Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nico Reza
Abstrak :
Diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia terdapat 1.1 juta orang usia muda berada dalam risiko gangguan pendengaran terkait pajanan bising dari kegiatan hiburan, termasuk bermain drum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah bergumam dapat melindungi telinga pada penabuh drum sehingga tidak didapatkan atau lebih sedikit perubahan nilai signal-to-noise ratio SNR , dibandingkan dengan penabuh drum yang tidak bergumam pada saat bermain drum. Penelitian dengan disain pre-post eksperimental dilakukan di komunitas penabuh drum di Depok, Jawa Barat dari bulan November 2017 sampai bulan Mei 2018.Pengambilan sampel dengan consecutive sampling. Dilakukan wawancara menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, pemberian APD berupa earplug, dan memberikan intervensi bermain drum dengan cara bergumam pada satu kelompok. Analisis data dengan program statistik SPSS Statistics 20.0. Sebanyak sepuluh subyek penabuh drum, terdiri dari empat orang pada kelompok kontrol dan enam orang pada kelompok intervensi, dilakukan analisis untuk mengukur SNR signal to noise ratio sebelum dan sesudah pajanan bising dengan bermain drum pada kedua kelompok tersebut. Didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna perubahan SNR sebelum dan sesudah pajanan di kedua telinga pada kedua kelompok tersebut. Intervensi bergumam untuk membangkitkan refleks Stapedius belum terbukti dapat memberikan perlindungan pendengaran pada subyek penelitian. Pemakaian APD berupa earplug tanpa / disertai dengan bergumam, diperkirakan dapat melindungi pendengaran dari penurunan SNR.
World Health Organization estimated about 1.1 million young adults are in risk of hearing impairment due to music entertainment. Drummer as well as others percussion musician have risk of hearing impairment.This study is to identificate if humming can prevent or make smaller signal to noise ratio SNR degradation on drummer compare to the drummer who does not hum while drumming. Pre Post Experimental was conducted to a Drummer Community in Depok, West Java from November 2017 until May 2018 using consecutive sampling. All subjects underwent interview, physical examination, using earplug to the both group and humming intervention for one of the groups. Analysis was done using SPSS Statistics 20.0. Ten subjects are included in this research consist of four peoples in control group and six peoples in intervention group, signal to noise ratio SNR was measured before and after noise exposure with drumming on both groups. The result was there is no significant association of SNR on both groups in before and after exposure. There is no significant association of SNR on both groups in before and after exposure. There is no significant difference of SNR after exposure in both groups.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jarot Kunto Wibowo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Keganasan merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia. Salah satu modalitas pengobatan kasus keganasanadalah kemoterapi. Carboplatin cis-diammine-cyclobutanedicarboxylato platinum adalah senyawa platinum generasi kedua yang sering digunakan dalam tata laksana kasus keganasan seperti neuroblastoma, retinoblastoma, hepatoblastoma, tumor otak dan tumor sel germ. Efek samping pemberian obat sitotoksik perlu dipertimbangkan, khususnya ototoksik, yaitu gangguan fungsi dan kerusakan struktur telinga dalam yang dapat disebabkan oleh obat atau bahan kimia tertentu. Tujuan: Menilai efek ototoksisitas akibat pengaruh Carboplatin pada anak dengan kasus keganasan. Metode: Penelitian ini menggunakan desain serial cross sectional untuk mengetahui perubahan signal to noise ratio SNR pada OAE sebagai akibat efek ototoksik dan faktor-faktor risiko yang ikut berperan pada kejadian ototoksik akibat pemakaian Carboplatin di Divisi Hematologi Onkologi IKA FKUI-RSCM. Hasil: terdapat dua dari 52 subyek penelitian yang mengalami kejadian ototoksik. Kesimpulan: didapatkan dua 5 dari 40 subyek mengalami kejadian ototoksik pada kelompok yang mendapat kemoterapi, sedangkan pada kelompok yang belum mendapat terapi tidak ditemukan adanya nilai SNR kurang dari enam. Faktor risiko berupa jenis kelamin, usia, siklus kemoterapi dan dosis Carboplatin tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik p>0,05 . Kata kunci: Carboplatin, ototoksik, otoacoustic emission OAE
ABSTRACT
Background Malignancy is one of the non contagious diseases are a public health problem, both globally and Indonesia. Chemotherapy is one of modality in malignancy cases. Carboplatin cis platinum diammine cyclobutanedicarboxylato is a second generation platinum compound that is often used in the management of cases of malignancies such as neuroblastoma, retinoblastoma, hepatoblastoma, brain tumors and germ cell tumors. Side effects of cytotoxic drugs need to be considered, especially ototoxic. Ototoxic is disfunction and damage to the structure of the inner ear that can be caused by drugs or other certain chemicals. Objective Assess the effects of ototoxicity due to the influence of Carboplatin in children with malignancy cases. Methods This study uses a serial cross sectional design to assess changes in signal to noise ratio SNR at the OAE as a result of ototoxic effects and risk factors that come into play in the event due to the use of ototoxic Carboplatin in the Hematology Oncology of pediatric Department Cipto Mangunkusumo General Hospital. Results There are two of 52 study subjects, who experienced ototoxic. Conclusion we obtained two 5 of the 40 subjects experienced ototoxic events in the group receiving chemotherapy, whereas in the group that had not received therapy was not found SNR value less than six. The risk factors such as gender, age, Carboplatin dose cycles of chemotherapy and did not have a statistically significant relationship p 0.05 .
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58713
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Dameria Sri Indahwati
Abstrak :
Latar Belakang. Pasien epilepsi memerlukan obat antiepilepsi (OAE) dalam waktu lama, minimal 1-2 tahun.OAE yang terbanyak digunakan di Indonesi adalah OAE generasi lama yaitu karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, dan valproat.Karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital dapat menyebabkan stres oksidatif dan peningkatan kolesterol sedangkan menyebabkan resistensi insulin.Keempat OAE dapat menyebabkan peningkatan homosistein. Hal tersebut dapat menyebabkan disfungsi endotel yang merupakan awal dari aterosklerosis.Ketebalan kompleks intima-media (KIM) karotis komunis dapat digunakan sebagai indikator dari aterosklerosis.Oleh karena itu diperlukan pengukuran ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama untuk deteksi awal aterosklerosis. Metode penelitian. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk melihat perbandingan ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (pasien epilepsi) dengan kelompok kontrol (populasi normal) dengan usia dan jenis kelamin yang disesuaikan. Variabel independen adalah usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, dan durasi OAE. Hasil. Didapatkan sampel masing-masing 46 subjek kelompok studi dan kontrol. Median ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (0,49 (0,36-1,40) mm) lebih dari kontrol (0,43 (0,35-0,77) mm) secara bermakna. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, durasi OAE dengan ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi. Kesimpulan. Ketebalan KIM karotis komunis pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama lebih tebal dari kelompok kontrol. ...... Background. Epilepsy patients requires long-term antiepileptic drugs (AEDs) at least for 1-2 years. The most common AEDs used in Indonesia are first generation AEDs which are carbamazepine (CBZ), phenytoin (PHT), phenobarbital (PB), and valproate (VPA). The first three AEDs may cause oxidative stress and increased cholesterol level while VPA causes insulin resistance. All AEDs cause increased homocysteine level. All those factors could cause endothelial dysfunction which is known as initial process in atherosclerosis. Common carotid intima-media thickness (CC IMT) is a well-known indicator of atherosclerosis. Therefore CC IMT measurement on epilepsy patients with old generation AEDs is required for early detection of atherosclerosis. Methods. This was a cross-sectional study that comparing CC IMT of epilepsy patients and control group (normal subjects) with age and sex matched. The independent variables were age, sex, number of AEDs, type of AEDs, and duration of AEDs. Results. There were 46 subjects for each group. The CC IMT median of epilepsy patients (0,49 (0,36-1,40) mm) were significantly thicker than control group (0,43 (0,35-0,77) mm). There were no association of age, sex, number of AEDS, type of AEDs, duration of AEDs with CC IMT. Conclusions. CC IMT of epilepsy patients with first generation AEDs was higher than control group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Nurcahaya
Abstrak :
Latar belakang. Epilepsi merupakan satu dari penyakit neurologi yang sering menyebabkan disabilitas dan kematian. Prediktor terbaik menentukan remisi epilepsi adalah respons awal terhadap OAE. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi respons awal terapi diantaranya etiologi epilepsi, jumlah kejang sebelum pengobatan, bentuk bangkitan kejang, status neurologi, usia awitan dan gambaran elektroensefalografi.Tujuan. Mengetahui respons awal dan faktor-faktor yang mempengaruhi respons awal OAE monoterapi pada pasien epilepsi baru pertama kali di RSCM Metode penelitian. Penelitian merupakan penelitian kohort prospektif pada 92 anak berusia < 17 tahun dengan melihat respons awal OAE monoterapi pada anak penderita epilepsi baru selama 3 bulan yang berobat ke poliklinik rawat jalan RSUP dr Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2017 sampai Agustus 2017. Faktor-faktor risiko etiologi epilepsi, jumlah kejang sebelum pengobatan, bentuk bangkitan kejang, status neurologi, usia awitan dan gambaran elektroensefalografi dianalisis secara bivariat dan multivariat. Hasil penelitian. Terdapat 92 pasien epilepsi baru yang memenuhi kriteria penelitian. Insidens epilepsi baru pada penelitian ini adalah 21,9 . Pasien epilepsi baru yang mendapat OAE monoterapi sebagian besar berumur ge; 1 tahun, awitan kejang ge; 1 tahun, etiologi struktural, jumlah kejang sebelum pengobatan ge; 10 kali, mempunyai kelainan neurologi, bangkitan kejang umum dan gambaran normal pada pemeriksaan EEG. Respons awal yang baik pada penderita epilepsi baru terhadap OAE monoterapi adalah sebesar 77,2 dalam 3 bulan pengobatan. Faktor yang memengaruhi respons awal baik dalam 3 bulan OAE monoterapi setelah analisis multivariat jumlah kejang dan gambaran EEG. Simpulan. Sebagian besar pasien epilepsi menunjukkan respons awal baik terhadap obat antiepilepsi monoterapi. Faktor yang berperan terhadap respons awal terapi OAE monoterapi adalah jumlah kejang dan gambaran EEG ......Background. Epilepsy is one of neurological disorder that cause disability and death. Initial response to antiepileptic drugs AEDs is the best predictive indicator to determine remission of epilepsy. Factors that influence the initial response are the etiology of epilepsy, pre treatment frequency of seizures, type of seizures, neurological deficits, age of onset, and electroencephalography EEG findings. Objectives. To investigate the initial response and influence factors of the initial response in monotherapy antiepileptic drug in patients with newly diagnosed epilepsy Method. Cohort prospective study was conducted in neurology outpatient clinic Cipto Mangunkusumo hospitals RSCM between January to August 2017 on newly diagnosed pediatric epilepsy. Response of AED monotherapy was observed after three months of treatment. The risk factors were analyzed by bivariate and multivariate statistical analysis. Results. There were 92 subjects that fulfilled the criteria. The incidence of newly diagnosed epilepsy children at RSCM was 21.9 . The age of subjects who take monotherapy AED were commonly ge 1 year old, onset of the first seizure ge 1 year, with structural as the etiology, already have more than 10 times seizure before initial treatment begin, neurological deficit and normal EEG findings. Of 77.2 subjects have a good initial response to monotherapy AED. Multivariate analysis showed that frequency of seizures and electroencephalography EEG findings were the risk factors of the initial response to monotherapy AED in newly diagnosed epilepsy patient. Conclusion. Most of the subject have a good initial response to monotherapy AED. The influence factors of the initial response are frequency of seizures and EEG findings.
Depok: Fakultas Kedokteran, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Darmawan Diswan
Abstrak :
Latar Belakang. Audiometri nada murni (PTA) adalah metode yang umum digunakan untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada pekerja terpajan bising. Tetapi diketahui bahwa PTA tidak dapat mendeteksi gangguan pada sel-sel rambut luar yang biasa terjadi pada tahap awal gangguan pendengaran. Emisi otoakustik (OAE) digunakan untuk mendeteksi tahap awal gangguan pendengaran, namun efektivitasnya dalam program surveilans pendengaran masih belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas OAE dalam program surveilans pendengaran untuk mendeteksi gangguan pendengaran akibat bising (NIHL). Metode. Berbagai database elektronik termasuk Pubmed, Google Scholar, Scopus, dan Proquest ditelusuri dari awal hingga April 2022. Data diekstraksi dari setiap artikel, dan kualitas penelitian dinilai menggunakan alat Quality Assessment of Diagnostic Accuracy Studies-2 (QUADAS-2). Skrining dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak COVIDENCE. Hasil disintesiskan secara naratif. Hasil. Pencarian mendapatkan 412 artikel, di mana 8 artikel disertakan dalam analisis. Sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif positif untuk distortion product otoacoustic emissions (DPOAE) adalah 19,4%-100%, 74%-97,1%, dan 13,6%-97,2%. Sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif positif untuk transiently evoked otoacoustic emissions (TEOAE) adalah 12,5%-100%, 33,33%-90%, dan 47,37-90%. Kesimpulan. Temuan ini mengindikasikan bahwa DPOAE dapat digunakan sebagai alat diagnostik tambahan untuk gangguan pendengaran pada frekuensi 2kHz dan 4kHz. Namun, masih ada bukti yang terbatas tentang efektivitasnya untuk mendeteksi NIHL. ......Background. Pure-tone audiometry (PTA) are commonly used as early detection of hearing loss among workers exposed to noise. Nevertheless, PTA cannot detect the damage in the outer hair cells that usually occur in the early stage. Otoacoustic emissions (OAE) is introduced to detect the early stage of hearing loss, however its effectiveness in the hearing surveillance program is still unknown. Therefore, this study aims to evaluate the effectiveness of OAE in hearing surveillance program to detect noise-induced hearing loss (NIHL). Methods. Multiple electronic databases including Pubmed, Google Scholar, Scopus and Proquest were searched from inception until April 2022. Data were extracted from each article, and study quality was assessed using the Quality Assessment of Diagnostic Accuracy Studies-2 (QUADAS-2) tool. Screening was performed using COVIDENCE software. Narrative synthesis was used for outcomes. Results. The search retrieved 412 records, in which 8 studies included in the analysis. The overall sensitivity, specificity, and positive predictive value for distortion product otoacoustic emissions (DPOAE) were 19.4%-100%, 74%-97.1% and 13.6%-97.2% respectively. The overall sensitivity, specificity, and positive predictive value for transiently evoked otoacoustic emissions (TEOAE) were 12.5%-100%, 33.33%-90% and 47.37-90% respectively. Conclusions. These findings indicated DPOAE might be used as adjunctive diagnostic tool of hearing loss for 2kHz and 4kHz frequencies. However, there are still limited evidence on its effectiveness to detect NIHL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Wijayanto
Abstrak :
Secara kuantitas, perikanan demersal adalah produksi utama perikanan pesisir Semarang,. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan Semarang, termasuk sumberdaya ikan demersal, diduga telah mengalami gejala overfishing. Penelitian ini dimaksudkan untuk meneliti gejala overfishing sumberdaya perikanan demersal pesisir Semarang, menganalis s faktor-faklor yang menyebabkan overfishing serta menganalisis tingkat pemanfaatan yang optimal sumberdaya perikanan demersal di perairan pesisir Semarang dengan pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY), Open Access Equilibrium (OAE) dan Maximum Econc mic Yield (MEY). Kegiatan utama penelitian ini dimulai dengan pengumpulan dan penyusunan data Catch per Unit Effort (CPUE) perikanan demersal beserta upaya penangkapan (trip) yang diurutkan secara runtut waktu (time series). Data CPUE dan upaya penangkapan yang digunakan adalah data setelah dilakukan standarisasi alat tangkap dengan alat tangkap dogol sebagai basis. Selanjutnya dilakukan uji stasioneritas terhadap data CPUE perikanan demersal dan upaya penangkapan terstandarisasi. Kemudian dilakukan pendugaan parameter (a dan b), serta survei mengenai rata-rata harga ikan demersal dan biaya per trip alat tangkap dogol. Selanjutnya dilakukan penghitungan tingkat pemanfaatan yang optimal sumberdaya perikanan demersal dengan pendekatan MSY, DAE dan MEY. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perikanan demersal pesisir Semarang telah mengalami overfishing yang dimulai pada tahun 1596. Faktor penyebab overfishing adalah operasi penangkapan ikan yang berlebihan, prnggunaar slat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan degradasi lingkungan perairan pes sir Serr arang. Berdasarkan pendekatan MSY, tingkat pemanfaatan optimal sumberdaya ikan demersal di perairan pesisir Semarang adalah catch 2.091 tonltahun dan effort 843 trip dogol/tahun, , sedangkan berdasarkan pendekatan UAE, tingkat pemanfaatan optimal adalah catch 127 ton/tahun dan effort 1661 trip dogolltahun, Berdasarkan pendekatan MEY, tingkat pemanfaatan optimal adalah catch 2.090 tonltahun dan effort 830 trip dogolltahun. Pendekatan MEY terbukti paling optimal dalam menghasilkan rente atau profit terbesar dan tetap memperhatikan aspek kelestarian karena tingkat pemanfantannya tidak melampaui MSY.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T 20408
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny Suwento
Abstrak :
ABSTRAK
Fragmen bilirubin yang tidak terkonjugasi dan tidak terikat albumin (bilirubin bebas) pada neonatus dapat menembus sawar darah otak sehingga terjadi kerusakan otak berupa ensefalopati bilirubin akut. Salah satu gejala ensefalopati bilirubin akut adalah tuli sensorineural. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bilirubin bebas mempunyai neurotoksisitas lebih besar dibandingkan dengan bilirubin total, namun pemeriksaan bilirubin bebas lebih sulit, rumit, mahal dan belum tersedia di klinik; sehingga perlu dicari pemeriksaan lain yang lebih praktis dan aplikatif. Salah satu pilihan untuk menentukan neurotoksisitas bilirubin adalah pengukuran rasio bilirubin total terhadap albumin (BT/A). Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang berulang, bersifat observasional, longitudinal, dan prospektif berupa uji diagnostik untuk mengetahui proporsi tuli sensorineural yang diprediksi berdasarkan nilai rasio BT/A tertentu pada neonatus BBLR dengan hiperbilirubinemia. Penelitian ini dilakukan dalam periode bulan Agustus 2015 sampai dengan Maret 2016, dengan dua tahap pemeriksaan OAE dan BERA. Pemeriksaan pertama sebagai skrining pendengaran dilakukan saat subjek berumur ≥ 7β jam?1 minggu dan pemeriksaan kedua/diagnostik pada usia 3?6 bulan. Dari 131 subjek yang dilakukan skrining pendengaran dengan OAE dan BERA, terdapat 70 subjek dengan hasil refer dan 61 dengan hasil pass. Lima puluh satu subjek datang pada pemeriksaan kedua/diagnostik (response rate 38,9%). Hasil pemeriksaan diagnostik adalah 9 subjek tuli sensorineural (6,87%) yang terdiri dari 5 subjek tuli sensorineural bilateral, 2 subjek tuli sensorineural unilateral dan 2 subjek neuropati auditorik. Rasio BT/A berperan terhadap terjadinya tuli sensorineural dengan OR 16, p = 0,003, sensitivitas 89% dan spesifisitas 67%. Pada penelitian ini juga didapatkan angka rujukan bilirubin total dan rasio BT/A yang dapat menyebabkan tuli sensorineural pada neonatus BBLR hiperbilirubinemia yaitu 12,21 mg/dL dan 0,46. Rasio BT/A dapat digunakan sebagai prediktor tuli sensorineural pada neonatus BBLR dengan hiperbilirubinemia.
ABSTRACT
In neonates, unconjugated unbound bilirubin (free bilirubin) can penetrate the blood brain barrier, causing brain damage in the form of acute bilirubin encephalopathy as one of the symptoms is sensorineural hearing loss. Previous research has demonstrated that free bilirubin neurotoxicity was more sensitive than total bilirubin, but the free bilirubin test is more difficult, complicated, expensive and not available in the clinic; thus it is necessary to find other tests which is more practical and applicable. One of the option to determine the bilirubin neurotoxicity is a measurement of the ratio of total bilirubin to albumin (BT/A). This is a repeated cross sectional study done in observational, longitudinal and prospective diagnostic tests to determine the proportion of sensorineural hearing loss predicted based on the value BT/A ratio in low birth weight (LBW) neonates with hyperbilirubinemia. The study was conducted from August 2015 until March 2016, with two-stage examination of the OAE and BERA, i.e. ≥ 7β hours?1 week and age of 3?6 months respectively. One hundred and thirty one subjects underwent hearing screening, and it revealed that 70 subjects diagnosed as refer and the rest (61 subjects) was pass. During the second examination/diagnostics with response rate at 38.9%, 9 from 51 subjects were diagnosed as sensorineural hearing loss (6.87%), i.e. five subjects with bilateral sensorineural hearing loss, two subjects with unilateral sensorineural hearing loss and two subjects with auditory neuropathy. The BT/A ratio contributes to the occurrence of sensorineural hearing loss with OR 16, p = 0.003, sensitivity 89% and specificity 67%. It also revealed in this study that the reference figure of bilirubin total and BT/A ratio were 12.21 mg/dL and 0.46 respectively. Those reference value can be used to predict sensorineural hearing loss in LBW neonatal with hyperbilirubinemia. Ratio of BT/A can be used as a predictor of sensorineural hearing loss in LBW neonates with hyperbilirubinemia.
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library