Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Linda Marpati Yanti
"ABSTRAK
Tujuan : Membandingkan efektivitas pemberian terapi laser tenaga rendah
yang diaplikasikan setiap hari dengan aplikasi 2 kali perminggu dalam
menurunkan derajat nyeri pada penderita osteoartritis servikal.
Metode : Uji klinis acak tersamar tunggal, empat puluh subyek penelitian
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I mendapatkan terapi laser tenaga
rendah tiap hari kerja selama 10 hari terapi (2 minggu), sedangkan kelompok II
mendapatkan terapi laser tenaga rendah 2 kali perminggu selama 10 hari terapi
(5 minggu).
Tempat : Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN-CM Jakarta.
Hasil : Hasil intervensi selama 10 kali pertemuan berturut-turut
menunjukkan penurunan nilai VAS yang bermakna (p<0,05). Dengan analisis
general linier model for repeated measure didapatkan tren penurunan nilai VAS
kelompok yang diintervensi setiap hari menunjukkan penurunan yang lebih baik
dibandingkan kelompok yang diintervensi dengan interval 2 kali perminggu. Pada
kelompok pertama didapatkan penurunan nilai VAS lebih besar pada terapi laser
tenaga rendah setiap hari mulai pada pertemuan ke-6 hingga pertemuan ke-10.
Kesimpulan : Laser tenaga rendah efektif menurunkan nyeri leher penderita OA
servikal.Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap penurunan nilai VAS antara
terapi laser tenaga rendah setiap hari dan terapi laser tenaga rendah 2 kali
perminggu, dengan penurunan nilai VAS lebih besar pada terapi laser tenaga
rendah setiap hari

ABSTRACT
Objective : Comparing the effectiveness between everyday and twice weekly
application of Low Level Laser Therapy, in lowering rate of pain in patients with
cervical osteoarthritis.
Design : Single-blind randomized clinical trials, forty subjects were
divided into two groups. Group I get a low level laser therapy everyday for 10
days of therapy (2 weeks), whereas group II get a low level laser therapy twice
weekly for 10 days of therapy (5 weeks).
Setting : Physical Medicine and Rehabilitation Department Dr Cipto
Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Result : The results of the intervention for 10 consecutive sessions shows
a significant decrease in VAS values (p <0.05). Result analysis with general linier
model for repeated measure in both groups show a better VAS decline in everyday
application group. In first group, the decrease in VAS is greater in application of
Low Level Laser Therapy from session six to ten.
Conclusion : Low level laser therapy effectively decreased neck pain in
cervical OA. There was significant difference in VAS between everyday and
twice weekly application of low level laser therapy, with a greater reduction in
VAS value in every day application."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Sugiyono
"Latar belakang: Nyeri leher merupakan salah satu keluhan muskuloskeletal tersering menduduki urutan ke 2 setelah nyeri punggung bawah dalam menyebabkan disabilitas, kehilangan produktivitas dalam pekerjaan dan rekurensi. Nyeri leher berhubungan dengan berbagai hendaya dan disabilitas mulai dari nyeri, kekakuan, gangguan keseimbangan, kognitif dan gangguan emosi serta mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan berpengaruh pada kualitas hidup. Pengukuran disabilitas akibat nyeri leher menggunakan self-reported questionnaire yang sahih dan andal menjadi komponen penting dalam evaluasi dan pemantauan nyeri, disabilitas dan keadaan psikososial pada pasien nyeri leher. Tujuan studi ini adalah untuk menilai kesahihan dan keandalan Neck Disability Index (NDI) untuk mengukur disabilitas pasien nyeri leher di Indonesia. Metode: Kuesioner NDI orisinil dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan metode adaptasi transkultural dari Mapi Research Trust ke bahasa Indonesia melalui proses forward translation, backward translation, cognitive debriefing dan proofreading. Kuesioner NDI bahasa Indonesia yang telah disetujui oleh peneliti dan pengelola kuesioner dinilai kesahihan dan keandalannya dengan diuji pada 50 pasien nyeri leher di Poliklinik Rehabilitasi Medik RS Cipto Mangunkusumo. Kesahihan konstruksi dinilai dengan menggunakan korelasi antar item terhadap skor total. Keandalan dinilai dengan konsistensi internal berdasarkan Cronbach alpha dan keandalan test-retest yang dinilai dalam jangka waktu 2-3 jam dengan kuesioner kedua yang telah dirandomisasi.
Hasil: Subjek penelitian berada pada rentang usia 45.3±14.7 tahun dengan 74% merupakan perempuan. Kesahihan konstruksi dari kuesioner didapatkan korelasi sedang – kuat dengan koefisien korelasi 0.416-0.761. Konsistensi internal didapatkan baik dengan Cronbach 0.839. Keandalan test-retest didapatkan baik dengan intraclass correlation sebesar 0.92 (95% CI 0.86-0.955).
Kesimpulan: Kuesioner Neck Disability Index bahasa Indonesia merupakan kuesioner yang sahih dan andal dalam penilaian disabilitas pada pasien nyeri leher.

Background: Neck pain is one of the most common musculoskeletal complaint and ranks second after low back pain. It causes disability, loss of productivity at work and recurrence. Neck pain is associated with various disabilities ranging from pain, stiffness, balance disorders, cognitive and emotional disorders and affects daily activities and quality of life. Measurement of disability due to pain using self-reported questionnaires that is valid and reliable becomes an important component in the evaluation and monitoring of pain, disability and psychosocial conditions in neck pain patients. The aim of this study was to assess the validity and reliability of Neck Disability Index (NDI) to measure disability in neck pain patients in Indonesia.
Method: The original English NDI questionnaire was translated using the transcultural adaptation method from Mapi Research Trust into Indonesian through the process of forward translation, backward translation, cognitive debriefing and proofreading. The Indonesian NDI questionnaire which was approved by the NDI developer was assessed for validity and reliability by being tested on 50 neck pain patients at the Medical Rehabilitation Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. The construct validity was assessed using the item-total correlation. Reliability was assessed by internal consistency based on Cronbach alpha and test-retest reliability which was assessed within a period of 2-3 hours with a second randomized questionnaire.
Results: The research subjects were in the age range of 45.3±14.7 years with 74% being women. The validity of the construction of the questionnaire obtained a moderate - strong correlation with a correlation coefficient of 0.416-0.761. Internal consistency was good with Cronbach 0.839. Test-retest reliability was good with an intraclass correlation of 0.92 (95% CI 0.86-0.955).
Conclusion: The Indonesian Neck Disability Index questionnaire is a valid and reliable questionnaire in assessing disability in neck pain patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore: Churchill Livingstone Elsevier, 2011
617.53 NEC
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nur Ulandini
"Lansia adalah seseorang dengan usia 60 tahun atau lebih yang mengalami proses penuaan dan berdampak terhadap perubahan sistem metabolisme tubuh mereka, salah satunya sistem kardiovaskuler. Salah satu penyakit yang banyak diderita oleh lansia adalah hipertensi. Di tingkat nasional, DKI Jakarta menempati urutan kesembilan mengenai prevalensi hipertensi yaitu 33,43%. Hipertensi merupakan keadaan peningkatan tekanan darah terhadap dinding arteri terlalu tinggi. Adapun manifestasi dari hipertensi tengkuk terasa tegang atau nyeri leher yang dapat mengganggu lansia dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Penulisan ini dibuat dengan tujuan untuk menyajikan dan memaparkan hasil analisis Asuhan Keperawatan Penurunan Nyeri Tengkuk Pada Lansia di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung dengan terapi manajemen nyeri non-farmakologis berupa kompres hangat warm water zack dan relaksasi napas dalam. Pemberian terapi dengan warm water zack untuk mengompres bagian tubuh yang sakit dan mengurangi keluhan nyeri. Hasil evaluasi pemberian intervensi selama tujuh hari menggunakan instrument Short-Form Mcgill Pain Questionnaire didapatkan skor nyeri menurun dari sebelum intervensi yaitu 16 dan sesudah intervensi menjadi 4. Respon subjektif yang didapatkan seperti klien sudah mengetahui cara mengurangi dan menghilangkan nyeri. Hal ini mengartikan bahwa kompres hangat warm water zack dan relaksasi napas dalam yang dilakukan dapat menurunkan nyeri tengkuk keluhannya. Terapi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat dan staff lahan praktik untuk mengimpelementasikan sebagai salah satu intervensi mandiri perawat.

The Elderly is someone aged 60 years or more who is experiencing the aging process and has an impact on changes in their body's metabolic system, one of which is the cardiovascular system. One of the most common diseases suffered by the elderly is hypertension. At the national level, DKI Jakarta ranks ninth regarding the prevalence of hypertension, which is 33.43%. Hypertension is a condition where the blood pressure against the artery walls is too high. The manifestations of hypertension are neck tension or neck pain which can interfere with the elderly in carrying out their daily activities. This writing was made with the aim of presenting and explaining the results of the analysis of Nursing Care for Reducing Neck Pain in the Elderly at PSTW Budi Mulia 1 Cipayung with non-pharmacological pain management therapy in the form of warm water zack warm compresses and deep breath relaxation. Giving therapy with warm water zack to compress the sick body part and reduce pain complaints. The results of the evaluation of the intervention for seven days using the Short-Form McGill Pain Questionnaire instrument showed that the pain score decreased from before the intervention, namely 16 and after the intervention to 4. Subjective responses were obtained such as the client already knowing how to reduce and eliminate pain. This means that Zack's warm water compresses and deep breathing relaxation can reduce his neck pain. This therapy is expected to be input for nurses and practice staff to implement it as one of the independent nurse interventions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Dwi Purnamasari
"Fraktur merupakan dampak yang paling sering terjadi akibat cedera baik yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas maupun disebabkan karena penyebab lain seperti terjatuh. Salah satu manifestasi klinik yang disebabkan karena fraktur adalah nyeri. Penatalaksanaan nyeri pada fraktur dapat menggunakan terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi. Studi kasus ini menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur femoral neck dengan nyeri menggunakan terapi non-farmakologi berupa teknik relaksasi napas dalam. Hasil studi kasus penggunaan teknik relaksasi napas dalam dapat menurunkan nyeri yang ditimbulkan akibat fraktur.

Fracture is the common impact in accident that caused by traffic accident or other cause such as fall. One of clinical manifestation from fracture is pain. The pharmacology and non-pharmacological therapy can be used in pain management for the patient with fracture. This case study analizing the nursing care of patient with pain in femoral neck fracture by using non-pharmacological technique, deep breathing relaxation technique. The result of this case study show that the deep breathing relaxation technique can reduce the level of pain in patient with fracture."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Kelvianto
"Kuantitas dan kualitas asupan protein belum sepenuhnya diketahui perannya terhadap kualitas hidup. Prognostic Nutritional Index (PNI) juga belum diketahui dapat mencerminkan kualitas hidup dan apakah bisa ditingkatkan dengan asupan protein. Penelitian dengan desain potong lintang ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara asupan protein dengan PNI dan kualitas hidup serta korelasi PNI dengan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi di Departemen Radioterapi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebanyak 61 subjek didapatkan dari consecutive sampling. Rerata usia subjek adalah 46,3 ± 12,4 dan 65,6% subjek berada pada kanker stadium IV dan mendapatkan terapi kemoradiasi. Sebanyak 32,8% subjek yang memiliki status gizi kurang. Median asupan protein adalah 1,42 (0,26-4,11) g/kg/hari. Nilai PNI pada subjek penelitian memiliki median 45,9 (29,4-54,2). Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi bermakna antara kuantitas asupan protein berdasarkan Food Frequency Questionnaire (FFQ) semikuantitatif dan beberapa aspek gejala pada kualitas hidup yaitu pada aspek pain (head and neck) (r=-0,32; p=0,01), swallowing (r=-0,37;p=0,004), social eating (r=-0,29; p=0,02), dry mouth (r=-0,41; p=0,001), sticky saliva (r=-0,32; p=0,01), fatigue (r=-0,28; p=0,03), nausea and vomiting (r=-0,26; p=0,04) dan appetite loss (r=-0,3; p=0,01). Kualitas asupan protein tidak berkorelasi bermakna dengan kualitas hidup. PNI berkorelasi bermakna terhadap 1 aspek fungsional yaitu physical function (r=0,378; p=0,003) dan 2 aspek gejala yaitu opening mouth (r=-0,325; p=0,01) dan dyspnea (r=-0,257; p=0,045). Meskipun tidak signifikan secara statistik, namun PNI memiliki arah korelasi yang positif terhadap aspek fungsional lainnya dan memiliki arah korelasi negatif terhadap aspek gejala lainnya yang berarti semakin tinggi PNI maka aspek fungsional semakin baik dan gejala semakin ringan. Studi ini tidak menemukan adanya korelasi bermakna antara asupan protein, baik kualitas maupun kuantitasnya, terhadap PNI. Hasil ini diduga berkaitan dengan penemuan bahwa sebagian besar penderita masih memiliki pola asupan yang mampu mencukupi kebutuhan kalori dan protein harian. Diperlukan studi prospektif yang menelusuri aspek prognostik kanker kepala leher dari segi kualitas hidup untuk mengetahui apakah PNI dapat memprediksi aspek kualitas hidup dengan lebih rinci.

Quality and quantity of protein intake has not been well understood that it can affect quality of life. Moreover, Prognostic Nutritional Index (PNI) also has not been well studied upon its usage to reflect quality of life of head and neck cancer patients undergoing radiotherapy. This cross sectional study was aimed to determine the correlation between protein intake and PNI and also the correlation between PNI and quality of life in head and neck cancer patients undergoing radiotherapy at Radiotherapy Department, dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. Total of 61 subjects were recruited with consecutive sampling method with mean age of 46,3 ± 12,4 years old and 65,6% subjects were on stage IV cancer and were getting a combination of chemo and radiotherapy. Only 32,8% subjects were on low nutritional status. Median of total protein intake was 1,42 (0,26-4,11) g/kg/day. Median of PNI was 45,9 (29,4-54,2) among subjects. The result of the study showed a significant correlations between quanitity of protein intake based on semiquantitative Food Frequency Questionnaire (FFQ) with several aspects of quality of life, that were pain (head and neck) (r=-0,32; p=0,01), swallowing (r=-0,37; p=0,004), social eating (r=-0,29; p=0,02), dry mouth (r=-0,41; p=0,001), sticky saliva (r=-0,32; p=0,01), fatigue (r=-0,28; p=0,03), nausea and vomiting (r=-0,26; p=0,04) dan appetite loss (r=-0,3; p=0,01). This aspects were all symptomatics. PNI was significantly correlated with 1 functional aspect, which was Physical function (r=0.378; p=0,003) and 2 symptomp aspects, which were opening mouth (r=-0,325; p=0,01) dan dyspnea (r=-0,257; p=0,045). Although not statistically significant, but there were positive direction of correlation with other functional aspects and negative direction of correlation with other symptomps aspects. This implicates that the higher the PNI, the lower the symptoms and the better the functional status of head and neck cancer patients undergoing radiotherapy. This study did not show a significant correlation between quality and quantity of protein intake with PNI. An adequate intake of calorie and protein in most subjects were found in this study which might explain the result. More studies, preferably prospective one, may be needed to show the usage of PNI to reflect quality of life, especially involving quality of life progresivity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triandana Budi Wisesa
"Latar Belakang: Operator crane merupakan pekerjaan yang memiliki resiko tinggi mengalami gangguan muskuloskeletal. Studi epidemiologi yang dilakukan oleh Kuswaha et al menunjukkan bahwa dari 90% operator crane, 63% mengalami nyeri leher.1 Operator crane melakukan sebagian besar aktivitas kerja mereka dengan postur tubuh yang janggal pada leher, bahu dan punggung. Prevalensi nyeri leher yang tinggi dikaitkan dengan derajat fleksi leher yang tinggi serta postur statis dan janggal saat duduk. Postur membungkuk yang terus menerus dapat menyebabkan ketegangan dan tekanan pada jaringan lunak di sekitar tulang belakang. 2 Bekerja mengoperasikan crane dalam posisi duduk statis dan membungkuk ke bawah dan dalam waktu yang lama merupakan bagian dari tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diubah secara teknis, sehingga perlu dilakukan kontrol, salah satunya dengan program peregangan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah peregangan yang dilakukan dalam waktu dua minggu (lebih singkat dari studi referensi) mampu menurunkan nilai VAS nyeri leher pada operator crane, serta untuk mengetahui berapa nilai penurunan VAS tersebut. pengukuran sebelum peregangan dan setelah peregangan.
Metode: Studi analitik dengan desain within group experiment with repeated measurement. Dilakukan terhadap 25 orang responden yang dipilih secara consecutive sampling dengan mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Penelitian dilakukan dengan pemberian edukasi gerakan peregangan yang dilakukan dalam durasi sekitar lima menit, dilakukan dua kali dalam sehari yaitu sebelum dan setelah bekerja, dilakukan lima hari dalam satu minggu, selama dua minggu. Kemudian dilakukan pengukuran nilai Visual Analog Scale (VAS) sebelum dilakukan peregangan dengan sesudah dilakukan 5 hari peregangan dan 10 hari peregangan.
Hasil: Didapatkanya nilai prevalensi nyeri tengkuk sebanyak 39,6% serta terdapat penurunan signifikan dari nilai nyeri sebelum dilakukan peregangan (VAS = 5 (3-7)) dengan nilai nyeri setelah dilakukan peregangan (VAS = 3 (1-5)) dengan nilai p<0,01 dari uji wilcoxon. Tidak didapatkannya perubahan yang bermakna terhadap faktor individu yang dinilai, baik berdasarkan variabel umur, status gizi, kebiasaan olahraga, dan kebiasaan merokok.
Kesimpulan: Peregangan otot dapat menurunkan nilai nyeri tengkuk leher pada subjek penelitian operator crane, yang diukur berdasarkan Visual Analogue Scale (VAS) dengan intervensi peregangan dilakukan  selama 2 minggu.      

Background: Working to operate a crane in a sitting position for a long time with the back and neck bent is considered to be associated with an increased risk of neck and back pain disorders in crane operators, and is part of the job demands that cannot be changed technically. It is necessary to control the incidence of neck pain in crane operators, one of which is by stretching. The purpose of this study was to prove whether stretching that was carried out within two weeks (shorter than the reference study) was able to reduce the VAS value in neck pain in crane operators.
Methods: This study used an analytical study in the form of within group experiment with repeated measurement design. This research was conducted at the X container terminal located in North Sumatra, carried out when there were still social restrictions on the Covid-19 pandemic in October 2020. This study involved 25 respondents, who were obtained through consecutive sampling. Interventions were carried out by providing education for the McKenzie stretching movements which were about five minutes duration, twice a day, before and after work, for five days a week, in two weeks. Then the Visual Analog Scale (VAS) value was measured before stretching, 5 days of stretching and 10 days of stretching. The stretching and VAS measurement activities were monitored by the company doctor as well as the research team whose perceptions were matched.
Results: The prevalence value of neck pain was 39,6% and there was a statistically significant decrease in VAS levels from VAS = 5 (3-7) before stretching to VAS = 3 (1-5) after stretching for 2 weeks with p values 0.000. There were no significant changes in individual factors that could potentially be confounding factors, such as age, nutritional status, exercise habits, and smoking habits during the experiment.
Conclusion: Muscle stretching can reduce the value of neck pain in crane operator research subjects, which was measured based on the Visual Analog Scale (VAS) with stretching interventions carried out for 2 weeks.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Larangga Gempa Benbella
"ABSTRAK
atar Belakang. Kanker kepala dan leher (KKL) merupakan kanker peringkat ke 6 di Dunia. Mayoritas pasien KKL datang ke Rumah Sakit pada stadium lokal lanjut. Progression Free Survival (PFS) merupakan luaran yang baik untuk mengevaluasi keberhasilan suatu terapi pada kasus tumor padat. Peneliti memilih PFS 2 tahun pada kanker kepala dan leher untuk diteliti karena kurun waktu 2 tahun merupakan waktu biologis untuk suatu tumor padat dapat berkembang kembali. Penelitian dilakukan karena perbedaan jenis kanker kepala leher di Indonesia dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika.
Tujuan. Mengetahui mortalitas 2 tahun pasien KKL serta PFS 2 tahun pasien KKL serta faktor-faktor yang Memengaruhi.
Metode Studi dengan desain kohort retrospektif yang meneliti 216 pasien KKL stadium lokal lanjut yang menjalani kemoradiasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam rentang waktu Januari 2015 sampai Desember 2017. Data diambil melalui rekam medis. Data laboratorium yang diambil memiliki rentang waktu 2-4 minggu sebelum dan 2-4 minggu setelah kemoradiasi. Jika ada data yang kurang seperti durasi ikan asin dan riwayat merokok dikonfirmasi melalui media telepon. Pada penelitian ini tidak melihat proses pembuatan ikan asin dan jumlah ikan asin yang dikonsumsi. Penelitian ini tidak meneliti HPV maupun EBV. Pengamatan PFS dimulai dari hari pertama kemoradiasi sampai terjadinya event berupa progresi atau kematian dalam kurun waktu 2 tahun. Data PFS dicatat dalam 2 kelompok PFS ≤ 2 tahun dan >2 tahun. Analisis bivariat menggunakan uji Kai Kuadrat, variabel-variabel yang bermakna akan diuji lebih lanjut dengan menggunakan uji regresi logistik.
Hasil. Penelitian ini mendapatkan 216 pasien yang menjalani kemoradiasi pertama kali di RSCM. Terdapat 103 (47,69%) pasien yang meninggal dalam 2 tahun pasca pengobatan. Sedangkan terdapat 108 (50%) pasien yang mengalami PFS 2 tahun. Berdasarkan hasil analisis multivariat didapatkan bahwa merokok (p=0,024), kadar hemoglobin < 12 g/dl (p=0,008), ECOG (p=0,017), serta respons terapi (p=0,006) memengaruhi PFS 2 tahun pasien KKL.
Kesimpulan. Proporsi kematian dalam 2 tahun di RSCM masih cukup tinggi (47,69%), dengan PFS 2 tahun mencapai 50%. Kebiasaan merokok, kadar hemoglobin, ECOG serta respons terapi memengaruhi PFS 2 tahun pasien KKL.

ABSTRACT
Background. Head and neck cancer (HNC) is the 6th cancer in the world. The majority of HNC patients come to the hospital at the locally advanced stage. Progression Free Survival (PFS) is a good outcome for evaluating the success of therapy in solid tumor cases. Researchers chose a 2-year PFS in head and neck cancer to study because within 2-year period is the biological time for a solid tumor to progress again. The study was conducted because of differences in the types of head and neck cancer in Indonesia compared to European and American countries.
Aim. Knowing the mortality of HNC patients and 2 years PFS of HNC patients as well as the factors that influenced.
Method. A retrospective cohort study design that examined 216 locally advanced HNC patients who underwent chemoradiation at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period of January 2015 to December 2017. Data retrieved through medical records. Laboratory data taken 2-4 weeks prior and 2-4 weeks after chemoradiation. If there is insufficient data such as the duration of salted fish and smoking history it is confirmed through telephone. this study did not see the process of making salted fish and the amount of salted fish consumed. This study did not examine HPV or EBV. PFS observation starts from the first day of chemoradiation until the event occurs in the form of a progression or death within 2 years. PFS data are recorded in 2 PFS groups ≤ 2 years and> 2 years. Bivariate analysis using the Chi Square test, if these requirements are not met, the researcher uses the Fischer-exact test. Variables will be further tested using multivariat logistic regression tests.
Results. This study found 216 patients who underwent chemoradiation for the first time at RSCM. There were 103 (47.69%) patients who died within 2 years after treatment. Whereas there were 108 (50%) patients who had PFS 2 years. Based on the results of multivariate analysis, it was found that smoking (p = 0.024), hemoglobin level <12 g / dl (p = 0.008), ECOG (p = 0.017), and therapeutic response (p = 0.006) affected PFS 2 years.
Conclusion. The proportion of mortality within 2 years in RSCM is still quite high (47.69%), with a 2-years PFS reaching 50%. Smoking, hemoglobin levels, ECOG and therapeutic response affect the 2-year PFS of patients."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983
616.994 TUM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bintari Nareswari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Abses leher dalam adalah keadaan infeksi yang dapat menyebabkan komplikasi serius sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Anatomi kompleks leher dan lokasi ruang yang dalam membuat diagnosis dan penatalaksanaan menjadi sulit. Pemeriksaan laboratorium, Computed Tomography (CT) scan dan kultur kuman berperan penting dalam diagnosis maupun tatalaksana abses leher dalam, sehingga penyakit penyerta dan komplikasi dapat terdeteksi secara dini. Tujuan: Mengetahui metode penegakan diagnosis abses leher dalam, gambaran penyakit penyerta dan komplikasi. Metode: Desain penelitian ini adalah studi potong lintang bersifat deskriptif analitik secara retrospektif pada 85 percontoh. Hasil: Laki-laki lebih banyak menderita abses leher dalam (72,9%), faktor etiologi terbanyak adalah odontogenik (60%), ruang peritonsil paling banyak terlibat (42,4%). Penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi dan diabetes melitus, komplikasi yang terbanyak menyebabkan kematian adalah sepsis. Diabetes melitus meningkatkan risiko kematian (p=0,041). Sefalosporin dan metronidazol masih disarankan sebagai antibiotik empiris. Kesimpulan: Tatalaksana abses leher dalam khususnya penderita yang menjalani rawat inap tidak optimal karena pemeriksaan kultur dan CT scan leher belum dilakukan secara rutin. Metode diagnostik terbaik dan tatalaksana komprehensif yang mengikutsertakan departemen terkait lainnya harus selalu dilakukan pada penderita abses leher dalam dengan penyakit penyerta

ABSTRAK
Background: Deep neck abscess is an infection causing serious complications resulting in high morbidity and mortality. The complex deep neck anatomy makes diagnosis and treatment difficult. Laboratory examination, Computed Tomography (CT) scan and bacterial culture play important roles in the diagnosis and treatment of deep neck abscess, so that comorbidities and complications can be detected in early stage. Purpose: To understand the best diagnostic methods, comorbidities and complications. Methods: The study design was cross-sectional study, retrospective analytic descriptive in 85 samples. Results: Men are more likely to suffer from deep neck abscess (72,9%), odontogenic is the most common etiologic factor (60%), the most involved space is peritonsillar space (42,4%). Hypertension and diabetes mellitus are the most common comorbid diseases, sepsis is a dominant complication leading to death. Diabetes mellitus increases the risk of death (p=0,041). Cephalosporin and metronidazol are still recommended as empiric antibiotics. Conclusion: The treatment of deep neck abscess particularly hospitalized patients is not optimum because bacterial culture and CT scan examination are not performed regularly. The best diagnostic methods and comprehensive management involving other relevant departments should always be performed in patients with deep neck abscess with comorbidities"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>