Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulkarnain Barasila
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58448
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Rahmatisa
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Nitrous oxide merupakan gas anestesia inhalasi yang sering ditambahkan pada saat induksi anestesia inhalasi pada anak. Kontroversi penggunaan N2O sendiri masih ada hingga saat ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan laju induksi anestesia, respons hemodinamik, dan komplikasi yang timbul selama menggunakan N2O saat induksi inhalasi anestesia pada pasien anak. Metode. Delapan puluh orang anak usia 1-5 tahun ASA 1 dan 2 yang menjalani anestesia umum, dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan secara acak. Kelompok A sevofluran 8 vol% ditambah oksigen, dan kelompok B sevofluran ditambah oksigen dan N2O 50%. Hasil utama yang diukur adalah laju induksi, dan hasil lainnya adalah respons laju nadi, tekanan darah sistolik, diastolik, serta insidens komplikasi desaturasi, eksitasi, laringospasme, dan breath holding.. Hasil. Laju induksi kelompok B yaitu 35+8.13 detik, lebih cepat dibandingkan kelompok A yaitu. 54.12+5.89 detik Respons laju nadi, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok. Insidens komplikasi desaturasi dan laringospasme tidak terjadi pada penelitian ini. Eksitasi terjadi lebih sedikit pada kelompok B yaitu 10.3% dibandingkan 26.8% pada kelompok A, namun tidak bermakna secara statistik. Breath holding terjadi pada 2 orang (4.9%) di kelompok A, dan tidak terjadi di kelompok B, insidens breath holding tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Kesimpulan. Laju induksi inhalasi pada anak menggunakan sevofluran ditambah oksigen dan N2O lebih cepat dibandingkan tanpa N2O Respons hemodinamik dan insidens komplikasi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.
ABSTRACT
Background. Nitrous oxide is an anesthetic agent that are often added during inhalation induction of anesthesia in pediatric patients. Controversy over the use of N2O is still there to this day. The purpose of this study was to determine differences in the induction time of anesthesia, hemodynamic response, and the complications that arise during the use of N2O inhalation induction of anesthesia in pediatric. Methods. Eighty children aged 1-5 years old ASA 1 and 2 who underwent general anesthesia, were divided into 2 treatment groups at random. Group A was 8 vol% sevoflurane plus oxygen, and group B was oxygen plus sevoflurane and 50% N2O. We measured the induction time, hemodynamic response heart rate, systolic and diastolic blood pressure, and also the incidence of complications desaturation, excitation, laryngospasm, and breath holding. Result. Induction time of group B was 35+8.13 seconds, faster than group A 54.12 +5.89 seconds. The response of heart rate, systolic blood and diastolic blood pressure was not significantly different between the two groups. Desaturation and laryngospasm did not occur in this study. Excitation occurs less in group B that was 10.3% compared to 26.8% in group A, but that was not statistically significant. Breath holding occurred in 2 patients (4.9%) in group A, and did not occur in group B, breath holding incidence also did not differ significantly between the two groups. Conclusion. Inhalation induction time in children using sevoflurane, oxygen and N2O was faster, than without N2O. Hemodynamic response and the incidence of complications was not significantly different between groups.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Shinta Devi
Abstrak :
ABSTRAK
Terapi inhalasi sebagai salah satu penatalaksanaan anak dengan gangguan sistem pernapasan seringkali menyebabkan distress khususnya pada young children. Distress saat pemberian terapi inhalasi dapat menurunkan efektivitas pengobatan yang diberikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektivitas distraksi audiovisual terhadap distress dan status oksigenasi anak yang mengalami gangguan sistem pernapasan dan mendapatkan terapi inhalasi. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment jenis non equivalent control group, pre test- post test design. Sampel berjumlah 38 orang, terbagi masing-masing 19 orang perkelompok kontrol dan intervensi . Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna rerata skor distress pada kelompok kontrol dan intervensi p=0,0001 . Didapatkan pula perbedaan yang bermakna rerata selisih status oksigenasi saturasi oksigen dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah intervensi pada kelompok kontrol dan intervensi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diterapkan untuk mengatasi distress dan meningkatkan status oksigenasi pada anak yang mendapatkan terapi inhalasi. Kata Kunci: Terapi inhalasi, distraksi audiovisual, distress, status oksigenasi
ABSTRACT
Aerosol therapy often causing distress in young children. Distress in children at the time of aerosol therapy may result in ineffectiveness of the treatment given. The purpose of this study was to identify the effectiveness of audiovisual distraction towards distress and oxygenation status of children with respiratory system disorders and receiving aerosol therapy. This research used quasi experiment design with non equivalent control group, pre test and post test design. The total sample was 38 people, divided into 19 controls and 19 intervention groups. The results showed that there was a significant difference between the mean score of distress in the control group and the intervention group p 0.0001 . There was also a significant difference between mean difference in oxygenation status oxygen saturation and respiratory rate before and after intervention in the control and intervention groups. The results of this study are expected to be applied to reduce distress and improve oxygenation status in children who received aerosol therapy. Keyword Aerosol therapy, audiovisual distraction, distress, oxygenation status
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Bawaeda
Abstrak :
Hospitalisasi mengharuskan anak tinggal di rumah sakit dan menerima prosedur medis seperti terapi inhalasi yang dapat memicu kecemasan anak. Salah satu intervensi keperawatan non farmakologi yang dapat diberikan kepada anak untuk menurunkan bahkan menghilangkan kecemasan adalah bermain terapeutik pop-it. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas bermain terapeutik pop-it terhadap tingkat kecemasan anak yang mendapat terapi inhalasi di ruang rawat inap anak. Penelitian ini menggunakan design randomized control trial yang melibatkan 66 anak (dibagi dalam kelompok intervensi dan kontrol) berusia 1-12 tahun yang mendapat terapi inhalasi dan dirawat di ruang rawat inap anak RSUD Talaud, RSUD Manembo-nembo Bitung dan RSUP Prof Dr. R.D. Kandou Malalayang Manado. Sampel diambil menggunakan teknik simple random sampling. Tingkat kecemasan diukur menggunakan instrumen visual facial anxiety scale (VFAS). Hasil penelitian menunjukan bahwa bermain terapeutik popit efektif menurunkan tingkat kecemasan anak yang mendapat terapi inhalasi dengan nilai p 0,000 (α < 0,05). Dengan demikian bermain terapeutik pop-it tepat diberikan kepada anak yang mendapat terapi inhalasi dan direkomendasikan untuk disediakan di rumah sakit sebagai alternatif permainan. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi perawat di rumah sakit saat melakukan asuhan keperawatan pada anak yang mendapat terapi inhalasi. ......Hospitalization requires the child to stay in the hospital and receive medical procedures such as inhalation therapy that can trigger a child's anxiety. One of the nonpharmacological nursing interventions that can be given to children to reduce and even eliminate anxiety is pop-it therapeutic play. The purpose of this study was to determine the effectiveness of pop-it therapeutic play on the anxiety level of children receiving inhalation therapy in the pediatric inpatient room. This study used a randomized control trial design involving 66 children (divided into intervention and control groups) aged 1-12 years who received inhalation therapy and were treated in the pediatric inpatient room at Talaud Hospital, Manembo-nembo Hospital Bitung and Prof Dr. R.D. Kandou Malalayang Manado. Samples were taken using simple random sampling technique. Anxiety levels were measured using a visual facial anxiety scale (VFAS). The results showed that pop-it therapeutic play was effective in reducing the anxiety level of children receiving inhalation therapy with a p value of 0.000 (α < 0.05). Thus, pop-it therapeutic play is appropriate for children receiving inhalation therapy and is recommended to be provided in the hospital as an alternative game. The results of this study can be used as a reference for nurses in hospitals when providing nursing care to children receiving inhalation therapy
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Restu Anggita
Abstrak :
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pernapasan dan salah satu obat yang digunakan adalah antibiotik rifampisin. Walaupun terapi oral rifampisin untuk pasien tuberkulosis sudah tersedia, terapi secara inhalasi yang menargetkan langsung ke paru dan alveolus diharapkan memberikan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu diperlukan inovasi serbuk kering inhalasi yang dapat digunakan dalam regimen terapi tuberkulosis. Penelitian terhadap pengembangan obat TB dalam bentuk serbuk kering sudah ada, namun belum ada yang mengombinasikan kitosan dengan gelatin. Pada penelitian ini dilakukan formulasi, karakterisasi, dan evaluasi sitotoksisitas dari lima serbuk kering inhalasi rifampisin dengan pembawa kitosan-gelatin dengan variasi konsentrasi kitosan dan gelatin. Serbuk dibuat menggunakan metode semprot kering, kemudian dianalisis bentuk dan ukuran partikel geometris dan aerodinamisnya, lalu diuji pelepasannya dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 dan SLS 0,05%, dan dalam larutan KHP pH 4,5. Formulasi dengan profil pelepasan yang paling baik diambil untuk diuji sitotoksisitasnya. Berdasarkan hasil penelitian dipilih F3 (Kit-Gel 2:1) sebagai formula terbaik dengan bentuk partikel sferis, rentang diameter partikel geometris 0,825-1,281 μm dan ukuran partikel aerodinamis 11,857 ± 1,259 μm, dengan persentase rifampisin kumulatif yang terdisolusi dalam dapar fosfat sebesar 45,894 ± 0,876% dan dalam larutan KHP sebesar 42,117 ± 0,912%. Uji sitotoksisitas dilakukan dengan metode MTT assay dan parameter viabilitas sel. Serbuk F3 lebih aman digunakan daripada rifampisin dalam konsentrasi 0,1 mg/mL dengan viabilitas sel sebesar 91,68%. ......Tuberculosis is a respiratory tract disease in which one of the first-line agents used is rifampicin. Oral rifampicin for TB patients is widely available, but inhalation therapy that targets the lungs and alveolus directly could give a better outcome. This drives the need for developing a dry inhalation powder that could be incorporated into the therapeutic regimen of TB. Previous studies on the development of TB medication have been performed, but the application of combination of excipients of chitosan and gelatin as carrier has not been studied. In this study, formulation, characterization, and cytotoxicity evaluation of five rifampicin dry inhalation powders with various concentration of its chitosan-gelatin carrier were studied. The powder was produced with dry-spraying method. Its shape, aerodynamic and geometric particle size were then analyzed. Its releasing profile in phosphate buffer (pH 7.4 and SLS 0.5%) and potassium hydrogen phthalate (pH 4.5) was also tested. Formulation with the best releasing profile was used for cytotoxicity test. F3 (Chit-Gel 2:1) showed the best profile with spherical particle shape and geometric and aerodynamic particle size 0.825-1.281 μm and 11.857 ± 1.259 μm respectively, the cumulative rifampicin percentage dissolved in phosphate buffer and potassium hydrogen phthalate (KHP) were 45.894 ± 0.876% and 42.117 ± 0.912%, respectively. Cytotoxicity evaluation was conducted using MTT assay method with cell viability as the parameter. F3 is less cytotoxic than rifampicin in 0.1 mg/mL with cell viability 91.68%.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferina Angelia
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan:Penggunaan kortikosteroid KS inhalasi dalam tatalaksana penyakit paru obstruktif kronik PPOK diduga berkaitan dengan risiko pneumonia. Penelitian yang ada memberikan hasil yang tidak konsisten. Belum jelas pengaruh perbedaan jenis, dosis, dan durasi KS terhadap pneumonia. Hal tersebut mendasari pentingnya mengetahui hubungan dan pengaruh pola penggunaan KS inhalasi dengan kejadian pneumonia. Metode:Penelitian kasus kontrol retrospektif ini menggunakan data rekam medik pasien PPOK yang di rawat inap dan jalan di RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo dan RS Dr.Ciptomangunkusumo Kencana periode 1 Januari 2012 sampai 30 November 2016. Kelompok kasus dipilih acak dari pasien dengan pneumonia yang ditunjang data radiologis n=67 . Kontrol dipasangkan berdasarkan kategori usia dan penyakit penyerta dengan kasus n=67 . Pada kedua kelompok dinilai pajanan dan pola penggunaan kortikosteroid, lalu dianalisis deskriptif dan analitik. Hasil:Terdapat perbedaan gambaran pajanan kortikosteroid pada kasus dan kontrol. Terdapat hubungan penggunaan kortikosteroid dengan pneumonia p 0,005;OR 0,31;95 CI 0,13-0,71 . Pajanan kelompok kasus didominasi oleh flutikason propionat, sedangkan kontrol adalah budesonid. Tidak ada hubungan jenis dengan pneumonia. Penggunaan terbanyak dosis rendah dan durasi 1 bulan. Ada hubungan dosis dengan pneumonia p 0,019 , tetapi tidak dengan durasi p 0,683 . Kesimpulan:Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek antiinflamasi dan imunosupresan. Pajanan kortikosteroid bersifat protektif karena digunakan dengan dosis rendah sehingga meminimalkan risiko pneumonia.
ABSTRACT
Introduction Treatment with inhaled corticosteroids ICS is well established for chronic obstructive pulmonary disease COPD , but might be linked to pneumonia. However, results differed widely between studies. The magnitude of risk and how this compares with different ICS, dose, and duration, remain unclear. The objective of this study was to determine if the use of ICS is associated with pneumonia and impact of different ICS regiment. Method A retrospective, case ndash control study was conducted using medical record data of COPD patient at RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo and RS Dr.Ciptomangunkusumo Kencana January 1 rsquo 2012 November 30 rsquo 2016 . Sixty seven patient with radiographically confirmed pneumonia cases were matched to 67 controls by age and comorbid. Statistical analysis used to estimate the odds ratio OR and impact of different ICS regiment. Result There are differences in ICS exposure between cases and controls. Treatment with ICS is protective p0.005 OR0.31 95 CI0.13 0.71 . Exposure to ICS in case was dominated by fluticasone propionate and budesonide in control. There is no relationship between types of ICS with pneumonia. Mostly ICS are used in low dose and short duration. There is a relationship between dose with pneumonia p0.019 , but not with duration p0.683 . Conclusion ICS has antiinflammation and immunosuppressant effect. ICS shows protective effect due to lower dose use.
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Tiarno Lestari
Abstrak :
ABSTRAK
Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menular melalui udara. Karakteristik kota yang memiliki kepadatan penduduk, pemukiman dan transportasi, membuat penyebaran pneumonia menjadi lebih mudah. Salah satu masalah keperawatan pada pneumonia adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis pemberian intervensi yaitu batuk efektif, positioning, dan inhalasi pada klien dengan Closed Pathological Fracture Bilateral dengan Community Acquired Pneumonia. Hasil yang diperoleh yaitu pengeluaran sekret yang kurang maksimal berhubungan dengan keterbatasan pasien dalam melakukan mobilisasi dan positoning karena nyeri akibat fraktur. Rekomendasi untuk intervensi selanjutnya adalah pemberian posisi semi fowler 45 atau tegak lurus harus diupayakan agar terjadi pengembangan ekspansi paru yang dapat meningkatkan tekanan ekspirasi maksimum yang memudahkan dalam pengeluaran sekret.
ABSTRACT
Pneumonia is an airbone infectious disease. Urban is characterized by its density of residents, living area and transportation which make the spreading of infectious disease is easier. One of the nursing problem of Pneumonia is Ineffective Airway Clearance. This case study was conducted to analyze the intervention of the effective cough, positioning and inhalation for client who had closed pathological bilateral fracture with community acquired pneumonia. The results of the intervention showed less optimal in mucous secretion related to client rsquo s immobilization and position because of pain due to fractures. This study recommend nurses should give positioning for 45 semi fowler or sit to maximize the pulmonary expansion which may increase the maximum expiratory pressure which facilitates the discharge of secretions.
2017
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Dhianugraha
Abstrak :
Praktik Kerja Profesi PKP di Apotek Rini dilakukan selama empat minggu di bulan Maretbertempat di Jl. Balai Pustaka Timur Rawamangun, Jakarta Timur. PKP ini bertujuan untuk agarcalon apoteker mengetahui tugas dan tanggung jawab apoteker di apotek Selain itu calon apotekerjuga dapat memiliki gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di apotek,memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukanpekerjaan kefarmasian di apotek. Tugas khusus yang diberikan yaitu berjudul ldquo;Kajian PeresepanSediaan Inhalasi dalam Bentuk Inhaler di Apotek Rini pada Bulan Maret 2017. Tujuan dari tugaskhusus ini adalah untuk menganalisis bentuk sediaan inhalasi yang paling banyak diresepkan,menganalisis obat oral yang paling banyak diresepkan dan menganalisis signa yang diresepkansudah tepat atau tidak. Secara umum, apoteker penanggungjawab di Apotek Rini telahmenyelenggarakan pengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan klinis dengan baik dan sesuaidengan peraturan yang berlaku. Selain itu, penulis juga mendapatkan wawasan, pengetahuan dangambaran nyata tentang masalah dalam praktik kefarmasian, serta strategi dan kegiatan yangdilakukan untuk mengatasinya.
Internship at Apotek Rini conducted for four weeks in March held at Jl. Balai Pustaka TimurRawamangun, East Jakarta. Internship is aimed to get the pharmacist to know the duty andresponsibility of the pharmacist in the pharmacy. Besides, the pharmacist can also have insightabout the problem in the pharmacy, knowledge, skill, and practical experience to performpharmaceutical work in the pharmacy. The special assignment given is entitled Prescribing studyfrom inhaler form in apotek Rini at month march 2017. The purpose of this special assignmentis to analysis inhalation form is some prescription, analysis drug oral is some prescription andanalysis signa of the prescription is correct or not. In general, pharmacists of Apotek Rini haveconducted the management of pharmaceutical preparations and clinical services well and inaccordance with applicable regulations. In addition, the authors also get insight and knowledge ofthe problem in the practice of pharmaceutical, as well as strategies and activities undertaken toovercome them.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Prakoso Adji
Abstrak :
Latar belakang: Prosedur laringoskopi dan intubasi merupakan prosedur di bidang anestesi yang sering dilakukan namun merupakan prosedur yang mencetuskan rangsang nyeri yang hebat. Tekanan darah dan laju nadi dapat meningkat karena rangsang simpatis. Respon kardiovaskular tersebut dapat berbahaya pada pasien yang rentan, terutama yang memiliki masalah gangguan jantung ataupun serebrovaskular. Salah satu metode untuk mengurangi hal tersebut adalah penggunaan anestesi, termasuk dengan lidokain. Peningkatan kadar plasma lidokain yang diberikan dengan intravena dapat menimbulkan berbagai efek samping. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek lidokain yang diberikan secara inhalasi. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sebanyak 24 pasien diberikan inhalasi lidokain 1,5 mg/kgbb dan 25 subjek diberikan inhalasi NaCl 0.9% sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Paramater kardiovaskular yang diteliti yakni perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, mean arterial pressure (MAP) dan laju nadi yang dinilai secara serial. Hasil. Pada menit pertama pasca intubasi, MAP dan laju nadi pada kelompok NaCl lebih tinggi, dengan perbedaan MAP sebesar 15,5 mmHg(9,2-21,7 95%IK; p<0,001) dan laju nadi sebesar 9,5 denyut/menit (4,8-14,2 95% IK; p<0,001). Pada menit ke-3 pasca intubasi, perbedaan MAP dan laju nadi kedua kelompok yakni 16,6 mmHg (9,6-23,6 95%IK; p <0,001) dan 11,2 denyut/menit (5,2-17,2 95%IK ; p<0,001 ). Pada menit ke-5 pasca intubasi, tetap terdapat perbedaan bermakna variabel MAP dan laju nadi kedua kelompok, yakni 16,7 mmHg (11,3-22,2 95%IK; p<0,001) dan 10,0 denyut/menit (3,5-16,5 95%IK; p=0,03). Simpulan. Inhalasi lidokain mampu menekan respon peningkatan tekanan darah dan laju nadi akibat rangsang nyeri dan stimulasi simpatis akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.
Background. Laryngoscopy and intubation are routine anaesthesiological procedures which stimulate great amount of pain. Blood pressure and heart rate can be increased by symphatetic stimulation. Laryngoscopy and intubation procedure is a procedure in the field of anesthesia is often done however is a procedure which sparked great pain stimuli. Blood pressure and pulse rate can be increased by stimulation of the sympathetic. The cardiovascular response can be harmful in patients who are vulnerable, especially those who have cardiac or cerebrovascular problems. One method to reduce these was the use of anesthetics, including lidocaine. Increased plasma levels of lidocaine given intravenously can cause various side effects. This study aimed to assess the effects of lidocain inhalation. Methods. Method. This study was a randomized, double-blind clinical trial on patients at the Surgical Center Installation Cipto Mangunkusumo. A total of 24 patients were given inhaled lidocaine 1.5 mg / kg and 25 subjects were given inhaled NaCl 0.9% before laryngoscopy and intubation. Cardiovascular parameters being investigated were changes in systolic and diastolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP) and heart rate in a serial manner. Results. In the first minute after intubation, MAP and heart rate were higher in NaCl group. The difference in MAP was 15.5 mmHg (95% CI 9.2 - 21.7; p <0.001) while heart rate was 9.5 beats / min (95% CI 4.8 - 14.2; p <0.001). In the 3rd minute after intubation, MAP and heart rate kept different in both groups: 16.6 mmHg (95% CI 9.6 - 23.6; p <0.001) and 11.2 beats / minute (5.2 - 17, 2, 95% CI; p <0.001), respectively. In the 5th minute after intubation, MAP and heart rate remained different between two groups: 16.7 mmHg (95% CI 11.3 - 22.2; p <0.001) and 10.0 beats / min (3.5 - 16.5, 95% CI; p = 0.03), respectively. Conclusions. Lidocain inhalation was able to suppress the increased of blood pressure and heart rate due to pain stimuli and sympathetic stimulation after laryngoscopy and intubation.
Depok: Universitas Indonesia, [;2016, 2016]
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Khabib Burhanuddin Iqomh
Abstrak :
ABSTRAK
Pneumonia di Indonesia masih menjadi masalah utama dan angka kematian karena pneumonia masih tinggi. Salah satu masalah keperawatan pada pneumonia adalah gangguan bersihan jalan napas. Inhalasi nebuliser merupakan salah satu pengobatan untuk membersihkan jalan napas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan efektivitas proses unhalasi nebuliser. Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan 142 sampel. Hasil penelitian dengan regresi logistik didapatkan 2 faktor yang berhubungan signifikan yaitu dukungan keluarga (p=0,000) dan caring perawat (p=0,000). Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya melihat efektivitas proses terapi nebuliser pada pneumonia berdasarkan jenis alat yang digunakan dan dosis obat yang diberikan.
ABSTRACT
Pneumonia is still a major problem and mortality due to pneumonia is still high in Indonesia. One of the nursing problems in pneumonia is a disorder airway clearance. Inhalation nebulizer is one of treatment to clear the airway. This study aim to know factors related to the of the inhalation nebulizer therapy. The design used a cross sectional study with 142 samples. Logistic regression analysis of data found that 2 significant factors related with family support (p = 0.000) and caring (p = 0.000). Recommendations for future research look at the effectiveness of the nebulizer therapy in pneumonia based on the type of equipment used and the dose of drug administered
2015
T45780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>