Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mira Yulianti
Abstrak :
Latar belakang. CAPD merupakan modalitas dialisis yang berkembang di Indonesia. Status nutrisi dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien CAPD. Indonesia belum memiliki data mengenai status nutrisi pasien CAPD, serta faktor-faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada kelompok pasien tersebut. Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD. Metode. Penelitian potong lintang dilaksanakan di poliklinik CAPD RSCM dan RS PGI Cikini bulan Desember 2012 sampai Mei 2013. Status nutrisi dinilai dengan Malnutrition Inflammation Score. Inflamasi didapatkan dari pemeriksaan hsCRP. Asidosis metabolik didapatkan dari pemeriksaan HCO3 vena. Asupan energi dan protein harian didapatkan dari analisis food record dengan menggunakan program FP2. Usia dan lama menjalani CAPD didapatkan dari kartu identitas dan rekam medis. Analisis bivariat dilakukan dengan metode Pearson atau Spearman/Kendall. Analisis tidak dilanjutkan ke analisis multivariat karena distribusi status nutrisi sebagai variabel tergantung tidak normal. Hasil. Dari 44 subjek penelitian, didapatkan 75% subjek penelitian memiliki status nutrisi baik. Rerata usia 48,4+12,6 tahun. Median lama menjalani CAPD adalah 20,5 bulan (2-94 bulan) dan median kadar hsCRP sebesar 2,8 mg/L (0,2-204,2 mg/L). Rerata kadar HCO3 sebesar 25,2+2,3 mEq/L. Rerata asupan energi adalah 37,3+ 9,3 kkal/kg/hari dan rerata asupan protein 1,0+ 0,3 gram/kg/hari. Faktor inflamasi berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD (r=0,433; p=0,003). Simpulan. Faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD adalah inflamasi. Korelasi antara usia, lama menjalani CAPD, asupan energi dan protein serta asidosis metabolik dengan status nutrisi belum dapat dibuktikan pada penelitian ini. ...... Background. CAPD is a developing dialysis modality in Indonesia. Nutritional status is considered as one of determinant factor in CAPD patients survival. There is no data regarding nutrional status and correlated factors with nutritional status in CAPD patients in Indonesia. Objectives. To know correlated factors with nutritional status in CAPD patients. Methods. A cross sectional study was conducted in CAPD clinic at Cipto Mangunkusumo and Cikini Hospital during December 2012 until May 2013. Nutritional status was determined by Malnutrition Inflammation Score, inflammation by hsCRP and metabolic acidosis by vein HCO3. DEI and DPI were determined by food record analysis by using FP2 program. Age and dialysis vintage were based on identity card and medical record. Statistical analysis was performed by using Pearson or Spearman/Kendall methods. Multivariat analysis can't be done in this study because of the distribution abnormality of nutritional status as independent variable. Results. Out of 44 subjects, the nutritional status of 75% subjects was found good. Mean age was 48.4+12.6 years old. Dialysis vintage median was 20.5 (2-94) months and hsCRP level median was 2.8 (0.2-204.2) mg/L. Mean HCO3 level was 25.2+2.3 mEq/L. Mean DEI was 37.3+9.3 kcal/kg/d and mean DPI was 1.0+0.3g/kg/d. Inflammation is correlated with nutritional status in CAPD patients (r=0.433 ; p=0.003). Conclusion. Factors that correlated with nutritional status in CAPD patients is inflammation. Correlation between age, dialysis vintage, DEI, DPI and metabolic acidosis with nutritional status can not be determined yet in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasya Amalia
Abstrak :
Pendahuluan: Dispepsia fungsional adalah salah satu gangguan pencernaan fungsional yang berasal dari saluran pencernaan bagian atas. Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan Kriteria Rome III adalah 3-10%. Sebuah studi di Jakarta dengan sampel orang dewasa, ditemukan 59,1% memiliki sindrom dispepsia. Di sebuah studi ditemukan bahwa pasien obesitas lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami nyeri pada perut dan nyeri dengan frekuensi dan intensitas tinggi. Namun, prevalensi dispepsia fungsional pada siswa sekolah menengah pertama di Jakarta masih belum diketahui. Metode. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan menggunakan 292 kuesioner Kriteria Rome III dan kuesioner makanan yang diambil di SMP Labschool Jakarta pada Maret 2018. Subjek penelitian diharuskan untuk mengisi kuesioner kemudian diukur tinggi dan berat badan menggunakan timbangan dan alat ukur tinggi. Subjek yang memiliki dispepsia fungsional didapat dari Kriteria Rome III kuesioner melalui penilaian pada beberapa nomer. Analisis data menggunakan Chi-square test untuk menilai asosiasi dispepsia fungsional terhadap jenis kelamin, kelas, status nutrisi, kebiasaan konsumsi makanan, dan aktifitas fisik, satu per satu. Sementara untuk menilai asosiasi dispepsia fungsional terhadap umur, dilakukan Mann-Whitney test Hasil. Terdapat 292 kuesioner yang termasuk di penelitian. Mayoritas subjek adalah perempuan 53,8%, median usia 13 tahun. Subjek memiliki status nutritisi dengan mayoritas yaitu gizi lebih (51,4%) yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria Waterlow. Prevalensi dyspepsia fungsional adalah 17,5%. Asosiasi nya terhadap status nutrisi, jenis kelamin, konsumsi sarapan, buah, dan sayur, dan aktifitas fisik tidak signifikan. Namun, terdapat signifikansi pada asosiasi dispepsia fungsional terhadap kelas, umur, dan jarang konsumsi sarapan. Kesimpulan. Prevalensi dispepsia fungsional adalah 17,5%. Karakteristik status gizi dari subjek penelitian dengan persentase tertinggi adalah gizi lebih. Analisis data menunjukan bahwa tidak terdapat asosiasi yang signifikan antara dispepsia fungsional terhadap status nutrisi. Asosiasi dispepsia fungsional dengan karakteristik subjek signifikan, yaitu terhadap umur dan kelas, namun terhadap jenis kelamin tidak signifikan. Asosiasi antara dispepsia fungsional dan pola makan dan aktifitas fisik tidak signifikan, kecuali asosiasi dispepsia fungional dengan jarang konsumsi sarapan.
......Preliminary. Functional dyspepsia is one of the functional digestive disorders originating from the upper digestive tract. The prevalence of functional dyspepsia based on Rome III criteria is 3-10%. A study in Jakarta with a sample of adults, found 59.1% had dyspepsia syndrome. In one study it was found that obese patients were more likely to experiencing abdominal pain and pain with high frequency and intensity. However, the prevalence of functional dyspepsia in junior high school students in Jakarta is still unknown. Method. This study uses a cross-sectional method using 292 Rome III Criteria questionnaire and food questionnaire taken at SMP Labschool Jakarta in March 2018. Research subjects were required to fill out a questionnaire and then their height and weight were measured using scales and height measuring instruments. Subjects who have functional dyspepsia were obtained from the Rome III Criteria questionnaire through an assessment of several numbers. Data analysis used Chi-square test to assess functional dyspepsia associations with gender, class, nutritional status, food consumption habits, and physical activity, one by one. Meanwhile, to assess the association of functional dyspepsia with age, the Mann-Whitney test was carried out. There are 292 questionnaires included in the study. The majority of the subjects were 53.8% women, the median age was 13 years. Subjects have nutritional status with the majority being overweight (51.4%) which is classified based on the Waterlow criteria. The prevalence of functional dyspepsia was 17.5%. The association with nutritional status, gender, consumption of breakfast, fruit, and vegetables, and physical activity was not significant. However, there is a significant association of functional dyspepsia on class, age, and rarely breakfast consumption. Conclusion. The prevalence of functional dyspepsia was 17.5%. The characteristics of the nutritional status of the research subjects with the highest percentage were overweight. Data analysis showed that there was no significant association between functional dyspepsia and nutritional status. The association of functional dyspepsia with the characteristics of the subjects was significant, namely to age and class, but not to gender. The association between functional dyspepsia and diet and physical activity was not significant, except for the association of functional dyspepsia with infrequent breakfast consumption.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Diar Riyanti
Abstrak :
ABSTRAK
Diarrhea is one of the most common gastro intestinal problem in Indonesia. One of the causes of diarrhea in children might be adverse reactions to food. Cow rsquo s milk allergy is the most prevalent food allergy as a result of an abnormal immunologic reaction to cow rsquo s milk protein. The gastrointestinal symptoms, including diarrhea occur in 50 60 children with cow rsquo s milk allergy. The aim of this research is to identify the prevalence of cow rsquo s milk allergy in pediatric patients who suffer from diarrhea and its association to nutritional status and age of patients who were treated in RSUPN Cipto Mangunkusumo from the year 2012 to 2016. The research design used for this study is a case control study using a secondary data. The data was obtained from stool analysis profile and medical record from pediatric patients in Gastrohepatology Division, Department of Pediatric Health, Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 13 patients suffer from cow rsquo s milk allergy and 78 patients without allergy compared in this study. The prevalence of cow rsquo s milk allergy and malnutrition in pediatric patients with diarrhea were 14.3 and 38.4 . There is no association between cow rsquo s milk allergy and weight for age, height length for age, and weight for length height p 0.05 . In conclusion, cow rsquo s milk allergy is not associated with malnutrition in pediatric patients under three years old who suffered from diarrhea.
ABSTRACT
Diare adalah salah satu masalah gastro usus yang paling umum di Indonesia. Salah satu penyebab diare pada anak-anak mungkin reaksi negatif terhadap makanan. Alergi susu sapi adalah alergi makanan yang paling umum sebagai akibat dari reaksi imunologi abnormal terhadap protein susu sapi rsquo. Gejala gastrointestinal, termasuk diare terjadi pada 50 60 anak-anak dengan alergi susu sapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi prevalensi alergi susu sapi pada pasien anak yang menderita diare dan hubungannya dengan status gizi dan usia pasien yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo dari tahun 2012 hingga 2016. Desain penelitian digunakan untuk penelitian ini adalah studi kasus kontrol menggunakan data sekunder. Data diperoleh dari profil analisis tinja dan rekam medis dari pasien anak di Divisi Gastrohepatologi, Departemen Kesehatan Anak, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ada 13 pasien menderita alergi susu sapi dan 78 pasien tanpa alergi dibandingkan dalam penelitian ini. Prevalensi alergi susu sapi dan gizi buruk pada pasien anak dengan diare adalah 14,3 dan 38,4. Tidak ada hubungan antara alergi susu sapi dengan berat badan untuk usia, tinggi badan untuk usia, dan berat badan untuk tinggi badan p 0,05. Kesimpulannya, alergi susu sapi tidak dikaitkan dengan kekurangan gizi pada pasien anak di bawah tiga tahun yang menderita diare.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70350
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Andria Amanda
Abstrak :
ABSTRAK
Diare telah menjadi salah satu penyebab meningkatnya kesakitan dan kematian pada anak. Diare biasanya disebabkan oleh infeksi. Sindrom Malabsorpsi dan beberapa enteropatogen bisa menyebabkan diare. Studi ini dilaksanakan untuk mencari prevalensi malabsorpsi laktosa dan malnutrisi pada pasien anak dengan diare dan mencari asosiasi malabsorpsi laktosa dan malnutrisi. Studi ini menggunakan studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder. Jenis studi ini dipilih untuk mengetahui asosiasi malabsorpsi laktosa dan malnutrisi. Data yang dibutuhkan akan diperoleh dari profil analisis tinja dan rekam medis pasien anak yang dirawat di RSCM. Penelitian ini menemukan prevalensi malabsorpsi laktosa di pasien anak dengan diare sebanyak 18,2 . Prevalensi malnutrisi di pasien anak dengan diare sebanyak 38 . Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat asosiasi malabsorpsi laktosa dengan status nutrisi p>0.05 . Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai asosiasi malabsorpsi laktosa dan malnutrisi dengan sampel yang lebih besar.
ABSTRACT
Diarrhea remains as a leading cause of childhood morbidity and mortality in Indonesia. Diarrhea in children is usually caused by infection . However, numerous disorders could also result in diarrhea. It includes a malabsorption syndrome and various enteropathies. The study that we conduct is aimed to determine the prevalence of lactose malabsorption and malnutrition in pediatric patients with diarrhea and the association between lactose malabsorption. and malnutrition. The research design used for this study is a cross sectional using secondary data. This study is chosen to know the association between lactose malabsorption and malnutrition. The data in this study will be obtained from stool analysis profile and the medical record of pediatric patients that are treated in Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM . This study found that the prevalence of lactose malabsorption in pediatric patients with diarrhea is 18.2 . This study also found that the prevalence of malnutrition is 38 .Moreover, the result of the study revealed that there is no association between lactose malabsorption and nutritional status P 0.05 . A further study is required to explored the association between lactose malabsorption and nutritional status with larger sample size
2016
S70361
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indry Ratnawaty
Abstrak :
ABSTRAK
Nutrisi menjadi suatu bagian penting dalam menilai indikator kesembuhan pada pasien Tuberkulosis TB .Kondisi status nutrisi yang buruk akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis jika tidak segera ditangani akanmeningkatkan keparahan, konversi sputum tidak terjadi, dan risiko kematian. Sehingga penilaian status nutrisi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran status nutrisi berdasarkan karakteristik pada pasien Tuberkulosis di Kabupaten Bogor. Desain penelitian ini adalah deskriptif kategorik dengan pendekatan cross sectional, dengan besar sampel 359 pasien Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bogor, yang dipilih menggunakan teknik consecutive sampling. Penilaian status nutrisi dilakukan dengan mengukur indeks masa tubuh IMT . Hasil uji statistik menyatakan status nutrisi pada pasien Tuberkulosis di Kabupaten Bogor adalah normal 187 orang 52,1 . Penelitian ini merekomendasikan kepada pengelola program TB untuk mempertahankan pemberian edukasi kepada pasien TB sehingga status nutrisi terus meningkat.
ABSTRACT
Nutritional status is an important indicator of recuperation of patient with tuberculosis TBC . Poor nutritional status due to Mycobacterium tuberculosisinfection may lead to deterioration of condition, absence of sputum conversion, and risk of death. Therefore, assessment of nutritional status is critical. This study aimed to identify descriptive of nutritional status based on characteristics of patient with tuberculosis in Bogor. The study design was descriptive with cross sectional approach and total sample of 359 patients with tuberculosis in Health Centres of Bogor District selected through consecutive sampling. Nutritional status was assessed by measuring body mass index BMI . The result indicated that majority of patients with tuberculosis 52,1 , 187 respondents demonstrated a normal nutritional status. The study suggested for all stakeholders of tuberculosis program to keep providing education for tuberculosis patients to improve their nutritional status.
2017
S68365
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ummi Ulfah Madina
Abstrak :
Latar belakang: Peningkatan usia lanjut menimbulkan dampak kesehatan, diantaranya adalah sarkopenia dan kerapuhan. Kekuatan genggam tangan merupakan komponen sarkopenia, fenotip sindrom kerapuhan, dan bersifat dinamis. Berbagai studi potong lintang menilai hubungan kekuataan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental, dan komorbiditas namun temuan masih beragam. Selain itu, belum ada studi longitudinal untuk mengetahui hubungan perubahan kekuatan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental dan komorbiditas di Indonesia. Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental dan komorbiditas dengan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien usia lanjut. Metode: Penelitian kohort prospektif menggunakan data sekunder pasien usia lanjut yang kontrol rutin di Poliklinik Geriatri RSCM Jakarta dari register studi longitudinal INA-FRAGILE yang telah diobservasi selama 1 tahun (2013-2014). Uji analisis multivariat regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi (skor MNA), status fungsional (skor ADL), status mental (skor GDS-SF), indeks komorbiditas (skor CIRS) dengan perubahan kekuatan genggam tangan. Hasil: Dalam 1 tahun pengamatan dari 162 subjek, didapatkan rerata usia 72,9 (SB 5,9) tahun, jenis kelamin terbanyak perempuan (57,41%), memiliki nutrisi baik (83,9%), mandiri (median ADL 9–20), tidak depresi (median GDS-SF 0–11), rerata indeks komorbiditas 11,8 (SB 3,7), dan 53,1% mengalami penurunan kekuatan genggam tangan. Status nutrisi (OR=2,7; p=0,033) dan indeks komorbiditas (OR 0,3; p<0,002) berhubungan dengan kekuatan genggam tangan. Simpulan: Status nutrisi dan komorbiditas memengaruhi perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien usia lanjut dalam 1 tahun di rawat jalan. ......Background: Increasing elderly population throughout the world has been related to increased prevalence of sarcopenia and frailty. Handgrip strength is a component of sarcopenia, one of frailty syndrome phenotypes, and a dynamic process. Previous cross-sectional studies have assessed association of age, sex, nutritional status, functional status, mental status and comorbodity but the results were varied. That being said, there was no longitudinal study has been done to determine the correlation of handgrip strength changes with age, sex, nutritional status, functional status, mental status, and comorbidity in Indonesia. Objective: To examine correlation between age, sex, nutritional status, functional status, depressive symptopms, comorbidity, and handgrip strength changes in elderly patients. Methods: A prospective cohort study using secondary data of elderly patients whom routinely visiting Geriatric Out-Patients Clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from INA-FRAGILE register that have been observed for 1 year (2013-2014). The multivariate logistic regression analysis was used to assess correlation between sex, age, nutrional status (MNA score), functional status (ADL score), depressive symptoms (GDS-SF score), comorbidities (CIRS score) and handgrip strength changes. Results: From 162 subjects which were included in the study, the mean age was 72.9 (SB 5.9) years, predominantly female (57.41%), with good nutrition (83.9%), independent (median 9- 20), not depressed (median 0-11), has average comorbidity index 11.8 (SB 3.7), and 53.1% experienced decreased handgrip strength. Nutritional status (OR = 2.7, p = 0.033) and comorbidity index (OR 0.3, p <0.002) correlated with handgrip strength changes. Conclusion: Nutritional status and comorbidity correlates with handgrip strength changes in out-patients elderly within 1 year.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
Abstrak :
Anak yang dirawat di ICU cenderung mengalami malnutrisi sejak masuk atau selama perawatan yang dapat memperberat penyakit dasar, memperpanjang lama rawat serta meningkatkan mortalitas. Baik underfeeding atapun overfeeding dapat terjadi di ICU Anak selama perawatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, menggunakan data rekam medis. Selama 3 bulan penelitian. didapatkan 45 subjek penelitian. Dari 45 data pasien didapatkan 127 peresepan untuk menilai keseuaian peresepan dengan pemberian nutrisi pada pasien. Pemberian nutrisi pada pasien yang dirawat di ICU Anak merupakan hal yang sangat penting. Perlu perhitungan kebutuhan nutrisi yang cermat, pemberian nutrisi tepat yang sesuai kebutuhan pasien agar tidak terjadi malnutrisi yang lebih berat lagi. ......Children admitted to the Pediatric Intensive Care Unit (PICU) are at risk for poor and potentially worsening nutritional status, a factor that further increases comorbidities and complications, prolongs the hospital stay, increases cost and increases mortality. Both underfeeding and overfeeding are prevalent in PICU and may result in large energy imbalance. This was cross sectional study design, with 3 month consecutive sampling in PICU which met 45 patients as the subject and 127 prescription of nutrition. Nutrition support therapies in PICU is very important .Adequate nutrition therapy is essential to improve nutrition outcomes in critically ill children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Pranata
Abstrak :
Remaja merupakan aset kesehatan di masa mendatang, namun banyak remaja mengalami masalah nutrisi. Tujuan penelitian untuk menganalisis hubungan pengetahuan, efikasi diri dan latihan fisik dengan status nutrisi remaja. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dan pengambilan sampel secara consecutive sampling sebanyak 356 siswa sekolah menengah atas negeri di Kota Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan rerata remaja berusia 16 tahun dan berjenis kelamin perempuan 64,9%. Kesimpulan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan, efikasi diri dan latihan fisik dengan status nutrisi pada remaja (p > 0,05). Rekomendasi perlu peningkatan upaya pencegahan primer dengan optimalisasi kegiatan UKS dan layanan konseling nutrisi remaja. ......Adolescents are health assets in the future, but many adolescents experience nutritional problems. The research objective was to analyze the relationship between knowledge, self-efficacy and physical exercise with the nutritional status of adolescents. This study used a cross-sectional approach and consecutive sampling of 356 public high school students in Bekasi City. The results showed that the average age of adolescents was 16 years and 64.9% female. In conclusion, there is no significant relationship between knowledge, self-efficacy and physical exercise with nutritional status in adolescents (p> 0.05). Recommendations need to increase primary prevention efforts by optimizing UKS activities and adolescent nutrition counseling services.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>