Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sidarta Ilyas
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
617.755 SID k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mariati S. Muchlis
"ABSTRAK
Sayatan pada operasi katarak biasanya menyebabkan beberapa tingkat pendataran meridian kornea pada "right angle" ke arah sayatan tersebut. Dengan sayatan di bagian superior berarti adanya pendataran pada meridian vertikal.
Perjalanan yang lambat dan progresif dari penyembuhan luka operasi menyebabkan regangan jaringan parut sehingga terjadi pendataran dari bagian atas kornea yang menghasilkan astigmatisme "Againts the rule".
Dikatakan bahwa astigmatisme yang terjadi segera setelah operasi disebabkan oleh karena jahitan yang terlalu kencang dan akan berkurang selama periode pasca bedah ( 9 ).
Sing (7) berpendapat bahwa astigmatisme yang terjadi segera setelah operasi lebih tinggi dibandingkan pasca pembedahan setelah 6 minggu di mana akan menurun hampir separuhnya.
Yaffe (10) menganjurkan pemberian kaca mata afakia segera setelah hasil keratometer dan refraksi stabil, biasanya pada minggu ke-6 sampai minggu ke-8 pasca bedah.
Dia malah memberikan kaca mata afakia setelah 4 minggu dan kadang-kadang setelah 8 minggu, hal ini tergantung dari tehnik pembedahan.
Menetapnya hasil keratometer atau refraksi selain tergantung dari teknik pembedahan, juga dipengaruhi oleh proses penyembuhan luka yang bervariasi secara individual, di samping itu berbagai faktor lain seperti operator, benang yang dipakai, pengobatan pasca bedah dan lain-lain mempunyai peranan penting, sehingga pemberian kaca mata afakia sebaiknya ditinjau kasus perkasus.
Selama ini di RS Cipto Mangunkusumo pemberian kaca mata afakia setelah 2 bulan pasca bedah di mana dianggap luka operasi sudah tenang dan hasil refraksi objektif dan subjektif sudah optimal.
Timbul masaalah pada penderita-penderita yang masih aktif bekerja agar dapat menjalankan fungsinya sedini mungkin sehingga mereka sangat mengharapkan kaca mata afakia secepatnya.
Kapan sebaiknya kaca mata afakia dapat diberikan merupakan hal yang perlu dikemukakan mengingat faktor-faktor tersebut diatas. Dalam hal ini penulis ingin mencoba untuk menentukan suatu kriteria, kapan sebaiknya diberikan kaca mata afakia pada penderita pasca bedah katarak yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang tersedia.
Pada penelitian ini penulis membatasi diri dengan hanya melakukan penelitian pada penderita yang dilakukan operasi katarak intrakapsuler dengan tehnik operasi yang sesuai protokol yang telah dianjurkan pada resider tingkat terakhir di Bagian Ilmu Penyakit mata RSCM.
"
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salamun
"Menteri Kesehatan R.I telah menyatakan bahwa pada tahun 1980 diperkirakan di Indonesia terdapat lebih kurang 1,2 juta tuna netra dan oleh karenanya kebutaan dinyatakan sebagai bencana nasional (Departemen Kesehatan RI, 1983; Hamurwono, 1984). Kemudian berdasarkan data Direktorat Rehabilitasi Penderita Cacat Departemen Sosial RI tahun 1980, ternyata bahwa tuna netra menempati tempat tertinggi di antara cacat-cacat lainnya (Departemen Kesehatan RI, 1983; Hamurwono, 1984).
Hasil survai Morbiditas Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan paling atas dari 10 penyakit mata utama (Departemen Kesehatan RI,1983; Hamurwono, 1984).
Dari hasil survai kesehatan anak didaerah DKI Jaya yang dilakukan oleh Kanwil Depkes DKI bersama PERDAMI Cabang DKI pada anak Sekolah Dasar dan lbtiddaiah di seluruh wilayah DKI diketahui bahwa angka kelainan refraksi rata-rata sebesar 11,8%. Sehingga di Indonesia dari ± 48,6 juta murid Sekolah Dasar diperkirakan terdapat 5,8 juta orang anak yang menderita kelainan refraksi (Biro Pusat Statistik, 1986; Marsetio, 1989).
Menurut para peneliti dari berbagai negara, penyakit mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, ternyata berbeda-beda penyebabnya. Di Amerika Serikat misalnya berdasarkan laporan resmi US Department of Health pada tahun 1976, miopia merupakan penyebab kebutaan ke tujuh dalam daftar urutan penyebab kebutaan. Sedangkan di Jerman Timur menunjukkan tingkat kedua, Uni Sovyet kedua, Denmark ketiga, Jepang kelima, Hongkong kelima, Sri Langka kelima dan Jerman Barat ketujuh (Lim & Jones, 1981).
Dalam bidang oftalmologi tercatat bahwa miopia merupakan obyek penelitian yang paling lama telah dilakukan. Hal ini disebabkan karena penglihatan sangat penting untuk kehidupan. Dalam sejarahnya kelainan miopia telah diketahui sejak zaman Aristoteles, tetapi penelitian yang lebih mendalam dan akurat serta sistematis baru dilakukan pada pertengahan abad 19 oleh Von Jaegger, Donders, Von Graefe, Von Reuss dan Von Arlt. Pada permulaan pertengahan abad ke 19 sejalan dengan kemajuan di bidang oftalmologi dan optik, Schnabel & Herrnheiser telah membuktikan bahwa miopia antara lain dapat disebabkan oleh panjang sumbu bola mata (Von Graefe, 1854; Von Jaeger, 1861; Donders, 1864; Von Arlt, 1876; Schnabel & Herrnheiser, 1895; Curtin, 1985).
Dibandingkan dengan seluruh kelainan refraksi mata manusia, miopia diketahui merupakan masalah yang paling besar karena menyangkut jumlah penderita kelainan refraksi yang tertinggi serta menyebabkan gangguan terhadap kehidupan serta pekerjaan sehari-hari (Sato, 1957; Goldschmidt, 1978; Fledelius, 1978).
Pada miopia derajat rendah, gangguan penglihatan yang mungkin terjadi dapat diatasi dengan mudah dan umumnya tidak akan mengganggu kehidupan sehari-hari. Pada miopia derajat sedang dan tinggi dapat menimbulkan masalah ekonomi yang bermakna.
Menurut laporan US Department of Health pada tahun 1978 dapat dilihat bahwa keadaan miopia pada penduduk Amerika Serikat menimbulkan kerugian sebesar empat milyar dollar, yaitu biaya untuk mengatasi keadaan miopia penduduk, agar mereka dapat melakukan kehidupan serta pekerjaan sehari-hari (Curtin, 1985)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
D295
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristanto Nugroho
"PT Harmoni Panca Utama (PT HPU) adalah perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor pertambangan. Salah satu project PT HPU yang saat ini berjalan adalah kontraktor pertambangan untuk pekerjaan pembuangan overburden di area konsesi tambang batubara PT Batubara Dua Ribu Abadi (PT BDA), Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Untuk pekerjaan tersebut, PT HPU saat ini menggunakan alat berat excavator kelas 40-50 ton serta truk kelas 30 ton. Untuk meningkatkan produksinya dari 5.000.000 BCM/tahun menjadi 10.000.000 BCM/tahun, PT HPU berencana untuk menggunakan alat berat dengan kapasitas yang lebih besar yaitu excavator kelas 120 ton serta truk kelas 91 ton.Di penelitian ini penulis melakukan uji seismik refraksi untuk pemilihan bulldozer berdasarkan kemampuan ripabiltasnya. Selain itu juga dilakukan uji daya dukung tanah dengan metode Dynamic cone penetrometer untuk pemilihan dump truck . Penulis juga melakukan perhitungan estimasi jumlah kebutuhan alat berat, produktifitas serta biaya produksi untuk kegiatan pembuangan overburden.Dari hasil studi lapangan diperoleh kesimpulan bahwa untuk material pasir tidak direkomendasikan menggunakan HD785-7 dan cukup untuk direct digging. Untuk material clay dapat beroperasi HD785-7 dan memerlukan D155A-2 untuk ripping material.

PT Harmoni Panca Utama (PT HPU) is mining contracting company. One of PT HPU current project is overburden removal contractor at PT Batubara Dua Ribu Abadi (PT BDA) concession. For that project, PT HPU currently using 40-50 ton class excavator and 30 ton class dump truck. For enhance their production target from 5.000.000 BCM/year to 10.000.000 BCM/year next year, PT HPU plan for using bigger excavator on 120 ton class, 91 ton class dump truck and D155A-2 bulldozer for ripping material. On this research, writer doing seismic refraction test for bulldozer selection based on its rippability. Beside that, CBR testing with Dynamic Cone Penetrometer was also carried out to determine dump truck selection. This study also calculate estimation number of heavy equipment needs, productivity and production cost for overburden removal activity. The conclusion of this study is sand material not recommend for HD785-7 operation and able for direct digging. For clay material is recommend for HD785-7 and need D155A-2 for ripping material."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rayhani Fadhila
"Latar belakang: Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi masih menjadi penyebab tersering gangguan penglihatan di dunia terutama di area terpencil. Phoropter lipat merupakan alat baru yang diciptakan untuk memeriksa kelainan refraksi secara mandiri. Tujuan: Mengetahui validitas phoropter lipat dibandingkan dengan refraksi subjektif konvensional (baku emas) pada miopia dan astigmatisme pada populasi dewasa muda. Metode: Desain potong lintang pada pasien miopia dan astigmatisme yang berusia 18-<40 tahun. Seluruh subjek diperiksa status refraksinya dengan refraksi subjektif konvensional yang dilanjutkan dengan pengukuran refraksi menggunakan phoropter lipat. Validitas phoropter lipat dianalisis dengan kurva ROC dan Bland Altman. Hasil: Terdapat 134 subjek (203 mata) yang terdiri dari miopia (92,6%) dan astigmatisme (62,6%). Rerata sferikal ekuivalen (SE) antara refraksi subjetif konvensional dan phoropter lipat adalah -2,160D (1,68) dan -2,468D (1,64) pada miopia, sedangkan pada astigmatisme -2,252D (1,76) dan -2,585D (1,75). Phoropter lipat memiliki sensitivitas yang tinggi (96,77%) serta spesifisitas yang rendah (61,11%). Nilai area under the curve (AUC) phoropter lipat sangat baik, 0,966. Perbedaan rerata antara hasil refraksi subjektif dan phoropter lipat sekitar 0,308 – 0,359 dengan rentang LoA -1,562 – 2,219 pada miopia dan LoA -1,707 – 2,373 pada astigmatisme. Kesimpulan: Phoropter lipat memiliki validitas yang baik dalam mengukur kelainan refraksi berbasis SE penderita miopia dan astigmatisme dewasa muda.

Background: Uncorrected refractive error remains the main cause of vision impairment particulary in remote areas. The Folding Phoropter device is a new self-refraction tool that allows users to determine their own refractive error. Objective: To determine the validity of the folding phoropter compared with conventional subjective refraction (gold standard) in myopic and astigmatism young adults. Method: A cross-sectional study in myopic and astigmatism patients aged 18-<40years. All subjects had their refractive status checked using conventional subjective refraction followed by refraction measurements using a folding phoropter. The validity of the folding phoropter was analyzed by ROC curves and Bland Altman. Results: The 134 participants (203 eyes) enrolled consisted of myopia (92.6%) and astigmatism (62.6%). Mean spherical equivalent (SE) measured by conventional subjective refraction and folding phoropter were -2.160D (1.68) and -2.468D (1.64), respectively in myopia, while in astigmatism, mean SE were and -2.252D (1.76) and -2.585 D (1.75). The folding phoropter had high sensitivity (96.77%) and low specificity (61.11%). The folding phoropter had very good AUC, 0.966. The average difference between the results of subjective refraction and folding phoropter was around 0.308 – 0.359 with a range of LoA -1.562 – 2.219 in myopia and LoA -1.707 – 2.373 in astigmatism. Conclusion: The folding phoropter has good validity in measuring SE-based refractive errors in young adults with myopia and astigmatism."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rifqi Rafif Aly
"ABSTRAK
Bulan Mei 2017, lima rumah di Desa Kranggan, Setu, Tangerang Selatan, Banten dilanda longsor. Untuk menghindari korban jiwa akibat longsor susulan, Dibutuhkan identifikasi bidang gelincir. Pada penelitian kali ini digunakan metode seismik refraksi dan geolistrik dengan menggabungkan kedua metode tersebut untuk menentukan bidang gelincir. Pemilihan metode seismik refraksi didasarkan karena resolusi dari metode ini sangat baik dalam menampilkan perubahan nilai kecepatan dari arah vertical perlapisan . Sedangkan metode geolistrik digunakan berdasarkan sifat khasnya yang mampu menampilkan struktur bawah permukaan berdasarkan nilai hambat jenis yang dimiliki oleh batuan tertentu. Penentuan bidang gelincir didasarkan dengan hasil inversi cross-gradient yang menggabungkan kedua bentuk struktur bawah permukaan untuk dijadikan batasan dalam melakukan inversi. Setelah mendapatkan hasil inversi gabungan antara kedua metode, kedua hasil penampang yang independen ini diintepretasi untuk menentukan lapisan yang menjadi bidang gelincir. Dari hasil yang didapat, ditemukan adanya struktur khas patahan terbentuk di penampang seismik refraksi yang kemudian saling komplemen dengan penampang hambat jenis. Hal ini memicu kekhawatiran adanya potensi longsor susulan di daerah penelitian.

ABSTRACT
May 2017, five houses in Desa Kranggan, Setu, Tangerang Selatan, Banten was buried due to landslide. To minimize life victims due to further landslides, slip surface identification is needed. In this research seismic refraction and resistivity method is used by joining both methods to identify slip surface. Refraction seismic methods was chosen for its ability in high resolution in imaging vertical changes. Resistivity method was chosen based on its unique properties of displaying subsurface structure based on resistivity value of each rock. The identification is based on cross gradient inversion which joins both structure respectively based on structural similarities as inversion constraint. After both inversed profiles is obtained, both independent profiles is interpreted to identify layer of slip surface. From obtained results, a unique structure of fault is detected along refraction seismic and the result is complemented by resistivity profile. This rises awareness of potential further landslide in the area.
"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigael Jasmine Angelita
"Latar Belakang
Ablasio retina mempengaruhi fungsi pengelihatan yang dapat bersifat permanen. Angka prevalensinya juga meningkat setiap tahunnya, juga dengan miopia yang merupakan salah satu faktor risikonya. Walaupun hubungan antara derajat miopia dengan kejadian ablasio retina sudah banyak dicari, tetapi belum ada penelitian serupa dilakukan di RSCM, rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Maka dari itu, penelitian ini ingin mencari tahu hubungan antara keduanya dan karakteristik klinis yang ditimbulkannya.
Metode
Dengan desain analitik observasional menggunakan metode potong-lintang, data diambil dari rekam medis pasien miopia yang berkunjung pada tahun 2023 kemudian dicatat karakteristik demografis (usia, jenis kelamin, domisili, tingkat pendidikan) dan karakteristik klinisnya (derajat miopia, diagnosis ablasio retina). Pasien miopia yang didiagnosis ablasio retina akan dicatat juga karakteristik klinis ablasio retinanya. Hubungan antara derajat miopia dan kejadian ablasio retina dianalisis statistika uji Chi- Square. Pada mata miopia dengan ablasio retina, perbedaan usia antara kelompok derajat miopia dianalisis statistika uji Mann-Whitney.
Hasil
Dari 348 mata miopia tinggi dan 526 mata miopia ringan-sedang, didapatkan ablasio retina pada 38 mata dengan miopia tinggi dan 32 mata dengan miopia rendah-sedang. Hubungan antara derajat miopia dan diagnosis ablasio retina signifikan (P=0.022) dengan OR 1.795. Tidak terdapat perbedaan usia yang signifikan antara kelompok miopia ringan- sedang dan berat dengan ablasio retina (P=.245), tetapi kelompok miopia ringan-sedang memiliki median lebih tinggi (40.5) dibandingkan miopia tinggi (32).
Kesimpulan
Derajat miopia berat berpeluang lebih besar terhadap kejadian ablasio retina dibandingkan derajat miopia ringan-sedang. Usia pasien miopia derajat ringan-sedang juga lebih tua dibandingkan usia pasien miopia derajat berat, tetapi hasilnya tidak bermakna secara statistika.

Introduction
Retinal detachment might have permanent impact on visual function. The prevalence of retinal detachment is increasing year-by-year, as is myopia, one of its risk factor. Although the relationship between degreee of myopia and retinal detachment incidence has been researched, no similar studies have been conducted in RSCM. Therefore, this research aims to investigate the relationship and the outcome of clinical characteristics between different myopic degrees.
Method
Using observational analytic design and cross-sectional method, data on myopic patients who visited RSCM on 2023 are extracted from medical record. Demographic characteristic (age, gender, domicile, education level) and clinical characteristic (degree of myopia, retinal detachment diagnosis) were documented. The characteristics of myopic patients with retinal detachment were also recorded. Chi-Square test was used to analyze the relationship between myopia degree and retinal detachmen. For myopic eyes diagnosed with retinal detachment, the age difference between two groups based on myopia degree was analyzed using Mann-Whitney test.
Results
Out of 348 severely myopic eyes and 526 mild-moderate myopic eyes, retinal detachment was diagnosed in 38 severely myopic eyes and 32 mild-moderate myopic eyes. The relationship between myopia degree and retinal detachment incidence are significant (P=0.022) with an OR of 1.795. There is no significant difference between mild-moderate myopic group and severe myopic group in terms of retinal detachment (P=.245), however mild-moderate myopic group has a higher median age (40.5) than severely myopic group (32).
Conclusion
Severly myopic eyes have higher probaility of retinal detachment compared to mild- moderate myopic eye. The age of mild-moderate myopic group with retinal detachment is higher than that of the severely myopic group, although statistically not significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
V., Sreekanth K.
"This book highlights recent advances in thin-film photonics, particularly as building blocks of metamaterials and metasurfaces. Recent advances in nanophotonics has demonstrated remarkable control over the electromagnetic field by tailoring the optical properties of materials at the subwavelength scale which results in the emergence of metamaterials and metasurfaces. However, most of the proposed platforms require intense lithography which makes them of minor practical relevance. Stacked ultrathin-films of dielectrics, semi-conductors, and metals are introduced as an alternative platform that perform unique or similar functionalities. This book discusses the new era of thin film photonics and its potential applications in perfect and selective light absorption, structural coloring, biosensing, enhanced spontaneous emission, reconfigurable photonic devices and super lensing.​"
Singapore: Springer Singapore, 2019
e20510852
eBooks  Universitas Indonesia Library