Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amanda Larissa M.S.P.
Abstrak :
Penulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana sebuah lingkungan interior dapat menghadirkan kualitas spasial yang menciptakan kontrol terhadap pergerakan (movement) dalam konsep continuous interior. Proses pemahaman ini ditelusuri melalui studi mengenai pembentukan sistem persepsi yang melibatkan fungsi sensori dan gerak tubuh. Studi kasus dilakukan dengan melakukan penelusuran terhadap lingkungan interior melalui perspektif penyandang low vision. Ketidakoptimuman fungsi sensori visual terkait persepsi ruang, berdampak pada kesulitan berorientasi dan bernavigasi. Studi terhadap penelusuran memberikan temuan bahwa beberapa perlakuan terhadap elemen-elemen ruang mampu menghasilkan kualitas spasial yang ditawarkan dalam konsep "continuous interior". Perlakuan terhadap elemen ruang yang repetitif menghasilkan kualitas kontinuitas (continuity). Selain itu, perlakuan terhadap elemen ruang yang berfungsi sebagai landmark atau penanda menghadirkan kualitas keberagaman program (diversity of programme). Kedua kualitas spasial tersebut kemudian mampu mengarahkan alur pergerakan (directed flow) pernyandang low vision. ......This undergraduate thesis focuses on understanding how an interior environment offers spatial qualities that could create control on movement, by looking at a theory called "continuous interior". The understanding process involves study on the construction of the perception system, which further involves comphrehension on sensory system and body movement. Study cases for this thesis are done by interviewing and having a walk through an interior environment with people whom have low vision. The involvement of people with low vision is to understand the perspective of space from a low vision point of view, which leads to difficulties on orienting and navigating through space. From the study case, it is found that several treatments towards spatial elements could create spatial qualities (continuity, diversed programme, directed flow) proposed by the theory of "continuous interior". Repetitive treatments on spatial elements create the spatial quality of continuity. Other than that, elements that are designed as landmarks create the spatial quality of diversed programmed. Both the spatial quality of continuity and diversed programme then creates another spatial quality of directing the movement (directed flow) of people with low vision.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S65351
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanti Diastiningsih
Abstrak :
Latar belakang: Data global, terdapat 2,2 milyar penduduk di seluruh dunia memiliki gangguan penglihatan jauh dan dekat. Setengah dari kasus atau sekitar 1 milyar memiliki gangguan penglihatan yang dapat dicegah atau belum ditangani, dan berpotensi kejadian low vision. Seorang dengan low vision berakibat kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari dan dapat mempengaruhi kualitas hidup seperti putus sekolah, dan kehilangan pekerjaan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian low vision di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Desain studi yang digunakan adalah desain studi potong lintang (cross sectional). Data yang digunakan adalah data sekunder berasal dari rekam medis. Sampel penelitian ini adalah 281 responden pasien kontrol rawat jalan Poli Anugerah IPKMT RSCM Kirana. Hasil: Proporsi kejadian low vision di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah sebesar 16,8%. Adanya hubungan signifikan secara statistik dengan kejadian low vision pada faktor klinik yaitu katarak nilai-p=<0,001dan PR=6,03 (95%CI;2,21 – 16,5) dan retinopati diabetik dengan nilai-p=0,005 dan PR=3,20 (95%CI;1,69 – 6,06). Kesimpulan: Katarak dan retinopati diabetik memiliki hubungan secara signifikan dengan kejadian low vision. Meningkatkan pelayanan kesehatan mata dan deteksi dini diharapkan dapat mencegah gangguan penglihatan yang berakibat low vision. ......Background: Global data reported that 2.2 billion of worldwide population suffer from far and near vision impairment. Half of the cases, or approximately 1 billion people, exhibits the visual impairment which can be prevented but has not been addressed, leading to the occurrence of low vision. A person with a low vision would be susceptible to the risk of the difficulty in performing their daily activity and affects their quality of life such as school dropout and loosing their job. Objective: This study aims to determine the factors associated of low vision incidence in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Method: This study performs a cross sectional study design, using secondary data obtained from medical records. As many as 281 respondents were collected from outpatient control in Poliklinik Anugerah IPKMT RSCM Kirana. Results: The propotion of low vision incidence in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was estimated 16.8%. There is a statistically significant relationship with the incidence of low vision between clinical factor, i.e. cataract with p-value=<0,001 and PR=6,03(95%CI;2,21 – 16,5) and diabetic retinopathy with p-value=0,005 and PR=3,20 (95%CI;1,69 – 6,06). Conclusion: Cataract and diabetic retinopathy were identified to have a significant relationship with the incidence of low vision. Improving eye health services and early detection is expected to prevent visual impairment which result in low vision
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Amany
Abstrak :
Museum merupakan tempat untuk manusia mempelajari banyak hal melalui display-display pada ruang pamer museum sehingga seharusnya display museum harus inklusif agar spektrum user dapat lebih luas. Dalam rangka museum sebagai tempat memamerkan objek tertentu dan inklusif, lighting termasuk pada hal yang paling krusial pada. Hunt (2009) menyatakan bahwa Lighting adalah salah satu komponen penting dalam lingkungan museum karena ruang memungkinkan pengunjung untuk melihat objek, mengalami pemandangan baru dan bereaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, lighting pada museum berperan sebagai penciptaan suasana yang ideal dalam mengeksplorasi informasi di museum. Dalam merancang lighting ideal yang dapat memenuhi kebutuhan pelestarian benda dan membentuk pengalaman spasial pengunjung, maka diperlukan semacam strategi pada pencahayaan, salah satunya adalah layering light. Layering light merupakan penggunaan berbagai jenis lighting pada interior yang bertujuan untuk menunjang fungsi dan pengalaman spasial pada suatu ruang. Semua lapisan cahaya bekerja sama untuk menciptakan desain yang utuh dan kohesif (Karlen, 56, 2017). Penggunaan lighting yang beragam memaksa indera penglihatan manusia harus beradaptasi terhadap kualitas dan kuantitas cahaya yang berbeda-beda pada lighting yang berbeda pula. Sehingga pada penelitian ini, merupakan penelitian kualitatif dengan pembahasan secara deskriptif. Metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data pada skripsi ini adalah studi literatur, mengidentifikasi, dan menganalisis strategi penggunaan layering light pada museum dan bagaimana dampaknya terhadap adaptasi visual user. ......Museums are places for people to learn many things through displays in museum showrooms, so museum displays should be inclusive so that the spectrum of users can be wider. In the context of a museum as a place to exhibit certain and inclusive objects, lighting is one of the most crucial things. Hunt (2009) states that lighting is one of the important components in a museum environment because space allows visitors to see objects, experience new views and react to the surrounding environment. Thus, lighting in the museum plays a role in creating an ideal atmosphere in exploring information in the museum. In designing ideal lighting that can meet the needs of object preservation and shape the visitor's spatial experience, a lighting strategy is needed, one of which is layering light. Layering light is the use of various types of lighting in the interior which aims to support the function and spatial experience in a space. All layers of light work together to create a cohesive and cohesive design (Karlen, 56, 2017). The use of various lighting forces the human sense of sight to adapt to different quality and quantity of light in different lighting. So in this study, is a qualitative research with a descriptive discussion. The method that will be used to collect data in this thesis is to study literature, identify, and analyze strategies for using layering light in museums and how they impact the visual adaptation of users.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Dwi Handayani
Abstrak :
Tesis desain ini membahas tentang pembentukan sebuah ruang arsitektur yang dihasilkan dari memahami respon inderawi yang dihasilkan dari seseorang yang memiliki keterbatasan visual (low vision) yang berproses memahami ruang secara bertahap. Proses terbentuknya sebuah ruang diturunkan dari pendekatan bagaimana seorang penderita low vision bergerak dan beraktifitas dalam lingkungannya. Riset ini dilakukan menggunakan tiga metode berbeda, yaitu yang pertama mengamati pengalaman visual dalam mengapresiasi media film, yang kedua memahami aktifitas keseharian di dalam ruang diri yang sudah dikenali, dan yang ketiga adalah memahami ruang diri yang baru pertama kali dialami. Pendekatan narasi yang terbentuk dalam memahami ruang menghasilkan beberapa proposisi penting yaitu penggunaan karakter ruang dengan warna-warna kontras, metode berjalan dan berhenti untuk melakukan reorientasi posisi, pengabaian aspek detail dan pengutamaan aspek fungsional, dan faktor-faktor pendukung lainnya. Low vision dalam kondisi yang sangat umum, terjadi tidak hanya pada satu kelompok differently-able saja, tetapi dapat digeneralisasi terjadi juga pada generasi lanjut usia (elderly). Pendekatan arsitektural berbasis narasi ini diterapkan dalam desain sebuah fasilitas publik untuk kelompok lanjut usia (elderly). Kecenderungan kenaikan jumlah penduduk lanjut usia dalam komposisi penduduk suatu kota menunjukkan pentingnya perhatian khusus terhadap eksistensi mereka dalam ruang publik. Mengakomodasi kebutuhan mereka secara arsitektural menjadi sangat perlu agar mereka sebagai kelompok yang memiliki keterbatasan secara visual mampu bergerak dan beraktifitas secara mandiri dalam ruang hidupnya. ......This design thesis develops a method of forming an architectural space generated from the understanding of the sensory response of a person with visual limitations (low vision) in the process of understanding the space gradually. The process of space formation is derived from how a person with low vision moves and conducts activities in the environment. The research was conducted through three different methods, the first one is observing the visual experience with the film as a media, the second one is understanding the spatial experiences in the daily activities within familiar space, and the third one is understanding the spatial experiences in non-familiar space. The resulting narrative approach produced several important propositions, namely the use of spatial qualities with contrasting colors, the method of moving, walking and stopping to reorient the position, ignored details and enhanced functional aspects, and other supporting factors. Low vision in a very common condition, occurs not only in a differently-able group, but it can also generally occurs in the elderly group. This narrative-based architectural approach is then applied in the design of a public facility for the elderly. The increasing tendency in the number of elderly in the urban population suggests the importance of special attention to their existence in public space. Architecture that could accommodate the spatial needs of people with visual limitations become necessary to enable them to move and to experience their life space independently.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
T28803
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Gracia
Abstrak :
Fasilitas transportasi publik sebagai suatu lingkungan terbangun yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat, sudah seharusnya mampu untuk memenuhi kebutuhan navigasi dari setiap penggunanya, termasuk penyandang low vision. Dalam upaya peningkatan kemampuan orientasi dan mobilitas dari low vision, penting untuk melibatkan kehadiran kontras warna yang berpotensi bagi sisa penglihatan penyandang pada elemen komunikatif guna memperoleh informasi spasial yang dibutuhkan. Studi penerapan warna pada fitur ruang dari Stasiun MRT Bundaran HI dan Halte TransJakarta ASEAN memperlihatkan pemenuhan akan kebutuhan perolehan informasi bagi penyandang low vision melalui aplikasi akan kontras warna pada fiturfitur ruang baik melalui fitur arsitektur maupun fitur grafis. Penerapan kontras warna yang baik dilihat berdasarkan standar desain praktik yang ada dan perbedaan akan atribut dari hasil interaksi antar warna. Hasil observasi menemukan bahwa tidak semua fitur dari stasiun maupun halte berpotensi dalam memenuhi kebutuhan penyandang low vision. Namun, dibandingkan dengan Halte TransJakarta ASEAN, dapat dikatakan bahwa ruang pada Stasiun MRT Bundaran HI lebih memperhatikan aplikasi serta tingkat kontras warna yang berpotensi dalam membantu kemampuan orientasi dan mobilitas penyandang. Sehingga, seluruh tipe fasilitas transportasi umum yang ada perlu mempertimbangkan sisa penglihatan low vision dalam penerapan warna akan fitur ruang. ......Public transportation facilities act as a built environment that plays a role in meeting the daily needs of the community, therefore it should be able to meet the navigation needs of each user, including people with low vision. In an effort to improve the orientation and mobility abilities of low vision, it is important to involve the presence of adequate colour contrast for the residual vision through communicative elements in order to obtain the required spatial information. The study of the application of colour to the spatial features of the Bundaran HI MRT Station and ASEAN TransJakarta Bus Stop demonstrates the fulfilment of the information gathering needs of those with low vision through the application of colour contrast to spatial features, both architectural and graphic features. Adequate application of colour contrast is seen based on existing design standards of practice and the differences in attributes resulting from the interaction between colours. Observations found that not all features of the stations and bus stops have met adequate standards for people with low vision. However, compared to the ASEAN TransJakarta Bus Stop, it can be said that Bundaran HI MRT Station pays more attention to the application and level of colour contrast that has the potential to assist low vision's orientation and mobility skills.. Therefore, all types of public transportation facilities need to consider the residual vision of low vision in the colour application of spatial features.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fauzan Fadhil
Abstrak :
Museum digunakan sebagai ruang belajar dan cerminan kepribadian dari masyarakat tempat museum tersebut berada, sehingga museum diharuskan menjadi tempat seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan belajar. Namun penggunaan media pamer yang didominasi oleh media pamer dengan pendekatan penginderaan visual, menyebabkan penderita gangguan seperti low-vision mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi secara lengkap pada museum. Tulisan ini dibuat untuk mempelajari penerapan media pamer interaktif pada ruang museum serta pengaruh dari kualitas lingkungan interior dalam memengaruhi informasi yang diterima pengguna low-vision. Penerapan media pamer dan kualitas lingkungan interior pendukungnya untuk pengunjung dengan low-vision dikaji dengan metode kualitatif melalui observasi langsung pada studi kasus. Temuan yang didapatkan mengindikasikan minimnya media pamer interaktif yang dirancang untuk pengunjung dengan gangguan penglihatan seperti low-vision pada ruang museum. Sehingga proses penyampaian informasi untuk pengunjung dengan low-vision pada ruang museum dapat dilakukan. ......Museum is used as a learning space and reflection of the communities’ personality on where the museum is located, so that museum is required to be a place for all levels of society to obtain information and learn. However, the use of exhibition media is dominated by a visual sensing approach type that causes people with disorders such as low-vision to have difficulty getting complete information about the museum. This paper was created to study the application of interactive display media in museum spaces and the impact received from the quality of the interior environment in affecting the information received by low-vision users. The application of display media and the quality of the supporting interior environment for visitors with low-vision is studied qualitatively through direct observation of case studies. The findings indicate the lack of interactive exhibition media designed for visitors with visual impairments such as low-vision in museum spaces. So that the process of conveying information to visitor with low-vision in the museum space can be done.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Primarini
Abstrak :
Program ini bertujuan umuk mengembangkan kcmampuan motorik halus anak dalam rangka menunjang kematangan sekolah anak Sena mcngajarkan kemampuan menggunal-can mesin tik braille. Terdapat tiga teknik dasar modifikasi perilaku yang digunakan pada rancangan intcrvensi ini yaitu teknik shaping, fading, dan prompiing. Martin dan Pear (2003) mengatakan bahwa teknik fading dapat di gunakan untuk membentuk perilaku pada anak dengan gangguan perkembangan, autis, atau anak yang berusia sangat muda. Mrdiirgjuga sesuai digunakan umuk meningkatkan keahlian yang belum dikuasai oleh anak seperti misalnya melatih jan dalam mengetik (Vcnkatesan, 2006). Program terdiri atas tujuh tahap dan menggunakan beberapa alat bantu yang disesuaikan dengan masing-masing tahapan. Mulai dan tahapan pendahuluan 1 dimana anak diperkenalkan dengan kantung biji-bijian, pendahuluan IJ saat fasilitator mengajak anak umuk bermain dengan adonan tepung atau lilin mainan, kelima tahap selanjumya fasilitator meminta anak untuk menekan tuts sesuai dengan alat bantu yang telah disiapkan yaitu tahap Ipianika, tahap II piano mainan, tahap ITI mesin tik Iistrik, tahap IV mesin tik manual dan tahap V mesin tik braille. Prosedur pelaksanaan intewcnsi dimulai dengan fasilitator memberikan pronnmiing pada subyek untuk mengawali dan mengarahkan respon kepada target perilaku yang dikendaki. Jika pcrilaku subyek sudah tampil konsislen, maka perlahan pemberian prompting akan dikurangi sampai subyek mampu menampilkan tingkahlaku yang dikendaki dan fasilitator tidak lagi memberikan prompting (Martin & Pear, 2003). Bentuk I'(:’flM)l'(.°(£I)l¢:‘l!f yang diberikan pada program ini adalah social reiijorcemenl yaiw dengan memberikan sentuhan, ciuman, dan pelukan. Evaluasi program dilakukan bcrdasarkan data wawancara dan juga perbandingan tabel hasil pelaksanaan kegiatan pendahuluan dan tahap terakhir. Kesimpulan program intewensi ini adalah subyek menunjukkan peningkatan kemampuan dalam menggunakan jan tangannya umuk menekan tuts mesin tik dengan teknik shaping, pronioring, danfading. Yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan program ini adalah perlunya tahap persiapan yang lebih matang dalam melatih kemandirian sebelurn mengajarkan anak untuk mengetik. ......In order to enhance line motor skills for school readiness and in teaching using a type machine with Braille letters, blind children need support from their significant others. The methods used in this intervention program is shaping, prompting and fading. Shaping is a method to develop new behavior involving the used of reinforcement in the behavior that needs to be developed (Martin & Pear, 2003). Then, fading is a gradually process that have to be done step by step in order to eliminate the support that given whenever ones developing child’s new behavior, including teaching them how to type (Venkatesan, 2004). This program consists of seven steps. The intervention uses a few tools which are conditioned with each step. In the first introductory step, child is introduced to two different kinds bag of seeds; in the second introdustory step, facilitator asks the child to play with wheat meal or clay; while in the next fifth steps facilitator asks child to click on tumbles designed according to the steps, namely in the first step pianica, in the second step playing piano, in the third electric type machine, in the fourth manual type machine and in the filth step, a Braille type machine. The procedure of this program starts whenever the facilitator give prompting to the child in order to build new target behavior. Ifthe behavior already consistenly shovtm then slowly facilitator fades the prompting to the child untill the child show the target behavior and the facilitator no longer give prompting (Martin & Pear, 2003). Social reinforcement is also given in the form of touch and embracement. Evaluation ofthe program is done based on intervention data and also comparison of evaluation table of the first introductory step with the last step. In sum, the intervention program succeeded in enhancing subject’s use of fingers in typing with a type machine using the shaping, prompting and Riding technique. None the less, a few limitations are subject of improvement in the future, such as the urgently of prepring the first steps before the program is being held in order to develop the independence of child before they start. to leam how to type.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Botutihe, Sukma Nurilawati
Abstrak :
Dalam upaya menangani perilaku yang tidak diharapkan dari anak, perlu dilakukan perubahan perilaku. Perubahan tersebut akan menjadi efektif dengan adanya kontrol dan keterlibatan orang tua. Oleh karena itu orang tua perlu diberikan pelatihan dalam mengupayakan teknik modifikasi perilaku pada anak (Schaefer & Briesmeister, 1989). Untuk itu disusun program intervensi yang diawali dengan pelatihan pada ibu Dj (ibu kandung), sehingga ibu Dj dapat menerima kondisi O dan kemudian menerapkan pengetahuan dan keterampilan melakukan modifikasi perilaku terhadap O. Program intervensi dengan teknik modifikasi perilaku melalui pemberian token ekonomi ini ditujukan untuk perubahan perilaku belajar O. O adalah seorang anak penyandang low vision yang berusia 7 tahun 9 bulan. Keberhasilan intervensi yang ditunjukkan dengan adanya perubahan perilaku belajar O, sangat dipengaruhi oleh penerimaan ibu Dj terhadap kondisi O.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T38102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Nurdiana
Abstrak :
ABSTRAK
Cognitive Behavior Therapy CBT untuk Meningkatkan Illness Acceptance pada Pasien Retinitis Pigmentosa Latar Belakang Retinitis Pigmentosa RP adalah salah satu jenis penyakit retinal herediter yang bersifat degeneratif dan dapat berujung pada kebutaan total. Dampak kerusakan penglihatan pada RP dapat mempengaruhi berbagai aspek di dalam kehidupan penderitanya, baik itu fisik, psikologis maupun psikososial penderitanya. Pasien usia dewasa awal memiliki risiko yang lebih besar mengalami permasalahan psikologis sehubungan dengan adanya perubahan serta gangguan signifikan terhadap peran sosialnya. Di sisi lain, penerimaan individu terhadap penyakit dapat mengurangi reaksi dan emosi negatif terkait dengan penyakit dan penanganan medisnya. Penerimaan terhadap penyakit bermanfaat untuk membantu pasien dalam mengoptimalkan fungsi kesehariannya sehingga ia dapat beradaptasi dengan sisa fungsi penglihatannya dan dampak dari hendaya penglihatannya terhadap kehidupannya. Oleh karena itu, peneliti mencoba menjawab kebutuhan tersebut dengan memberikan Cognitive Behavior Therapy kepada 3 tiga orang penyandang Retinitis Pigmentosa. Desain Penelitian Penelitian dijalankan dengan menggunakan desain single subject design. Adapun intervensi CBT diberikan dalam 5 sesi. Hasil Partisipan mengalami peningkatan illness acceptance yang ditandai dengan perbaikan skor Illness Cognition Questionnaire ICQ pada subskala Acceptance maupun Helplessness. Kata kunci: Illness acceptance, retinitis pigmentosa, low vision, dewasa awal, cognitive behavioral therapy.
ABSTRACT
Cognitive Behavior Therapy CBT to Increase Illness Acceptance in Adult Retinitis Pigmentosa Patients Background Retinitis pigmentosa RP is a slowly progressive loss of vision which eventually leads to bare or no light perception, posing a continuous threat to patients 39 independence. Negative psychological states such as distress, sleepiness, anxiety and depression are common in RP patients due to the nature of this chronic, disabling illness. Young adults with RP present unique challenges and more prone to psychological problems because of their significant change in many areas of their life, such as working life and care giving roles that inevitably be compromised. Within coping strategy to deal with this disabling illness, acceptance is considered a key variable. When patients accept the disease, it is assumed that they will adjust their life goals towards more achievable goals by integrating this difficult life event. In this research, the researcher provide Cognitive Behavior Therapy for three RP patients. Design With single subjet design, this research aims to find out the effectivity of 5 sessions CBT to improve the illness acceptance of RP patients. Result Improvement was found for all variables in two subscales of Illness Cognition Questionnaire. Qualitatively, it is also found that CBT helps the patient to unconditionally accept themselves, have more positive thoughts towards their illness, and learn how to cope more effectively.
2017
T46867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library