Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aus Al Anhar
Abstrak :
ABSTRAK
APK TS Banjarmasin adalah salah satu institusi pendidikan tenaga kesehatan lingkungan didirikan tahun 1983 dan sampai akhir tahun 1988 sudah menghasilkan lulusan sebanyak 151 orang. Pendirian institusi ini terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan lingkungan setingkat S0/D III pada propinsi-propinsi di Kalimantan; dan diharapkan dapat menunjang pelaksanaan upaya peningkatan kesehatan masyarakat umumnya dan bidang kesehatan lingkungan khususnya.
Program pelayanan kesehatan sejak awal 1980-an mencanangkan kesehatan untuk semua orang pada tahun 2000 melalui upaya kesehatan primer ( Primary Health Care), dengan salah satu bentuk kegiatan adalah upaya penggalian potensi dan partisipasi masyarakat. Di Indonesia hal tersebut di operasionalkan dengan kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) dan kemudian lebih disederhanakan dalam bentuk kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Melihat adanya kebutuhan upaya penggalian potensi dan partisipasi masyarakat, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah tenaga kesehatan lulusan suatu institusi pendidikan tenaga kesehatan (dalam hal ini APK TS) mempunyai kemampuan untuk melakukannya pada bidang keahliannya, sesuai (relevan) dengan kemampuan pelaksanaan yang diharapkan.
Selain itu, penelitian ini juga ingin mengetahui kesesuaian (relevansi) antara nilai hasil belajar dengan kemampuan untuk melaksanakan fungsi dimaksud, sebagai upaya evaluasi terhadap proses pembentukan kemampuan (selama proses pendidikan) dengan memperhatikan mata-mata kuliah yang dianggap mempunyai kontribusi untuk itu.
Penelitian ini bersifat deskriftif dengan rancangan cross sectional . Dilihat dari segi program pendidikan, penelitian ini bersifat evaluatif prediktif . Dilakukan terhadap lulusan APK TS Banjarmasin yang bekerja di Puskesmas di seluruh Propinsi Kalimantan Selatan. Analisis dilakukan secara kualitatif dan uji statistik Chi kuadrat (dan derivatnya).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai UKP responden cenderung rendah, kemampuan untuk melaksanaan fungsi UKP relatif belum sesuai, kecuali untuk fungsi 1 dan 3, sedang pada bidang kemampuan tersebut relatif tinggi pada bidang FAB dan PTA.
Relevansi antara nilai UKP dengan kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi UKP secara kualitatif hanya terdapat pada beberapa fungsi, yaitu fungsi 1 dan 2 bidang PTA, PS, STTU dan HSM; pada fungsi 3 bidang PAB, PTA, STTU, HSM dan KL; fungsi 4 dan total pada bidang STTU. Walaupun secara statistik diperoleh hasil perhitungan, bahwa nilai UKP masing-masing bidang tidak mempunyai relevansi dengan kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi UKP pada bidang yang bersangkutan.
Di lihat dari segi karakteristik responden, beberapa karakteristik mempunyai hubungan secara kualitatif dengan kemampuan pelaksanaan fungsi UKP yaitu angkatan pendidikan, masa kerja total dan masa kerja di Puskesmas, pengalaman kerja, penataran/latihan yang pernah diikuti, strata puskesmas, masa kerja atasan dan lokasi puskesmas. Secara statistik hubungan tersebut bermakna pada masa kerja responden dan masa kerja atasan untuk bidang PAB dan PTA.
Saran yang dikemukakan oleh penulis antara lain bahwa nilai hasil belajar tidak dapat dipergunakan sebagai satu-satunya indikator kemampuan, supaya disusun suatu acuan minimal penguasaan kemampuan dari suatu proses pendidikan (critical competency), pemikiran perbaikan ataupun peningkatan pola pemberian materi belajar serta penelitian dengan skala yang lebih luas dan dalam terutama untuk tujuan penetapan standar dan kriteria pemanfaatan tenaga menurut jenisnya.
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ritonga, Muhammad Arifin
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan karena masih rendahnya performance (prestasi kerja) tenaga puskesmas dalam pencapaian cakupan program immunisasi tingkat puskesmas di Kabupaten Solok, Propinsi Sumatera Barat. Adanya gambaran tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan performance (prestasi kerja) tenaga puskesmas dalam pencapaian cakupan program immunisasi di tingkat puskesmas merupakan tujuan umum dari penelitian ini, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan motivasi, kemampuan dan persepsi peran dengan prestasi kerja tenaga puskesmas dalam pencapaian cakupan program immunisasi di Kabupaten Solok, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan secara cross sectional dan teknik analisis yang dilakukan adalah secara kualitatif dan kuantitatif. Selanjutnya dilakukan dengan analisis persentase dengan uji Chi square, uji Fisher dan uji Goodman - Kruskal. Penelitian dilakukan terhadap 191 orang responden yang merupakan tenaga pelaksana program immunisasi pada 18 puskesmas yang ada di wilayah Kabupaten Solok, Propinsi Sumatera Barat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan analisis persentase dan dengan hasil uji Fisher serta uji Goodman-Kruskal menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara motivasi, kemampuan dan persepsi peran dengan prestasi kerja tenaga puskesmas dalam pencapaian cakupan program immunisasi di tingkat puskesmas. Dengan analisis persentase dan hasil uji Chi square menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara motivasi responden dengan pendidikan, masa kerja dan latihan immunisasi yang pernah diperoleh responden. Dengan uji chi square tersebut juga menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna antara kemampuan responden dengan masa kerja dan latihan immunisasi yang pernah diperoleh responden. Begitu juga dengan uji Chi square tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara persepsi peran responden dengan pendidikan dan masa kerja responden. Hasil penelitian, menunjukkan adanya hubungan antara kemampuan responden dan pendidikan responden dan juga adanya hubungan antara persepsi peran responden dan latihan immunisasi yang pernah diperoleh responden. Peneliti mengemukakan beberapa saran yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel dan daerah penelitian yang lebih luas. Yang perlu diperhatikan adalah melibatkan tenaga non teknis medis yaitu mereka yang mempunyai kategori pendidikan SD, SLTP, SLTA, LCPK, SPPH dan APKTS, dalam pelaksanaan program immunisasi perlu dipertimbangkan mengingat hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan mereka yang mempunyai kategori pendidikan non teknis medis tersebut adalah lebih rendah daripada tenaga yang mempunyai latar belakang pendidikan teknis medis. Sehingga perlu dipikirkan adanya latihan/on the job training untuk menyelaraskan kemampuan petugas dalam pelaksanaan immunisasi. Latihan/on the job training ini dimaksudkan selain untuk meningkatkan kemampuan juga meningkatkan persepsi peran tenaga puskesmas dalam pelaksanaan program immunisasi.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.M. Azhari
Abstrak :
Karya kedua dari Panca Karya Husada ialah pengembangan tenaga kesehatan. Karya ini bertujuan untuk meningkatkan upaya pembangunan dan pembinaan tenaga kesehatan, dimana salah satu programnya adalah pengembangan karier. Pengembangan karier bertujuan untuk mengadakan pembinaan tenaga berdasarkan sistem karier dan prestasi kerja. Dengan demikian terdapat kejelasan tentang pola pengembangan pendidikan dan latihan, kejelasan tentang kriteria penilaian kenaikan pangkat/promosi dan penunjukan dalam jabatan. Untuk melaksanakan semua kegiatan diwilayah kerjanya, Puskesmas memerlukan tenaga pelaksana terutama dokter Puskesmas yang rela bekerja dengan penuh pengabdian dan dengan dedikasi tinggi. Sebagai rangsangan dan dorongan kepada dokter yang bekerja di Puskesmas, pemerintah telah melaksanakan Program Pemilihan Dokter dan Paramedis teladan. Program Pemilihan dokter Puskesmas teladan sudah berjalan 10 tahun tetapi belum pernah dilakukan evaluasi. Apakah ada dampak penghargaan teladan terhadap pengembangan karier dokter Puskesmas yang meliputi kenaikan pangkat istimewa atau pilihan, promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier. Disamping itu apakah ada juga dampaknya terhadap kepemimpinan, prestasi kerja dan motivasi dokter Puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pengembangan karier dokter Puskesmas teladan serta faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengembangan karier dokter Puskesmas teladan ialah kepemimpinan, prestasi kerja dan motivasi dokter Puskesmas. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan tehnik analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis dilakukan dengan analisis persentase dengan uji Chi-square. Penelitian dilakukan terhadap 31 orang dokter Puskesmas teladan tingkat Kabupaten/Kotamadya yang masih bekerja di Propinsi Sumatera Selatan. Sebagai pembandingnya adalah dokter Puskesmas non teladan dengan jumlah yang sama. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan analisis persentase dan dengan hasil uji Chi-square ada perbedaan yang bermakna, ternyata ada hubungan antara penghargaan teladan dengan promosi jabatan. Dengan analisis persentase walaupun dengan uji Chi-square tidak ada perbedaan bermakna, penelitian ini memperoleh hasil ada hubungan antara penghargaan teladan dengan kepemimpinan, prestasi kerja, kenaikan pangkat, dan pendidikan jenjang karier. Penelitian juga memperoleh ada hubungan antara kepemimpinan dengan promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier. Penelitian juga memperoleh ada hubungan antara prestasi kerja dengan promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier, serta ada hubungan antara motivasi dengan kenaikan pangkat, promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier. Sedangkan hasil penelitian yang memperoleh tidak ada hubungan adalah hubungan antara penghargaan teladan dengan motivasi, kepemimpinan dengan kenaikan pangkat, prestasi kerja dengan kenaikan pangkat, promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier. Peneliti mengemukakan beberapa saran yaitu perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel dan daerah penelitian yang lebih luas, pada pemilihan dokter teladan penilaian kepemimpinan tidak hanya dilihat dari DP-3 tapi ditambah dengan penilaian bersifat observatif atau dengan cara penilaian pada penelitian ini, penilaian prestasi kerja juga ditambah dengan cara penilaian lain, SKB tiga Menteri agar cepat diterbitkan, untuk promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier seyogyanya predikat teladan mendapat prioritas.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjamsibar Baras
Abstrak :
Perluasan Pelayanan Keluarga Berencana menyebabkan bertambahnya peserta KB baru. Penambahan peserta KB baru diikuti pula oleh banyaknya peserta KB drop out, sehingga menghambat tercapainya tujuan Program KB yaitu norma keluarga kecil bahagia sejahtera. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kelangsungan pemakaian alat kontrasepsi antara lain faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan KB meliputi sumber pelayanan, jenis petugas dan keterampilan petugas, kepuasan peserta KB terhadap pelayanan. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan kegiatan pembinaan petugas kesehatan/KB terhadap peserta KB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembinaan petugas kesehatan/KB terhadap peserta KB dalam meningkatkan kelangsungan pemakaian alat kontrasepsi. Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian analitik dan pengumpulan data dengan teknik Cross Sectional. Pengambilan sample pada peserta KB dengan cara Stratified random sampling, sedangkan pada petugas tidak dilakukan sampling. Analisis yang digunakan yaitu Analisis presentase, Chi Kuadrat, Cramer's V atau Phi, uji korelasi dan Analisis regresi sederhana. Dari penelitian ini didapatkan bahwa kebanyakan petugas kesehatan/KB adalah petugas pemerintah dari jenis tenaga terbanyak Dokter. Ternyata kegiatan konseling dilaksanakan oleh sebagian besar petugas kesehatan kemudian kunjungan ke Posyandu merupakan kegiatan kedua terbanyak, sedangkan kegiatan pembinaan lainnya hanya di laksanakan oleh kurang dari separuh petugas kesehatan. Didapatkan pula bahwa bidan paling banyak melayani peserta KB dalam pembinaan. Peserta KB yang menerima kegiatan pembinaan sebagian besar adalah ibu rumah tangga yang kebanyakan berumur 20-40 tahun. Jenis kontrasepsi yang digunakan terbanyak suntikan dan pil, hanya sebagian kecil menggunakan IUD. Peserta KB tersebut sebagian besar masih memanfaatkan pelayanan pemerintah. Alasan terbanyak drop out peserta KB karena adanya keluhan. Didapatkan 44, 1% peserta aktif selama 18 bulan, 42, 4% selama 12 bulan, 7,4% selama 6 bulan dan 6, 1% selama 20 bulan. Dari Analisa Statistik ternyata tidak ada perbedaan tingkat kelangsungan penggunaan alat kontrasepsi yang bermakna menurut frekuensi kunjungan rumah, frekuensi kunjungan ke Posyandu, frekuensi pembinaan Tokoh Masyarakat, pembinaan organisasi, frekuensi rapat staf dan frekuensi rapat koordinasi, ada/tidak adanya uraian tugas, baik/tidak rencana kerja, motivasi kerja, kerja lama dan penampilan kerja. Terbukti adanya korelasi yang bermakna antara frekuensi konseling dengan kelangsungan pemakaian alat kontrasepsi dan kekuatan korelasi sebesar 18%. Tiap kenaikan kategori frekuensi konseling akan meningkatkan keikutsertaan KB sebesar 0,167. Diharapkan adanya peningkatan pelayanan pembinaan melalui konseling dan pemerataan pelayanan KB terutama meningkatkan peranan Dokter/Bidan Swasta. Akhirnya disarankan perlunya penelitian lebih lengkap mengenai kegiatan pembinaan peserta KB yang mencakup bukan hanya intensitas kegiatan tapi juga kualitas dan materi pelaksanaan kegiatan.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thoria K. Yanuar
Abstrak :
Tenaga berkualitas tinggi ditandai oleh perilaku produktif. Dengan perilaku produktif dilingkungan kerja, seseorang dapat menciptakan atau mengubah sesuatu menjadi lebih produktif. Untuk mencapai perilaku produktif tersebut perlu pembinaan tenaga secara terus menerus dengan berbagai cara yaitu meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, motivasi dan lain-lain. Untuk mengukur produktivitas tenaga kerja salah satunya adalah mengukur waktu yang digunakan untuk menghasilkan jasa yaitu dengan pengukuran kerja, salah satu metode yang dipakai ialah work sampling. Dengan demikian dapat dihitung persentase waktu yang dipergunakan untuk melakukan suatu pekerjaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan waktu kerja produktif di beberapa sarana kesehatan gigi dan mulut TNl AU yaitu LAKESGILUT, RUSPAU, LAKESPRA, dan MABES AU. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional yang mengamati faktor-faktor seperti jenis kelamin, jenis tenaga (dokter gigi spesialis, dokter gigi, pengatur rawat gigi, dan pengatur teknik gigi), status tenaga (militer dan sipil), umur, lama kerja, pendidikan tambahan yang didapat, dan motivasi, yang diperkirakan mempunyai hubungan dengan waktu kerja produktif. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa rata-rata waktu kerja produktif untuk tenaga kesehatan gigi dan mulut adalah 51,76%, di mana 17,50% untuk kegiatan langsung terhadap penderita, 30,14% untuk kegiatan tak langsung [penunjang] misalnya administratif, dan 4,13% untuk kegiatan pribadi, dengan demikian waktu kerja non produktif adalah sebesar 48,24%. Dengan menggunakan uji t, uji F, analisis regresi, dapat dibuktikan bahwa faktor-faktor jenis tenaga, lama kerja, pendidikan tambahan yang didapat, dan motivasi berbeda bermakna dalam menggunakan waktu kerja produktif. Sedangkan status tenaga, umur, jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Selanjutnya disarankan agar setiap petugas tenaga kesehatan gigi dan mulut dapat diberikan pembinaan seperti pendidikan tambahan, pelatihan, motivasi, penempatan yang sesuai (fungsi yang relevan) sehingga penggunaan waktu kerja lebih produktif.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Wardojo
Abstrak :
Tenaga Kesehatan mempunyai peranan kunci karena sebagai penyelenggara bertugas melakukan kegiatan kesehatan dan mempunyai peranan sangat menentukan dalam melayani masyarakat. Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan nasional. Dari penelitian terdahulu Gard, Sutopo dan Retnasih mendapatkan kinerja pegawai puskesmas rendah. Selain itu didapatkan juga ada hubungan yang cukup kuat antara kinerja dengan motivasi. Paramedis sebagai pegawai Puskesmas merupakan pelaksana langsung dan penanggung jawab program yang ada di Puskesmas. Kinerja pegawai pada garis besarnya dipengaruhi kemampuan dan motivasi, dari hal kemampuan Paramedis Puskesmas dianggap standar karena sebagian besar mempunyai kualifikasi ijazah setingkat SMLT. Dan hal motivasi eksternal psikis, motivasi berprestasi dalam menjalankan tugas dalam penelitian ini dipengaruhi oleh Gaya kepemimpinan, Situasi kepemimpinan dan Iklim kerja organisasi Puskesmas. Kabupaten Magetan merupakan Daerah tingkat II dengan pembangunan segala bidang cukup bagus sehingga diperkirakan keadaan ini dipengaruhi juga oleh tingkat motivasi pegawainya secara keseluruhan. Penelitian terhadap Paramedis Puskesmas di Kabupaten Magetan dengan pendekatan "Cross sectional" ini menggunakan kuesioner sebagai alat ukur. Dari penelitian ini didapatkan bahwa ada hubungan yang cukup kuat antara gaya kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan motivasi berprestasi Paramedis dalam menjalankan tugas. Ada hubungan dalam tingkat sedang antara Situasi Kepemimpinan di Puskesmas dengan motivasi berprestasi dalam menjalankan tugas bagi Paramedis Puskesmas. Ada hubungan yang kuat antara iklim kerja organisasi Puskesmas dengan motivasi berprestasi dengan dalam menjalankan tugas bagi Paramedis Puskesmas. Model paling fit adalah gaya kepemimpinan laissez faire dengan situasi yang mendukung dan iklim kerja yang mendukung akan terjadi motivasi berprestasi dengan probabilitas sebesar 97%. Disimpulkan bahwa Paramedis di Puskesmas Kabupaten Magetan cukup matang tugas-tugas yang ada kebanyakan rutin sehingga cukup dimengerti dan tidak membutuhkan kepemimpinan yang cederung otokratis. Iklim organisasi ternyata mempunyai pengaruh paling besar di antara variabel lain dalam menimbulkan motivasi berprestasi bagi Paramedis. Untuk efisiensi dari penghargaan terhadap Paramedis senior dalam kebijakan pengangkatan Kepala Puskesmas terutama untuk daerah yang mudah tranportasinya supaya ada pertimbangan terhadap Paramedis yang sudah dalam golongan III. Untuk meningkatkan iklim kerja organisasi supaya meningkatkan rasa semangat kerja kelompok melalui kebanggaan korps pegawai kesehatan.
Health personnel's play an important role for as an organizing having the duty of executing health activity and having the decisive role in serving the public. Health Center plays the most important role of the National Health Service. From the earlier research, Gani, Sutopo and Retnasih found the personnel's performance was low. Apart form that they found as well that there is a relatively strong relation between the motivation and the performance. Paramedics as the personnel's of Health Center constitute the direct organizing and caretaker of available program in Health Center. The personnel's performance is generally influenced with both ability and motivation. In terms of ability, Health Center paramedic's is considered standard since most of them have high school certificate qualification. Terms of psycho external motivation, in this research, achievement motivation in conducting the task is influenced by the style of leadership, Leadership situation and working climate of the health center organization. Magetan District is autonomous administrative region II with the prosperous development in all sectors, so it is estimated that such condition is also affected with the entire level of employees motivation. The research on the health center paramedics in Magetan District by means of "cross sectional" approach using questionnaire as the measurement device. From this research, it is found that there is a relatively strong relation between style leadership of the health center Chief and the Paramedics achievement motivation in conducting the task. There is a medium level correlation between the leadership situation in Health Center and the achievement motivation in conducting the task for the health center paramedics. There is a strong correlation between working climate of the health center organization and the achievement motivation in conducting the task for the health center paramedics. The most suitable style of leadership is that of "laissez faire" where under supporting leadership situation and working climate, there will be achievement motivation which in probability rate of 97%. It could be concluded that the paramedics in the health centers at Magetan District are sufficiently matured, the existing tasks are routine and it is understandable and it is required no autocratic leadership tendency. Working climate organization obviously has the greatest impact among the other variables in providing achievement motivation for paramedics. For the efficiency and the respects to senior paramedics, there should be a consideration against grade III paramedics, in case appointment policy of chief of health center mainly for smooth transportation area. Increasing organization working climate in order to improve group working spirit through the pride of health personnel corps.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunani Sri Astuti
Abstrak :
Perawat merupakan salah satu unsur penting dalam proses pelayanan kesehatan khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan kepada pasien. Latar belakang pendidikan perawat RSJ ini, kebanyakan lulusan SPK, SPR"B" dan SPKSJ. Jumlah lulusan Diploma III Keperawatan di RSJ Bogor 16,14% (36 dari 223 orang), RSJ Bandung 19,11% (13 dari 68 yang), dan RSJ Cimahi 23,37% (18 Bari 77 orang). Kebutuhan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan, serta kebijakan pemerintah (PP.No 3211996) mengharuskan tenaga perawat minimal lulusan D III. Peningkatan mutu tenaga perawat tersebut diharapkan dapat dicapai melalui program pendidikan D III Keperawatan. Unsur utama yang mendukung keberhasilan program tersebut antara lain adalah motivasi para perawat sendiri untuk mengikuti pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara faktor-faktor internal dan ekstemal dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan di tiga RSJP di Jawa Barat tahun 2001. Penelitian ini menggunakan rancangan non eksperimental,dimana data diperoleh secara potong lintang (cross sectional). Sampel penelitian adalah seluruh populasi perawat yang bertugas di tiga RSJP di Jawa Barat yang belum mengikuti pendidikan D 111 Keperawatan. Jumlah responden dalam penelitian ini 201 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran angket dengan menggunakan kuesioner. Data kemudian diolah dengan bantuan komputer dan dianalisis secara statistik dengan teknik chi-square (bivariat) dengan derajat kemaknaan 95%, dan regresi logistik berganda (multivariat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden memiliki motivasi rendah untuk mengikuti pendidikan (54,0%). Dari analisis bivariat didapatkan 9 variabel yaitu umur, status perkawinan, jabatan, masa kerja, persepsi, penghasilan, peraturan, izin atasan dan dukungan keluarga mempunyai hubungan yang secara statistik bermakna dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan. Sedangkan variabel-variabel jenis kelamin, penghargaan dan lokasi tempat kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan. Analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik berganda secara simultan memberi basil variabel masa kerja (p=,017), persepsi (p=0,000), dan peraturan (p= 0,010) yang secara statistik bermakna. Juga dibuktikan secara statistik bahwa dari ketiga variabel tersebut, variabel persepsi merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan, karena mempunyai OR paling besar yaitu 6,28 (95% CI : 1,323-7,862, p=0,000) dibandingkan dengan variabel masa kerja dan peraturan. Uji interaksi terhadap ketiga variabel tersebut tidak memberi hasil adanya interaksi, sehingga model yang dikembangkan merupakan model akhir (definitif). Dengan diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan, maka penelitian ini juga memberikan saran sebagai berikut: (a) untuk pihak yang bertanggung javrab dalam mengembangkan tenaga kesehatan, misalnya Pusdiknakes, perlu membuat peraturan dimana minimal 3 tahun perawat diwajibkan mengikuti pendidikan lanjutan, disamping juga perlu dikembangkan program pendidikan keahlian khusus dibidang tertentu bagi yang tidak ingin melanjutkan pendidikan jangka panjang, (b) untuk RSJ, diusulkan untuk membuat daftar unit perawat untuk mengikuti pendidikan, menetapkan imbalan dan menyediakan informasi yang komprehensif, sehingga dapat meningkatkan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan. Untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih representatif perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang mewakili seluruh populasi, desain dan variabeI yang lebih bervariasi.
Nurse is one of the important elements in health service process especially in giving treatment comprehensively to the patient. The mental hospital asylum nurse's educational background at this moment, mostly graduated from SPK, SPR "B" and SPKSJ. The number of nursing diploma graduates in Bogor mental hospital asylum are 16,14% (36 from 223 people), Bandung mental hospital asylum 19,11% (13 from 68 people), and Cimahi mental hospital asylum 23,37% (18 from 77 people). Needed health service quality; and as regulated by the government policy (PP No 32/1996) required every nurse to hold at least a diploma. The quality improvement of nurse hopefully can be gained through education (diploma program) in nursing. The main factor assumed to assure the success of the program is the nurse's motivation to participate in the education. The purpose of the research is to find out whether there is relationship between internal factors and external factors with the nurse's motivation to participate in the education. Observation was carried out in three Mental Hospital Asylums in West Java in year 2001. This research used non-experimental design,using cross sectional method in collecting data. The sample was the whole nurse population on duty at these three mental hospitals who have not attended the diploma offering. The number of respondent in this study were 201 nurses. Data was collected by using both open and close ended questionnaires. The data was then processed with the help of computer and statistically analyzed with chi-square technique (bivariate) using Confidencen Interval (CI) of 95%, and double logistic regression (multivariate). The result showed more than a half of the respondent have low motivation to follow the education (54,0%). Using bivarian's analysis mentioning 9 variables which were age, marriage status, position, tenure, perception, income, rule, higher permission and family support, statistically showed significant relationship with the nurse's motivation to follow the education. Other variables, such as gender and work site did not show significant relation statistically with the nurse's motivation. Further analysis using double logistic regression simultaneously showed that (length of service) tenure (pl,017), perception toward education program (0,000) and rules/conditions (0,010) statistically significant. Also statistically approved that from those three variables, perception was the most dominant variable related with the nurse's motivation, because it has the biggest odds ratio (OR) which was 6,28 (95% Cl = 1,323 - 7,862, p = 0,000) compared with other variables (length of service and rules). Interaction test done to the three variables did not assure the result of interaction's existence, giving the improved model as the last accepted (definitive) model. Recognizing the factors related with' the nurse's motivation to participate in education, this research suggested ; a) to the authority who is responsible for health menpower development (such as Pusdiknakes), to develop conditions that nurse to attain additional three years education, aside from improving special skill training programmes in various fields, for those who are not willing to continue their education, b) for the mental hospital asylum, it is suggested to make the list of nurses to participate in a programmed, to provide comprehensive information, and to establish an incentiveldisincentive schem, to attract nurses to continue their education. To gain more representative conclusion it is needed to carry out further research using sample that represent the whole population, different designs and or involving more variables.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwandi Yapari
Abstrak :
Tidak tersedianya jumlah dan jenis tenaga yang cukup pada rumah sakit, tidak mungkin menyelenggarakan layanan kesehatan bermutu yang dapat mengantisipasi "demand" masyarakat yang selalu meningkat dari tahun ketahun. Melihat besarnya alokasi biaya sektor ketenagaan di rumah sakit maka perlu direncanakan dengan teliti jumlah dan jenis tenaga yang dibutuhkan, sehingga dapat memberikan layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mengumpulkan data melalui observasi langsung di rumah sakit, studi dokumentasi, kuesioner dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa jumlah dan jenis tenaga yang ada di rumah sakit Bhakti Yudha Depok, ternyata masih kurang bila dibandingkan dengan standar kebutuhan tenaga rumah sakit Tipe C (menurut DEPKES (PERMENKES 262/MENKES/VII/1979 dan Standar Kebutuhan Tenaga Minimal RSU Tipe C). Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa perencanaan ketenagaan yang ada di rumah sakit menggunakan metode penghitungan kebutuhan tenaga berdasarkan petimbangan/perkiraan saja, dan hanya bersifat tahunan dikaitkan dengan perencanaan program kegiatan tahunan, yang berdasarkan hasil kegiatan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena belum adanya master plan rumah sakit. Selain itu peranan struktur organisasi rumah sakit dalam proses perencanaan ketenagaan belum optimal karena masih ada formasi yang dirangkap. Untuk itu diterapkan penghitungan kebutuhan tenaga di RSU Bhakti Yudha Depok untuk meramal kebutuhan tenaga di rumah sakit itu. Untuk menilai penghitungan kebutuhan tenaga yang tepat di RSU Bhakti Yudha Depok, dibentuk Peer Group dari rumah sakit tersebut, penilaian dilakukan dengan melihat kontribusi, biaya dan kelayakan. Kelompok berpendapat untuk menghitung kebutuhan tenaga RSU Bhakti Yudha Depok yang benar-benar rasionil, masih diperlukan pembahasan yang lebih mendalam, namun demikian sebagai pedoman Indicator of Staff Need dapat digunakan di RSU Bhakti Yudha Depok dan untuk data-data kegiatan rumah sakit perlu dilengkapi.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus Kangean
Abstrak :
Sistem rujukan di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta adalah merupakan suatu bagian dari keseluruhan dalam sistem pelayanan kesehatan khususnya didalam kesehatan TNI-AD. Upaya dalam sistem rujukan bertujuan agar semua sub sisrem yang berada dibawah dapat berjalan dengan baik dan tepat agar tercapai pemerataan pelayanan bagi semua anggota dan tujuan RSPAD sebagai rujukan tertinggi dalam lingkungan kesehatan TNI-AD dapat mencapai sasaran. Pada kenyataannya dalam laporan bulanan kunjungan pasien anak RSPAD rahun 1987 didapatkan banyak kasus rujukan yang datang ke RSPAD adalah kasus yang sebenarnya tidak perlu dirujuk, karena dapat diatasi oleh kesehatan setempat, yang disebut Rujukan salah sebesar 36,5 %. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan kesalahan rujukan tersebut. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan mengadakan wawancara kepada seluruh dokter maupun paramedis yang merujuk pasien anak ke poliklinik anak RSPAD selama penelitian ini berlangsung. Dengan bantuan analisis statistik yaitu tabulasi silang dengan uji Chi Square, ANOVA dan T-test maka dari 5 variabel independent yang diteliti hanya 1 variabel yang bermakna yaitu variabel tingkat pendidikan perujuk terhadap karakreristik rujukan yaitu rujukan benar dan rujukan salah. Sedangkan 4 variabel lainnya yaitu pengetahuan perujuk, perbedaan pangkat antara perujuk dengan orang tua pasien, faktor kecukupan obat-obatan dan kelengkapan peralatan ditempat perujuk tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap karakteristik rujukan tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan perujuk berhubungan dengan terjadinya kasus rujukan salah sedangkan 4 variabel lainnya tidak mempunyai hubungan dengan terjadinya kasus rujukan salah. Akhirnya perlu juga disarankan unruk penelitian lebih lanjut terhadap keinginan orang tua pasien yang selalu minta anaknya dirujuk ke rumah sakit besar seperti RSPAD, mengingat faktor tersebut sangat besar pengaruhnya dengan terjadinya rujukan salah (mempunyai kemaknaan p <0.05 jadi berbeda bermakna).
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarsintorini
Abstrak :
ABSTRAK
Ditinjau dari perjalanan sejarah, perawat sebagai profesi, telah turut aktif dalam upaya menyejahterakan umat manusia, dan akan terus berkembang di masa yang akan datang.

Tujuan Pembangunan Kesehatan secara jelas telah dikemukakan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Mengingat pentingnya kesehatan dalam segala segi kehidupan individu, keluarga dan masyarakat, maka upaya kesehatan diarahkan untuk seluruh masyarakat, dengan peran serta masyarakat, mencakup upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Upaya ini bersifat menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan.

Perawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan dan salah satu faktor yang ikut menentukan tercapainya Tujuan Pembangunan Kesehatan Nasional. Perawat merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, karena perawat harus siap 24 jam mendampingi pasien.

Maka peran, fungsi dan tanggung jawab perawat sangat panting, baik tanggung jawab hukumnya yaitu tanggung jawab hukum pidana, perdata, dan administrasi maupun tanggung jawab non hukumnya yaitu tanggung jawab terhadap sumpah, kode etik keperawatan, dan organisasi profesinya yaitu PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia).

Tanggung jawab perawat terhadap Sumpah dan Kode Etik Keperawatan adalah tanggung jawab moralnya, karena Sumpah dan Kode Etik merupakan aturan perilaku dan sikap seorang perawat yang baik. PPNI adalah satu-satunya organisasi yang legal dan eksistensinya diakui pejabat Pusat dan Daerah, yang bertujuan melindungi perawat, membina dan membimbing serta mengusahakan kesejahteraan perawat, tetapi juga memberikan sanksi terhadap pelanggaran Sumpah Perawat dan Kode Etik Keperawatan. Maka perawat mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan AD/ART dan program kerja PPNI dengan baik.

Tanggung jawab terhadap hukum, bahwa perawat tidak terlepas dari kekuatan hukum yang mengikat, artinya perawat seperti juga orang-orang lain terikat pada hukum perdata dan hukum administratif. Sedangkan kepada hukum pidana, perawat maupun orang-orang lain harus tunduk. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum pidana yang disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Perawat dapat melakukan perbuatan pidana, sebagaimana orang-orang lain, tetapi apakah perawat yang melakukan perbuatan pidana kemudian juga dijatuhi pidana, tergantung apakah dalam melakukan perbuatan ini ia mempunyai kesalahan. Untuk adanya kesalahan harus ada unsur:

1. melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).

2. di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab.

3. mempunyai kesalahan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.

4. tidak adanya alasan pemaaf.

Dalam KUHP kita, tidak ada ketentuan arti kemampuan bertanggung jawab. Dari pendapat para sarjana, maka untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :

1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Pada umumnya perawat mempunyai batin yang normal, kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan jiwa tidak normal. Jiwa yang normal mampu bertanggung jawab.

Pertanggungjawaban pidana pada perawat terjadi bila perawat berbuat pidana ataupun berbuat malpraktik yaitu kelalaian dalam melaksanakan profesinya, dan tidak ada alasan pemaaf. Tetapi perawat melaksanakan pelayanan kesehatan bersama dokter, rumah sakit, lalu siapa yang bertanggung jawab jika ada perbuatan pidana?

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dengan penelitian ini diusahakan untuk mengungkapkan, pertama sejauh mana pertanggungjawaban pidana pada perawat, kedua sejauh mana perawat dapat berbuat malpraktik, ketiga sejauh mana tata nilai Sumpah dan Kode Etik mencapai tujuannya, dan keempat sejauh mana PPNI dapat memberikan perlindungan kepada anggotanya.

Untuk mengungkapkan data tersebut di atas, dilakukan penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan dengan cara wawancara, studi dokumentasi, observasi, dan analisis keputusan hukum pidana. Metode dan pendekatan yang dilakukan bersifat analitis, yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder, dilengkapi dengan pendekatan yuridis empiris.

Dari bermacam-macam hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Adanya kesadaran masyarakat bahwa kesehatan adalah penting dalam segala segi kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat. Orang yang tidak sehat tidak dapat berbuat apa-apa. Orang sakit berarti butuh biaya yang mahal.

2. Telah tampak peran serta masyarakat dalam upaya-upaya kesehatan, yang mencakup upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya adanya imunisasi, rawat mondok, dan lain-lain.

3. Profesi perawat sangat penting, karena tanpa perawat maka pelayanan keperawatan tidak mungkin terlaksana dan upaya kesehatan akan terganggu. Untuk pengadaan perawat telah didirikan Sekolah Perawat dan Akademi Perawat pada beberapa rumah sakit dan lulusannya menjadi perawat rumah sakit yang bersangkutan, atau dapat juga rumah sakit lain.

4. Adanya kerja sama yang baik antara perawat, dokter, dan rumah sakit sehingga tujuan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dapat tercapai, mutu pelayanan dapat ditingkatkan. Perawat adalah mitra dokter, bukan pembantu dokter. Perawat mempunyai profesi keperawatan, dokter mempunyai profesi kedokteran.

5. Pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana pada perawat terlihat masih belum memadai, masih banyak yang belum mengetahui secara jelas, perlu peningkatan penyuluhan dan ceramah.

6. Demikian juga tentang malpraktik pada perawat, masih belum dipahami oleh perawat. Sedangkan pengetahuan tentang malpraktik sangat penting, karena akibat malpraktik ini, ada kemungkinan pemberatan pidana 1/3 nya.

7. Pada umumnya perawat mempunyai jiwa yang normal, artinya faktor akal (intelektual factor) dan faktor perasaan / kehendak (volitional factor) dapat bekerja dengan baik. Faktor akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Faktor perasaan/kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan mana yang diperbolehkan, mana yang tidak.

8. Perawat yang melaksanakan perintah dokter tetapi keliru, pertanggung jawabannya dilihat per kasus, yaitu dengan melihat pada kesalahannya.

9. Sumpah perawat telah dilaksanakan dengan baik untuk setiap perawat yang telah lulus pendidikan, dan sumpah jabatan bila diangkat sebagai pegawai.

Sumpah dan Kode Etik Keperawatan pada umumnya para perawat masih mengingat isinya, tetapi masih banyak pula yang lupa isinya. Rumah Sakit sudah menyelenggarakan penyuluhan, ceramah tentang Sumpah dan Kode Etik Keperawatan ini dan memperbanyak dalam bentuk buku saku kecil. Dirasakan Kode Etik kurang berpengaruh pada sikap perawat, karena pelanggaran Kode Etik Keperawatan, sanksinya masih nampak belum jelas, hanya berupa tindakan persuasif, pendekatan nasehat, bimbingan dan pembinaan.

Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Kode Etik Keperawatan yang bertugas mengadili pelanggaran Kode Etik, belum terbentuk karena berbagai kendala, antara lain karena terbatasnya waktu para pakar warga keperawatan yang menguasai masalah tersebut.

PPNI juga belum berhasil menjabarkan Kode Etik Keperawatan yang telah ditetapkan pada Kongres I PPNI karena terbatasnya waktu dan sumber daya, sedangkan hal ini sangat diperlukan untuk dikukuhkan dengan peraturan perundangan tentang berlakunya Kode Etik Keperawatan Indonesia tersebut.

10. Ada sistem kontrol dengan kontinuitas yang cukup baik terhadap tugas perawat, sehingga belum pernah terjadi malpraktik, di samping juga karena pengaruh Sumpah, Kode Etik dan fungsi PPNI serta kesadaran para perawat untuk bersikap hati-hati, bertanggung jawab dan sesuai peraturan yang ada.

11. Tidak ada perbedaan yang pokok perlakuan antara perawat wanita dan perawat pria, perbedaan itu hanya pada giliran kerja malam, perawat pria lebih sering mendapat giliran malam. Ada 3 shift, pada akhir tugas harus dioperkan, tidak bisa pergi kalau yang mengganti belum datang, alat/bahan dioperkan kepada penggantinya dengan Berita Acara.

12. Siaran Berkala Bina Sehat yang diterbitkan oleh PPNI merupakan upaya agar semua perawat mengerti, melaksanakan asuhan keperawatan yang aktual.

13. Menteri Kesehatan RI telah menetapkan "Standar Praktik Perawat Kesehatan" yang merupakan acuan dan alat untuk menilai secara obyektif keberhasilan upaya keperawatan. Sedang dipersiapkan dalam konsep adalah pola pelayanan keperawatan dan legislasi keperawatan.

14. Bidang pendidikan keperawatan yang telah dicapai adalah Para Penjenang atau Perawat Kesehatan yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti pendidikan tambahan untuk memperoleh persamaan ijazah perawat kesehatan.

Perawat Kesehatan dan yang setingkat (Pengatur rawat, Perawat Bidan dll) serta memenuhi persyaratan dapat mengikuti pendidikan ke Akademi Perawatan atau DIII Keperawatan. Di samping itu dapat mengikuti pendidikan khusus untuk kebidanan atau training khusus untuk asuhan keperawatan penyakit jantung, ginjal, gawat darurat, perawat kesehatan masyarakat dll.

Lulusan Akademi Perawat dengan persyaratan tertentu dapat mengikuti pendidikan Sarjana strata 1 (S1) pada fakultas kesehatan masyarakat di UI, UNHAS, UNAIR, UNDIP dan Program Studi Ilmu Keperawatan FKUI yang diharapkan segera menjadi Fakultas Keperawatan mandiri.

Di samping itu kesempatan juga terbuka bagi tenaga keperawatan untuk belajar di luar negeri sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

15. Dalam upaya pengembangan profesi, yang paling lemah adalah penelitian di bidang keperawatan karena keterbatasan kemampuan dan waktu untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

16. Dalam rangka pengembangan karier, upaya agar semua institut/lembaga keperawatan dipimpin oleh tenaga perawat, sudah ada persetujuan prinsipiil dari pimpinan Departemen Kesehatan, namun dalam pelaksanaannya belum berjalan disebabkan berbagai hambatan, termasuk ketidaksiapan PPNI sendiri, terutama dalam memenuhi persyaratan pimpinan suatu unit kerja.

17. PPNI provinsi Jateng telah mendirikan Yayasan dan SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) PPNI, serta Koperasi namun masih perlu mawas diri agar tidak menyebabkan turunnya citra perawat.

18. Masalah ketidaklancaran kenaikan pangkat dan terbatasnya kesempatan untuk menjadi anggota Tim Kesehatan Haji Indonesia, disebabkan karena persyaratan-persyaratan yang dirasa berat, kesulitan untuk melaksanakannya.

19. Namun masih perlu diperhatikan anggapan bahwa profesi perawat belum setaraf dengan profesi kesehatan lainnya, baik dari masyarakat luas maupun dari anggota organisasi tertentu dan bahkan mungkin dari warga keperawatan sendiri karena tidak mengikuti perkembangan ilmu, teknologi dan organisasi keperawatan saat ini.

20. Semua provinsi di Indonesia sudah terbentuk pengurus PPNI, namun daerah Tingkat II baru mencapai sekitar 90 % .

21. Kebanyakan tenaga keperawatan adalah tenaga dengan pendidikan menengah ke bawah sehingga sulit untuk dikembangkan.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>