher stadium lanjut lokal yang menjalani terapi kanker dapat memberikan efek positif pada asupan nutrien pasien.
Introduction: Head and neck cancer is one of malignancy with higher risk of malnutrition. Treatment of choice for locally advanced head and neck cancer is radiotherapy with or without chemotherapy and is associated with various side effects that may decrease food intake and negatively affect nutritional status. The aim of nutrition management is to reduce the risk of malnutrition, to support the success of cancer therapy, to enhance the quality of life, and to reduce morbidity and mortality. Nutrition therapy in the form of consultation includes calculation of energy needs, macronutrient, micronutrient, and specific nutrients, as well as drug therapy when needed. Methods: This case series consist of four patients between 3055 years old. Half of the patients received combination with chemotherapy. All patients had screening score with malnutrition screening tools (MST) ≥2. The total energy requirement was calculated using Harris-Benedict equation then multiplied with stress factor 1.4. Monitoring was done by anamnesis of subjective complaints and food intake, physical examination, anthropometric, muscle mass, fat mass, hand grip strength, and laboratory results. Monitoring was performed frequently once a week to assess the accomplishment of nutritional target. Results: Nutrition therapy could improve intake of protein and specific nutrients, but couldn't prevent weight loss, a decrease in muscle mass and hand grip strength in locally advanced head and neck cancer patients receiving radiation therapy with or without chemotherapy. Conclusion: Nutrition management in locally advanced head and neck cancer patients receiving anticancer therapy positively affect patient's nutrient intake.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Zulfikar
Abstrak :
Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan pelindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia mulai dari tahap persiapan, keberangkatan, dan penempatan. Namun dalam pelaksanaannya terdapat kurangnya keseriusan pemerintah daerah dalam pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang salah satu alasannya adalah adanya kesamaan kewenangan antara instansi pemerintah dalam pelindungan dan penempatan Pekerja Migran Indonesia. Dalam Penelitian ini melakukan analisis kewenangan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelindungan dan penempatan Pekerja Migran Indonesia dengan melakukan penelitian terhadap kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melakukan kajian implementasi kewenangan tersebut di wilayah Jawa Barat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia beserta peraturan pelaksanaannya. Metode penelitian yang dipakai ialah penelitian doktrinal dengan menggunakan data sekunder melalui studi dokumen dan dianalisis secara kualitatif yang didukung hasil wawancara kepada informan. Hasil Penelitian adalah walaupun terdapat kesamaan kewenangan antara instansi pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia beserta peraturan pelaksanaannya, namun dalam implementasinya di Jawa Barat pelaksanaan pelindungan dan penempatan Pekerja Migran Indonesia dapat dilaksanakan, namun hal ini memunculkan potensi tidak terlaksananya dengan baik pelaksanaan tugas tersebut apabila terdapat koordinasi dan kerja sama yang kurang baik antar instansi pemerintah. ......The Indonesian Government has an obligation to protect Indonesian Migrant Workers starting from the preparation, departure and placement stages. However, in its implementation there is a lack of seriousness by local governments in protecting Indonesian Migrant Workers, one of the reasons for which is the similarity of authority between government agencies in the protection and placement of Indonesian Migrant Workers. In this research, we conducted an analysis of the division of authority between the central government and regional governments in the protection and placement of Indonesian Migrant Workers by conducting research on the division of authority between the central government and regional governments. The research method used is doctrinal research using secondary data through document study and qualitative analysis supported by the results of interviews with informants. The results of the research are that although there are similarities in authority between government agencies in Law Number 18 of 2017, in its implementation in West Java the implementation of the protection and placement of Indonesian Migrant Workers can be implemented, but this gives rise to the potential for non-implementation properly carrying out these duties if there is poor coordination and cooperation between government agencies.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>