Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angelina Kuswidhiastri
Abstrak :
Regulasi emosi kognitif merupakan keterampilan individu untuk mengelola pikiran dan reaksi emosional dalam menghadapi situasi buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan perbedaan kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi kognitif berdasarkan jenis kelekatan dengan orang tua pada remaja akhir. Penelitian dilakukan secara cross-sectional pada 674 orang remaja akhir berusia 18-22 tahun (n perempuan = 75.2%) yang terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kelekatan aman (46.2%), kelekatan tidak aman-menghindar (48.2%), dan kelekatan tidak aman- ambivalen (5.8%). Penelitian menggunakan analisis One-Way MANOVA untuk mengamati perbedaan kemampuan menggunakan strategi kognitif dalam masing-masing kelompok jenis kelekatan. Penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketiga jenis kelekatan dalam menggunakan strategi regulasi emosi kognitif (F (18, 1328) = 11.29, p < 0.01; Pillai’s V = .265, η2 = .133). Strategi kognitif yang lebih adaptif lebih mampu digunakan oleh remaja dengan kelekatan aman, sementara remaja dengan kelekatan tidak aman lebih sering menggunakan strategi kognitif yang kurang adaptif. Perbedaan penggunaan strategi kognitif juga ditemukan pada kedua jenis kelekatan tidak aman. ......Cognitive emotion regulation is the ability to manage thoughts and emotional reactions when faced with bad situations. This research aims to prove the differences between in the cognitive emotion regulation strategies of late adolescents based on their parental attachment types. Cross-sectional study was conducted on a total sample of 674 late adolescents between 18-22 years (n female = 75.2%) which are divided into three groups based on parental attachment types. A set of One-Way MANOVA was used to assess the differences in the ability to use cognitive emotion regulation strategies between groups. Results showed that there are significant differences in the three types of attachment in using cognitive emotion regulation strategies (F (18, 1328) = 11.29, p < 0.01; Pillai’s V = .265, η2 = .133). Adolescents with secure attachment are more likely to use adaptive cognitive strategies, while those with insecure attachments are more likely to use less adaptive strategies. Differences in cognitive strategy use were also found in the insecureavoidant and insecure-ambivalent attachment.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albertus Edy Subandono
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S2470
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Endang Sriningsih
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S2532
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chestov, Leon
Paris: La Pleide, 1926
152.4 CHE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tresidder, Andrew
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005
155.4 TRE i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Laili Irawati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
S3518
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Eva
Abstrak :
Belajar adalah aktivitas yang kompleks, bukan hanya mengaktifkan kognitif dan motorik saja, namun juga melibatkan emosi individu. Kebanyakan individu akan lebih mcrnikirkan sesuatu jika merasakannya. Ernosi dapat berpemn sebagai pemberi semangat, cncrgi, dan mengarahkan perilaku pada individu (Eyler dan Giles, dalam Hunt, 2006).. Oleh karenanya, menjadi penting, bagi siswa tuna netra yang belajar dalam program inklusi untuk mampu mengembangkan kemampuan regulasi emosi karena ia akan berhadapan dengan situasi belajar yang heterogen. Berdasarkan hasil pemcriksaan psikologi diketahui bahwa A tidak mempunyai masalah dengan kecerdasan, namun ia mempunyai masalah dalam kemampuan mengelolaan emosi. Untuk melanjutkan pendidikan ke SLTP dengan program inklusi, A perlu mengingkatkan diri dalam mengelola cmosi. Mengingat, A akan menghadapi beragam karakter individu pada saat bersekolah di SLTP dengan program inklusi. Peningkatan kemampuan mengelola emosi terutama dibutuhkan A untuk mengembangjcan kemampuan bersosialisasi dengan orang lain. Program intervensi didasarkan pada pendekatan modiiikasi perilaku dengan pendckatan kognitif dan pendekatan perilaku. Pendekatan kognitif menggunakan strategi antecedent focused, sedangkan pendekatan perilalcu menggunakan strategi response focused dengan relaksasi pemapasan dalam. Disamping itu, peneliti, mengintegrasikan dua strategi tersebut dengan pengembangan kesadaran diri melalui in-depth interview. Tujuan intervensi adalah menunmkan perilaku agresif A ketika sedang marah, seperti, menendang lemari, menendang pintu, menyobek buku, tidak hadir di sekolah tanpa alasan yang jelas, dan menarik diri. Program intervensi ini diadakan dalam 14 kali pertemuan dan disusun dalam sebuah rancangan program intezvensi yang terdid atas tiga bagian yaitu : 1) Data Dasar; 2) Program Intervensi; 3) Evaluasi Program. Hasil intervensi secara umum memmjukkan bahwa program intervensi efektif untuk meningkatkan regulasi emosi A. Teknik modiiikasi situasi lebih sering digunakan A dibanding teknik yang lain dan relaksasi pemapasan dalam memberikan dampak positifterhadap emosi A. ......Learning is a complex activity which not only involves cognition and motor abilities, but also one’s emotion. Most individuals will tend to think about something if they can feel it. Emotion can have a role in giving spirit, energy and guidance to one’s behavior (Evler & Giles, in Hunt, 2006). Thus, it is important for blind children who leam in an inclusion program to be able to develop the ability to regulate emotion because she will face a diverse learning situasion. Based on the psychological assesment, it is known that A d0esn"t have any intelectual barriers, though she does have difheulties in regulation his emotions. To continue his studies in the secondary level with a inclusive program, A needs to improve her emotion regulating abilities. Reason being is, because A will face a lot of different individual characters while in that education level. Improvement in emotion self-regulation is especially needed to develop A’s social interaction abilities. The intervention program is based on the modification behavior technique with a cognitive and behavior approach. The cognitive approach uses the antecedent focused strategy, whilst the behavior approach uses the response focused strategy with the deep breathing relaxation technique. Moreover, the two strategies are integrated with the development of self consciousness by using depth interview. The purpose of the intervention is to decrease aggressive behavior of A, for example kicking closets, kicking doors, tearing books, skipping school and withdrawing himself from his society. The intervention program is conducted 14 times and is based on an intervention program which consists of three parts: 1) Data based; 2) Intervention program; 3) Evaluation program. The results of the intervention show that in general intervention program is elfective to enhance A’s emotion regulation. Situation modiiication technique is used more otien by A compared to the other techniques and deep breathing relaxation in giving a positive influence towards A’s emotion.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34093
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, D. Rismawati
Abstrak :
Kepuasan perkawinan ditunjukkan oleh adanya kepuasan subyekstif pasangan suami istri terhadap perkawinan mereka baik secara keseluruhan maupun terhadap aspek-aspek yang spesifik dari hubungan perkawinannya.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Duvall & Miller (1985) mengelompokan faktor-faktor itu kedalam dua kelompok, yaitu faktor sebelum pernikahan dan faktor sesudah pernikahan. Salah satu dari faktor sebelum pernikahan adalah faktor usia dan kematangan. Menurut Stinnett (1984) bukan hanya usia saja yang mempengaruhi kepuasan perkawinan tapi juga termasuk kematangan emosi. Lebih lanjut Blood & Blood (1979) menyatakan bahwa mereka yang matang secara emosional memiliki kemampuan untuk menjalin dan mempertahankan hubungan personal dan hal ini mempengaruhi bagaimana pasangan saling berinteraksi satu dengan yang lain. Disamping itu, pada faktor setelah pernikahan disebutkan pula. bahwa kematangan emosi sebagai bagian dari ciri kepribadian turut berpengaruh dalam mencapai kepuasan perkawinan. David Knox (dalam Lamanna & Riedmann, 1981) menjelaskan bahwa salah satu ciri kematangan emosi dalam perkawinan adalah adanya keinginan dan kemampuan untuk mengatasi konflik bukan untuk mengakhiri hubungan diantara pasangan suami istri.

Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan antara kematangan emosi dan kepuasan perkawinan itu sebenarnya. Karena subyek penelitian ini adalah istri bekerja dan istri tidak bekerja, maka selanjutnya ingin diteliti bagaimana kepuasan dan kematangan emosi, masing-masing, pada kelompok istri bekerja dan kelompok istri bekerja serta bagaimana pengaruh kematangan emosi dan status bekerja --bekerja & tidak bekerja-- terhadap kepuasan perkawinan. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk memaparkan gejala yang diteliti, dalam hal ini tidak dilakukan uji hipotesa. Subyek penelitian adalah 159 orang yang terdiri dari 64 orang istri tidak bekarja dan 95 orang istri bekerja. Alat yang digunakan adalah kuesioner kepuasan perkawinan, skala kematangan emosi dan 2 alat pelengkap.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara kepuasan perkawinan dan kematangan emosi. Kelompok istri tidak bekerja memiliki, baik skuo rata-rata kepuasan perkawinan maupun skor rata- rata kematangan emosi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok istri bekerja. Hasil lain menunjukkan bahwa skor rata-rata pengaruh kematangan emosi adalah lebih besar dibandingkan skor rata-rata pengaruh status kerja terhadap kepuasan perkawinan.

Disimpulkan bahwa kematangan emosi memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan perkawinan, artinya semakin matang emosi seseorang maka semakin puas orang tersebut dengan kehidupan perkawinannya, sebaliknya, semakin tidak matang emosi seseorang maka semakin tidak puas ia terhadap perkawinannya. Kelompok istri tidak bekerja adalah lebih matang secara emosi dan lebih puas terhadap perkawinannya jika dibandingkan dengan kelompok istri bekerja. namun demikian pengaruh status kerja terhadap kepuasan perkawinan adalah lebih kecil jika dibandingkan dengan pengaruh kematangan emosi terhadap kepuasan perkawinan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1992
S2425
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricci Vicika
Abstrak :
ABSTRAK
Kehidupan manusia tidak terlepas dari emosi. Apapun jenisnya, emosi menyebabkan bergesernya sistem fisiologis, kognitif dan sosial individu dari keadaan homeostatis menjadi non homeostatis. Pergeseran ini mengganggu fungsi individu. Oleh karena itu, ketiga sistem tersebut harus dikembalikan ke dalam keadaan homeostatis. Caranya adalah dengan menyalurkan (?channeling") emosi baik melalui perilaku verbal maupun non verbal. Salah satu perilaku verbal adalah perilaku menceritakan emosi kepada orang lain. Perilaku bercerita pengalaman emosi adalah perilaku mendiskusikan pengalaman emosi dengan orang lain (Rime et.al, 1991). Idealnya, semua orang dapat menceritakan pengalaman emosinya dengan leluasa. Namun kenyataannya, pria cenderung memilih untuk tidak menceritakan pengalaman emosinya kepada orang lain (Caldwell & Peplau, 1982 dalam Lips, 1988). Mengapa pria tidak menceritakan pengalaman emosinya kepada orang lain? Hal ini disebabkan karena adanya "pendidikan" yang diberikan bagi pria. Pria dididik untuk bersikap sebagai individu yang kuat, obyektif mampu bertahan, tidak sentimentil, dan tidak ekspresif secara emosional (Jourad, 1971 dalam Dindia & Allen, 1992). Pendidikan ini muncul karena adanya standar yang disebut sebagai norma maskulinitas (Pleck, 1981 dalam Levant & Pollack, 1995). Dari uraian teoritis di atas, diduga ada hubungan yang negatif antara keterikatan terhadap norma maskulinitas dengan kesediaan pria untuk menceritakan pengalaman emosinya. Dalam penelitian ini, kesediaan bercerita pengalaman emosi dioperasionalisasikan menjadi tiga aspek yaitu (1) muncul tidaknya perilaku bercerita pengalaman emosi; (2) kedalaman cerita pengalaman emosi; dan (3) kesediaan untuk menceritakan pengalaman emosi untuk peristiwa yang belum terjadi. Penelitian ini akan melihat lima jenis emosi yaitu sedih, marah, takut, malu dan bersalah. Emosi sedih dan takut digolongkan sebagai emosi yang tidak boleh diekspresikan pria [Levant et al., 1996). Emosi malu dan bersalah digolongkan oleh peneliti sebagai emosi yang tidak boleh diekspresikan pria karena menggambarkan kelemahan. Pria juga dilarang untuk mengeskpresikan emosi yang menggambarkan kelemahan. Sedangkan marah merupakan emosi yang boleh diekspresikan pria. Pembagian emosi menjadi dua jenis ini menyebabkan munculnya dugaan lain mengenai hubungan antara keterikatan terhadap norma maskulinitas dengan kesediaan bercerita pengalaman emosi pada pria. Diduga, pria yang terikat pada norma maskulinitas tidak bersedia untuk menceritakan pengalaman emosi sedih, takut, malu dan bersalah kepada orang lain. Sebaliknya, untuk emosi marah, justru diduga bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas bersedian untuk menceritakan pengalaman emosi marahnya kepada orang lain.

Penelitian ini melibatkan 45 subyek mahasiswa pria. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah teknik insidental yaitu penarikan sampei yang didasarkan atas kemudahan mancari sampel. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang dapat diisi sendiri tanpa bantuan wawancara. Data yang diperoleh diolah secara kuantitatif.

Secara umum didapat hasil bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas tidak bersedia menceritakan pengalaman emosinya kepada orang Iain. Hasil ini tercermin melalui tiga aspek kesediaan bercerita pengalaman emosi di atas. Namun, hasil ini hanya berlaku pada emosi sedih dan marah. Pada kedua emosi ini, ketiga aspek kesediaan bercerita pengalaman emosi sedih dan marah menunjukkan hubungan yang negatif dengan keterikatan pria terhadap norma maskulinitas. Sedangkan pada emosi malu dan bersalah, keterikatan pria terhadap norma maskulinitas tidak berhubungan dengan kesediaan bercerita pengalaman emosi malu dan bersalah. Keanehan terjadi pada emosi takut. Pada kedua aspek pertama didapatkan hasil bahwa keterikatan pria terhadap norma maskulinitas tidak berhubungan dengan (1) muncul tidaknya perilaku bercerita pengalaman emosi takut dan (2) kedalaman cerita pengalaman emosi takut. Sedangkan pada aspek ketiga, diperoleh basil bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas tidak bersedia untuk menceritakan pengalaman emosi takutnya untuk peristiwa lain yang belum terjadi. Keanehan ini, mungkin, disebabkan karena alat yang dipakai tidak dapat menangkap kompleksitas pengalaman emosi takut.

Untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk menambah beberapa pertanyaan yang dapat menangkap pengalaman emosi secara lengkap. Selain itu, disarankan untuk melakukan wawancara secara mendalam terhadap subyek.
1997
S2643
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Eva Grace Rouli
Abstrak :
ABSTRAK
Hubungan pacaran merupakan salah salah jenis hubungan interpersonal. Menurut Bird dan Melville (1994), hubungan pacaran adalah suatu hubungan atau proses formal yang dilewati oleh perempuan lajang dan laki-laki lajang, dimana dalam proses/hubungan itu masing-masing memilih pasangan hidupnya. Dalam hubungan pacaran, pasangan kekasih biasanya saling mencurahkan atau mengekspresikan cinta dan kasih sayangnya terhadap satu sama lain. Menurut Plutchik, cinta adalah salah satu jenis emosi kompleks yang dibentuk dari kombinasi dua emosi dasar, yaitu joy dan acceptance. Sementara itu, dengan merujuk pada definisi ekspresi emosi menurut Gross dan John (1997), maka ekspresi emosi cinta dapat diartikan sebagai manifestasi dari emosi cinta yang muncul dalam bentuk perilaku. Menurut Buscaglia (1988), ekspresi emosi cinta ini sangat penting bagi perkembangan hubungan pacaran. Ekspresi emosi cinta juga penting karena dapat memperkuat emosi cinta itu sendiri (Tysoe, dalam Sukaria, 1995). Adapun setiap budaya memiliki display rules yang berperan dalam mengatur tampilan atau ekspresi emosi seseorang. Sesuai dengan stereotip gender dan beberapa literatur, disebutkan bahwa perempuan lebih ekspresif dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti gambaran ekspresi emosi cinta dalam hubungan pacaran menurut laki-laki dan perempuan. Subyek penelitian adalah individu dewasa muda yang berusia antara 20-30 tahun. Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat ukur. Subyek diminta untuk memberi tanda centang (v) pada skala yang sesuai dengan diri subyek, untuk setiap ekspresi emosi cinta yang dilakukan subyek kepada pasangannya dan untuk setiap situasi dimana subyek mengekspresikan emosi cinta kepada pasangannya. Untuk mengukur ekspresi emosi cinta, dilihat nilai mean dari total ekspresi verbal dan nilai mean dari total ekspresi non verbal pada kelompok subyek laki-laki dan perempuan. Kemudian dilakukan perhitungan t-test untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok subyek dalam jenis-jenis ekspresi emosi cinta (verbal dan non verbal), serta antara jenis-jenis ekspresi cinta itu sendiri pada masing-masing kelompok subyek. Selain itu, dilihat pula nilai mean dari setiap ekspresi untuk mengetahui ekspresi-ekspresi mana yang paling sering dan yang paling jarang dilakukan subyek. Kemudian untuk mengukur situasi ekspresi emosi cinta, dilihat dari nilai mean setiap situasi untuk mengetahui pada situasi-situasi apa subyek cenderung mengekspresikan dan pada situasi-situasi apa subyek cenderung tidak mengekspresikan emosi cinta kepada pasangan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok subyek laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan emosi cinta kepada pasangannya, baik secara verbal maupun secara non verbal. Hasil penelitian juga menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antar jenis ekspresi emosi cinta (verbal dan non verbal), baik pada kelompok subyek laki-laki maupun pada kelompok subyek perempuan. Dalam hal ini, kelompok subyek laki-laki dan kelompok subyek perempuan sama-sama lebih ekspresif secara non verbal daripada secara verbal. Hasil penelitian yang diperoleh ternyata tidak sesuai dengan stereotip gender dan literatur yang menyebutkan bahwa perempuan lebih ekspresif daripada laki-laki. Hasil tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena kesetaraan gender yang saat ini sudah mulai berkembang. Kedua, karena pengaruh kemajuan jaman sehingga masyarakat sekarang menjadi lebih terbuka. Selain itu, dikatakan pula bahwa individu yang mengalami emosi cinta akan cenderung mengekspresikannya baik secara verbal maupun secara non verbal (Fitness & Fletcher, 1993). Bagi penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pembenahan terhadap alat ukur ekspresi emosi cinta dan situasinya serta lebih memperhatikan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi ekspresi emosi cinta. Pada penelitian lanjutan sebaiknya juga dilakukan metode observasi dan wawancara disamping metode kuantitatif untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai ekspresi emosi cinta yang diteliti pada konteks yang lebih spesifik. Selain itu, dapat juga dilakukan penelitian lintas budaya mengenai ekspresi emosi cinta atau penelitian perbandingan antar kelompok usia yang berbeda maupun status hubungan yang berbeda.
2002
S3117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>