Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harfiana Ashari
"Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana beauty influencer berupaya meredefinisi kecantikan di media sosial dan bagaimana audiens menegosiasikan wacana tersebut. Studi sebelumnya telah menunjukkan beauty influencer dapat membuat sebuah tindakan untuk meredefinisikan standar kecantikan, salah satunya dengan meluncurkan produk kecantikan dengan model yang memiliki tampilan visual tidak sesuai dengan standar kecantikan. Meskipun demikian, belum banyak studi membahas upaya beauty influencer meredefinisi standar kecantikan di media sosial, bagaimana strategi penyebaran wacana tersebut, dan bagaimana audiens menegosiasikannya. Berdasarkan konsep Mitos Kecantikan Naomi Wolf, studi ini melihat beberapa beauty influencer berperan dalam mereproduksi diskursus yang meredefinisikan standar kecantikan ideal. Berpijak dari teori resepsi Stuart Hall, maka studi ini berargumen beauty influencer yang berupaya meredefinisi kecantikan masih menjadi pihak yang juga melanggengkan standar kecantikan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa beauty influencer menggunakan lima strategi untuk menyebarkan wacana redefinisi standar kecantikan, yaitu foto tanpa filter, video, berkolaborasi dengan industri kecantikan dan beauty influencer lain, menjadi narasumber webinar, dan menjalin relasi dengan audiens. Namun hal tersebut masih dinegosiasikan karena relasi kuasa dari budaya patriarkal dan kapitalisme di kalangan audiens. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, sehingga teknik pengambilan data menggunakan teknik observasi daring melalui berbagai praktik yang dilakukan beauty influencer di media sosial dan wawancara mendalam.

This study aims to explain how beauty influencers try to redefine beauty standards on social media and how audiences negotiate it. Previous studies have shown that female beauty influencers are able to make an action to redefine beauty standards, one of which is by launching a beauty product that displays a model with a visual form that is not in accordance with beauty standards. However, there are not many studies yet that discuss the beauty influencers’s method to redefine beauty standards on social media, how to spread, and how audiences negotiate it. Reflecting on the concept of the Beauty Myth by Naomi Wolf, this study sees several beauty influencers play a role in reproducing the discourse that redefines the ideal beauty standards. Based on reception theory by Stuart Hall, this study argues that beauty influencers who try to redefine beauty are still the ones who also perpetuate beauty standards. The research findings show that beauty influencers use five strategies to spread the discourse on redefining beauty standards, namely unfiltered photos, making videos, collaborating with the beauty industry and other beauty influencers, hosting webinars, and establishing relationships with the audiences. The efforts is still being negotiated due to the power of the relation between patriarchal cultural values and capitalism among the audiences. This research uses a case study method, so that the techniques for the data collection will use online observation through various practices carried out by beauty influencer on social media and in-depth interviews.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Hadiva
"Tulisan ini akan membahas mengenai standar kecantikan khususnya pada perempuan. Perempuan dan kecantikan merupakan suatu kesatuan yang identik. Kecantikan sebagai sifat feminin telah berakar kuat dalam sistem sosial yang lebih luas dan terprogram secara budaya. Pada tren kecantikan modern umumnya mematok pada tubuh yang tinggi semampai dan langsing, memiliki bokong dan dada yang padat, berkulit putih, berhidung mancung, pipi tirus, bibir kemerahan, dan rambut hitam maupun berwarna yang berkilau. Berbagai tren yang terbentuk tersebut membuat perempuan merasa tertekan atas tubuhnya sendiri. Khususnya pada sejarah perbudakan orang kulit hitam yang membuat mereka trauma dan takut untuk menjadi diri mereka sendiri. Kini mereka berusaha tampil putih dan cantik agar tidak mengulang sejarah buruk. Ini dapat melukai Hak Asasi Manusia dalam hal diskriminasi kecantikan dan diskriminasi terhadap orang kulit hitam. Metode yang peneliti gunakan adalah metode penelitian kualitatif, studi literatur, dan deskripsi analitis filosofis. Menggunakan beberapa teori mengenai standar kecantikan, dengan melihat bahwa banyak orang kulit hitam mencoba menjadi cantik dan putih agar mereka merasa aman dengan penampilannya. Hal ini juga menjelaskan bagaimana kolonialisme dapat berpengaruh pada keadaan ras, warna, dan kecantikan dimasa sekarang dan dapat berpengaruh juga kepada HAM.

This paper will discuss beauty standards, especially in women. Women and beauty are an identical unity. Beauty as a feminine nature has been rooted strongly in a broader and culturally programmed social system. In modern beauty trends generally pegged in a tall and slim body, have a solid buttocks and chest, white -skinned, sharp nose, gaunt cheeks, reddish lips, and black or shiny colored hair. Various trends formed make women feel depressed over their own body. Especially in the history of black slavery that makes them traumatized and afraid to be themselves. Now they are trying to look white and beautiful so as not to repeat bad history. This can hurt human rights in terms of beauty discrimination and discrimination against black people. The methods that researchers use are qualitative research methods, literature studies, and philosophical analytical descriptions. Using several theories about beauty standards, by seeing that many black people try to be beautiful and white so they feel safe with their appearance. It also explains how colonialism can affect the state of race, color, and beauty in the present and can also affect human rights."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ghaeda Noor Siti Ghifari
"Webtoon adalah jenis komik digital yang mempunyai banyak pembaca, salah satunya webtoon berjudul Yeosingangnim. Penelitian ini menganalisis sikap tokoh Jugyeong dan Seungho dalam webtoon Yeosingangnim terhadap standar kecantikan Korea. Webtoon Yeosingangnim menceritakan seseorang yang merasa tidak percaya diri karena wajah dan penampilannya tidak menarik atau tidak sesuai dengan standar kecantikan Korea. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sikap tokoh Jugyeong dan Seungho terhadap standar kecantikan Korea dan menunjukkan keterkaitan antara gender dengan sikap tersebut. Dalam menganalisis sikap tokoh, metode yang digunakan adalah deskriptif- kualitatif dengan teori penokohan tokoh berkembang oleh Nurgiyantoro. Data penelitian ini adalah kutipan dialog tokoh Jugyeong dan Seungho. Teknik pengumpulan yang digunakan adalah baca dan catat. Hasil temuan menunjukkan adanya keterkaitan gender antara perempuan dan laki-laki dalam webtoon Yeosingangnim yang mendapatkan tuntutan sosial dan tekanan terkait penampilannya. Pada awalnya mereka mengikuti tuntutan tersebut agar dapat diterima oleh masyarakat dengan menggunakan makeup. Namun, karena beberapa faktor yang mendorong mereka, sehingga mereka memutuskan untuk menolak mengikuti tuntutan tersebut.

Webtoon is a type of digital comic that has many readers, one of which is the webtoon entitled Yeosingangnim. This research analyzes the attitudes of the characters Jugyeong and Seungho in the Yeosingangnim webtoon towards Korean beauty standards. The Yeosingangnim webtoon tells the story of someone who feels lacking in self-confidence due to a face and appearance that is unattractive or does not fit Korean beauty standards. This research aims to identify the attitudes of the characters Jugyeong and Seungho towards Korean beauty standards and show the correlation between gender and these attitudes. This research uses a descriptive-qualitative method with Nurgiyantoro's development characterization theory. The research data consists of quotations from the dialogues of the characters Jugyeong and Seungho. The data collection techniques used for this research are reading and taking notes. The result of this research shows that there is a gender correlation between women and men in the Yeosingangnim webtoon who face societal demands and pressure regarding their appearance. At first, they followed these demands in order to be accepted by society through the use of makeup. However, due to several factors that encouraged them, they decided to refuse to comply with the demands."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Layla Pradipta
"Media sering kali menggambarkan perempuan secara ideal dan sempurna. Hal ini berkontribusi pada body shaming pada perempuan yang dianggap tidak memenuhi gambaran ideal tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, gerakan body positivity atau pandangan positif mengenai tubuh semakin berkembang. Salah satu media yang menggunakan konsep body positivity adalah Germany's Next Topmodel (GNTM). Pada tahun 2022 program ini menggunakan tema keberagaman dan menampilkan kontestan dari beragam kelompok usia, bentuk tubuh, dan ras. Penelitian ini menganalisis secara semiotik keberagaman yang ditampilkan dalam GNTM 2022 dan menemukan bahwa keberagaman tersebut menjadi bentuk perlawanan terhadap standar kecantikan yang ada di Jerman, khususnya dalam dunia mode. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun GNTM 2022 mempromosikan ide keberagaman dan menunjukkan perlawanan terhadap penggambaran ideal perempuan, tetapi standar kecantikan yang seragam masih sangat melekat dalam industri mode di Jerman.

The media often portrays women as idealized and perfect. This contributes to body shaming of women who are perceived as not living up to that idealized image. However, over time, the body positivity movement has grown. One of the media that uses the concept of body positivity is Germany's Next Topmodel (GNTM). In 2022 this program used diversity and featured contestants from various age groups, body shapes, and races. This research semiotically analyzes the diversity displayed in GNTM 2022 and finds that diversity is a form of resistance to existing beauty standards in Germany, especially in the fashion world. The results of the analysis show that although GNTM 2022 promotes the idea of diversity and shows resistance to the ideal depiction of women, uniform beauty standards are still very much embedded in the fashion industry in Germany."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqa Aisya Su'ada
"Penelitian ini bertujuan untuk menggali reproduksi counter-discourse di antara acne fighter pengikut beauty influencer Ratu Ghania di Instagram. Berbagai studi terdahulu menunjukkan bahwa influencer berperan dalam mereproduksi diskursus standar kecantikan maupun counter-discourse; yang kemudian direproduksi oleh para pengikut mereka. Namun, studi sebelumnya berfokus pada pengikut beauty influencer yang melakukan counter-discourse tidak membahas lebih lanjut mengenai partisipasi para pengikut dalam mereproduksi counter-discourse melalui representasi diri tertentu di media sosial. Dengan menggunakan pemikiran Foucault mengenai counter-discourse dan representasi diri lewat media sosial dari Rettberg, peneliti berargumen bahwa acne fighter mereproduksi counter-discourse terhadap diskursus standar kecantikan secara diskursif dengan menganggap kulit wajah berjerawat itu cantik serta mendefinisikan kecantikan melalui kecantikan dari dalam (inner beauty) sebagai bargaining power dalam perlawanan mereka. Kemudian, counter-discourse diwujudkan secara material melalui tindakan representasi diri di media sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa acne fighter mereproduksi counter-discourse melalui representasi diri yang dilakukan di Instagram secara visual, tekstual, dan kuantitatif. Narasi counter-discourse berupa kecantikan wajah berjerawat serta kecantikan dari dalam yang ditemukan dalam penelitian ini merupakan representasi dari diskursus yang dioperasikan oleh industri kecantikan melalui beauty influencer serta kontes kecantikan. Diskursus yang direproduksi acne fighter merupakan negosiasi terhadap diskursus dominan mengenai kecantikan perempuan. Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi non partisipan, serta photo elicitation.

This research aims to explain counter-discourse reproduction among acne fighters who follow beauty Influencer Ratu Ghania on Instagram. Previous studies have shown that beauty influencers participate in the reproduction of beauty standards discourse as well as the counter-discourse; which is then being reproduced by their followers. However, previous studies focusing on beauty influencer’s followers who reproduced counter-discourse did not discuss further about their participation in self representation in social media. Through Foucault's concept of counter-discourse and Rettberg’s model of self representation in social media, the researcher argues that acne fighters reproduce counter-discourse against the discourse of beauty standards discursively by stating acne-prone skin as beautiful and defining beauty through inner beauty as bargaining power in their resistance. Counter-discourse is also manifested materially through acts of self-representation on social media. This research finds that acne fighters reproduce counter-discourse by engaging in self representation on Instagram through visual, textual, and quantitative forms. The counter-discourse narrative, in the form of the beauty of acne and inner beauty found in this study, represents the discourse that is operated by the beauty industry through beauty influencers and beauty pageants. The discourse that is being reproduced by acne fighters could be seen as negotiation of dominant discourse on women’s beauty. The research data were obtained through in-depth interview, observation, and photo elicitation."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prameswari Noor Andytyaputri
"Remaja perempuan di Indonesia banyak terpapar oleh media yang dengan kaku menggambarkan kulit putih sebagai salah satu karakateristik yang menunjukkan standar kecantikan. Paparan terhadap standar kecantikan tersebut dapat berpengaruh pada internalisasi standar kecantikan bahwa kulit putih dianggap lebih menarik dan memberikan pengaruh pada bagaimana perempuan di Indonesia menilai warna kulit dan penampilan tubuhnya secara keseluruhan. Internalisasi standar kecantikan adalah salah satu faktor yang memengaruhi kepuasan warna kulit dan kepuasan tubuh perempuan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antarvariabel internalisasi standar kecantikan kulit putih, kepuasan warna kulit, dan kepuasan tubuh pada remaja perempuan di salah satu kota besar di Indonesia. Kuesioner disusun menggunakan adaptasi alat ukur Sociocultural Attitude Towards Appearance Questionnaire (SATAQ), Skin Color Satisfaction Scale (SCSS), dan Multidimensional Body Self-Report Questionnaire (MBSRQ). Survey dan wawancara dilakukan pada 228 pelajar perempuan berusia 13-23 tahun dari berbagai SMP, SMA, dan Universitas di Jabodetabek untuk melihat hubungan antarvariabel. Hasil penelitian menemukan adanya hubungan yang signifikan antara internalisasi dengan kepuasan warna kulit dan kepuasan kulit dengan kepuasan tubuh, namun tidak pada internalisasi dengan kepuasan tubuh. Semakin tinggi internalisasi remaja perempuan, semakin rendah kepuasannya terhadap warna kulitnya. Walaupun kepuasan warna kulit memiliki hubungan positif dengan kepuasan tubuh, internalisasi standar kecantikan kulit putih tidak memiliki hubungan langsung dengan kepuasan tubuh secara keseluruhan.

Despite having a racial characteristic of darker skin, Indonesian teenage girls are exposed to media promoting a rigid beauty ideal that lighter skin color is more desirable. Exposure to this white-idealization can affect the way they perceive their own appearance. The present study examines the relationship between white-ideal beauty internalization, skin color satisfaction, and body satisfaction among female adolescents in a big city in Indonesia. The questionnaire used was arranged using scales from Attitude Towards Appearance Questionnaire (SATAQ), Skin Color Satisfaction Scale (SCSS), dan Multidimensional Body Self-Report Questionnaire (MBSRQ). Surveys and interviews were conducted on 228 female students between the age of 13 and 23 from various middle school, high school, and university in Jakarta and its surrounding areas. Study finds significant correlations between internalization and skin color satisfaction, also between skin color satisfaction and body satisfaction, but not between skin color satisfaction and body satisfaction.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63363
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marvella Aubrey Altaira
"Isu body image di kalangan para wanita muda Korea Selatan sedang hangat dibicarakan. Tubuh kurus dan langsing dianggap sebagai tubuh yang ideal dan menjadi salah satu standar kecantikan di Korea Selatan. Berbagai macam cara dilakukan terutama oleh para wanita muda agar bisa mendapatkan tubuh yang ideal, salah satunya adalah dengan mengonsumsi suplemen pelangsing. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui standar kecantikan yang ada di Korea Selatan ditinjau dari sudut pandang mahasiswi Korea sebagai perwakilan dari para wanita muda dalam mengonsumsi suplemen pelangsing. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan pragmatik. Hasil analisis menunjukkan bahwa menurut mahasiswi Korea, tubuh yang kurus dan langsing dianggap sebagai tubuh ideal dan termasuk dalam standar kecantikan di Korea Selatan. Mengonsumsi suplemen pelangsing untuk mendapatkan tubuh ideal dianggap sebagai pilihan yang mudah, meskipun hal tersebut tidak selalu membuahkan hasil yang memuaskan dan justru memiliki efek samping yang buruk bagi tubuh. Pengaruh media, terutama selebriti dan influencer sangat besar dalam membentuk keinginan mahasiswi untuk mengonsumsi suplemen pelangsing. Selain itu, terdapat perbedaan persepsi mahasiswi Korea terhadap keefektifan dan risiko penggunaan suplemen pelangsing terutama terkait pertimbangan dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkan.
The issue of body image among young women in South Korea is currently a hot topic. A slim and slender body is considered ideal and is one of the beauty standards in South Korea. Various methods are employed especially by young women to achieve the ideal body, one of which is by consuming slimming supplements. This study aims to understand the beauty standards in South Korea by examining the preferences of Korean female university students, as representatives of young women, in consuming slimming supplements. The research method used is qualitative with a pragmatic approach. The result of this study shows that according to Korean female students, a slim and slender body is considered ideal and indeed a part of the beauty standards in South Korea. Consuming slimming supplements to achieve an ideal body is regarded as an easy option, although it does not always yield satisfactory results and often has adverse side effects on the body. The media's influences, especially from celebrities and influencers, play a significant role in shaping the desire of the students to consume slimming supplements. Additionally, there are varying perceptions among the students regarding the effectiveness and risks of using slimming supplements particularly in relation to considerations of social and health impacts."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Alfitriah Arifin
"Mitos kecantikan dalam masyarakat patriarki telah melahirkan standar kecantikan yang sebenarnya dibangun dari sistem sex/gender yang wajib dipatuhi setiap perempuan. Standar kecantikan patriarki tidak hanya dikonstruksi berdasarkan male gaze dan mengekslusikan pengalaman perempuan, tetapi juga menyengsarakan perempuan. Penilaian moral yang tertulis dalam gambar tubuh perempuan yang tidak sesuai dengan standar kecantikan patriarki menciptakan respon yang menindas tidak hanya dari cara perempuan memperlakukan dirinya melalui diet, operasi plastik, hair removal, dan penggunaan make up atau pakaian tertentu, tetapi juga dari orang lain. Dengan menggunakan kasus unggahan story Instagram Michelle Halim pada 10 Juli 2021, penulisan ini bertujuan untuk melihat respon yang menindas dari orang lain sebagai serangan yang ditunjukkan kepada perempuan yang menantang cara dominan dalam memandang tubuh sesuai dengan cita-cita kecantikan yang dibentuk oleh masyarakat patriarki. Berdasarkan hasil analisis penulis menggunakan teori feminis radikal, unggahan story Instagram Michelle Halim dan pendukungnya merupakan contoh serangan yang menindas berupa gendered and sexist online hate speech terhadap perempuan pendukung gerakan body positivity. Gendered and sexist online hate speech ini dapat terjadi sebagai akibat dari internalisasi standar kecantikan perempuan dalam masyarakat patriarki yang dilanggengkan oleh media sebagai alat untuk mempertahankan sistem penindasan (opresi) terhadap perempuan.

Beauty myths in a patriarchal society have produced beauty standards built from the sex/gender system that every woman must obey. Not only constructed based on the male gaze and exempt women’s experiences, the patriarchal beauty standards also make women miserable. Moral judgments that cling to non-conforming female body images found in patriarchal beauty standards create an oppressive response not only from how women treat themselves through diet, plastic surgery, hair removal, and the use of make-up or certain clothes; but also from other people. By using the case of Michelle Halim’s Instagram story uploaded on July 10, 2021, this paper aims to see the oppressive response from others as an attack shown to women who challenge the dominant way of viewing the body under the ideals of beauty formed by patriarchal society. From the results of the author’s analysis using a radical feminist theory, the aforementioned Michelle Halim’s and her supporters' Instagram stories upload is an example of an oppressive attack in the form of gendered and sexist online hate speech against women who support body positivity movement. Gendered and sexist online hate speech can occur as a result of the internalization of women’s beauty standards in a patriarchal society perpetuated by the media as a tool to maintain a system of oppression against women."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrinda Putri Poempida
"Standar kecantikan adalah gagasan yang menyiratkan bagaimana perempuan seharusnya berpenampilan. Hal ini menjadi standar sosial sekaligus harapan terhadap perempuan, dan penampilan mereka. Di Indonesia, standar kecantikan berubah dari waktu ke waktu, bergantung pada banyak faktor kultural. Pada saat ini, media sosial berperan penting dalam banyaknya konstruksi opini publik, termasuk terhadap standar kecantikan wanita. Dalam beberapa tahun terakhir, inklusivitas telah menjadi tren dalam menentukan standar kecantikan di kalangan wanita Indonesia. Salah satu aspek yang berpengaruh terhadap pencangkupan inklusivitas dalam mendefinisikan standar kecantikan adalah postingan Instagram fenomenal Tara Basro yang menarik banyak sentimen campuran dari publik dan media. Fenomena yang berdampak sosial ini memiliki dampak terhadap konstruksi standar kecantikan wanita Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini untuk mengkaji apakah ada peran dari media sosial, khususnya postingan Instagram Tara Basro, dalam melakukan konstruksi terhadap persepsi publik tentang standar kecantikan wanita Indonesia.

Beauty standard is a notion which imply how female, in particular, should look like. It became social standard as well as expectation toward female, and their appearance. In Indonesia, beauty standard has changed overtime, depending on multiple cultural factors. Nowadays, Social Media plays important role on construction various of public opinion toward many social issues, including female beauty standard. In addition, inclusivity has become a trend on defining beauty standard among Indonesian female in the past few years. One of the most recent influential aspects that promotes inclusivity in defining beauty standard is Tara Basro’s phenomenal Instagram post which drew plenty of mixed sentiment from both the public and media. This social phenomenon has its own impact toward the construction of Indonesian female beauty standard. Therefore, this study is to assess whether or not there is an impact of social media, especially Tara Basro’s Instagram post, in the construction of public perception toward Indonesian female beauty standard."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library